SUNGGUH menarik
melihat kemauan pemerintah yang akan menyediakan dana sebesar Rp 110
miliar pada tahun 2009 untuk mengembangkan pendidikan kewirausahaan di
perguruan tinggi. Dengan pendidikan kewirausahaan tersebut, diharapkan
para lulusan perguruan tinggi tidak hanya mencari kerja, tetapi bisa
sebagai pencipta lapangan kerja.
Memang ironis menyaksikan dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Banyak
lulusan pendidikan tinggi menenteng ijazahnya ke sana-ke mari melamar
pekerjaan, tetapi mengalami kesulitan mencari pekerjaan. Sebaliknya
bisa disaksikan seseorang yang dengan pendidikan formal minim, tetapi
bisa sukses luar biasa dalam pekerjaannya.
Ambil contoh Andre Wongso, yang mengaku SDTT (sekolah dasar tidak
tamat), sekarang sukses sebagai pakar motivasi yang andal dan ternama
di Indonesia. Begitu juga Bob Sadino yang pendidikan formalnya
terbatas, tetapi sukses dalam usaha agrobisnisnya.
Lalu, mengapa begitu banyak pengangguran di negara yang kaya sumber
daya alam dan keramahan iklim ini? Adakah yang salah dengan pendidikan
formal kita? Atau bahkan, seperti dinyatakan Ivan Illich dalam bukunya
Deschooling Society (1972), pendidikan formal terlalu banyak menyerap
biaya, hasilnya kurang optimal, dan lebih parah lagi banyak
menghasilkan tenaga pemalas yang tidak terampil dan hanya menjurus
kepada pekerjaan formal, tanpa mau tahu dengan kondisi riil di lapangan.
Mestinya pendidikan seperti dinyatakan Paulo Freire dalam bukunya
Pedagogy of the Oppressed (1972) merupakan ajang pembebasan kesadaran
atau dialogika yang memancing mereka untuk berdialog, membiarkan mereka
mengucapkan sendiri per-kataannya, mendorong mereka untuk menamai dan
dengan demikian untuk merubah dunia.
Konsep pendidikan yang ada pada kita sekarang ini cenderung berbentuk
‘’institusi bank’’ menurut konsep Freire, di mana pihak pendidik secara
searah memberikan pengetahuannya kepada peserta didik sehingga bisa
terkumpul segepok ilmu.
Bercermin dari kenyataan itu, tentu ada yang salah dengan pendidikan
kita sekarang ini. Pendidikan formal yang diberikan di bangku sekolah
maupun perguruan tinggi hanya terpaku pada penguasaan hard skills.
Bahkan sangatlah kurang dengan mengkaitkan kenyataan yang terjadi di
dunia realitas.
Penelitian menunjukkan, keberhasilan seseorang bukan ditentukan oleh
kepandaian yang dipunyai, tetapi oleh faktor lainnya yang sangat
penting.
Tingkat kecerdasan cuma menyumbang sekitar 20-30 persen keberhasilan,
selebihnya ditentukan soft skills. Penelitian National Association of
Colleges and Employers (NACE) pada tahun 2005 menunjukkan hal itu, di
mana pengguna tenaga kerja membutuhkan keahlian kerja berupa 82 persen
soft skills dan 18 persen hard skills.
Soft skills, menurut Berthall (dalam Diknas, 2008), adalah tingkah laku
personal dan interpersonal yang dapat mengembangkan dan memaksimalkan
kinerja seseorang manusia (misal pelatihan, pengembangan kerja sama
tim, inisiatif, pengambilan keputusan, dan lain-lain). Dengan demikian,
kemampuan soft skills tercermin dalam perilaku seseorang yang memiliki
kepribadian, sikap, dan perilaku yang dapat diterima dalam kehidupan
bermasyarakat.
Selaras dengan kemampuan soft skills, maka para peserta didik perlu
dibekali dengan pendidikan kemampuan kewirausahaan (entrepreneurship)
yang andal. Dengan dibekali pengetahuan kewirausahaan yang memadai,
disertai segi-segi praksisnya, para lulusan mempunyai kemauan dan
kemampuan yang memadai, sehingga tidak merasa kebingungan ketika harus
memasuki pasaran kerja.
Joseph Schumpeter sebagai pakar ekonomi kelembagaan berpendapat,
kewirausahaan sangat penting dalam menentukan kemajuan perekonomian
suatu negara. Pemikirannya bertumpu pada ekonomi jangka panjang yang
terlihat dalam analisisnya, baik mengenai terjadinya invensi dan
inovasi penemuan-penemuan baru yang dapat menentukan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi.
Dukungan Maksimal
Freire menekankan, dalam pendidikan perlu dipakai prinsip konsientisasi
yang merujuk pada penguasaan problem diri sendiri dan situasi di mana
peserta didik hidup serta tumbuh kesadaran dalam menentukan kedudukan,
nilai-nilai dan harapan hidup peserta didik terhadap relasinya dengan
dan bersama dunia. Tujuan penerapan prinsip konsientisasi adalah agar
peserta didik tidak menjadi manusia yang terasing dan terkucilkan dari
diri sekaligus lingkungan hidupnya.
Berdasarkan pemikiran Freire tersebut, maka agar pendidikan bisa lekat
dengan masyarakat dan lingkungannya, dapat mempersiapkan seseorang
menuju dunia kerja yang makin sulit, keras, serta membutuhkan berbagai
keahlian yang mendukung, perlu diberikan pendidikan kewirausahaan.
Mata pelajaran atau mata kuliah kewirausahaan perlu diberikan kepada
semua peserta didik dari TK sampai perguruan tinggi. Pelajaran
kewirausahaan harus disajikan secara sistematis dan terstruktur, serta
disesuaikan dengan tingkatan pendidikan dan usia peserta didik.
Kemasan pelajaran haruslah dapat menarik minat peserta didik, dan bukan
sekadar hafalan yang diperlukan untuk menentukan kenaikan kelas atau
kelulusan. Undanglah para wirausahawan untuk menerangkan dan
menceritakan kiat-kiat sukses usahanya, yang tentunya memerlukan
perjuangan dan pengorbanan sangat besar. Semangat kerja dan kegigihan
dalam meraih sukses, tentunya merupakan teladan untuk memacu kerja
keras dan mengiliminasi budaya santai yang masih lekat menghinggapi
mayoritas masyarakat.
Kegiatan magang kerja di suatu usaha sangatlah penting untuk mengerti
dunia riil wiraswasta. Para peserta didik bisa melihat langsung
bagaimana praksis dari teori-teori yang telah diperolehnya (mulai aspek
produksi, akuntansi, pemasaran, hingga sumber daya manusia) bisa
diterapkan dalam kegiatan riil.
Deviasi antara teori dan praksis tentunya merupakan kekayaan yang tidak
ternilai, dalam kaitannya untuk pengembangan intelektual dan kematangan
memasuki dunia kerja. Alangkah menariknya jika pendidikan kewirausahaan
ditindaklanjuti dengan praksis di tempat menuntut ilmu.
Berbagai gerai perlu didirikan seperti penjual makanan, simpan pinjam,
jasa tiket transportasi, perbankan, kursus bahasa asing dan sebagainya.
Para peserta didik secara bergantian mendapat tugas berpraksis di situ,
dengan target-target yang telah ditentukan. Belum lagi, dengan adanya
klinik kewirausahaan, para peserta didik bisa melihat permasalahan yang
muncul dan solusi pemecahannya yang tepat.
Pendidikan kewirausahaan dengan model konsientiasi yang bergerak dari
tataran teoritis dan praksis, tentunya membutuhkan dana yang relatif
besar, juga membutuhkan peran serta para stakeholders. Tentunya sudah
waktunya pihak pemerintah, swasta, dan dunia perbankan turut serta
memajukan dunia pendidikan di Indonesia, agar masyarakat makin cerdas.
Yang lebih penting, bisa mempersiapkan peserta didik memasuki dunia
kerja dengan kualitas yang prima. (32)
–– Dr Purbayu Budi Santosa, dosen Fakultas Ekonomi Undip.
Tuesday, January 4, 2011
Relevansi Pendidikan Kewirausahaan
Posted by dwee pasmah on 6:44 PM
0 comments:
Post a Comment