Thursday, February 16, 2012

Lingkungan Keluarga Pengaruhi Pendidikan Karakter Anak

Lingkungan keluarga menjadi faktor penting dalam menanamkan pendidikan karakter anak, di luar faktor pendidikan di sekolah serta lingkungan sosial. Lingkungan keluarga ini, bisa dimulai dari situasi dalam keluarga dan pola pendidikan yang dilakukan.

Jika pola pendidikan karakter di tengah keluarga sudah terbangun dengan baik, dengan sendirinya anak akan lebih mudah untuk menerima pendidikan karakter di sekolah. Demikian pula saat anak harus bersinggungan dengan lingkungan sosial.

"Sebab persoalan yang sekarang jamak terjadi saat ini banyak orang tiua yang stres dan depresi akibat persoalan hidup yang kompleks. Pada situasi ini bagaimana mungkin orang tua mampu memberikan pendidikan karakter yang dibutuhkan," ujar praktisi Soul Healer dan pendidikan karakter, Irma Rahayu dalam diskusi 'Karakter dan Jatidiri Bangsa dalam Pembangunan Kebudayaan', yang digelar Kelompok Diskusi (Poksi) Komisi X FPKS DPR RI, Rabu (15/2).

Irma mengatakan, untuk menanamkan pendidikan karakter yang baik dari keluarga perlu dilihat dulu kondisi orang tua. Yang paling penting menurutnya, membuang depresi kedua orang tua di tengah persoalan hidup yang kian kompleks.

Sayangnya, kata Irma, yang terjadi sekarang ini orang tua sering mengabaikan dan menyerahkan pendidikan karakter anak kepada sekolah. Persoalan baru pun muncul saat para pengajar (guru) yang harusnya bisa memberikan pendidikan karakter ini juga sudah membawa stres dari rumahnya.

Ditambah dengan lingkungan sosial si anak yang kurang mendukung, jadilah masalah pendidikan karakter ini mandeg. "Kalau sudah kompleks tidak ada yang mau disalahkan dalam kegagalan menanamkan pendidikan karakter ini," tambahnya.

Anggota Komisi X, Soenmandjaja Roekmandis menambahkan, kegagalan keluarga dalam menanamkan pendidikan karakter memang bisa dimulai dari hal yang kecil di tengah keluarga.

Ia mencontohkan, bagaimana orang tua menyuruh anak rajin ke masjid tetapi orang tuanya sendiri juga jarang melakukannya. "Atau orang tua yang memperingatkan anaknya untuk tidak merokok tapi dilakukan orang tua sambil merokok," ungkap Roekamndis.

Secara luas, anggota Badan Legislasi DPR RI ini menyampaikan, orang tua, keluarga, guru, lingkungan pendidikan dan masyarakat merupakan cita idealisme anak. Oleh anak mereka dijadikan sosok atau figur ideal selama dalam proses identifikasi, asimilasi dan sublimasi.

Manakala 'figur' anak itu menampakkan sesuatu yang mendatangkan kekecewaan, maka anak- anak --pemuja-- itu akan mengalami split personality. "Dalam situasi ini pendidikan karakter sesuai apa yang diinginkan akan sulit dibangun," tegasnya.

Oleh: Ramdhan Muhaimin
sumber : republika.co.id

Anak dan Teknologi

“Waduh lucyu ni, kitaa bangett deh,” ucap pak Imran, suami bu Ellen, sambil menunjukkan gambar yang ada di Blackberry-nya yang melukiskan sebuah keluarga di mana ayah, ibu dan anak-anak duduk bersama-sama berdekatan dalam sebuah ruangan, namun masing-masing sibuk menggunakan benda teknologi.

Ayah sibuk dengan ipadnya, ibu asyik dengan Blackberry-nya, sedangkan sang kakak juga asyik dengan ponselnya dengan earphone di telinga dengan kepala sedikit miring mengikuti musik yang didengarkannya. Lalu adik sedang asyik main games sambil menggoyangkan kaki. Semua berkumpul, semua serius, semua berdekatan, namun semua asyik sendiri dengan dunia masing-masing.

Secara tidak disadari, gambaran di atas sering terjadi ada pada diri kita dan keluarga kita. Ungkapan pak Imran, suami bu Ellen, benar adanya. Walaupun bu Ellen menyanggah ucapan suaminya dengan mengatakan ”Akh terlalu berlebihan” kepada suaminya, namun dalam hati dia mengakui juga hal tersebut. Bahkan sekarang sudah dikenal slogan mengenai korban teknologi yang masuk dalam arena keluarga, yaitu “Mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat.”

Apabila perangkat-perangkat lunak berteknologi tinggi seperti tablet, smart phone dan lain-lain yang mempunyai kecepatan dalam mengakses informasi atau social network seperti facebook dan twitter digunakan oleh sesama anggota keluarga, seharusnya dapat mendekatkan yang sudah dekat. Karena komunikasi yang terjalin seharusnya lebih lancar dan cepat.

Namun kenyataannya tidak demikian. Tidak sedikit anak dengan bandelnya diam-diam mendelete kontak ibu dan ayahnya, bahkan terkadang sang anak dapat memiliki dua acoount yang tidak diketahui oleh ayah atau ibunya.

“Rugi rasanya.” Begitulah ungkapan bu Ellen dalam hati karena anak yang seharusnya mahir menggunakan komputer dan pandai browsing jika mencari informasi yang dibutuhkan --dikarenakan sang anak telah mendapat pelajaran komputer yang lebih dari cukup di sekolahnya-- namun malahan begitu sudah kenal komputer dan dunia internet, yang dibrowsing oleh sang anak adalah games. Bahkan keluhan dari kawan-kawan bu Ellen yang sudah memiliki anak-anak remaja adalah browsing gambar-gambar porno.

Teknologi menyerang keluarga, tak hanya ayah dan ibu yang kena, anak-anak adalah mangsa yang paling empuk. Solusi yang diambil dengan menjauhkan anak dari teknologi juga tidak mungkin dilakukan di zaman informasi sekarang ini. Yang ada si anak akan menjadi benci dan diam-diam malah mengakses yang tidak-tidak, dan sebagai orangtua akan kewalahan untuk mengontrol dan membatasinya.

Maka jalan satu-satunya adalah dengan membuat suatu kesepakatan. Ketika anak dibelikan barang berteknologi tinggi, ada aturan main dan hal-hal apa saja yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh. Lalu dijelaskan mengapa begini mengapa begitu. Kemudian kesepakan itu ditandangani, dan bila ada yang melanggar, maka apa saja sanksinya perlu dipertegas.

Sebagai orang tua kita harus memberi mereka kepercayaan kepada anak-anak. Seringkali anak-anak tidak mampu memegang janji dan tidak mampu bertanggungjawab. Karena itu orangtua wajib untuk mengatur dan bersikap tegas. Sesekali dihukum dengan tidak diberi uang jajan dan tidak diperbolehkan menggunakan handphone atau computer (bahkan zaman sekarang anak-anak juga sudah menggunakan laptop).

Sekarang kembali pada kita sebagai orangtua, apakah kita maunya anak-anak menggunakan apa? Bila mereka diberi Blackberr, maka kita sebagai orang tua harus bekerjasama dengan pihak sekolah untuk melarang membawa Blackberry di sekolah dan harus disita jika kedapatan membawanya.

Sekolah yang disiplin biasanya melarang anak membawa handphone termasuk Blackberry ke sekolah karena menggangu pelajaran. Bila pun sangat terpaksa harus membawa handphone, maka handphone sang anak dapat dititipkan pada walikelas. Akh, zaman dulu juga kita sekolah tidak pakai handphone, nyaman dan aman saja kok.

Kembali pada anak dan teknologi, baik juga bila sekolah membuat acara technology camp, semacam acara menginap di sekolah dan memberikan training-training tentang kesadaran penggunaan teknologi disertai ikrar untuk menjadi pengguna teknologi yang bertanggungjawab. Di dalamnya terdapat janji tidak akan membuka akses pornografi, tidak lalai, lalu menggunakan internet untuk hal yang bermanfaat, serta pembatasan jam penggunaan teknologi secara bertanggungjawab dan lain lain.

Bila anak mampu melaksanakan janjinya dengan baik, maka orang tua maupun pihak sekolah bisa memberikan reward (hadiah) pada si anak. Teknologi bukan untuk dibenci, tapi untuk menjadikan kita lebih memahami.

oleh : Fifi P Jubilea
Founder and Conceptor of JISc, penulis artikel konsultasi pendidikan anak, remaja dan keluarga.
bundafe.jisc@gmail.com
www.jakartaislamicschool.com
www.bundafe.com

Saturday, February 11, 2012

KIAT SUKSES MENGAJAR KEAKSARAN FUNGSIONAL PADA ORANG DEWASA

Mengingat warga belajar program Keaksaraan Fungsional (KF) pada umumnya merupakan orang dewasa, maka proses pembelajaran yang digunakan hendaknya mengikuti kaidah-kaidah ppendidikan orang dewasa (andragogi). Kaidah-kaidah pendidikan orang dewasa yang dimaksud adalah sebagai berikut. Relatif tidak mudah untuk bisa mengajar para orang tua, selain karena daya tangkapnyasudah jauh menurun.
1. Pembelajaran berorientasi pada pemecahan masalah lingkungan
2. Permasalahan hendaknya digali dari pendapat dan diketahui oleh warga belajar.
3.Pembelajaran berbasis pada pengalaman pribadi warga belajar agar semakin mudah
diketahui
4.Pembelajaran memberikan pengalaman yang bermakna (meaningfull) bagi warga belajar
agar lebih diminati
5.Pembelajaran memberi kebebasan bagi warga belajar untuk ikut memilih isi dan proses
belajar sesuai dengan minat, kebutuhan dan pengalamannya.
6.Tujuan pembelajaran ditetapkan dan disetujui oleh warga belajar melalui kontrak
belajar
7.Warga belajar memperoleh umpan balik terhadap dirinya tentang pencapaian hasil
belajar masing masing individu
8.Pembelajaran dimulai dari dan berdasarkan pada pengetahuan dan kompetensi yang
sudah ada sebelumnya
9.Penguatan bersifat positif dan meningkatkan motivasi belajar bagi warga belajar
10.Pembelajaran memungkinkan warga belajar untuk berpartisipasi secara aktif sehingga
dapat memperbaiki dan memperpanjang ingatan
11.Materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan warga belajar. Metode pembelajaran
perlu mempertimbangkan mental dan karakteristik fisik warga belajar

Sumber : majalah aksara edis maret 2008

Friday, February 10, 2012

AGAR MEMBACA JADI MENYENANGKAN

Membaca adalah salahsatu proses penting untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Tanpa bisa membaca manusia akan mendapat banyak kesulitan hidup di zaman sekarang ini. Bagi yang tidak biasa, kegiatan membaca kadang menjadi kegiatan yang membosankan dan membuat mengantuk, agar tidak malas membaca, berikut tips yang bisa dicoba agar membaca menjadi menyenangkan:
Persiapan sebelum membaca
1.Pilihlah waktu yang menurut kita sesuai untuk membaca.
2.Pilihlah tempat dan suasana yang sesuai untuk membaca, yaitu tempat yang terang, sejuk, bersih, nyaman, tenang dan rapih menurut kita sendiri.
3.Pastikan posisi mebaca kita adalah posisi yang benar. Posisi yang benar pada waktu membaca adalah duduk dengan posisi badan tegak, tidak bungkuk, dan pastikan jarak antara buku dengan mata kita kurang lebih 30 cm
4.Siapkan juga hal-hal yang biasanya membantu kita dalam membaca, seperti pensil atau spidol.
Berbagai jenis membaca
Terdapat 3 cara umum membaca di dalam kehidupan sehari-hari dilihat dari apa tujuan proses membaca tersebut :
1.Membaca sebagai hiburan tanpa perlu memeras otak terlalu keras. Bacaan yang mengandung unsur hiburan disini contohnya novel, cerpen, komik, majalah ringan dll.
2.Membaca unutk memperoleh ilmu pengetahuan yang tujuannya adalah mencari dan memahami ilmu yang terkandung dalam bacaan tersebut.
3.Membaca kritis. Membaca disini sama dengan membaca untuk mencari ilmu. Namun membaca disini diikuti oleh proses menelaah isi bacaan tersebut, misalnya dengan pertanyaan-pertanyaan apa itu?, kapan?, dimana? Dan bagaimana itu bisa terjadi. Dalam membaca kritis, kita membuat bacaan sebagai lawan yang harus dikalahkan dengan cara mengetahui dan memahami seluruh isinya.
Belajar dengan menggunakan metode membaca kritis akan menjadi menyenangkan dan tidak membosankan. Kita tidak hanya di minta untuk memahami isi bacaan tapi juga diajak berfikir kreatif mengenai isi tersebut. Tertarik dengan membaca kritis? Simak deh aturan main dalam membaca kritis di bawah ini:
1. Melakukan survei isi buku. Langkah awal yang harus kita lakukan adalah membaca
terlebih dahulu bahan bacaan secara sepintas pada bagian-bagian tertentu saja.
Tujuannya adalah mendapatkan gambaran umum mengenai bacaan tersebut. Bagian-bagian
yangperlu diperhatikan adalah:
a. Paragraf awal, paragraf akhir dan juga beberapa paragraf di tengah.

b. Bagian daftar isi, gambar-gambar, tabel dan grafik yang memiliki gambaran umum
mengenai bacaan tersebut,
c. Soal-soal yang mungkin terdapat dalam bacaan tersebut.
2.Membaca, merupakan langkah dominan dalam metode ini. Membaca disini sebagai langkah untuk mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam proses survei. Baca dengan teliti dan seksama paragraf demi paragraf, bagian demi bagian untuk menangkap pokok pokok pikiran dari tiap bagian. Usahakan jangan pindah bagian jika kita belum mengerti dan memahami bagian tersebut.
3.Evaluasi, merupakan langkah dimana terdapat pertanyaan apakah kita sudah menguasai bahan? Yakinkah bahwa kita sudah memahami bahan bacaan tersebut. Jika belum, coba cari apa yang anda tidak mengerti dan temukan jawabannya.
4.Meninjau ulang, Merupakan langkah terakhir kita dalam membaca kritis. Cobalah kita tutup dulu bukunya, kemudian pikirkan apa yang usdah didapat dari bacaan tersebut. Tuliskan hasil pikiran tersebut dalam secarik kertas, dan bandingkan dengan pa yang terdapat pada buku bacaan.

Sumber : Majalah Aksara edisi maret 2008

Tuesday, February 7, 2012

Upaya Membangkitkan Nasionalisme Melalui Pendidikan

Pendahuluan
Dalam era globalisasi, seluruh aspek kehidupan bangsa terguncang dahsyat hingga daya adaptif kita sebagai suatu bangsa dalam suatu sistem sangat terpengaruh oleh perubahan, perubahan yang sangat cepat. Dalam dunia pendidikan, proses akulturasi dan perubahan perilaku bangsa mau tidak mau kita terdorong menjadi masyarakat yang memasuki complex adaptive system.

Era reformasi dalam konteks nasional terasa getarannya seperti perubahan radikal, terasa pula ada penjungkirbalikan nilai-nilai yang telah kita miliki, menjadi porak poranda, dan hampir tercabut sampai ke akar-akarnya. Hal ini kita rasakan sejak tahun 1998, dan kita bertanya apakah ini demokrasi atau reformasi, kita bergumam bahwa ini bukan demokrasi, dan bukan reformasi.

Kita merasakan krisis multidimensional melanda kita, di bidang politik, ekonomi, hukum, nilai kesatuan dan keakraban bangsa menjadi longgar, nilai-nilai agama, budaya dan ideologi terasa kurang diperhatikan, terasa pula pembangunan material dan spiritual bangsa tersendat, discontinue, unlinier dan unpredictable.

Dalam keadaan seperti sekarang ini sering tampak perilaku masyarakat menjadi lebih korup bagi yang punya kesempatan, bagi rakyat awam dan rapuh tampak beringas dan mendemostrasikan sikap antisosial, antikemapanan, dan kontraproduktif serta goyah dalam keseimbangan rasio dan emosinya.

Bagi kita bangsa yang masih sadar, sabar dan tawakal perlu melaksanakan diagnosis terhadap sikap dan perilaku yang menyimpang dari norma dan moral yang kurang terkendali ini. Perlu dipola terapi yang tepat melalui senyum karakter bangsa dan pendekatan keakraban nasional, mengikuti ungkapan seorang negarawan Amerika Serikat (Edward Kennedy) “ We are one nation in a sorrow”. Mari dalam rasa keprihatinan nasional sekarang ini kita bersatu padu agar derita dari segala bencana yang menimpa bangsa Indonesia baik fisik mau pun mental terutama dalam kesulitan himpitan ekonomi.

Terapi Mental Bangsa Dengan Jiwa Optimis
Langkah dan upaya penyembuhan dari penyimpangan perilaku fisik dan mental psikologis bangsa ini kita mulai dengan pendekatan agama, pendidikan dan kesejahteraan material dan spiritual. Yang utama memerlukan perhatian adalah membangkitkan kesadaran jiwa untuk menggairahkan peran hati nurani kita sebagai mahluk Tuhan, sebagai pribadi dan sebagai bangsa Indonesia. Kemudian perbaiki manajemen pendidikan nasional, semua harus sepakat mau dibawa kemana bangsa ini dengan pendidikan, semua berhemat dengan biaya pendidikan. Semua harus jadi pendidik, jadi guru dan sekaligus jadi murid. Inilah revolusi pembelajaran yang inovatif yang dapat mendorong anak didik untuk belajar yang menyenangkan aktif dan produktif.

Dengan demikian diperlukan paradigma baru dalam manajemen pendidikan, mengembangkan interaksi edukatif antara keluarga, sekolah dan masyarakat agar terbina proses pembinaan pendidikan bagi anak didik dalam tanggung jawab bersama. Kesan nilai edukatif pada jiwa dan intelek anak didik harus yang menjadi kebutuhan dalam menata cita-cita kehidupan yang bermanfaat lahir batin, karena mereka memiliki kesan nilai dan moral kehidupan yang disebut “The Golden Rules” (Lawrence Kohlberg, 1976).

Paradigma pendidikan masa sekarang yang sangat kita butuhkan adalah keseimbangan antara pembinaan intelek, emosi dan spirit. Kalau seluruh bangsa berkehendak untuk mengembalikan suasana persatuan dan kesatuan bangsa yang kondusif dan patriotik, maka sangatlah urgen untuk menata kembali politik pendidikan nasional. Tingkatkan dan kembangkan kembali pendidikan politik bangsa yang patriotis, agamis, ideologis, dan berjiwa optimis.

Sebagai sumbangan pemikiran bagi pelaksanaan paradigma tersebut, paper ini ingin merekomendasikan untuk mengembangkan jiwa patriotisme, kesadaran berbangsa dan negara dengan:
Pendidikan Nilai (agama, ideologi, dan budaya) Bangsa,
Pendidikan Karakter, dan
Pendidikan Politik Bagi Generasi Masa Depan Bangsa.
Pelaksanaannya dalam program pembelajaran, dipercayakan kepada sekolah (Kepala Sekolah dan Guru) untuk mencoba setiap mata pelajaran berbasis karakter kebangsaan.

Mengembangkan pendidikan berdasarkan karakter (character base education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti: pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan Budaya Bangsa. Nilai-Nilai yang diajarkan dalam Pendidikan Karakter Lickona (1992) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar siswa didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan.

Moral Knowing. Terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing, yaitu:
moral awareness,
knowing moral values,
perspective taking,
moral reasoning,
decision making, dan
self knowledge.

Moral feeling. Terdapat enam hal yang merupakan aspek dari emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia yang berkarakter, yakni:
conscience,
self- esteem,
emphaty,
loving the good,
self-control, dan
humility.

Moral Action. Perbuatan/tindakan moral ini merupakan hasil (outcome) dari dua komponen karakter lainnya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu: terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya moral knowing, yaitu:
kompetensi (competence),
keinginan (will),
kebiasaan (habit).

Untuk itu, dalam deklarasi Aspen dihasilkan enam nilai etik utama (core ethical values) yang disepakati untuk diajarkan dalam sistem pendidikan karakter di Amerika, yang meliputi:
dapat dipercaya (trustworthy) meliputi sifat jujur (honesty) dan integritas (integrity),
memperlakukan orang lain dengan hormat (treats people with respect),
bertanggung jawab (responsible),
adil (fair),
kasih sayang (caring), dan
warga negara yang baik (good citizen).

Tentang pendidikan karakter ini pun, dengan kepiawaian guru dapat dijadikan rujukan untuk bahan pengayaan dalam proses pembelajaran setiap mata pelajaran dan perilaku serta keteladanan orang dewasa, karena pendidikan karakter lebih mendalam tentang pendidikan moral.

Latar Belakang Sejarah Kebangkitan Nasional
Sejarah manusia adalah sejarah konflik dan perang, karena sejarah perang adalah setua sejarah manusia. Berbicara tentang perdamaian adalah berbicara tentang perang, dalam arti perdamaian adalah menunda perang, sinonim dengan istirahat sebelum manusia mulai berperang lagi. Oleh sebab itu, seolah-olah yang dianggap normal dalam kehidupan manusia adalah berperang. Hal ini pun terjadi di Indonesia antara tahun 1900-1942.

Pernyataan di atas didukung oleh data yang berasal dari buku Wars of the World (1940) yang menampilkan data bahwa antara tahun 1496 SM sampai tahun 1861, suatu kurun waktu selama 3.500 tahun terdapat 227 tahun damai dan 3.130 tahun perang. Dengan kata lain, untuk setiap tahun damai ada 13 tahun perang.

Sejak tahun 1861 sampai sekarang, dunia mengalami lagi ratusan dan bahkan ribuan perang dan bentuk-bentuk kekerasan bersenjata lainnya. Di antara yang terpenting adalah peperangan karena penjajahan Barat terhadap wilayah-wilayah koloninya, PD I, PD II, Perang Arab-Israel, Perang Korea, Perang Vietnam, Perang Teluk, dan lain-lain.

Melihat realitas hubungan internasional di atas, dapat dikatakan bahwa perang dan damai adalah ibarat “dua sisi dari satu keping mata uang” yang sama. Keduanya adalah konsep yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Hal ini diperkuat oleh adagium “Civic Pacem Para Bellum” (Kalau mengeksploitasi manusia dan alam yang ada di dalamnya). Atau dengan kata lain, praktek perang semacam itu dinamakan dengan “kolonialisme”.

Pengaruh pergolakan dunia menjelang Perang Dunia I dan II langkah pertama menuju kebangkitan nasional yaitu tiga dasawarsa pertama abad XX bukan hanya menjadi saksi penentuan wilayah Indonesia yang baru dan suatu pernyataan kebijakan penjajahan yang baru. Masalah-masalah dalam masyarakat Indonesia juga mengalami perubahan yang begitu besar sehingga dalam masalah-masalah politik, budaya, dan agama rakyat Indonesia menempuh jalan baru. Perubahan yang cepat terjadi di semua wilayah yang baru saja ditaklukkan oleh Belanda. Akan tetapi, dalam hal gerakan-gerakan antipenjajahan dan pembaharuan yang mula-mula muncul pada masa ini, Jawa dan daerah Minangkabau di Sumatera menarik perhatian yang khusus. Perubahan-perubahan yang terjadi di sana sedemikian rupa sehingga sejarah Indonesia modern memasuki zaman baru dan memperoleh kosa kata baru. Alasan-alasan yang mendorong Jawa dan Minangkabau menjadi pelopor dalam perubahan yang mendadak ini cukup jelas. Tingkatan kekacauan dan perubahan sosial di Jawa telah dijelaskan di dalam bab-bab terdahulu. Minangkabau telah mengalami pembaharuan besar-besaran dalam agama Islam yang pertama di Indonesia di bawah kaum Padri, telah mengalami perubahan-perubahan yang besar sejak dipaksakannya kekuasaan Belanda, dan memiliki tradisi untuk berhubungan secara aktif dengan dunia luar yang telah membukanya bagi ide-ide baru. Ketika raja-raja Bali dan kaum ulama Aceh masih berjuang untuk mempertahankan tatanan yang lama dari upaya penaklukan penjajah, maka orang-orang Minangkabau dan rakyat Jawa meletakkan dasar-dasar bagi suatu tatanan baru.

Kunci perkembangan pada masa ini adalah munculnya ide-ide baru mengenai organisasi dan dikenalnya definisi-definisi baru dan lebih canggih tentang identitas. Ide baru tentang organisasi meliputi bentuk-bentuk kepemimpinan yang baru, sedangkan definisi yang baru dan lebih canggih mengenai identitas meliputi analisis yang lebih mendalam tentang lingkungan agama, sosial, politik, dan ekonomi. Pada tahun 1927 telah terbentuk suatu jenis kepemimpinan Indonesia yang baru dan suatu kesadaran diri yang baru, tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar. Para pemimpin yang baru terlibat dalam pertentangan yang sengit satu sama lain, sedangkan kesadaran diri yang semakin besar telah memecah belah kepemimpinan ini lewat garis-garis agama dan ideologi. Pihak Belanda mulai menjalankan suatu tingkat penindasan baru sebagai jawaban terhadap perkembangan-perkembangan tersebut. Periode ini tidak menunjukkan pemecahan masalah, tetapi merubah pandangan kepemimpinan Indonesia itu mengenai diri sendiri dan masa depannya.

Dr. Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917) adalah pembangkit semangat organisasi yang pertama itu. Sebagai seorang lulusan sekolah ‘Dokter Jawa’ di Weltvreden (yang sesudah tahun 1900 dinamakan STOVIA), dia bekerja sebagai dokter pemerintah di Yogyakarta sampai tahun 1899. Pada tahun 1901 dia menjadi redaktur majalah Retnadhoemilah (‘Ratna yang berkilauan’) yang dicetak dalam bahasa Jawa dan Melayu untuk kalangan pembaca priyayi dan mencerminkan perhatian priyayi terhadap masalah-masalah dan status mereka. Selain seorang yang berpendidikan Barat Wahidin adalah seorang pemain musik Jawa klasik (gamelan) dan wayang yang berbakat. Dia memandang bahwa kebudayaan Jawa dilandasi oleh ilham Hindu-Budha, rupanya bependapat bahwa sebagian penyebab kemerosotan masyarakat Jawa adalah kedatangan agama Islam dan berusaha memperbaiki masyarakat Jawa melalui pendidikan Belanda.

Pada tahun 1907 Wahidin berkunjung ke STOVIA dan di sana, di salah satu lembaga terpenting yang menghasilkan priyayi rendah Jawa, dia melihat adanya tanggapan yang bersemangat dari murid-murid sekolah tersebut. Diambil keputusan untuk membentuk suatu organisasi pelajar guna memajukan kepentingan-kepentingan priyayi rendah dan pada bulan Mei 1908 diselenggarakan suatu pertemuan yang melahirkan Budi Utomo. Nama Jawa ini (yang seharusnya dieja Budi Utama) diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh organisasi tersebut sebagai het schoone striven (ikhtiar yang indah), tetapi menurut konotasi-konotasi bahasa Jawa yang beraneka ragam nama itu juga mengandung arti cendekiawan, watak, atau kebudayaan yang mulia.

Budi Utomo pada dasarnya tetap merupakan suatu organisasi priyayi Jawa. Organisasi ini secara resmi menetapkan bahwa bidang perhatiannya meliputi penduduk Jawa dan Madura; dengan demikian, mencerminkan kesadaran administrasi kedua pulau itu dan mencakup masyarakat Sunda dan Madura yang kebudayaannya mempunyai kaitan erat dengan Jawa. Bukan bahasa Jawa melainkan bahasa Melayu yang dipilih sebagai bahasa resmi Budi Utomo. Namun demikian, kalangan priyayi Jawa dan (sampai tingkat yang jauh lebih kecil) Sunda adalah yang menjadi inti dukungan Budi Utomo. Rasa keunggulan budaya orang Jawa cukup sering muncul ke permukaan; bahkan di Bandung ada cabang-cabang tersendiri untuk anggota-anggota orang-orang Jawa dan Sunda. Budi Utomo tidak pernah memperoleh landasan rakyat yang nyata di antara kelas-kelas bawah dan mencapai jumlah keanggotaan tertinggi, yaitu hanya 10.000 orang, pada akhir tahun 1909. Organisasi ini pada dasarnya juga merupakan suatu lembaga yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan; seperti yang akan terlihat di bawah ini, organisasi tersebut jarang memainkan peran politik yang aktif.

Pada bulan Oktober 1908 Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama di Yogyakarta. Pada saat itu Wahidin sudah hanya menjadi tokoh bapak saja dan bermunculan suara-suara baru untuk mengatur organisasi tersebut. Suatu kelompok minoritas dipimpin oleh Tjipto Mangunkusumo (1885-1943) yang juga seorang dokter dan yang sifatnya radikal. Dia ingin agar Budi Utomo menjadi partai politik yang berjuang untuk mengangkat rakyat pada umumnya daripada hanya golongan priyayi, dan kegiatan-kegiatannya lebih tersebar di seluruh Indonesia daripada terbatas di Jawa dan Madura saja. Tjipto juga tidak mengagumi kebudayaan Jawa sebagai dasar bagi peremajaan kembali. Dr. Radjiman Wediodiningrat (1879-1951), seorang ‘Dokter Jawa’ lain, mengemukakan ide-idenya pula. Dia dipengaruhi kebudayaan Jawa, dialektika G.W.F. Hegel, subyektivisme I. Kant, dan anti rasionalisme H. Bergson, dan sudah menganut doktrin-doktrin mistik Teosofi sebagai perpaduan Timur dan Barat. Teosofi adalah salah satu di antara gerakan-gerakan yang menyatukan elite Jawa, orang-orang Indo-Eropa, dan orang-orang Belanda pada masa itu, dan sangat berpengaruh di kalangan banyak anggota Budi Utomo. Akan tetapi, baik Tjipto maupun Rajiman tidak berhasil mendapatkan kemenangan. Tjipto tampaknya merupakan seorang radikal yang berbahaya dan Radjiman rupanya seorang reaksioner yang kaku. Dipilih suatu dewan pimpinan yang didominasi oleh para pejabat generasi tua yang mendukung pendidikan yang semakin luas bagi kaum priyayi dan mendorong kegiatan pengusaha Jawa. Tjipto terpilih sebagai anggota dewan, tetapi mengundurkan diri pada tahun 1909 dan akhirnya bergabung dengan Indische Partij yang radikal.

Gubernur Jenderal van Heutsz menyambut baik Budi Utomo sebagai tanda keberhasilan politik Etis. Memang itulah yang dikehendakinya; suatu organisasi pribumi yang progresif-moderat yang dikendalikan oleh para pejabat yang maju. Pejabat-pejabat Belanda lainnya mencurigai Budi Utomo atau semata-mata menganggapnya sebagai gangguan yang potensial. Akan tetapi, pada bulan Desember 1909 organisasi tersebut dinyatakan sebagai organisasi yang sah. Adanya sambutan yang hangat dari Batavia menyebabkan banyak orang Indonesia yang merasa tidak puas dengan pemerintah untuk mencurigai Budi Utomo itu. Sepanjang sejarahnya (organisasi ini secara resmi dibubarkan pada tahun 1935) sebenarnya Budi Utomo seringkali tampak sebagai partai pemerintah yang seakan-akan resmi (dikutip dari M.C. Ricklefs, 1989: 228-251).

Sejak itulah, tepatnya tanggal 20 Mei 1908 kedewasaan politik bangsa Indonesia yang ditopang oleh rasa ingin merdeka mulai tampak dengan segala cara, gaya dan asas, serta sifat organisasi. Dari mulai asas kepriyayian yang intelek “Budi Oetomo”. Selanjutnya muncul organisasi-organisasi politik, sosial, keagamaan, pendidikan, dan kemasyarakatan yang semuanya merupakan dinamika ‘kebangkitan nasional’ sebagai bentuk aneka perlawanan kepada penjajah hingga menembus tahun 1920-an, 1930-an, dan 1940-an hingga tercapainya kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

Pendidikan dan Pendidikan Politik
Pendidikan
Pendidikan sendiri menurut Lengeveld adalah membimbing anak didik dari tingkat belum dewasa menuju ke kedewasaan. Berarti kriteria keberhasilan pendidikan adalah kedewasaan.

Ki Hajar Dewantara, seorang Bapak Taman Siswa, menganggap pendidikan sebagai “daya upaya untuk mewujudkan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter, pikiran (intelek)) dan tubuh anak untuk memajukan kehidupan anak didik selaras dengan dunianya” (Wasty Soemanto Hendayat Soetopo, 1982:3).

Konsep Model Pendidikan di Indonesia
Sejak berkembangnya kebudayaan manusia Indonesia, konsep pendidikan anak pada masa prenatal mau pun pos-natal melalui pendidikan informal/keluarga telah terpola secara kultural. Apalagi setelah Civilized Human Being di Indonesia itu menganut agama dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sampai saat ini “benang emas” pengaruh keagamaan tetap dominan baik dalam konsep maupun dalam tujuan pendidikan. Bahkan sejak lama sebelum Indonesia merdeka lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia telah sanggup melaksanakan pendidikan formal dengan tujuan dan konsep serta sistem pendidikan yang matang. Konsep pendidikan formal ala Indonesia, terutama bagi pendidikan umum mulai berkembang sejak lahirnya pergerakan nasional yang dipelopori oleh “Boedi Oetomo”. Hal ini bangkit karena bangsa Indonesia yakin bahwa untuk mencapai kemerdekaan, melenyapkan penjajahan harus dilawan dengan kecerdikan diplomasi bukan hanya dengan mengangkat senjata. Kecerdikan dan kearifan itu hanya bisa dimiliki melalui pendidikan intelektual dan moral.

Konsep pendidikan yang menonjol baik yang dapat bertahan sampai sekarang mau pun yang hanya tinggal pengaruhnya dan mewarnai/diserap oleh konsep pendidikan nasional masa kini, antara lain:
a) Pendidikan Muhammadiyah
Konsep pendidikan yang dikembangkan oleh organisasi keagamaan Muhammadiyah ini membuka tabir masyarakat terisolasi akibat penjajahan adalah kehidupan beragama secara terbuka, memasyarakat dan bersatu, kehidupan sosial, kehidupan politik, dan perhatian terhadap kepentingan nasional. Dengan singkat konsep pendidikan ini mendasarkan diri kepada asas sosial edukatif, religius, dan nasional. (Pemuka : K.H.A. Dahlan).

b) Pendidikan Taman Siswa
Konsep pendidikan Taman Siswa yang secara operasional dimulai pada tanggal 3 Juli 1922 lebih bersifat positif nasional, pedagogis, serta kulturil. Tujuan awal dari lembaga pendidikan ini adalah jelas membawa bangsa Indonesia mencapai tujuan politik yaitu kemerdekaan bangsa Indonesia. Asas pendidikan Taman Siswa ditekankan pada “kodrat alam”, yang berarti bahwa hak anak akan kebebasannya dinyatakan tidak tanpa batas, termasuk batas lingkungan kebudayaan. Pertumbuhan anak didik menurut kodratnya berarti bertumbuh dan berkembang menurut bakat dan pembawaannya. Konsep pendidikan ini mengembangkan asas pendidikan “Pancadarma Taman Siswa” yang meliputi: (i) asas kemerdekaan, (ii) asas kodrat alam, (iii) asas kebudayaan, (iv) asas kebangsaan, dan (v) asas kemanusiaan (Pemuka: Ki Hajar Dewantara).

c) Pendidikan INS Kayutanam
Konsep pendidikan yang dipolakan oleh Indische Nationale School Kayutanam merupakan konsep pendidikan yang lebih memperhatikan pemupukan bakat anak. Konsep ini terpengaruh oleh cita-cita John Dewey yang pragmatis dan Kerschensteiner dengan “Arbeitschule”-nya dengan didorong oleh keyakinan bahwa Tuhan tidak sia-sia menjadikan manusia dan alam lainnya, mesti semuanya ada gunanya. Bila tidak berguna pasti karena kita tidak dapat menggunakannya. Dasar pendidikan adalah “aktivitas” dengan tujuan “melahirkan dan memupuk semangat bekerja dan percaya kepada diri sendiri (self help).” Akan tetapi, sistem ini hanya berkembang sebagian pada konsep PLS sekarang (Pemuka: Muhammad Sjafei).

d) Pendidikan Nasional setelah Indonesia Merdeka
Bila kita kaji lebih teliti, maka konsep pendidikan nasional Indonesia yang kita kenal sekarang ini merupakan hasil ramuan halus dari nilai-nilai budaya bangsa dengan ragi penyegar pengaruh teori-teori dan konsep pendidikan yang diresepsi secara teliti dan hati-hati dari unsur-unsur pendidikan Barat yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa tersebut. Kemudian, apabila kita kaji pula azas dan tujuan dari konsep pendidikan nasional Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga sekarang mengandung jalur konsistensi yang pada prinsipnya berasas Pancasila dan dijadikan upaya bagi menuju kesejahteraan bangsa.

Sampai saat ini, konsepsi pendidikan nasional ditinjau dari segi kebutuhan pembangunan bangsa adalah:
(1) Pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.
(2) Pendidikan bersifat semesta, artinya meliputi semua segi kehidupan manusia dan unsur kebudayaan: moral dan etika, logika, estetika, keterampilan, dan sebagainya. Menyeluruh artinya seluruh kegiatan pendidikan meliputi semua jenis dan jenjang pendidikan, di dalam dan di luar sekolah. Terpadu artinya seluruh usaha dan kegiatan pendidikan jelas kaitan fungsional antara jenjang dan jenis serta serasi dengan pembangunan nasional.
(3) Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan masyarakat dan oleh karena itu harus menjadi alat pelestarian dan pembangunan kebudayaan dan sebagai alat untuk mencapai tujuan masyarakat.

Pendidikan Politik
Ada pun yang dimaksud dengan pendidikan politik yang dikemukakan oleh Alfian (1986:235) dalam bukunya Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, sebagai berikut: ”Pendidikan politik dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang ideal yang hendak dibangun”.

Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan politik menurut Instruksi Presiden No. 12 tahun 1982 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan Politik Generasi muda adalah sebagai berikut: “Pendidikan politik merupakan rangkaian usaha untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan guna menunjang kelestarian Pancasila dan UUD 1945 sebagai budaya politik bangsa. Pendidikan politik juga harus merupakan bagian proses perubahan kehidupan politik bangsa Indonesia yang sedang dilakukan dewasa ini dalam rangka usaha menciptakan suatu sistem politik yang benar-benar demokratis, stabil, efektif, dan efisien”.

Dengan demikian pendidikan politik adalah proses penurunan nilai-nilai dan norma-norma dasar dari ideologi suatu negara yang dilakukan dengan sadar, terorganisir, dan berencana dan berlangsung kontinyu dari satu generasi kepada generasi berikutnya dalam rangka membangun watak bangsa (national character building).

Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai Pancasila, tiada lain merupakan cerminan hati nurani dan sifat khas karakteristik bangsa, bukanlah nilai-nilai yang secara hakiki lahir pada saat kemerdekaan, melainkan telah tumbuh dan berkembang melalui proses sejarah yang panjang. Nilai ini berasal dari kodrat budaya dan menjadi milik seluruh rakyat. Hal ini tercermin dalam watak, kepribadian, sikap, dan tingkah laku bangsa Indonesia.

Pendidikan politik berfungsi untuk memberikan isi dan arah serta pengertian kepada proses penghayatan nilai-nilai yang sedang berlangsung. Ini berarti bahwa pendidikan politik menekankan kepada usaha pemahaman tentang nilai-nilai yang etis normatif, yaitu dengan menanamkan nilai-nilai dan norma-norma yang merupakan landasan dan motivasi bangsa Indonesia serta dasar untuk membina dan mengembangkan diri guna ikut serta berpartisipasi dalam kehidupan pembangunan bangsa dan negara.

Pemasyarakatan nilai-nilai pendidikan politik di Indonesia sebenarnya telah dilakukan jauh sebelum masa kemerdekaan melalui berbagai kegiatan organisasi dan gerakan politik, baik di dalam mau pun di luar negeri yang dilakukan oleh generasi muda Indonesia guna memperoleh hak politiknya yang dibelenggu oleh mekanisme penjajahan.

Sejak tahun 1908, partai-partai politik dan organisasi massa lainnya tumbuh dengan pesatnya. Organisasi politik pertama yang disebut-sebut sebagai organisasi modern di Indonesia berdiri pada tahun 1908 yaitu Budi Utomo. Mula-mula lapangan geraknya adalah organisasi ini bergerak pula dalam bidang politik. Timbulnya angkatan 1908 ini, dalam sejarah Indonesia memiliki ciri khas, yaitu merintis perjuangan kemerdekaan Indonesia menggunakan organisasi.

Pada tahun 1912 muncullah Serikat Islam di bawah pimpinan H.O.S. Cokroaminoto, Indische Partij di bawah pimpinan Douwes Dekker, Soewardi Suryaningrat, dan Ciptomangunkusumo. Tahun 1927 lahir Partai Nasional Indonesia atau PNI yang dipimpin oleh Ir. Soekarno, tahun 1931 lahir Partai Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Sartono, tahun 1931 lahir Partai Nasional Indonesia atau dikenal dengan PNI Baru yang dipimpin oleh Drs. Mohammad Hatta dan Sutan Syahrir, tahun 1937 lahir Gerak Indonesia atau Gerindo yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin dan Mohammad Yamin.

Dalam periode pergerakan ini, muncul suatu angkatan yang berperan sebagai pematangan kesadaran politik rakyat, yaitu angkatan 1928. Sebutan itu didasarkan atas dicetuskannya Sumpah Pemuda oleh para pemuda yang berkonggres di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda merupakan tonggak penting dalam proses pematangan kesadaran kebangsaan menuju terwujudnya proklamasi kemerdekaan.

Memasuki masa sesudah proklamasi kemerdekaan, pemasyarakatan nilai-nilai politik berlangsung dan berkembang terus dengan tantangan perjuangan yang semakin berat dalam rangkaian melanjutkan usaha menyadarkan masyarakat akan kepentingan politik bangsa.

Pemasyarakatan nilai-nilai politik ini lebih diarahkan guna mengalihkan semangat perjuangan kemerdekaan kepada usaha-usaha pengisian kemerdekaan dan kemajuan kehidupan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Asas Pendidikan Politik
Sebelum kita membahas asas-asas yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan politik, terlebih dahulu kita kaji landasan pokok pendidikan politik bagi generasi muda Indonesia.

Landasan pokok yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan politik bagi generasi muda adalah landasan yang pada prinsipnya telah mendasari kehidupan nasional bangsa Indonesia. Agak berbeda dengan landasan-landasan yang dipergunakan dalam bidang lainnya, pendidikan politik sesuai dengan ciri khasnya, memasukkan pula landasan kesejarahan.

Ada pun landasan pokok penyelenggaraan pendidikan politik bagi generasi muda menurut Inpres No. 12 Tahun 1982 adalah sebagai berikut:
a) Landasan ideologi adalah Pancasila.
b) Landasan konstitusional adalah UUD 1945.
c) Landasan historis adalah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi Kemerdekaan Agustus 1945.

Asas adalah prinsip-prinsip pokok yang harus diterapkan dan dipegang teguh dalam perencanaan dan pelaksanaan sesuatu/kegiatan. Jadi yang dimaksud dengan asas-asas pendidikan politik adalah prinsip-prinsip pokok yang harus diterapkan dan dipegang teguh dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan politik. Asas-asas pokok yang dipergunakan dalam melaksanakan dan menyelenggarakan pendidikan politik pada prinsipnya didasarkan atas asas yang sesuai dengan keadaan serta sifat bangsa Indonesia. Ada pun asas-asas pelaksanaan pendidikan politik bagi generasi muda tersebut seperti tercantum dalam Inpres No. 12 Tahun 1982, adalah sebagai berikut:
a) Asas Umum
Pada dasarnya pelaksanaan pendidikan politik bagi generasi muda dilandaskan kepada asas-asas yang sesuai dengan keadaan serta sifat bangsa Indonesia, khususnya generasi muda, yang dipadukan dengan dinamika perkembangan kehidupan nasional dan kemajuan yang telah dicapai sehingga sasaran yang dikehendaki dengan pendidikan politik ini akan tercapai secara berdaya guna dan berhasil guna serta dimanfaatkan secara tepat guna oleh masyarakat dan diwujudkan dalam tingkat partisipasi yang sebesar-besarnya.

b) Asas Demokrasi
Penyampaian bahan pendidikan politik bagi generasi muda dilakukan melalui jalan mendidik, mengajak, menampung, serta menyalurkan gagasan yang berkembang. Ia harus berciri demokrasi budaya Pancasila atas dasar komunikasi timbal-balik yang penuh tanggung jawab dan musyawarah untuk mufakat dalam perbedaan pendapat yang dilakukan dengan sesadar-sadarnya sebagai bangsa.

c) Asas Keterpaduan
Pendidkan politik bagi generasi muda harus menunjang terbinanya persatuan dan kesatuan bangsa serta menjamin stabilitas serta kepemimpinan nasional. Dalam dinamikanya, pendidikan politik harus terpadu, selaras, serasi, dan seimbang dengan strategi nasional sehingga akan dapat tercapai suatu tata kehidupan nasional yang semakin maju dan bersatu.

d) Asas Manfaat
Pendidikan politik bagi generasi muda diselenggarakan sedemikian rupa, baik dalam bahan mau pun caranya sehingga hasil yang dicapai dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh masyarakat. Ia harus dapat meningkatkan kesadaran hidup berbangsa dan bernegara, mau pun bangsa dan pengembangan pribadi.

e) Asas Bertahap, Berjenjang, dan Berkelanjutan
Penyelenggaraan pendidikan politik bagi generasi muda dilakukan melalui penahanan secara berjenjang, baik dari segi pertumbuhan alamiah manusia dari usia bawah mau pun dari segi pertumbuhan kehidupan masyarakat melalui organisasi yang ada atau golongan pendidikan, mulai dari pimpinan sampai kepada yang lebih besar di bawahnya. Ia semata-mata harus didasarkan atas kemampuan obyektif manusia. Di samping itu, pendidikan politik harus dilaksanakan secara terus-menerus dan harmoni, sebagai suatu proses pematangan manusia Indonesia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia yang makin maju dan berkembang.

f) Asas Aman
Pendidikan politik bagi generasi muda menunjang kehidupan nasional dengan semakin tingginya kesadaran berbangsa dan bernegara dan terpeliharanya laju pembangunan nasional. Sebagai kondisi, ia harus dapat menciptakan ketahanan dan ketangguhan manusia Indonesia dan masyarakat secara keseluruhan terhadap setiap kendala dan tantangan yang dihadapi. Ia harus aman dari berbagai pengaruh negatif yang berasal dari dalam dan luar negeri.

Maksud dan Tujuan Pendidikan Politik Masa Kini
Menumbuhkan kembali semangat kebangsaan, cinta tanah air, kebanggaan berbangsa dan bernegara, menyegarkan kembali jiwa yang cinta damai dan cinta kemerdekaan. Menjunjung tinggi ideologi negara dan menghormati kepada pemerintah disertai tawakal kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sedangkan yang menjadi tujuan pendidikan politik bagi generasi muda sebagaimana tercantum dalam Inpres No. 12 tahun 1982 adalah sebagai berikut:
Tujuan pendidikan politik ini ialah menciptakan generasi muda Indonesia yang sadar akan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai salah satu usaha untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya yang perwujudannya akan tercermin dalam sejumlah ciri watak dan kepribadiannya sebagai berikut:
Sadar akan hak dan kewajiban serta tanggung jawab terhadap kepentingan bangsa dan negara yang terutama diwujudkan melalui keteladanan.
Secara sadar taat pada hukum dan Undang-Undang Dasar.
Memiliki disiplin pribadi, sosial, dan nasional.
Berpandangan jauh ke depan serta memiliki tekad perjuangan untuk mencapai kehidupan yang lebih maju, yang didasarkan kepada kemampuan objektif bangsa.
Secara sadar mendukung sistem kehidupan nasional secara demokratis.
Aktif dan kreatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya dalam usaha.
Aktif menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dengan kesadaran akan keanekaragaman bangsa.
Sadar akan perlunya pemeliharaan lingkungan hidup dan alam secara selaras, serasi, dan seimbang.
Mampu melaksanakan penilaian terhadap gagasan, nilai, serta ancaman yang bersumber dari luar Pancasila dan UUD 1945 atas dasar pola pikir atau penalaran logis mengenai Pancasila dan UUD 1945.
Hal ini berarti melalui kegiatan pendidikan politik diharapkan terbentuk warga negara yang berkepribadian utuh, berketerampilan, sekaligus juga berkesadaran yang tinggi sebagai warga negara yang baik, sadar akan hak dan kewajiban serta memiliki tanggung jawab yang dilandasi oleh nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Proses pencapaian tujuan pendidikan politik tersebut tidak dapat dilihat secara langsung namun memerlukan waktu yang cukup lama, hal ini disebabkan karena pendidikan politik berhubungan dengan aspek sikap dan perilaku seseorang.

oleh: H. Endang Sumantri
Guru Besar Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
sumber :http://www.setneg.go.id

Wednesday, February 1, 2012

Rumah Pintar dan PKBM, Tidak Sama Tapi Serupa

Munculnya rumah pintar sempat dipertanyakan oleh sebagian pegiat pendidikan nonformal. Namun demikian menurut saya hal tersebut tidak perlu ditanggapi dengan sikap skeptis. Memang, PKBM memiliki posisi hukum yang kuat karena diakui sebagai satuan pendidikan nonformal dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Bukan berarti satuan pendidikan nonformal lainnya tidak boleh muncul dan berkembang.

Saya menganalogikan PKBM dan rumah pintar sebagai tidak sama tapi serupa. Bukannya serupa tapi tidak sama. Esensi dari kedua satuan pendidikan nonformal ini adalah menjadi sebagai pusat belajar bagi lingkungannya. Keduanya mempunyai misi yang sama, yaitu meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang kurang terjangkau oleh layanan pendidikan. Perluasan akses pendidikan pada komunitas masyarakat terpencil dan marjinal dibutuhkan agar masyarakat tidak mengalami ketertinggalan dengan daerah lainnya. Perluasan akses pendidikan tidak melulu pada jalur pendidikan formal namun pada jalur pendidikan nonformal dan informal. Pada tingkatan inilah keserupaan kedua satuan pendidikan nonformal ini.

Berbagai komunitas juga membentuk satuan pendidikan nonformal sejenis, atau lebih tepat disebut sebagai lembaga, dengan menamakan diri sebagai sekolah alam, sekolah dolan, omah pasinaon dan lain sebagainya. Intinya komunitas ini membentuk satuan pendidikan untuk menampung aspirasi pendidikan masyarakat di lingkungannya yang kurang mendapatkan akses yang layak. Sebagian dari mereka mengenalkan sebagai salah satu bentuk pendidkan alternatif selain pendidikan formal.

Bedanya dengan rumah pintar berbagai bentuk komunitas belajar ini tidak menasional dan difasilitasi secara penuh oleh pemerintah. Karena rumah pintar diinisiasi oleh SIKIB (Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu/istri para menteri) maka lebih mudah mendapatkan akses dan diperluas kepada komunitas belajar di seluruh Indonesia.

Ide rumah pintar berasal dari Aliya Rajasa (kini menantu SBY) yang terinspirasi program mobil pintar Ibu Ani Yudoyono. Bersama temannya di ITB Aliya menulis surat kepada Ani Yudoyono tentang ide rumah pintar. Aliya menjalankan program rumah pintar di Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ani Yudhoyono sangat terkesan dengan program Rumah Pintar karena berhasil mengangkat perekonomian masyarakat Ciwidey. Di sana Aliya memberikan pelatihan pembuatan yoghurt dari susu sapi milik warga.

Memperhatikan ide awal pembentukan rumah pintar sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh PKBM selama ini. Jika saja saat menginspirasi kegiatan di Ciwedey Aliya bersentuhan dengan PKBM, bisa dimungkinkan sekarang yang mendapatkan dukungan program dari SIKIB adalah PKBM.

Perkembangan selanjutnya format rumah pintar dikembangkan menjadi seperti yang sekarang ini, dengan mengadopsi dan mengembangkan program mobil pintar. Rumah pintar digagas untuk mengakomodasi pengembangan masyarakat gemar belajar (learning society) dan belajar sepanjang hayat (lifelong learning).

Adapun tujuan rumah pintar adalah:

Meningkatkan minat baca masyarakat, terutama ibu anak anak usia 4-15 tahun dan juga remaja.
Memfasilitasi pengembangan kualitas pendidikan masyarakat, terutama ibu dan anak yang lingkungan belajarnya kekurangan sumber belajar.
Memfasilitasi belajar di luar sekolah.
Mengoptimalkan potensi anak menggunakan pendekatan multiple intelligence.
Menanamkan nilai positif keanekaragaman lingkungan sosial dan budaya setempat.
Membantu program pemerintah dalam peningkatan kwalitas hidup masyarakat melalui pemberantasan buta huruf, lifeskills dan penguasaan information and communication technology.
Untuk mencapai tujuan di atas, maka rumah pintar mengembangkan 5 (lima) sentra sebagai sentra kegiatan belajar, meliputi:

Sentra Buku, yaitu pusat penyediaan dan pelayanan buku-buku bacaan. Kegiatan di sentra buku bertujuan untuk mengenalkan anak dengan buku, membangun minat baca dan menambah cakrawala pengetahuan anak. Contoh kegiatannya adalah: (a) persiapan membaca, menulis serta berhitung untuk anak pra sekolah; (b) menulis surat, membuat puisi dan cerita, menyusun kata serta mencocokkan gambar untuk anak yang sudah bisa baca tulis;
Sentra Bermain, yaitu pusat penyediaan dan pelayanan permainan edukatif bagi tumbuh kembang anak. Kegiatan di sentra ini menyuguhkan fasilitas pembelajaran dengan pendekatan yang menyenangkan, sehingga anak dapat menggali pengetahuan dan mengembangkan semua potensi kreatif yang dimilikinya.
Sentra Panggung, yaitu pusat penyediaan dan pelayanan ruang beraktivitas dan berkreasi bagi anak dan masyarakat berupa tempat pentas dan tempat pemutaran VCD. Kegiatan pembelajaran di sentra ini dirancang untuk merangsang beragam eksplorasi sehingga dapat memicu kreatifitas, keberanian dan spontanitas berekspresi.
Sentra Komputer, yaitu pusat penyediaan dan pelayanan teknologi komunikasi dan informasi agar masyarakat melek teknologi. Kegiatan di sentra komputer bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada anak tentang teknologi informasi dan dapat bermain sambil belajar dengan menggunakan komputer.
Sentra Kriya, yaitu pusat penyediaan dan pelayanan keterampilan dan kecakapan hidup lainnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kegiatan di sentra kriya merupakan sarana pemberdayaan masyarakat yang difokuskan untuk memberikan keterampilan hidup dan vokasional peserta dalam berkarya sambil bekerja sehingga dapat menumbuhkan sikap kewirausahaan yang mandiri.
Kegiatan yang dapat difasilitasi rumah pintar meliputi: membaca buku, membaca dan menonton secara interaktif melalui layar computer, menonton VCD secara pasif, bermain dengan alat permainan, bermain peran, berkesenian dan berapresiasi menonton kegiatan di panggung serta pengembangan keterampilan dan kecakapan hidup bagi remaja dan ibu usia produktif.

Bentuk kegiatan di atas jelas berbeda dengan yang dikembangkan oleh PKBM yang lebih cenderung mengacu kepada program seperti pendidikan kesetaraan (Paket A, Paket B dan Paket C), pendidikan keaksaraan fungsional, kelompok bermain (PAUD), dan pendidikan kecakapan hidup. Namun demikian jika diperhatikan esensi tujuan kegiatannya sama, mengembangkan masyarakat gemar belajar dan belajar sepanjang hayat.

Bisakah PKBM mengakses program rumah pintar? Dalam Petunjuk Teknis Rintisan Rumah Pintar disebutkan bahwa PKBM bisa mengajukan dana bantuan umah pintar namun dengan persyaratan bersedia merubah kelembagaannya menjadi rumah pintar. Berbeda ketika PKBM akan mengakses dana bantuan rintisan Balai Belajar Bersama (RB3) tidak perlu merubah kelembagaannya. Karena RB3 akan menjadi bagian dari program PKBM. Sama persis ketika PKBM mengakses dana bantuan Taman Bacaan Masyarakat (TBM), karena TBM akan menjadi bagian dari program PKBM.

Karena itulah saya katakan bahwa PKBM dan rumah pintar adalah sama tapi tidak serupa.

sumber : http://fauziep.blogdetik.com