Friday, January 7, 2011

Pendidikan Orang Dewasa dalam Masyarakat Belajar (learning community)

Pendidikan secara umum adalah sebagai suatu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak dan budi mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pada intinya pendidikan adalah suatu proses yang disadari untuk mengembangkan potensi individu sehingga memiliki kecerdasan pikir, emosional, berwatak dan berketerampilan untuk siap hidup ditengah-tengah masyarakat. Prinsip dasar dari pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia, mengembangkan potensi dasar peserta didik agar berani dan mampu menghadapi problema yang dihadapi tanpa rasa tertekan, mampu, dan senang meningkatkan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi, sehingga terdorong untuk memelihara diri sendiri maupun hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Pendidikan atau belajar adalah sebagai proses menjadi dirinya sendiri (process of becoming) bukan proses untuk dibentuk (process of beings haped) menurut kehendak orang lain, maka kegiatan belajar harus melibatkan individu atau client dalam proses pemikiran apa yang mereka inginkan, mencari apa yang dapat dilakukan untuk memenuhi keinginan itu, menentukan tindakan apa yang harus dilakukan, dan merencanakan serta melakukan apa saja yang perlu dilakukan untuk mewujudkan keputusan itu. Dapat dikatakan disini tugas pendidik pada umumnya adalah menolong orang belajar bagaimana memikirkan diri mereka sendiri, mengatur urusan kehidupan mereka sendiri dan mempertimbangkan pandangan dan interest orang lain. Dengan singkat menolong orang lain untuk berkembang dan matang. Dalam andragogi, keterlibatan orang dewasa dalam proses belajar jauh lebih besar, sebab sejak awal harus diadakan suatu diagnosa kebutuhan, merumuskan tujuan, dan mengevaluasi hasil belajar serta mengimplementasikannya secara bersama-sama. Berdasarkan
pengertian ini pembelajaran dapat dipandang sebagai suatu kegiatan pendidikan disamping bimbingan dan latihan

Dalam membantu penyediaan pendidikan bagi masyarakat yang karena sesuatu hal tidak terlayani dalam jalur sekolah formal. Secara konsep pendidikan nonformal harus bertumpu pada kebutuhan masyarakat, bukan pada keinginan pemerintah (Aliasar 2005). Artinya bahwa sebelum program pendidikan masyarakat dikembangkan perlu dipahami dengan benar apa dan bagaimana kebutuhan masyarakat sesungguhnya. Untuk itu perlu kajian analisis kebutuhan (need assesment) sehingga program yang disuguhkan kepada masyarakat betul-betul mereka butuhkan dan ditunjang dengan sumber daya alam sekitarnya yang dapat menunjang kepada kompetensi yang mereka miliki. Begitupun untuk pengelolaannya harus diserahkan pada masyarakat, dominasi pemerintah harus dikurangi.

Pendidikan berbasis masyarakat pada dasarnya dirancang oleh masyarakat untuk membelajarkan dirinya sendiri melalui interaksi dengan lingkungannya, dan dengan demikian konsep pendidikan berbasis masyarakat menjadi “dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat”. Menurut Young, (1980) mengatakan bahwa pendidikan berbasis masyarakat menekankan pada pentingnya pemahaman akan kebutuhan masyarakat dan cara pemecahan oleh masyarakat dengan menggunakan potensi yang ada di lingkungannya. Aspek yang sangat penting dalam pendidikan berbasis masyarakat anatara lain pendidikan sepanjang hayat, keterlibatan masyarakat, keterlibatan organisasi kemasyarakatan, dan pemanfaatan sumber daya yang kurang termanfaatkan sebagai tempat sosial.

Selain itu, Brookfield (1987) membandingkan antara pendidikan berbasis masyarakat (community-based education) dengan pendidikan berbasis sekolah (school-based education). Antara lain ditunjukkan bahwa kurikulum pendidikan berbasis masyarakat terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari, masalah yang diangkat harus relevan dengan kebutuhan masyarakat, urutan pembelajarannya tergantung pada warga belajar, waktu belajarnya fleksibel, menggunakan konsep keterampilan fungsional, menggunakan pendekatan andragogi (pendidikan orang dewasa), dan tidak mengutamakan ijazah.

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah pendidikan yang berada di masyarakat, pendidikan yang menjawab kebutuhan masyarakat, dikelola oleh masyarakat, memanfaatkan fasilitas yang ada di masyarakat, dan menuntut partisipasi masyarakat.

Metode pembelajaran orang dewasa
Konsep dan metode pembelajaran orang dewasa adalah dengan membelajarkan orang dewasa melalui pendidikan orang dewasa harus dilakukan dengan metode dan strategi yang sesuai yang disebut dengan metode andragogi. Orang dewasa sebagai siswa dalam kegiatan belajar tidak dapat diperlakukan seperti anak-anak didik biasa yang sedang duduk di bangku sekolah tradisional. Harus dipahami bahwa orang dewasa yang tumbuh sebagai pribadi dan memiliki kematangan konsep diri bergerak dari ketergantungan seperti yang terjadi pada masa kanak-kanak menuju ke arah kemandirian atau pengarahan diri sendiri.

Oleh sebab itu, harus dipahami bahwa, orang dewasa yang tumbuh sebagai pribadi dan memiliki kematangan konsep diri bergerak dari ketergantungan seperti yang terjadi pada masa kanak-kanak menuju ke arah kemandirian atau pengarahan diri sendiri.

Salah satu aspek penting dalam pendidikan saat ini yang perlu mendapat perhatian adalah mengenai konsep pendidikan untuk orang dewasa. Tidak selamanya kita berbicara dan mengulas di seputar pendidikan murid sekolah yang relatif berusia muda. Kenyataan di lapangan, bahwa tidak sedikit orang dewasa yang harus mendapat pendidikan baik pendidikan informal maupun nonformal, misalnya pendidikan dalam bentuk keterampilan, kursus-kursus, penataran dan sebagainya.

Masalah yang sering muncul adalah bagaimana kiat, dan strategi membelajarkan orang dewasa yang notabene tidak menduduki bangku sekolah. Kematangan psikologi orang dewasa sebagai pribadi yang mampu mengarahkan diri sendiri ini mendorong timbulnya kebutuhan psikologi yang sangat dalam yaitu keinginan dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi yang mengarahkan dirinya sendiri, bukan diarahkan, dipaksa dan dimanipulasi oleh orang lain. Dengan begitu apabila orang dewasa menghadapi situasi yang tidak memungkinkan dirinya menjadi dirinya sendiri maka dia akan merasa dirinya tertekan dan merasa tidak senang. Karena orang dewasa bukan anak kecil, maka pendidikan bagi orang dewasa tidak dapat disamakan dengan pendidikan anak sekolah. Perlu dipahami apa pendorong bagi orang dewasa belajar, apa hambatan yang dialaminya, apa yang diharapkannya, bagaimana ia dapat belajar paling baik dan sebagainya (Lunandi, 1987).

Pemahaman terhadap perkembangan kondisi psikologi orang dewasa tentu saja mempunyai arti penting bagi para pendidik dan tenaga pendidik pendidikan nonformal dalam menghadapi orang dewasa sebagai siswa. Berkembangnya pemahaman kondisi psikologi orang dewasa semacam itu tumbuh dalam teori yang dikenal dengan nama andragogi. Andragogi sebagai ilmu yang memiliki dimensi yang luas dan mendalam akan teori belajar dan cara mengajar. Secara singkat teori ini memberikan dukungan dasar yang esensial bagi kegiatan pembelajaran orang dewasa. Oleh sebab itu, pendidikan atau usaha pembelajaran orang dewasa memerlukan pendekatan khusus dan harus memiliki pegangan yang kuat akan konsep teori yang didasarkan pada asumsi atau pemahaman orang dewasa sebagai siswa.

Kegiatan pendidikan baik melalui jalur formal ataupun luar nonformal memiliki daerah dan kegiatan yang beraneka ragam. Pendidikan orang dewasa terutama pendidikan masyarakat bersifat nonformal sebagian besar dari siswa atau pesertanya adalah orang dewasa, atau paling tidak pemuda atau remaja. Oleh sebab itu, kegiatan pendidikan memerlukan pendekatan tersendiri. Dengan menggunakan teori andragogi kegiatan atau usaha pembelajaran orang dewasa dalam kerangka pembangunan atau realisasi pencapaian cita-cita pendidikan seumur hidup dapat diperoleh dengan dukungan konsep teoritik atau penggunaan teknologi yang dapat dipertanggung jawabkan.

Salah satu masalah dalam pengertian andragogi adalah pandangannya yang mengemukakan bahwa tujuan pendidikan itu bersifat mentransmisikan pengetahuan. Tetapi di lain dengan perubahan yang yang sangat cepat seperti inovasi dan perkembangan teknologi, perubahan sistem, budaya, ekonomi, dan perkembangan politik. Maka pengetahuan yang diperoleh seseorang ketika remaja akan menjadi usang ketika ia dewasa. Hal ini menuntut perubahan yang berkelanjutan (sustainability) bagi pendidik.


Prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa
Prinsip-prinsip pembelajaran orang dewasa dan kendala –kendala yang sering dialami dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut;
1. Pada banyak praktek, pembelajaran untuk orang dewasa dilakukan sama saja dengan pemelajaran anak. Prinsip-prinsip dan asumsi yang berlaku bagi pendidikan anak dianggap dapat diberlakukan bagi kegiatan pendidikan orang dewasa. Hampir semua yang diketahui mengenai belajar ditarik dari penelitian belajar yang terkait dengan anak. Begitu juga mengenai mengajar, ditarik dari pengalaman mengajar anak-anak misalnya dalam kondisi wajib hadir dan semua teori mengenai transaksi guru dan siswa didasarkan pada suatu definisi pendidikan sebagai proses pemindahan kebudayaan. Namun, orang dewasa dengan berbagai latar belakang budaya adalah sebagai pribadi yang sudah matang, dan mempunyai kebutuhan lain dalam hal menetapkan daerah belajar di sekitar problem hidupnya. Mereka merasa malu untuk belajar, apalagi kalau yang mengajar mereka lebih muda dari mereka.
2. Pendidikan orang dewasa dapat diartikan sebagai keseluruhan proses pendidikan yang diorganisasikan, mengenai apapun bentuk isi, tingkatan status dan metoda apa yang digunakan dalam proses pendidikan tersebut, baik formal maupun non-formal, baik dalam rangka kelanjutan pendidikan di sekolah maupun sebagai pengganti pendidikan di sekolah, di tempat kursus, pelatihan kerja maupun di perguruan tinggi, yang membuat orang dewasa mampu mengembangkan kemampuan, keterampilan, memperkaya khasanah pengetahuan, meningkatkan kualifikasi keteknisannya atau keprofesionalannya dalam upaya mewujudkan kemampuan ganda yakni di suatu sisi mampu mengembangankan pribadi secara utuh dan dapat mewujudkan keikutsertaannya dalam perkembangan sosial budaya, ekonomi, dan teknologi secara bebas, seimbang, dan berkesinambungan.
3. Pertumbuan orang dewasa dimulai pertengahan masa remaja (adolescence) sampai dewasa, di mana setiap individu tidak hanya memiliki kecenderungan tumbuh kearah menggerakkan diri sendiri tetapi secara aktual dia menginginkan orang lain memandang dirinya sebagai pribadi yang mandiri yang memiliki identitas diri. Dengan begitu orang dewasa tidak menginginkan orang memandangnya apalagi memperlakukan dirinya seperti anak-anak. Dia mengharapkan pengakuan orang lain akan otonomi dirinya, dan dijamin ketentramannya untuk menjaga identitas dirinya dengan penolakan dan ketidaksenangan akan setiap usaha orang lain untuk menekan, memaksa, dan manipulasi tingkah laku yang ditujukan terhadap dirinya. Tidak seperti anak-anak yang beberapa tingkatan masih menjadi objek pengawasan, pengendalian orang lain yaitu pengawasan dan pengendalian orang dewasa yang berada di sekeliling, terhadap dirinya.
4. Pendidikan atau belajar, orang dewasa bukan lagi menjadi obyek sosialisasi yang seolah-olah dibentuk dan dipengaruhi untuk menyesuaikan dirinya dengan keinginan memegang otoritas di atas dirinya sendiri, akan tetapi tujuan kegiatan belajar atau pendidikan orang dewasa tentunya lebih mengarah kepada pencapaian pemantapan identitas dirinya sendiri untuk menjadi dirinya sendiri; atau, kalau meminjam istilah Rogers dalam Knowles (1983), kegiatan belajar bertujuan mengantarkan individu untuk menjadi pribadi atau menemuan jati dirinya. Dalam hal belajar atau pendidikan merupakan process of becoming a person. Bukan proses pembentukan atau process of being shaped yaitu proses pengendalian dan manipulasi untuk sesuai dengan orang lain; atau, kalau meminjam istilah Maslow (1966), belajar merupakan proses untuk mencapai aktualiasi diri (self-actualization).

Uraian di atas sesuai dengan konsepsi Rogers dalam Knowlws (1983) mengenai belajar lebih bersifat client centered. Dalam pendekatan ini Roger mendasarkan pada beberapa hipotesa berikut ini yang merupakan rekomendasi dalam proses pelaksanaan pendidikan yang mengandung pendidikan:
1.Bahwa setiap individu hidup dalam dunia pengalaman yang selalu berubah dimana dirinya sendiri adalah sebagai pusat, dan semua orang mereaksi seperti dia mengalami dan mengartikan pengalaman itu. Ini berarti bahwa dia menekankan bahwa makna yang datang dari makna yang dimiliki. Dengan begitu, belajar adalah belajar sendiri dan yang tahu seberapa jauh dia telah menguasai sesuatu yang dipelajari adalah dirinya sendiri. Dengan hipotesa semacam ini maka dalam kegiatan belajar, keterlibatan peserta didik secara aktif mempunyai kedudukan sangat penting dan mendalam.
2.Seseorang belajar dengan penuh makna hanya apabila sesuatu yang dia pelajari bermanfaat dalam pengembangan struktur dirinya. Hal ini menekankan pentingnya program belajar yang relevan dengan kebutuhannya, yaitu yang memberi manfaat bagi dirinya. Artinya tidak sekedar memperoleh pengetahuan, tetapi yang lebih pokok adalah memperoleh keteramplian yang dapat menunjang hidupnya saat itu.
3.Penciptaan iklim yang menyenangkan, penerimaan, dan saling bantu dengan menanamkan kepercayaan dan tanggung jawab.
4.Perbedaan persepsi setiap individu diberikan perlindungan. Ini berarti di samping perlunya memberikan iklim belajar yang aman, juga perlu pengembangan otonomi kepada setiap individu.

Dalam hal ini, terkandung di dalamnya perwujudan yang ingin dikembangkan dalam aktivitas kegiatan pendidikan. Pertama untuk mewujudkan pencapaian perkembangan setiap individu, dan kedua untuk mewujudkan peningkatan keterlibatannya (partisipasinya) dalam aktivitas sosial dari setiap individu yang bersangkutan. Tambahan pula, bahwa pendidikan mencakup segala aspek pengalaman belajar yang diperlukan,

Dengan demikian hal itu dapat berdampak positif terhadap keberhasilan pembelajaran yang tampak pada adanya perubahan perilaku ke arah pemenuhan pencapaian kemampuan/keterampilan yang memadai. Di sini, setiap individu yang berhadapan dengan individu lain akan dapat belajar bersama dengan penuh keyakinan. Perubahan perilaku dalam hal kerjasama dalam berbagai kegiatan, merupakan hasil dari adanya perubahan setelah adanya proses belajar, yakni proses perubahan sikap yang tadinya tidak percaya diri menjadi perubahan kepercayaan diri secara penuh dengan menambah pengetahuan atau keterampilannya. Perubahan perilaku terjadi karena adanya perubahan (penambahan) pengetahuan atau keterampilan serta adanya perubahan sikap mental yang sangat jelas, dalam hal pendidikan tidak cukup hanya dengan memberi tambahan pengetahuan, tetapi harus dibekali juga dengan rasa percaya yang kuat dalam pribadinya. Pertambahan pengetahuan saja tanpa kepercayaan diri yang kuat, niscaya mampu melahirkan perubahan ke arah positif berupa adanya pembaharuan baik fisik maupun mental secara nyata, menyeluruh dan berkesinambungan.

Perubahan perilaku dalam pembelajaran terjadi melalui adanya proses pendidikan yang berkaitan dengan perkembangan dirinya sebagai individu, dan dalam hal ini, sangat memungkinkan adanya partisipasi dalam kehidupan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan diri sendiri, maupun kesejahteraan bagi orang lain, disebabkan produktivitas yang lebih meningkat. Bagi peserta didik pemenuhan kebutuhannya sangat mendasar, sehingga setelah kebutuhan itu terpenuhi ia dapat beralih ke arah usaha pemenuhan kebutuhan lain yang lebih masih diperlukannya sebagai penyempurnaan hidupnya.

Artinya setiap individu wajib terpenuhi kebutuhannya yang paling dasar (sandang dan pangan), sebelum ia mampu merasakan kebutuhan yang lebih tinggi sebagai penyempurnaan kebutuhan dasar tadi, yakni kebutuhan keamanaan, penghargaan, harga diri, dan aktualisasi dirinya. Bilamana kebutuhan paling dasar yakni kebutuhan fisik berupa sandang, pangan, dan papan belum terpenuhi, maka setiap individu belum membutuhkan atau merasakan apa yang dinamakan sebagai harga diri. Setelah kebutuhan dasar itu terpenuhi, maka setiap individu perlu rasa aman jauh dari rasa takut, kecemasan, dan kekhawatiran akan keselamatan dirinya, sebab ketidakamanan hanya akan melahirkan kecemasan yang berkepanjangan. Kemudian kalau rasa aman telah terpenuhi, maka setiap individu butuh penghargaan terhadap hak azasi dirinya yang diakui oleh setiap individu di luar dirinya. Jika kesemuanya itu terpenuhi barulah individu itu merasakan mempunyai harga diri. Dalam kaitan ini, tentunya pendidikan orang dewasa yang memiliki harga diri dan jati dirinya membutuhkan pengakuan, dan itu akan sangat berpengaruh dalam proses belajarnya. Secara psikologis, dengan mengetahui kebutuhan orang dewasa sebagai peserta kegiatan pendidikan/pelatihan, maka akan dapat dengan mudah dan dapat ditentukan kondisi belajar yang harus diciptakan, isi materi apa yang harus diberikan, strategi, teknik serta metode apa yang cocok digunakan.

Dalam kegiatan pendidikan atau belajar, orang dewasa bukan lagi menjadi obyek sosialisasi yang seolah-olah dibentuk dan dipengaruhi untuk menyesuaikan dirinya dengan keinginan memegang otoritas di atas dirinya sendiri, akan tetapi tujuan kegiatan belajar atau pendidikan orang dewasa tentunya lebih mengarah kepada pencapaian pemantapan identitas dirinya sendiri untuk menjadi dirinya sendiri; atau, kalau meminjam istilah Rogers dalam Knowles (1983), kegiatan belajar bertujuan mengantarkan individu untuk menjadi pribadi atau menemuan jati dirinya. Dalam hal belajar atau pendidikan merupakan process of becoming a person. Bukan proses pembentukan atau process of being shaped yaitu proses pengendalian dan manipulasi untuk sesuai dengan orang lain; atau, kalau meminjam istilah Maslow (1966), belajar merupakan proses untuk mencapai aktualiasi diri (self-actualization).

Seperti telah disebutkan di atas bahwa dalam diri orang dewasa sebagai siswa yang sudah tumbuh kematangan konsep dirinya timbul kebutuhan psikologi yang mendalam yaitu keinginan dipandang dan diperlakukan orang lain sebagai pribadi utuh yang mengarahkan dirinya sendiri. Namun, tidak hanya orang dewasa tetapi juga pemuda atau remaja juga memiliki kebutuhan semacam itu. Sesuai teori Peaget (1959) mengenai perkembangan psikologi dari kurang lebih 12 tahun ke atas individu sudah dapat berfikir dalam bentuk dewasa yaitu dalam istilah dia sudah mencapai perkembangan pikir formal operation. Dalam tingkatan perkembangan ini individu sudah dapat memecahkan segala persoalan secara logik, berfikir secara ilmiah, dapat memecahkan masalah-masalah verbal yang kompleks atau secara singkat sudah tercapai kematangan struktur kognitifnya. Dalam periode ini individu mulai mengembangkan pengertian akan diri (self) atau identitas (identitiy) yang dapat dikonsepsikan terpisah dari dunia luar di sekitarnya. Berbeda dengan anak-anak, di sini remaja (adolescence) tidak hanya dapat mengerti keadaan benda-benda di dekatnya tetapi juga kemungkinan keadaan benda-benda itu di duga. Dalam masalah nilai-nilai remaja mulai mempertanyakan dan membanding-bandingkan. Nilai-nilai yang diharapkan selalu dibandingkan dengan nilai yang aktual. Secara singkat dapat dikatakan remaja adalah tingkatan kehidupan dimana proses semacam itu terjadi, dan ini berjalan terus sampai mencapai kematangan.

Dengan begitu jelaslah kiranya bahwa setiap orang (tidak hanya orang dewasa) memiliki kemampuan memikirkan dirinya sendiri, dan menyadari bahwa terdapat keadaan yang bertentangan antara nilai-nilai yang dianut dan tingkah laku orang lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan sejak pertengaham masa remaja individu mengembangkan apa yang dikatakan "pengertian diri" (sense of identity).

Selanjutnya, Rogers (1983) mengembangkan konsep andragogi atas empat asumsi pokok yang berbeda dengan pedagogi. Keempat asumsi pokok itu adalah sebagai berikut.

Asumsi Pertama, seseorang tumbuh dan matang konsep dirinya bergerak dari ketergantungan total menuju ke arah pengarahan diri sendiri. Atau secara singkat dapat dikatakan pada anak-anak konsep dirinya masih tergantung, sedang pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian konsep dirinya inilah orang dewasa membutuhkan penghargaan orang lain sebagai manusia yang dapat mengarahkan diri sendiri. Apabila dia menghadapi situasi dimana dia tidak memungkinkan dirinya menjadi self directing maka akan timbul reaksi tidak senang atau menolak.

Asumsi kedua, sebagaimana individu tumbuh matang akan mengumpulkan sejumlah besar pengalaman dimana hal ini menyebabkan dirinya menjadi sumber belajar yang kaya, dan pada waktu yang sama memberikan dia dasar yang luas untuk belajar sesuatu yang baru. Oleh karena itu, dalam teknologi andragogi terjadi penurunan penggunaan teknik transmital seperti yang dipakai dalam pendidikan tradisional dan lebih-lebih mengembangkan teknik pengalaman (experimental-technique). Maka penggunaan teknik diskusi, kerja laboratori, simulasi, pengalaman lapangan, dan lainnya lebih banyak dipakai.

Asumsi ketiga, bahwa pendidikan itu secara langsung atau tidak langsung, secara implisit atau eksplisit, pasti memainkan peranan besar dalam mempersiapkan anak dan orang dewasa untuk memperjuangkan eksistensinya di tengah masayarakat. Karena itu, sekolah dan pendidikan menjadi sarana ampuh untuk melakukan proses integrasi maupun disintegrasi sosial di tengah masyarakat (Kartini Kartono, 1992). Sejalan dengan itu, kita berasumsi bahwa setiap individu menjadi matang, maka kesiapan untuk belajar kurang ditentukan oleh paksaan akademik dan perkembangan biologisnya, tetapi lebih ditentukan oleh tuntutan-tuntutan tugas perkembangan untuk melakukan peranan sosialnya. Dengan perkataan lain, orang dewasa belajar sesuatu karena membutuhkan tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi peranannya apakah sebagai pekerja, orang tua, pimpinan suatu organisasi, dan lain-lain. Kesiapan belajar mereka bukan semata-mata karena paksaan akademik, tetapi karena kebutuhan hidup dan untuk melaksanakan tugas peran sosialnya.

Asumsi keempat, bahwa anak-anak sudah dikondisikan untuk memiliki orientasi belajar yang berpusat pada mata pelajaran (subject centered orientation) karena belajar bagi anak seolah-olah merupakan keharusan yang dipaksakan dari luar. Sedang orang dewasa berkecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan masalah kehidupan (problem-centered-orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi masalah hidupnya.
Pembahasan

Pembelajaran yang diberikan kepada orang dewasa dapat efektif (lebih cepat dan melekat pada ingatannya), bilamana pembimbing (tutor, pengajar, pamong, instruktur, dan sejenisnya) tidak terlalu mendominasi kelompok kelas, mengurangi banyak bicara, namun mengupayakan agar individu orang dewasa itu mampu menemukan alternatif-alternatif untuk mengembangkan kepribadian mereka. Seorang pembimbing yang baik harus berupaya untuk banyak mendengarkan dan menerima gagasan seseorang, kemudian menilai dan menjawab pertanyaan yang diajukan mereka. Orang dewasa pada hakekatnya adalah makhluk yang kreatif bilamana seseorang mampu menggerakkan/menggali potensi yang ada dalam diri mereka. Dalam upaya ini, diperlukan keterampilan dan kiat khusus yang dapat digunakan dalam pembelajaran tersebut. Di samping itu, orang dewasa dapat dibelajarkan lebih aktif apabila mereka merasa ikut dilibatkan dalam aktivitas pembelajaran, terutama apabila mereka dilibatkan memberi sumbangan pikiran dan gagasan yang membuat mereka merasa berharga dan memiliki harga diri di depan sesama temannya. Artinya, orang dewasa akan belajar lebih baik apabila pendapat pribadinya dihormati, dan akan lebih senang kalau ia boleh sumbang saran pemikiran dan mengemukakan ide pikirannya, daripada pembimbing melulu menjejalkan teori dan gagasannya sendiri kepada mereka.
Percaya diri

Oleh karena sifat belajar bagi orang dewasa adalah bersifat subjektif dan unik, maka terlepas dari benar atau salahnya, segala pendapat, perasaan, pikiran, gagasan, teori, sistem nilainya perlu dihargai. Tidak menghargai (meremehkan dan menyampingkan) harga diri mereka, hanya akan mematikan gairah belajar orang dewasa. Namun demikian, pembelajaran orang dewasa perlu pula mendapatkan kepercayaan dari pembimbingnya, dan pada akhirnya mereka harus mempunyai kepercayaan pada dirinya sendiri. Tanpa kepercayaan diri tersebut, maka suasana belajar yang kondusif tak akan pernah terwujud.
Sistem nilai

Orang dewasa memiliki sistem nilai yang berbeda, mempunyai pendapat dan pendirian yang berbeda. Dengan terciptanya suasana yang baik, mereka akan dapat mengemukakan isi hati dan isi pikirannya tanpa rasa takut dan cemas, walaupun mereka saling berbeda pendapat. Orang dewasa mestinya memiliki perasaan bahwa dalam suasana/ situasi belajar yang bagaimanapun, mereka boleh berbeda pendapat dan boleh berbuat salah tanpa dirinya terancam oleh sesuatu sanksi (dipermalukan, pemecatan, cemoohan, dll). Dalam konteks ini harus dipahami latar belakang dan budaya mereka, serta kondisi ekonominya.
Keterbukaan

Keterbukaan seorang pembimbing sangat membantu bagi kemajuan orang dewasa dalam mengembangkan potensi pribadinya di dalam kelas, atau di tempat pelatihan. Sifat keterbukaan untuk mengungkapkan diri, dan terbuka untuk mendengarkan gagasan, akan berdampak baik bagi kesehatan psikologis, dan psikis mereka. Di samping itu, harus dihindari segala bentuk akibat yang membuat orang dewasa mendapat ejekan, hinaan, atau dipermalukan. Jalan terbaik hanyalah diciptakannya suasana keterbukaan dalam segala hal, sehingga berbagai alternatif kebebasan mengemukakan ide/gagasan dapat diciptakan.

Dalam hal lainnya, tidak dapat dinafikan bahwa orang dewasa belajar secara khas dan unik. Faktor tingkat kecerdasan, kepercayaan diri, dan perasaan yang terkendali harus diakui sebagai hak pribadi yang khas sehingga keputusan yang diambil tidak harus selalu sama dengan pribadi orang lain. Kebersamaan dalam kelompok tidak selalu harus sama dalam pribadi, sebab akan sangat membosankan kalau saja suasana yang seakan hanya mengakui satu kebenaran tanpa adanya kritik yang memperlihatkan perbedaan tersebut. Oleh sebab itu, latar belakang pendidikan, latar belakang kebudayaan, dan pengalaman masa lampau masing-masing individu dapat memberi warna yang berbeda pada setiap keputusan yang diambil.

Bagi orang dewasa, terciptanya suasana belajar yang kondusif merupakan suatu fasilitas yang mendorong mereka mau mencoba perilaku baru, berani tampil beda, dapat berlaku dengan sikap baru dan mau mencoba pengetahuan baru yang mereka peroleh. Walaupun sesuatu yang baru mengandung resiko terjadinya kesalahan, namun kesalahan, dan kekeliruan itu sendiri merupakan bagian yang wajar dari belajar.

Pada akhirnya, orang dewasa ingin tahu apa arti dirinya dalam kelompok belajar itu. Bagi orang dewasa ada kecenderungan ingin mengetahui kekuatan dan kelemahan dirinya. Dengan demikian, diperlukan adanya evaluasi bersama oleh seluruh anggota kelompok dirasakannya berharga untuk bahan renungan, di mana renungan itu dapat mengevaluasi dirinya dari orang lain yang persepsinya bisa saja memiliki perbedaan.

Kerjasama
Untuk itu perlu dikembangkan konsep Masyarakat Belajar (learning community). Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Ketika seorang anak baru belajar memainkan game pada alat elektroniknya, ia bertanya kepada temannya “Bagaimana caranya? Tolong bantuin, aku!” Lalu temannya yang sudah biasa, menunjukkan cara mengoperasikan alat itu. Maka, dua orang itu sudah membentuk masyarakat belajar (learning community). Hal-hal seperti ini menjadi penting sebagai sebuah konsep dasar dalam pembelajaran pada pendidikan nonformal.

Hasil belajar diperoleh dari ‘sharing’ antara teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu. Di ruang ini, di kelas ini, disekitar sini, juga orang-orang yang ada di luar sana, semua adalah anggota masyarakat belajar. Dalam kelompok-kelompok yang anggotanya hetorogen seharusnya anak yang terampil/kaya ide membantu yang tidak mampu, yang pandai mengajari yang lemah dan begitu seterusnya. Proses ini akan memberikan perubahan perilaku (entering behavior).

Dalam interaksi seperti ini dalam “Masyarakat belajar” perlu komunikasi dua arah. “Seorang pendidik yang mengajar siswanya” bukan contoh masyarakat belajar karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari pendidik ke arah siswa, tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari pendidik yang datang dari arah siswa. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok (atau lebih) yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar.

Hubungannya dengan masyarakat belajar adalah;
1.Untuk membantu masyarakat menghadapi sesuatu secara objektif
2.Untuk memperlengkapi orang dewasa dengan keterampilan memecahkan masalah
3.Untuk membantu masyarakat dalam merubah kondisi sosial mereka
4.Untuk membantu masyarakat memperoleh informasi yang diperlukan guna melengkapi kehidupan mereka.

Kegiatan saling belajar (kerjasama) ini bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa sungkan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak harus saling mendengarkan. Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang lain bisa manjadi sumber belajar, dan ini berarti bahwa setiap orang akan sangat kaya dengan pengetahuan dan pengalaman.

Artinya dalam membentuk masyarakat belajar, konsep pilar belajar dari UNESCO (1996:71) perlu dikembangkan seperti; learning to know, learning to do, learning to be, learning to life together, and learning to believe in God, yang merupakan akumulasi dari berbagai pengetahuan keterampilan yang diperoleh sejak masa kanak-Manusia yang telah dibekali dengan pilar Learning to know akan memiliki sejumlah pengetahuan dan ketrampilan berpikir. Gabungan pengetahuan dan ketrampilan berpikir tersebut dapat dikembangkannya untuk kemampuan berbuat, meningkatkan kualitas diri, kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain, dan peningkatan kualitas hidup sebagai makhluk yang beragama. 2) Learning to do, dalam kehidupan manusia adalah adanya dorongan untuk berkreasi, memecahkan masalah dan mengadakan inovasi-inovasi. Dasar ini berangkat dari adanya pengetahuan yang dimiliki yang digunakannya untuk identitas dirinya dan kemaslahatan orang banyak berdasarkan kepercayaan yang dimilikinya. 3) Learning to be, menjadikan manusia hidup mandiri tanpa adanya ketergantungan pada pihak lain. Berdasarkan hal ini, manusia mempunyai kebebasan untuk mendapatkan sesuatu atau bertindak. Atas dasar ini manusia tersebut bebas memilih ilmu apa yang ingin didapatkannya, bebas menentukan dalam bekerjasama dengan orang lain yang didasarkan atas norma-norma atau ajaran agama yang dianutnya. 4) Learning to live together, bahwa manusia mempunyai keselarasan hidup di tengah-tengah masyarakat. Secara bersama-sama mampu mendapatkan sejumlah pengetahuan, mampu berbuat secara bersama-sama dengan tetap menghargai perbedaan individu dan potensi masing-masing dalam kerangka bekerja bersama. Seluruh pekerjaan tersebut dapat dipertangjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. 5) learning to believe in God, bahwa manusia mempunyai pegangan yang universal dalam berhubungan dengan lingkungannya dan berhubungan dengan penciptanya. Dalam artian ini bahwa pengetahuan yang dicari seseorang harus dapat memberi manfaat untuk isi alam itu sendiri, dan bagaimana mengelolanya untuk kebaikan bersama secara berkelanjutan (sustainable), yang secara religius dapat dipertanggungjawabkannya kepada Yang Maha Kuasa.

Seluruh pilar-pilar di atas merupakan kerangka dasar yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran orang dewasa dalam rangka mendorong terwujudnya struktur dan kultur masyarakat belajar sepanjang hayat, sehingga setiap orang nantinya akan memiliki kualitas hidup. Hal ini sejalan dengan amanat undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, bahwa; Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Daftar Pustaka
Aliasar (2005). Diskriminasi Dalam Pelayanan Pendidikan pada Sekolah Inklusif. Makalah disampaikan pada Seminar Analisis dengan peserta dari Dinas / Instansi terkait dalam pengembangan pPendidikan Nasional., Padang.
Aliasar dan Jamaris Jamna (2005). Catatan dari bahan perkuliahan Pendidikan Berkelanjutan. Padang: Program Doktor Pascasarjana-UNP.
Maslow, Abraham H.1966, Motivation And Personality, New York : Harper And Row Publishers.
Piaget, J. (1970). Genetic Epistemology. New York: Columbia University Press
Rogers, Everett M.1983. Diffusion of Inovation, London : MacMillan Pub.
Komisi Internasional Tentang Pendidikan untuk abad XXI, 1996, Belajar : Harta Karun di Dalamnya, Laporan Kepada UNESCO, Jakarta, Komisis Nasional Indonesia untuk UNESCO

UU.Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, BP. Cipta Jaya

Young, Kimbal. 1980 Social Psychology, Apleton Century
Berbagai sumber Internet.

(Drs. Harizal, M.Pd)

0 comments: