Tuesday, January 25, 2011

Model Pendidikan Keaksaraan: Pembelajaran Individual Berbasis Rekrutmen Sekuensial

Sampai saat ini program pendidikan keaksaraan masih digayuti berbagai persoalan sebagai akibat pelaksanaannya di lapangan menggunakan top-down approach, pendekatan struktural. Artinya, program berpusat pada pemerintah, terutama dalam hal regulasi penyelenggaraan, pengaturan anggaran, dan ketentuan batasan waktu penyelenggaraannya. Selain itu, hal penting yang memengaruhi kualitas hasil belajar yang rendah adalah pendekatan pembelajaran konvensional, yaitu pembelajaran yang masih berpusat pada teacher, tidak mengakomodasi perbedaan karakteristik dan kompetensi keaksaraan yang ada pada learners.

Penyelenggaraan program seperti tersebut di atas cenderung menghasilkan output yang secara kuantitatif tinggi, tetapi sekedar memenuhi target administratif. Pada akhir penyelenggaraan dan pembelajaran warga belajar hanya mendapatkan sertifikat sebagai tanda bukti telah mengikuti program pendidikan keaksaraan yang rendah kualitasnya, bersifat mekanis, dan lebih mementingkan aspek politis, misalnya memercepat deklarasi melek aksara. Penyelenggaraan program kurang memerhatikan aspek lain yang bersifat teknis, seperti pembelajaran yang memadukan substansi keaksaraan dan kecakapan hidup, serta pertimbangan mengenai pemanfaatan hasil pembelajaran bagi warga belajar di dalam kehidupan sehari-hari.

Kelemahan penyelenggaraan dengan top-down approach lainnya adalah pola pembelajaran teacher-centered yang tidak mengakomodasi perbedaan yang terdapat pada tiap individu/ warga belajar, yaitu: 1) kemampuan keaksaraan awal; 2) motivasi belajar; 3) kebutuhan belajar; 4) bakat yang dapat dikembangkan; 5) potensi yang dapat diberdayakan; 6) peluang yang dapat dimanfaatkan; 7) tingkat ekonomi; dan 8. usia warga belajar. Selain itu, warga belajar dengan kemampuan dasar akademis yang berbeda tidak seharusnya diperlakukan dengan mekanisme yang sama.

Perubahan situasi kondisi pada saat ini berdampak pada jumlah sasaran didik menjadi semakin sedikit, karena faktor mortalitas dan meningkatnya kemampuan pe-merintah dalam memberikan layanan program pendidikan keaksaraan. Sebaran sisa sasaran yang tidak merata menjadi permasalahan baru dalam penyelenggaraan pro-gram pendidikan keaksaraan yang bersifat top-down approach yang memerlukan penanganan secara khusus.

Fakta penting lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan program pendi-dikan keaksaraan secara konvensional adalah hasil belajar yang belum berpengaruh pada kehidupan warga belajar pasca-pembelajaran keaksaraan. Hal ini terbukti belum adanya peningkatan ekonomi pendapatan dan taraf kehidupan dalam kehidupan sehari-hari warga belajar walaupun mereka telah selesai mengikuti pembelajaran dan mendapatkan sertifikat keaksaraan. Seharusnya, keberaksaraan sebagai hasil pem-belajaran tetap ditempatkan sebagai tujuan antara, bukan tujuan akhir program, sedangkan tujuan utamanya adalah keberdayaan masyarakat di dalam kehidupan memanfaatkan keberaksaraan yang dikuasainya.

Berdasar pada fakta-fakta sebagaimana tersebut di atas, Pusat Pengem-bangan Pendidikan Nonformal dan Informal (P2PNFI) Regional 2 Semarang pada tahun 2009 mengembangkan model pendidikan keaksaraan yang meliputi rekrutmen pembelajaran sampai dengan aplikasi hasil belajarnya di dalam kehidupan sehari-hari. Model ini dimaksudkan bukan semata-mata menemukembangkan inovasi pada pem-belajarannya, tetapi juga pada berbagai komponen lain yang ada di dalamnya. Pengembangan model ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif pilihan untuk mengatasi kebutuhan penyelenggaraan dan pembelajaran program pendidikan keaksaraan yang efektif dan efisien dari sisi kuantitas dan kualitas.

oleh: Tim Pengembang Keaksaraan P2PNFI- Semarang

0 comments: