Wednesday, August 24, 2011

Melatih Otak Anak dengan "Brain Fitness"

Tahukah Anda bahwa otak anak bisa dilatih untuk menjadi lebih tajam? Lecturer and Consultant BrainFit Studio Singapura, Regina Chin mengatakan, masih ada harapan untuk membuat kerja otak anak menjadi lebih baik. Salah satunya dengan memahami pentingnya brain fitness serta kognitif profil anak bagi orangtua. Hal itu disampaikannya dalam seminar parenting dan educators workshop "Different Child, Different Brain, Different Needs", di Jakarta, beberapa hari lalu.

Regina menjelaskan, brain fitness adalah kegiatan melatih otak untuk mempunyai kemampuan yang optimal dan menggali semua potensi. Ibarat mendaki sebuah gunung, maka dibutuhkan kemampuan lebih. Sama halnya dengan otak. Banyak sel di dalamnya yang dapat kita latih untuk dapat bekerja lebih cepat dan lebih tajam lagi. Karena pada dasarnya otak kita semua telah siap jika hanya untuk melakukan aktivitas keseharian.

“Jadi sebagai orangtua kita mau memberitahukan bahwa ada harapan, ada cara-cara yang bisa membantu anak-anak menjadi lebih baik sedini mungkin,” kata Regina kepada Kompas.com.

Ia menambahkan, banyak cara untuk melatih kekuatan otak, dan semua harus disesuaikan dengan kelemahannya. Misalnya anak-anak yang mengalami kesulitan dalam membaca atau susah berkomunikasi, maka anak tersebut harus terus berlatih, yaitu latihan penalaran supaya otak anak-anak dapat jauh lebih tajam dan bisa berkomunikasi dengan baik.

“Tetapi jika kelemahannya disebabkan hal lain, misalnya sulit berkonsentrasi atau koordinasinya kurang, tentu ada jenis latihan lain. Intinya adalah brain pilar, visual, audithory, sensor motorik, attention and memory, serta social emotional,” ujarnya.

Selain itu, Regina juga menyinggung soal visual tracking, yaitu kemampuan visual kita untuk melacak tentang apa yang kita lihat. Bukan hanya apa yang ada di depan, tetapi juga di semua sisi yang secara tidak sadar sebenarnya sudah kita lacak dengan cepat. Ia mengungkapkan, setiap orang mempunyai kemampuan melacak yang berbeda-beda, jika kemampuan melacak seorang anak tergolong lambat, maka itu akan berdampak anak tersebut tidak bisa memahami bacaan secara cepat dan atau bahkan anak tersebut menjadi tidak mengerti dengan apa yang dibacanya.

“Misalnya saat kita mengemudikan mobil, kita melihat keadaan dibelakang, di samping dan disitulah kemampuan visual tracking diperlukan. Intinya adalah mengajak anak untuk bekomunikasi sebanyak mungkin. Karena jika kuat di bahasa, terutama mendengar maka itulah kunci keberhasilan akademik anak-anak,” jelasnya.

sumber : edukasi.kompas.com

Yuk, Ajak Si Kecil "Baby Gym"!

Usia 3 hingga 6 bulan merupakan salah satu fase awal dari pertumbuhan anak. Agar potensi pertumbuhan, perkembangan dan kecerdasan anak menjadi optimal, para ibu disarankan melakukan stimulasi. Salah satunya adalah dengan melakukan senam bayi atau baby gym untuk merangsang aspek motorik.

"Karena tubuh terbungkus dari otot, dengan melatih motorik maka akan membuat otot anak menjadi lebih lentur, aliran darah mengalir lebih lancar, sehingga skill-nya akan optimal," kata psikolog Sani B. Hermawan, Sabtu (31/10/01) di sela acara Smart Parents Conference Jakarta.

Selain mudah dan gratis, menurut Sani, manfaat dari baby gym adalah membuat anak menjadi rileks, bersemangat sekaligus mengoptimalkan keseimbangan otak.

Secara prinsip, jelas Sani, teknik senam bayi dilakukan dengan menggerakan anggota tubuh secara bergantian.

"Tangan kanan menyentuh kaki kiri, tangan kiri menyentuh kaki kanan. Fungsinya ialah menyeimbangkan antara otak kanan dan kiri. Sehingga tidak hanya salah satu bagian yang berkembang. Dan apabila otak kanan dan kiri sudah seimbang perasaan dan logika ikut seimbang, maka tumbuh kembangnya pun ikut seimbang," kata Sani.

Waktu paling tepat untuk melakukan senam bayi adalah di saat pagi hari dengan durasi antara 5 hingga 15 menit setiap hari.

Berikut ini adalah beberapa gerakan dalam senam bayi :

Posisi telentang 1. Gerakan 1: - Pegang jari-jari tangan bayi. - Gerakkan kedua lengannya menyilang di atas dada, lalu kembalikan ke samping tubuhnya. - Lakukan secara bergantian letak lengan yang saling menyilang.

2. Gerakan 2: - Pegang jari-jari tangan bayi. Rasakan genggaman tangannya pada ibu jari Anda. - Rentangkan lengan kirinya setinggi bahu dan sejauh mungkin ke arah atas. Gerakkan kembali ke samping tubuh. - Lakukan gerakan ini secara bergantian antara lengan kiri dan lengan kanan. Masing-masing 3 - 5 ulangan.

Manfaat gerakan 1 dan 2 posisi telentang: - Melatih genggaman tangan bayi makin kuat. - Meningkatkan kekuatan otot lengan atas, bahu dan punggung atas. - Melenturkan otot untuk digerakkan ke segala arah.

Posisi tengkurap 1. Gerakan 1: - Tidurkan bayi dengan posisi miring ke sisi kanan. - Tekuk tungkai kanannya. - Luruskan lengan kanan bayi seperti hendak mengambil mainan di sisi kanan. - Bantu dengan tangan Anda yang menekan dan mendorong bokong dan punggung bayi secara perlahan-lahan.

Manfaat gerakan 1 posisi tengkurap: - Melatih bayi meraih dalam posisi menyilang. - Melatih perubahan berat badan dalam posisi menyilang. - Menstimulasi gerakan berguling (rolling) ke arah perut. - Koordinasi tangan dan mata.

2. Gerakan 2: - Baringkan bayi dengan posisi tengkurap. - Pegang kedua tungkai bawah bayi di daerah betis dengan ibu jari Anda pada bagian depan dan keempat jari lainnya di bagian belakang. - Angkat tungkai kanan bawah bayi ke atas dengan perut tetap menempel di alas. Lakukan bergantian dengan tungkai kiri.

3. Gerakan 3: - Baringkan bayi dengan posisi tengkurap. - Angkat kaki kanannya menyilang ke kaki kiri sampai telapak kakinya menapak. - Kembalikan ke posisi semula. Lakukan bergantian dengan kaki kirinya.

4. Gerakan 4: - Pertemukan kedua telapak kaki bayi sampai saling menempel. - Buka kedua telapak kaki dengan sisi-sisi dalam kaki tetap menempel satu sama lain. - Lakukan gerakan seperti buka tutup.

Manfaat gerakan 2 - 4 posisi tengkurap : - Meningkatkan kekuatan otot perut dan tulang belakang bagian bawah. - Menambah kemampuan gerak serta kelenturan otot tubuh bayi.

Selain meningkatkan perkembangan motorik, manfaat lain baby gym adalah : • Menguatkan otot-otot dan persendian. • Meningkatkan koordinasi dan keseimbangan (balance). • Meningkatkan fleksibilitas atau daya kelenturan tubuh. • Meningkatkan kemampuan dan keterampilan fungsi anggota gerak tubuh. • Memperlancar peredaran darah dan menguatkan jantung. • Meningkatkan ketahanan tubuh. • Meningkatkan kewaspadaan. • Memperkuat interaksi antara orang tua dan bayi.

sumber : edukasi.kompas.com

Mainan Tepat bisa Bangkitkan Kecerdasan Anak

Para ahli perkembangan anak setuju, bahwa mainan anak yang tepat sesuai usianya bisa bantu anak lebih cerdas dan memaksimalkan perkembangan otaknya. Namun, pilihan mainan anak di luar sana sungguh sangat banyak. Membuat para orangtua kebingungan memilih mainan apa yang tepat untuk anak.

Sandra Gordon, penulis Consumer Reports Best Baby Products, mengatakan, bahwa kunci memilih mainan dan aktivitas yang tepat untuk melatih perkembangan otak anak adalah dengan memilih yang sesuai level perkembangan si anak itu sendiri. Ketika Anda memilih mainan yang tepat, berarti Anda berbicara dengan bahasa yang sama dengan si bayi.

Ia menyarankan untuk memilih mainaan yang sesuai dengan usia anak agar tidak membuatnya frustasi. Bayi, tertarik pada barang yang bergerak dan bersuara. Jadi, menggoyangkan mainan berbunyi atau kunci akan menstimulasi mereka. Semakin mereka beranjak dewasa, Gordon merekomendasikan mainan bertekstur yang bisa disentuh dan remas, seperti boneka lembut.

Berikut adalah mainan dan kebisaan anak sesuai tahapan perkembangannya dari situs WebMD:

Dari lahir hingga 4 bulan
Lakukan aktivitas:
* Membaca untuknya,
* Membuat mimik wajah yang berlainan,
* Mengelitikinya,
* Memindahkan obyek yang dilihat bayi perlahan-lahan,
* Menyanyikan lagu anak-anak dengan frase yang diulang,
* Menceritakan aktivitas Anda saat bersamanya. Misal; "Adik sudah mandi, sudah wangi. Sekarang Mama taburin minyak telon di perut Adik supaya hangat. Sekarang Mama mau kasih bedak di badan Adik supaya wangi."

Usia 4-6 bulan
* Bantu bayi untuk memeluk boneka binatang,
* Tumpuk barang-barang seperti blok plastik dan biarkan si kecil menjatuhkannya,
* Mainkan musik dengan ritme berbeda,
* Tunjukkan buku dengan warna-warni terang kepada si bayi,
* Biarkan si bayi mengenal barang dengan tekstur yang berbeda.

Usia 6-18 bulan
* Bicaralah dan berinteraksi berhadapan untuk meningkatkan koneksi antara suara dan kata-kata,
* Tunjuk orang-orang yang ia kenal dan sering lihat sambil mengulang namanya,
* Nyanyikan lagu-lagu dengan kalimat berulang serta gerakan tangan,
* Bermain petak umpet yang ringan, seperti menutup matanya atau menutup wajah Anda dan kejutkan ia dari balik kain dan sebagainya.

Usia 18-24 bulan
* Main tunjuk bendanya. Misal, "Mana mobil berwarna merah? Mana permen warna hijau?" Atau, Anda bisa memintanya mengambilkan barang yang ada dekatnya, misal, "Mama minta tolong diambilkan bedaknya, dong, Dik."
* Bicaralah langsung kepada si bayi secara langsung,
* Kenalkan si anak kepada alat-alat menulis, seperti krayon dan kertas,
* Tanyakan pertanyaan "dimana dan apa" saat membacakan dongeng untuk anak,
* Dorong anak untuk bermain mandiri dengan mainan favoritnya.

Usia 24-36 bulan
* Berikan pujian pada anak dan dorongan saat ia bermain untuk melatih kemampuan motoriknya,
* Dorong ia dengan memberitahunya cara lain dalam menggunakan mainannya,
* Bantu anak untuk melakukan kegiatan harian, seperti bermain bicara di telepon, mengendarai mobil, mengadakan acara minum teh,
* Saat membaca buku, ajak si anak untuk ikut dalam ceritanya dengan menanyakan pertanyaan berhubungan dengan cerita, tunjukkan kata-kata pada saat membaca pada anak, sambil membantunya mengenali arti kata itu sambil didemonstrasikan jika memungkinkan.

Usia 3-5 tahun
* Ajarkan untuk berbagi dengan contoh,
* Mainkan permainan papan untuk mengajarkan tentang peraturan dan keahlian,
* Batasi waktu menonton televisi menjadi 1-2 jam per hari dan menontonlah bersama si kecil untuk membuatnya menjadi acara yang interaktif,
* Saat si kecil makin mahir, tawarkan pilihan yang sederhana, misal, memilih mau membaca buku atau bermain puzzle,
* Batasi penggunaan kata "jangan" dan dorong ia untuk mengeksplorasi dan mendorong keingintahuannya,
* Berikan rasa hormat dan perhatian, serta tunjukkan kesabaran saat si kecil berusaha menjelaskan pengalamannya,
* Sisihkan waktu setiap hari bersama si kecil untuk mendiskusikan apa saja yang telah ia lalui hari itu, dan dorong si kecil untuk menjelaskan dan mengeksplorasi pengalaman barunya.

sumber : WebMD


5 Aspek Perkembangan Anak

Setiap orangtua tentunya ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya. Tetapi kadang bagaimana bisa yakin apa yang diberikan itu sudah cukup? Sani B. Hermawan, psikolog dan direktur Lembaga Daya Insani, dalam peluncuran kemasan baru susu Gain Plus dan Gain School dari Abbot Nutrition beberapa waktu lalu di Mall of Indonesia, Minggu, 30 Januari 2011, mengatakan bahwa ada 5 aspek perkembangan anak usia 1-5 tahun yang perlu diketahui oleh para orangtua secara garis besar. Berikut ini kelima hal tersebut:

1. Fisik
Lengkap bagian tubuh dan fungsi, Berat Badan dan Tinggi Badan sesuai umur.
BB (1-6 tahun) = umur (tahun) x 2 + 8
TB = umur (tahun) x 5 + 80

2. Motorik (kasar-halus)
Refleks, kemampuan motorik kasar, dan kemampuan motorik halus.

3. Bahasa
Perkembangan bahasa:
6 bulan: Bergumam.
12-18 bulan: Menirukan suara.
18-24 bulan: Mengucapkan kata.
30-36 bulan: Tata bahasa mirip orang dewasa.

4. Kognisi
* Sensorimotor (0-2 tahun).
* Praoperasional (2-7 tahun).
* Konkret operasional (7-11 tahun).
* Formal operasional (11 tahun ke atas).

5. Emosi-Sosial
* Memiliki kelekatan yang kuat dengan ibu atau dengan pengasuh.
* Egosentris.
* Interaksi dengan lingkungan lebih luas.
* Mulai belajar untuk keterampilan menghasilkan sesuatu, seperti yang diharapkan lingkungannya.

sumber: edukasi.kompas.net

5 Cara Menstimulasi Potensi Anak

Menurut Sani B. Hermawan, psikolog dan direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, tahun pertama hingga ketiga usia anak (baca: 1-3 tahun: Usia Penting Tumbuh Kembang Anak) merupakan periode emas kehidupan anak untuk bertumbuh dan berkembang. Pada usia tersebut, anak sedang dalam proses membentuk dirinya. Pengembangan kognisi serta emosi pada usia dini ciptakan fondasi paling hakiki si kecil. Peran orangtua di sini sangat penting, mulai dari pemberian nutrisi yang lengkap dan seimbang, hingga membantu si kecil mencapai perkembangan mental dan daya kognisi yang optimal (baca: 5 Aspek Perkembangan Anak)

Dilanjutkan Sani, dalam acara "Wall of Gain Moment", peluncuran kemasan baru susu Gain Plus dan Gain School dari Abbot beberapa waktu lalu di Mall of Indonesia, Minggu, 30 Januari 2011, potensi anak bisa digali lewat stimulasi. Berikut ini 5 cara untuk menstimulasi potensi anak, yakni:

1. Permainan gerak atau permainan fungsi
Yaitu permainan yang dilaksanakan dengan gerakan tujuan melatih fungsi organ tubuh dan panca indera. Misal: melempar benda, menggerak-gerakkan kaki, meremas benda, identifikasi suara, bunyi, dan lainnya.

2. Permainan fantasi/peran
Yaitu permainan yang dipengaruhi oleh fantasi seorang anak. Misal: berperan sebagai ayah/ibu, dokter, nelayan, dan lain sebagainya.

3. Permainan problem solving
Permainan yang mengandung kecerdasan/keterampilan berpikir. Yang melibatkan penyelesaian masalah, misalnya; menjawab teka-teki atau menemukan jawaban dalam suatu masalah, dan lainnya.

4. Permainan bentuk
Mencoba membentuk (konstruktif) suatu karya atau memugarnya (destruktif) suatu karya karena ingin mengetahui komponen atau ingin mengubahnya.

5. Permainan kelompok (team work)
Contoh, membuat yel-yel atau membangun menara.

sumber: edukasi.kompas.com

10 Makanan untuk Kecerdasan Anak

Penelitian membuktikan, kekurangan 1 mineral dan vitamin yang penting untuk otak bisa menurunkan kesiagaan mental otak. Pola makan yang kaya buah dan sayuran, gandum, ditambah dengan daging dan ikan dapat mencukupi kebutuhan mineral dan vitamin utama yang diperlukan bagi kesehatan fisik dan mental.

Apa saja bahan makanan yang dapat merangsang pertumbuhan sel-sel otak, memperbaiki fungsinya, meningkatkan daya ingat dan konsentrasi serta berpikir anak-anak? Berikut 10 bahan makanan yang dianjurkan oleh dr Saridian Satrix W, SpGK:

1. Salmon
Salmon merupakan sumber terbaik asam lemak omega 3 -DHA dan EPA- yang keduanya penting bagi pertumbuhan dan perkembangan fungsi otak. Riset terbaru juga menunjukkan, orang yang memperoleh asupan asam lemak lebih banyak memiliki pikiran lebih tajam dan mencatat hasil memuaskan dalam uji kemampuan. Kandungan asam lemak omega 3 untuk per 100 gram ikan salmon adalah 2,2 gram. Kebutuhan anak-anak akan omega 3 per hari adalah 1,2 gram.

2. Telur
Telur dikenal sebagai sumber penting protein yang relatif murah dan harganya cukup terjangkau. Bagian kuning telur ternyata padat akan kandungan kolin, suatu zat yang dapat membantu perkembangan memori atau daya ingat. Kandungan kolin dalam 1 butir telur berukuran besar adalah 126 mg. Bandingkan dengan 2 sendok makan selai kacang yang hanya mengandung 20 mg dan 300 gram daging sapi degan kandungan 66 mg kolin. Kebutuhan anak-anak akan kolin 200-375 mg per hari.

3. Selai kacang
Kacang tanah (peanut) yang banyak diolah menjadi selai kacang merupakan salah satu sumber vitamin E. Vitamin ini merupakan sumber antioksidan yang dapat melindungi membran-membran sel saraf. Bersama thiamin, vitamin E membantu otak dan sistem saraf dalam penggunaan glukosa untuk kebutuhan energi. Setiap 2 sendok makan selai kacang mengandung 2,9 mg vitamin E, sedangkan kebutuhan anak-anak per hari antara 4-10 mg.

4. Kacang-kacangan lain
Kacang adalah makanan spesial sebab makanan ini memiliki energi yang berasal dari protein serta karbohidrat kompleks. Selain itu, kacang kaya akan kandungan serat, vitamin, dan mineral. Kacang juga makanan yang baik untuk otak karena mereka dapat mempertahankan energi dan kemampuan berpikir anak-anak pada puncaknya di sore hari jika dikonsumsi saat maakn siang. Menurut hasil penelitian, kacang merah dan kacang pinto mengandung lebih banyak asam lemak omega 3 daripada jenis kacang lainnya, khususnya ALA, jenis asal omega 3 yang penting bagi pertumbuhan dan fungsi otak.

5. Gandum murni
Otak membutuhkan suplai atau sediaan glukosa dari tubuh yang sifatnya konstan. Gandum murni memiliki kemampuan untuk mendukung kebutuhan tersebut. Serat yang terkandung dalam gandum murni dapat membantu mengatur pelepasan glukosa dalam tubuh. Gandum juga mengandung vitamin B yang berfungsi memelihara kesehatan sistem saraf. Gandum mengandung vitamin B sebanyak 1,5 mg per 100 gram. Sedangkan kebutuhan vitamin B pada anak-anak adalah 1 mg per hari.

6. Havermut
Havermut merupakan salah satu jenis sereal paling populer di kalangan anak-anak dan kaya akan gizi penting bagi otak. Havermut dapat menyediakan energi atau bahan bakar untuk otak yang sangat dibutuhkan anak-anak mengawali aktivitasnya di pagi hari. Kaya akan kandungan serat, havermut akan menjaga otak anak terpenuhi kebutuhannya di sepanjang pagi. Havermut juga merupakan sumber vitamin E, vitamin B, potasium,d an seng yang membuat tubuh dan otak berfungsi pada kapasitas penuh. Kandungan vitamin E pada 250 gram havermut adalah 0,08 mg. Kandungan vitamin B 0,26 mg per 250 gram havermut dan seng 6,19 mg per 250 gram havermut.

7. Beri
Kelompok keluarga beri (stroberi, ceri, bluberi), semakin kuat warnanya semakin banyak zat gizi yang dikandungnya. Beri mengandung antioksidan kadar tinggi, khususnya vitamin C, yang berfaedah mencegah kanker. Beberapa riset menunjukkan mereka yang mendapatkan ekstrak bluberi dan stroberi mengalami perbaikan dalam fungsi daya ingatnya. Biji dari buah beri ini juga ternyata kaya akan asam lemak omega 3.

8. Sayuran berwarna
Tomat, ubi jalar merah, labu, wortel, dan bayam adalah sayuran yang kaya gizi dan sumber antioksidan yang akan membuat sel-sel otak kuat dan sehat.

9. Susu dan yoghurt
Makanan yang berasal dari produk susu mengandung protein dan vitamin B tinggi. Dua jenis zat gizi ini penting bagi pertumbuhan jaringan otak, neurotransmitter, dan enzim. Susu dan yoghurt juga bisa membuat perut kenyang karena kandungan protein dan karbohidratnya sekaligus menjadi sumber energi bagi otak.

10. Daging sapi tanpa lemak
Zat besi adalah jenis mineral esensial yang akan membantu anak-anak tetap berenergi dan berkonsentrasi di sekolah. Daging sapi tanpa lemak adalah salah satu sumber makanan yang mengandung banyak zat besi. Kandungan zat besi dalam 100 gram daging sapi adalah 4,05 mg. Sedangkan kebutuhan akan zat besi pada anak-anak adalah 3-10 mg per hari.

Oleh :(Utami Sri Rahayu/Tabloid Nakita)

Wednesday, August 17, 2011

Rekayasa sosial budaya terhadap perubahan perilaku diet dalam upaya mengatasi permasalahan gizi buruk di Indonesia

Salah satu masalah sosial yang dihadapi Indonesia adalah rendahnya status gizi masyarakat. Hal ini mudah dilihat, misalnya dari berbagai masalah gizi, seperti kurang gizi, anemia gizi besi, gangguan akibat kekurangan yodium, dan kurang vitamin A. Rendahnya status gizi jelas berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Oleh karena, status gizi memengaruhi kecerdasan, daya tahan tubuh terhadap penyakit, kematian bayi, kematian ibu, dan produktivitas kerja.

Program gizi yang kini telah diimplementasikan oleh pemerintah mempunyai beberapa sasaran. Pertama, menurunkan prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi 20 persen. Kedua, menurunkan prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak menjadi kurang dari 5 persen. Ketiga, menurunkan anemia gizi besi pada ibu hamil menjadi 40 persen. Keempat, tidak ditemukannya kekurangan vitamin A (KVA) klinis pada anak balita dan ibu hamil. Kelima, meningkatkan jumlah rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium menjadi 90 persen. Keenam, tercapainya konsumsi gizi seimbang dengan rata-rata konsumsi energi sebesar 2.200 kkal per kapita per hari dan protein 50 gram per kapita per hari.

Indonesia harus menelan ”pil pahit” karena hanya sebagian kecil dari penduduknya yang kebutuhan gizinya tercukupi. National Socio-Economic Survey (Susenas) mencatat, pada tahun 1989 saja ada lebih dari empat juta penderita gizi buruk adalah anak-anak di bawah usia dua tahun. Padahal menurut ahli gizi, 80 persen proses pembentukan otak berlangsung pada usia 0-2 tahun.

Ada sekitar 7,6 juta anak balita mengalami kekurangan gizi akibat kekurangan kalori protein. Itu data yang dihimpun Susenas empat tahun lalu. Bukan tidak mungkin saat ini jumlahnya meningkat tajam karena krisis ekonomi yang berkepanjangan ditambah dengan masalah pangan yang sulit didapat. Bahkan menurut United Nations Children’s Fund (Unicef) saat ini ada sekitar 40 persen anak Indonesia di bawah usia lima tahun (balita) menderita gizi buruk.
Seorang anak yang pada usia balita kekurangan gizi akan mempunyai Intellegent Quotient (IQ) lebih rendah 13-15 poin dari anak lain pada saat memasuki sekolah. Perkembangan otak anak usia balita sangat ditentukan oleh faktor makanan yang dikonsumsi. Zat gizi seperti protein, zat besi, berbagai vitamin, termasuk asam lemak omega 3 adalah pendukung kecerdasan otak anak. Zat-zat itu bisa didapat dari makanan sehari-hari seperti ikan, telur, susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, dan sebagainya. Singkatnya, pola makan seorang anak haruslah bervariasi, tidak hanya satu atau dua jenis saja.

Dari diskusi terbatas pada Oktober 2005 di Bappenas, terungkap bahwa pada tahun 2003 prevalensi gizi kurang dan buruk adalah 27,5 persen, mengindikasikan belum tercapainya sasaran (20 persen). Yang menarik, data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) ini agak jauh berbeda dengan data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001-2004. Dengan menggunakan acuan BB/U (berat badan menurut umur), SKRT 2001 menemukan prevalensi gizi kurang sebesar 22,5 persen dan gizi buruk 8,5 persen. Adapun data Susenas menunjukkan prevalensi gizi kurang 19,8 persen dan gizi buruk 6,3 persen. Karena itu, diperlukan harmonisasi data dengan memerhatikan keunggulan dan kelemahan pelaksanaan masing-masing survei.
Hasil survei nasional tahun 1980, 1990, 1996/1998, dan 2003 menunjukkan penurunan prevalensi GAKY yang cukup berarti. Pada tahun 1980, prevalensi GAKY pada anak usia sekolah adalah 30 persen, lalu turun menjadi 27,9 (1990), selanjutnya menjadi 9,8 persen (1996/1998). Survei tahun 2003 menunjukkan, prevalensi ini sedikit meningkat menjadi 11,1 persen.

Usaha-usaha menurunkan prevalensi GAKY mungkin dapat dikatakan sudah on the right track. Pencapaian target GAKY biasanya terkait cakupan konsumsi garam beryodium di rumah tangga. Rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium secara cukup, hingga tahun 2003 adalah 73.2 persen. Jika dibandingkan dengan target tahun 2004 sebesar 90 persen, maka pencapaian sasaran adalah 81,3 persen.
Prevalensi anemia gizi besi (AGB) pada ibu hamil turun dari 50,9 persen (1995) menjadi 40,1 persen (2001). Dengan sasaran yang ingin dicapai 40 persen, maka pencapaian target adalah sebesar 99,75 persen. Intervensi yang dilakukan saat ini masih berkisar pada suplementasi atau pemberian tablet besi. Strategi lain masih belum dioptimalkan seperti fortifikasi besi pada makanan serta penyuluhan.

Banyak wanita hamil yang menderita anemia karena kebutuhan zat gizi umumnya meningkat, tetapi konsumsi makanannya tidak memenuhi syarat gizi. Selain konsumsi makanan yang tidak cukup, kondisi anemia juga diperburuk oleh kehamilan berulang dalam waktu singkat. Cadangan gizi yang belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang dikandung berikutnya. Itulah sebabnya, pengaturan jarak kehamilan menjadi penting untuk diperhatikan sehingga ibu siap hamil kembali tanpa harus menguras cadangan gizi.

Meski dinyatakan bebas xerophthalmia (kurang vitamin A) pada tahun 1992, di Indonesia masih dijumpai 50 persen dari anak balita mempunyai serum retinol kurang dari 20 mcg/100 ml. Tingginya proporsi anak balita dengan serum retinol kurang dari 20 mcg/100 ml disertai pola makanan anak balita yang belum seimbang menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko dan menjadi amat tergantung kapsul vitamin A dosis tinggi, terutama pada daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi.

Masalah kekurangan vitamin A adalah bentuk kelaparan tak kentara yang sering lepas dari perhatian para pengambil kebijakan. WHO memperkirakan, pada tahun 1995 lebih kurang 250 juta anak balita di seluruh dunia menderita kurang vitamin A, 3 juta di antaranya dengan gejala kerusakan mata yang menuju kebutaan. Kira-kira 10 persen kasus orang buta di negara berkembang disebabkan kekurangan vitamin A.

Mereka yang buta karena kurang vitamin A sekitar 70 persennya meninggal dalam waktu satu tahun. Hasil penelitian Tarwotjo, Muhilal, dan Sommer di Sumatera tahun 1980-an yang dipublikasikan di berbagai jurnal internasional mengungkap kaitan kekurangan vitamin A dengan mortalitas dan morbiditas.

Angka kematian bayi terkait erat status gizi anak. Anak-anak penderita gizi kurang umumnya memiliki kekebalan tubuh yang rendah dan hal ini menjadikan dirinya rawan terhadap infeksi yang dapat menyebabkan kematian. Penyakit infeksi yang senantiasa mengintai bayi adalah diare dan infeksi saluran pernapasan.

Dalam hal angka kematian bayi, Indonesia (31/1.000 kelahiran) hanya lebih baik dibandingkan dengan Kamboja (97/1.000) dan Laos (82/1.000). Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kita masih tertinggal. Singapura dan Malaysia memiliki angka kematian bayi amat rendah, masing-masing 3 dan 7 per 1.000 kelahiran. Ini menunjukkan besarnya perhatian negara itu terhadap masalah gizi dan kesehatan yang dihadapi anak-anak.

Berdasarkan pada Susenas 2002, konsumsi kalori rata-rata penduduk 1.985 kkal dan 54,4 gram protein. Angka ini mendekati sasaran yang ditetapkan pemerintah. Namun, ketidakseimbangan di wilayah masih terjadi karena banyak penduduk mengonsumsi kurang dari 70 persen dari kecukupan gizi yang dianjurkan. Ini mengindikasikan, isu ketahanan pangan masih perlu diwaspadai.

Pada tahun 1997, WHO Expert Consultation on Obesity memperingatkan tentang meningkatnya masalah kegemukan dan obesitas di berbagai belahan dunia. Jika tidak ada tindakan untuk mengatasi masalah pandemik ini, jutaan manusia di negara maju maupun berkembang akan menghadapi risiko noncommunicable diseases (NCDs) seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, dan stroke.

Disadari, banyak negara tidak memiliki data akurat mengenai masalah kegemukan dan obesitas di kalangan penduduknya. Hal ini disebabkan kurangnya prioritas untuk memahami masalah kesehatan yang amat serius ini. Apalagi negara-negara berkembang lebih memfokuskan diri pada dimensi masalah gizi kurang.

Berbagai indikator gizi itu menunjukkan, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki kualitas SDM kita. Persoalan kualitas SDM masih ditambah masalah-masalah moral, kejujuran, kedisiplinan yang menjadikan bangsa Indonesia sulit bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Disadari pula bahwa gizi buruk bukan hanya merupakan masalah kesehatan saja, tapi juga terkait dengan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Sebagai landasan bersama dalam mengembangkan program-program lintas sektor yang melibatkan institusi non Pemerintah dan masyarakat secara konkrit, Kementrian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat bekerja sama dengan berbagai sektor telah menyusun Pedoman Umum Program Aksi Nasional Pengembangan Kabupaten/Kota Percontohan dalam Upaya Peningkatan Derajat Kesehatan.

Oleh : Widya Ayu Puspita, SKM.,M.Kes

Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia

Pendahuluan

Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan kurun waktu yang sangat penting dan kritis dalam hal tumbuh kembang fisik, mental, dan psikososial, yang berjalan sedemikian cepatnya sehingga keberhasilan tahun-tahun pertama untuk sebagian besar menentukan hari depan anak. Kelainan atau penyimpangan apapun apabila tidak diintervensi secara dini dengan baik pada saatnya, dan tidak terdeteksi secara nyata mendapatkan perawatan yang bersifat purna yaitu promotif, preventif, dan rehabilitatif akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya (Sunarwati, 2007).

Penyelenggaraan pendidikan pada anak usia dini di negara maju telah berlangsung lama sebagai bentuk pendidikan yang berbasis masyarakat (community based education), akan tetapi gerakan untuk menggalakkan pendidikan ini di Indonesia baru muncul beberapa tahun terakhir. Hal ini didasarkan akan pentingnya pendidikan untuk anak usia dini dalam menyiapkan manusia Indonesia seutuhnya (MANIS), serta membangun masa depan anak-anak dan masyarakat Indonesia seluruhnya (MASIS). Namun sejauh ini jangkauan pendidikan anak usia dini masih terbatas dari segi jumlah maupun aksesibilitasnya. Misalnya, penitipan anak dan kelompok bermain masih terkonsentrasi di kota-kota. Padahal bila dilihat dari tingkat kebutuhannya akan perlakuan sejak dini, anak-anak usia dini di pedesaan dan dari keluarga miskin jauh lebih tinggi guna mengimbangi miskinnya rangsangan intelektual, sosial, dan moral dari keluarga dan orang tua.

Pemerintah telah menunjukkan kemauan politiknya dalam membangunan sumber daya manusia sejak dini. Seperti disampaikan Ibu Megawati (wakil presiden pada saat itu) saat membuka Konferensi Pusat I Masa Bakti VII Ikatan Guru Taman Kanak-Kanak Indonesia. Beliau menegaskan pentingnya pendidikan anak usia dini dalam konsep pembinaan dan pengembangan anak dihubungkan pembentukan karakter manusia seutuhnya. Lebih jauh lagi beliau menyatakan sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan bagi anak di usia dini merupakan basis penentu pembentukan karakter manusia Indonesia di dalam kehidupan berbangsa.

Pernyataan ini menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini sangat penting bagi kelangsungan bangsa, dan perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah. Pendidikan anak usia dini merupakan strategi pembangunan sumber daya manusia harus dipandang sebagai titik sentral mengingat pembentukan karakter bangsa dan kehandalan SDM ditentukan bagaimana penanaman sejak anak usia dini. Pentingnya pendidikan pada masa ini sehingga sering disebut dengan masa usia emas (the golden age).

2.1 Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.

Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.

Saat ini bidang ilmu pendidikan, psikologi, kedokteran, psikiatri, berkembang dengan sangat pesat. Keadaan itu telah membuka wawasan baru terhadap pemahaman mengenai anak dan mengubah cara perawatan dan pendidikan anak. Setiap anak mempunyai banyak bentuk kecerdasan (Multiple Intelligences) yang menurut Howard Gardner terdapat delapan domain kecerdasan atau intelegensi yang dimiliki semua orang, termasuk anak. Kedelapan domain itu yaitu inteligensi music, kinestetik tubuh, logika matematik, linguistik (verbal), spasial, naturalis, interpersonal dan intrapersonal.

Multiple Intelligences ini perlu digali dan ditumbuh kembangkan dengan cara memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan secara optimal potensi-potensi yang dimiliki atas upayanya sendiri (Tientje, 2000).

2.2 Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini dalam Membangun Masa Depan Bangsa

Kondisi SDM Indonesia berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh PERC (Political and Economic Risk Consultancy) pada bulan Maret 2002 menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia berada pada peringkat ke-12, terbawah di kawasan ASEAN yaitu setingkat di bawah Vietnam. Rendahnya kualtias hasil pendidikan ini berdampak terhadap rendahnya kualtias sumber daya manusia Indonesia.

Dalam kondisi seperti ini tentunya sulit bagi bangsa Indonesia untuk mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Pembangunan sumber daya manusia yang dilaksanakan di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan sebagainya, dimulai dengan pengembangan anak usia dini yang mencakup perawatan, pengasuhan dan pendidikan sebagai program utuh dan dilaksanakan secara terpadu. Pemahaman pentingnya pengembangan anak usia dini sebagai langkah dasar bagi pengembangan sumber daya manusia juga telah dilakukan oleh bangsa-bangsa ASEAN lainnya seperti Thailand, Singapura, termasuk negara industry Korea Selatan. Bahkan pelayanan pendidikan anak usia dini di Singapura tergolong paling maju apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.

Di Indonesia pelaksanaan PAUD masih terkesan ekslusif dan baru menjangkau sebagian kecil masyarakat. Meskipun berbagai program perawatan dan pendidikan bagi anak usia dini usia (0-6 tahun) telah dilaksanakan di Indonesia sejak lama, namun hingga tahun 2000 menunjukkan anak usia 0-6 tahun yang memperoleh layanan perawatan dan pendidikan masih rendah. Data tahun 2001 menunjukkan bahwa dari sekitar 26,2 jut anak usia 0-6 tahun yang telah memperoleh layanan pendidikan dini melalui berbagai program baru sekitar 4,5 juta anak (17%). Kontribusi tertinggi melalui Bina Keluarga Balita (9,5%), Taman Kanak-kanak (6,1%), Raudhatul Atfal (1,5%). Sedangkan melalui penitipan anak dan kelompok bermain kontribusinya masing-masing sangat kecil yaitu sekitar 1% dan 0,24%.

Masih rendahnya layanan pendidikan dan perawatan bagi anak usia dini saat ini antara lain disebabkan masih terbatasnya jumla lembaga yang memberikan layanan pendidikan dini jika dibanding dengan jumlah anak usia 0-6 tahun yang seharusnya memperoleh layanan tersebut. Berbagai program yang ada baik langsung (melalui Bina Keluarga Balita dan Posyandu) yang telah ditempuh selama ini ternyata belum memberikan layanan secara utuh, belum bersinergi dan belum terintegrasi pelayanannya antara aspek pendidikan, kesehatan dan gizi. Padahal ketiga aspek tersebut sangat menentukan tingkat intelektualitas, kecerdasan dan tumbuh kembang anak.

Pentingnya pendidikan anak usia dini telah menjadi perhatian dunia internasional. Dalam pertemuan Forum Pendidikan Dunia tahun 2000 di Dakar Senegal menghasilkan enam kesepakatan sebagai kerangka aksi pendidikan untuk semua dan salah satu butirnya adalah memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung, Indonesia sebagai salah satu anggota forum tersebut terikat untuk melaksanakan komitmen ini.

Perhatian dunia internasional terhadap urgensi pendidikan anak usia dini diperkuat oleh berbagai penelitian terbaru tentang otak. Pada saat bayi dilahirkan ia sudah dibekali Tuhan dengan struktur otak yang lengkap, namun baru mencapai kematangannya setelah di luar kandungan. Bayi yang baru lahir memiliki lebih dari 100 milyar neuron dan sekitar satu trilyun sel glia yang berfungsi sebagai perekat serta synap (cabang-cabang neuron) yang akan membentuk bertrilyun-trilyun sambungan antar neuron yang jumlahnya melebihi kebutuhan. Synap ini akan bekerja sampai usia 5-6 tahun. Banyaknya jumlah sambungan tersebut mempengaruhi pembentukan kemampuan otak sepanjang hidupnya. Pertumbuhan jumlah jaringan otak dipengaruhi oleh pengalaman yang didapat anak pada awal-awal tahun kehidupannya, terutama pengalaman yang menyenangkan. Pada fase perkembangan ini akan memiliki potensi yang luar biasa dalam mengembangkan kemampuan berbahasa, matematika, keterampilan berpikir, dan pembentukan stabilitas emosional.

Ada empat pertimbangan pokok pentingnya pendidikan anak usia dini, yaitu: (1) menyiapkan tenaga manusia yang berkualitas, (2) mendorong percepatan perputaran ekonomi dan rendahnya biaya sosial karena tingginya produktivitas kerja dan daya tahan, (3) meningkatkan pemerataan dalam kehidupan masyarakat, (4) menolong para orang tua dan anak-anak.

Pendidikan anak usia dini tidak sekedar berfungsi untuk memberikan pengalaman belajar kepada anak, tetapi yang lebih penting berfungsi untuk mengoptimalkan perkembangan otak. Pendidikan anak usia dini sepatutnya juga mencakup seluruh proses stimulasi psikososial dan tidak terbatas pada proses pembelajaran yang terjadi dalam lembaga pendidikan. Artinya, pendidikan anak usia dini dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja seperti halnya interaksi manusia yang terjadi di dalam keluarga, teman sebaya, dan dari hubungan kemasyarakatan yang sesuai dengan kondisi dan perkembangan anak usia dini.

2.3 Perkembangan Anak Usia Dini

Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa memberikan pendidikan anak usia dini cukup dilakukan oleh orang dewasa yang tidak memerlukan pengetahuan tentang PAUD. Selain itu juga mereka menganggap PAUD tidak memerlukan profesionalisme. Pandangn tersebut adalah keliru.

Jika PAUD ingin dilakukan di rumah oleh ibu-ibu sendiri, maka ibu-ibu itu perlu belajar dan menambah pengetahuan tentang proses pembelajaran anak, misalnya dengan membaca buku, mengikuti ceramah atau seminar tentang PAUD.

Kenyataannya semakin banyak ibu-ibu bekerja di luar rumah, oleh karena itu haruslah orang yang menggantikan peran ibu tersebut memahami proses tumbuh kembang anak.

Pembelajaran pada anak usia dini adalah proses pembelajaran yang dilakukan melalui bermain. Ada lima karakteristik bermain yang esensial dalam hubungan dengan PAUD (Hughes, 1999), yaitu: meningkatkan motivasi, pilihan bebas (sendiri tanpa paksaan), non linier, menyenangkan dan pelaku terlibat secara aktif.

Bila salah satu kriteria bermain tidak terpenuhi misalnya guru mendominasi kelas dengan membuatkan contoh dan diberikan kepada anak maka proses belajar mengajar bukan lagi melalui bermain. Proses belajar mengajar seperti itu membuat guru tidak sensitif terhadap tingkat kesulitan yang dialami masing-masing anak.

Ketidaksensitifan orangtua terhadap kesulitan anak bisa juga terjadi, alasan utama yang dikemukakan biasanya karena kurangnya waktu karena orangtua bekerja di luar rumah.

Memahami perkembangan anak dapat dilakukan melalui interaksi dan interdependensi antara orangtua dan guru yang terus dilakukan agar penggalian potensi kecerdasan anak dapat optimal. Interaksi dilakukan dengan cara guru dan orangtua memahami perkembangan anak dan kemampuan dasar minimal yang perlu dimiliki anak, yaitu musikal, kinestetik tubuh, logika matematika, linguistik, spasial, interpersonal dan intrapersonal, karena pada umumnya semua orang punya tujuh intelegensi itu, tentu bervariasi tingkat skalanya.

2.4 Peran Orang Tua dalam Pendidikan Anak Usia Dini

Anak adalah perwujudan cinta kasih orang dewasa yang siap atau tidak untuk menjadi orang tua. Memiliki anak, siap atau tidak, mengubah banyak hal dalam kehidupan, dan pada akhirnya mau atau tidak kita dituntut untuk siap menjadi orang tua yang harus dapat mempersiapkan anak-anak kita agar dapat menjalankan kehidupan masa depan mereka dengan baik.

Mengenal, mengetahui, memahami dunia anak memang bukan sesuatu yang mudah. Dunia yang penuh warna-warni, dunia yang segalanya indah, mudah, ceria, penuh cinta, penuh keajaiban dan penuh kejutan. Dunia yang seharusnya dimiliki oleh setiap anak anak namun dalam kepemilikanya banyak bergantung pada peranan orang tua.

Para ahli sependapat bahwa peranan orang tua begitu besar dalam membantu anak-anak agar siap memasuki gerbang kehidupan mereka. Ini berarti bahwa jika berbicara tentang gerbang kehidupan mereka, maka akan membicarakan prospek kehidupan mereka 20-25 tahun mendatang. Pada tahun itulah mereka memasuki kehidupan yang sesungguhnya. Masuk ke dalam kemandirian penuh, masuk ke dalam dunia mereka yang independen yang sudah seharusnya terlepas penuh dari orang tua dimana keputusan-keputusan hidup mereka sudah harus dapat dilakukan sendiri. Disinilah peranan orang tua sudah sangat berkurang dan sebagai orang tua, pada saat itu kita hanya dapat melihat buah hasil didikan kita sekarang, tanpa dapat melakukan perubahan apapun.

Mengapa orang tua perlu meningkatkan intelektualitas anak demi mempersiapkan mereka masuk sekolah? Jawabannya, sekolah saat ini meminta persyaratan yang cukup tinggi dari kualitas seorang siswa. Masih didapat siswa yang masuk SD sudah diperkenalkan dengan berbagai macam pelajaran dan ilmu sejak dini. Anak-anak sudah harus memiliki kreativitas yang tinggi sejak kecil. Oleh sebab itu, anak-anak yang memiliki intelektualitas yang tinggi akan lebih mudah menerima dengan baik semua yang diajarkan. Mereka akan memiliki kepercayaan diri yang tinggi, lebih mudah beradaptasi, lebih mudah menerima hal-hal yang baru, atau intelektualitas anak bisa dikembangkan jauh sebelum mereka masuk ke sekolah. Kondisi seperti itulah yang menempatkan orang tua sebagai guru pertama dan utama bagi anak-anaknya dalam program pendidikan informal yang terjadi di lingkungan keluarga.

2.5 Permasalahan Pendidikan Anak Usia Dini

Memasuki abad XXI dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Pertama, sebagai akibat dari multi krisis yang menimpa Indonesia sejak tahun 1997, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era globalisasi, dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian system pendidikan nasional, sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keragaman potensi, kebutuhan daerah, peserta didik, dan mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.

Permasalahannya adalah ketidaksiapan bangsa Indonesia menghadapi ketiga tantangan di atas, disebabkan rendahnya mutu sumber daya manusianya. Untuk menghadapi tantangan itu, diperlukan upaya serius melalui pendidikan sejak dini yang mampu meletakkan dasar-dasar pemberdayaan manusia agar memiliki kesadaran akan potensi diri dan dapat mengembangkannya bagi kebutuhan diri, masyarakat dan bangsa sehingga dapat membentuk masyarakat madani. Pendidikan anak usia dini merupakan hal paling mendasar yang dilakukan sedini mungkin dan dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Menyeluruh, artinya layanan yang diberikan kepada anak mencakup layanan pendidikan, kesehatan dan gizi. Terpadu mengandung arti layanan tidak saja diberikan pada anak usia dini, tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat sebagai satu kesatuan layanan.

Sumber:

CHA, Wahyudi dan Damayanti, Dwi Retna. 2005. Program Pendidikan Untuk Anak Usia Dini di Prasekolah Islam. Jakarta: Grasindo.

Isjoni. 2007. Saatnya Pendidikan Kita Bangkit. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anwar dan Ahmad, Arsyad. 2007. Pendidikan Anak Dini Usia. Bandung: Alfabeta.

Tientje, Nurlaila N.Q. Mei dan Iskandar, Yul. 2004. Pendidikan Anak Dini Usia Untuk Mengembangkan Multipel Inteligensi. Jakarta: Dharma Graha Group.

Indrawati, Maya dan Nugroho, Wido. 2006. Mendidik dan Membesarkan Anak Usia Pra-Sekolah. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Asfandiyar, Andi Yudha. 2009. Kenapa Guru Harus Kreatif?. Jakarta: Mizan Media Utama.

Pengasuhan Anak

Tahun-tahun pertama kehidupan anak merupakan kurun waktu yang sangat penting dan kritis dalam hal tumbuh kembang fisik, mental, dan psikososial, yang berjalan sedemikian cepatnya sehingga keberhasilan tahun-tahun pertama untuk sebagian besar menentukan hari depan anak. Kelainan atau penyimpangan apapun apabila tidak diintervensi secara dini dengan baik pada saatnya, dan tidak terdeteksi secara nyata mendapatkan perawatan yang bersifat purna yaitu promotif, preventif, dan rehabilitatif akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak selanjutnya (Sunarwati, 2007).

Selanjutnya, pengasuhan anak merupakan salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama pada masa-masa kritis, yaitu usia 0 – 8 tahun. Kehilangan pengasuhan yang baik, misalnya perceraian, kehilangan orang tua, baik untuk sementara maupun selamanya, bencana alam dan berbagai hal yang bersifat traumatis lainnya sangat mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologisnya.

Dengan demikian, kehilangan atau berpisah dari keluarga ini akan meningkatkan risiko kesehatan, perkembangan dan kesejahteraan anak secara keseluruhan. Risiko ini akan meningkat, apabila kehilangan ini terjadi dalam masa kritis pertumbuhan anak, yaitu masa awal kanak-kanak. Akibat bencana alam, perang, perceraian, kematian orang tua dan anggota keluarga lainnya, dan kelahiran tak dikehendaki seorang anak dapat mengalami kesulitan berkembang menjadi manusia dewasa seutuhnya.

Dengan mengacu kepada konsep dasar tumbuh kembang maka secara konseptual pengasuhan adalah upaya dari lingkungan agar kebutuhan-kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang (asuh, asih, dan asuh) terpenuhi dengan baik dan benar, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Akan tetapi, praktiknya tidaklah sesederhana itu karena praktik ini berjalan secara informal, sering dibumbui dengan hal-hal yang tanpa disadari dan tanpa disengaja serta lebih diwujudkan oleh suasana emosi rumah tangga sehari-hari yang terjadi dalam bentuk interaksi antara orang tua dan anaknya serta anggota keluarga lainnya. Dengan demikian hubungan inter dan intrapersonal orang-orang di sekitar anak tersebut dan anak itu sendiri sangat memberi warna pada praktik pengasuhan anak.

Menurut Sears (1957) child rearing is not a technical term with precise significance. It refers generally to all the interactions between parents and their children. These interactions between parents and their children include the parent expressions of attitudes, values interests, and beliefs as well as their children care-taking and training behavior. Sociologically speaking, these interactions are an inseparable class of events that prepare the child, intentionally or not, for continuing his life (Sunarwati, 2007).

Pada kenyataannya seringkali kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang tidak didapatkan anak dengan baik dan benar. Beberapa contoh adalah:

a. Asuh, misalnya ketiadaan pemberian Air Susu Ibu (ASI) dengan pengganti ASI saja (meskipun belakangan ini ada susu-susu formula yang diupayakan mendekati kualitas ASI, yaitu dengan kandungan lizozim laktoferin dan laktosa), dan ketidaktahuan sehingga terjadi penelantaran anak

b. Asih, misalnya pada kehamilan tak diinginkan yang berkepanjangan, kasih sayang ibu yang tak benar (smother love versus mother love)

c. Asah, misalnya dusta putih, suasana murung, sepinya komunikasi, pertengkaran, kekerasan dalam keluarga, disparitas gender, dan sebagainya.

Thurbe dan Cursnann telah meneliti secara kohort selama 21 tahun terhadap 120 anak yang dilahirkan dari kehamilan yang tidak dikehendaki dibandingkan dengan 120 anak dengan keadaan setara namun lahir dari kehamilan yang diinginkan. Mereka menemukan bahwa kelompok anak yang tidak diinginkan menunjukkan perilaku asosial lebih banyak, lebih sering membutuhkan jasa dokter ahli jiwa serta kecerdasannya pun lebih rendah daripada kelompok anak yang lahir dari kehamilan yang diinginkan.

Dalam kaitan tercapainya keeratan ikatan ibu-anak, selain kontak kulit, visual dan emosi sesegera mungkin setelah anak lahir, banyak peneliti mengemukakan pula perlunya pemberian asah jauh sebelum anak dilahirkan, yaitu dengan memperdengarkan musik klasik serta berbicara dengan anak selama masih dalam kandungan. Pengasuhan anak oleh subtitusi ibu, baik yang paruh waktu (misalnya di tempat penitipan anak) maupun yang purna waktu (misalnya oleh pramusiwi) harus selalu memperhatikan hal-hal tersebut di atas, yaitu pada dasarnya agar asuh, asih, asah didapatkan anak dengan baik dan benar (Sunarwati, 2007).
Oleh karena itu, dalam pengasuhan anak ada empat hal yang harus dipenuhi, yaitu bahwa setiap anak membutuhkan orang tua, dan tumbuh secara alamiah dengan saudara kandung yang dimilikinya, di dalam rumah mereka sendiri dan di dalam lingkungan yang mendukungnya.
Diharapkan bahwa pengasuhan anak ini akan mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak. Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram, pounds, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil dari proses pematangan (Soethiningsih, 1995)

Menurut teori perkembangan psikososial Erikson ada empat tingkat perkembangan anak yaitu :
1. Usia anak 0 - 1 tahun yaitu trust versus mistrust. Pengasuhan dengan kasih sayang yang tulus dalam pemenuhan kebutuhan dasar bayi menimbulkan "trust" pada bayi terhadap lingkungannya. Apabila sebaliknya akan menimbulkan "mistrust" yaitu kecemasan dan kecurigaan terhadap lingkungan.
2. Usia 2 - 3 tahun, yaitu autonomy versus shame and doubt. Pengasuhan melalui dorongan untuk melakukan apa yang diinginkan anak, dan sesuai dengan waktu dan caranya sendiri dengan bimbingan orang tua atau pendidik yang bijaksana, maka anak akan mengembangkan kesadaran autonomy. Sebaliknya apabila pendidik tidak sabar, banyak melarang anak, akan menimbulkan sikap ragu-ragu pada anak. Hal ini dapat membuat anak merasa malu.
3. Usia 4 - 5 tahun, yaitu inisiative versus guilt, yaitu pengasuhan dengan memberi dorongan untuk bereksperimen dengan bebas dalam lingkungannya. Pendidik dan orang tua tidak menjawab langsung pertanyaan anak, maka mendorong anak untuk berinisiatif sebaliknya, bila anak selalu dihalangi, pertanyaan anak disepelekan, maka anak akan selalu merasa bersalah.
4. Usia 6 - 11 tahun, yaitu industry versus inferiority, bila anak dianggap sebagai "anak kecil" baik oleh orang tua, pendidik maupun lingkungannya, maka akan berkembang rasa rendah diri, dampaknya anak kurang suka melakukan tugas-tugas yang bersifat intelektual dan kurang percaya diri.

Teori lainnya yang berkaitan dengan perkembangan kognitif, yaitu Piaget menyebutkan bahwa ada tiga tahapan perkembangan kognitif anak, yaitu :
1. Tahap sensorimotorik (usia 0 - 2 tahun). Pada tahap ini anak mendapatkan pengalaman dari tubuh dan indranya.
2. Tahap praoperasional. Anak berusaha menguasai simbol-simbol (kata-kata) dan mampu mengungkapkan pengalamannya, meskipun tidak logis (pra-logis). Pada saat ini anak bersifat egosentris, yaitu melihat sesuatu dari dirinya (perception centration), dengan melihat sesuatu dari satu ciri, sedangkan ciri lainnya diabaikan.
3. Tahap operasional kongkrit. Pada tahap ini anak memahami dan berpikir yang bersifat kongkret belum abstrak.
4. Tahap operasional formal. Pada tahap ini anak mampu berpikir abstrak.
Berkaitan dengan anak-anak, beberapa anak ditemukan memiliki kerentanan untuk menghadapi perubahan atau tekanan yang mereka hadapi.Akan tetapi, tidak jarang pula, orang tua atau pendidik mengeluhkan anak-anak memerlukan penyesuaian diri yang lama terhadap situasi baru, atau anak yang trauma dengan pengalaman negatif, seperti kehilangan sahabat, pindah rumah, nyaris tenggelam di kolam renang, atau menjadi korban bencana alam seperti gempa (Ilham, 2007).

Widya Ayu Puspita. SKM.,M.Kes
Pemerhati Anak Usia Dini

Sunday, August 14, 2011

5 Hal yang Perlu Diketahui soal Homeschooling

Pernah mendengar kata "homeschooling"? Pola pendidikan ini semakin hari semakin banyak dipilih oleh para orangtua. Homeschooling yang berarti sekolah rumah, dikenal juga dengan istilah sekolah mandiri atau home education, home based learning. Pengertian homeschooling secara umum adalah model pendidikan alternatif, atau proses layanan pendidikan yang secara sadar, teratur, dan terarah yang dilakukan orangtua, keluarga, dan lingkungan yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan dan proses pembelajarannya. Sehingga, anak dapat mengembangkan potensi sesuai dengan kemampuannya.

Nah, ketika akan menerapkan homeschooling, ada baiknya orangtua mempelajari tips di bawah ini:

1. Ketahui undang-undang tentang homeschooling di negara Anda
Setiap negara memiliki undang-undang tersendiri dalam menyelenggarakan homeschooling. Sudah sepatutnya anda mempelajari undang-undang di Indonesia tentang homeschooling sebelum melaksanakan dan menerapkannya bagi anak Anda.

2. Pastikan Anda memiliki waktu untuk menemani si buah hati
Sebenarnya homeschooling tidaklah terlalu sulit. Namun, Anda harus menyiapkan waktu lebih buat buah hati Anda.

3. Ketahui pilihan Anda
Ada banyak pilihan yang tersedia untuk program homeschooling. Pilihan yang bisa Anda temukan seperti membuat sendiri kurikulum anak Anda, bergabung dengan kelompok pendukung homeschooling di sekitar daerah Anda, atau biarkan anak Anda sendiri memilih mengikuti kelas-kelas umum secara online.

4. Pastikan Anda sudah siap
Anda harus mempersiapkan banyak hal sebelum melakukan homeschooling. Beberapa hal yang benar-benar sulit adalah, orang-orang yang tidak paham dengan metode homeschooling. Hal ini membuat Anda harus memberikan pemahaman kepada mereka mengenai pilihan Anda untuk homeschooling.

5. Anda harus menyimpan beberapa catatan anak Anda
Pahamilah bahwa homeschooling tidak sama dengan sekolah reguler. Anda harus menyimpan sendiri catatan nilai anak anda. Misalnya, absensi hadir, contoh karya anak Anda yang paling baik, nilai-nilai tes, dan juga salinan dari kurikulum yang diikuti anak Anda.

Di beberapa kasus di negara lain seperti AS, ada beberapa petugas yang memasuki rumah Anda dan memeriksa kegiatan homeschooling di rumah Anda. Mereka ingin mengetahui sejauh mana pemahaman Anda mengenai homeschooling, apakah Anda mengerti tentang homeschooling.

Oleh karena itu, jika Anda ingin menerapkan metode homeschooling, harus mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan itu!

sumber : http://edukasi.kompas.com

"Homeschooling", Kenapa Jadi Pilihan?

Homeschooling alias sekolah rumah kini menjadi salah satu alternatif bagi orangtua untuk pendidikan anaknya. Mereka tak menempatkan si anak di sekolah formal pada umumnya. Apakah mereka tidak takut kualitas pengetahuan yang diperoleh anak akan lebih rendah dibandingkan jika menyekolahkannya di sekolah formal? Tidak juga. Anak hasil homeschooling tidak berarti rendah secara kualitas.

Nah, berikut ini ada beberapa catatan soal nilai positif homeschooling yang dirangkum Kompas.com dari berbagai sumber. Siapa tahu bisa Anda jadikan pertimbangan sebelum memutuskan "menyekolahkan" anak Anda di rumah.

1. Perkembangan anak lebih pesat
Jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah formal pada umumnya, homeschooling sesungguhnya merupakan program yang dapat membantu dalam perkembangan anak. Setiap anak memiliki tingkat penerimaan pengetahuan yang berbeda-beda. Namun, sekolah formal lebih cenderung untuk menyamakan semua kemampuan anak. Maka, tak jarang anak dengan daya tangkap lebih rendah harus berusaha keras dalam untuk mengatasi ketertinggalan dibandingkan dengan teman-temannya. Nah, dengan homeschooling ini, sang anak dapat belajar langsung dengan guru privat dan sesuatu yang menjadi ketidaktahuan anak akan dengan mudah diidentifikasi oleh guru karena berkomunikasi langsung.

2. Memiliki karakter yang lebih kuat
Anak dengan didikan langsung oleh orangtua akan memiliki kepekaan dan keterampilan sosial yang lebih tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh intensitas pertemuan yang lebih sering. Selain itu, anak-anak biasanya akan merasa lebih percaya diri dan terbuka dengan segala keterbatasan pengetahuan yang dimiliki kepada pengajar atau orangtua.

3. Anak-anak akan dewasa dengan caranya sendiri
Homeschooling akan membantu anak Anda untuk menemukan tingkat kedewasaannya dan kapan ia menunjukkan kedewasaannya.

4. Anak-anak tidak perlu "stres"
Anak Anda tidak perlu takut lagi dengan kondisi ruang kelas yang ribut, gaduh, atau tekanan dari teman sebaya atau orang-orang sekitar. Anak Anda akan berinteraksi dengan nyaman di rumah

5. Mempererat kedekatan emosional
Komunikasi yang terjalin satu sama lain jelas akan memengaruhi hubungan emosional. Penelitian menunjukkan, dua faktor paling penting dalam keberhasilan pendidikan secara keseluruhan adalah pengaruh positif rumah dan keterlibatan orangtua. Dan, homeschooling menyiapkan keduanya.

6. Mengajarkan anak untuk berpikir independen
Homescooling juga mengajak anak untuk berpikir secara mandiri. Guru privat yang terlibat dalam peningkatan kemampuan anak secara akademik hanya membantu mengarahkan. Anak yang akan menentukan sendiri sejauh mana ia mampu berpikir.

Jika Anda juga ingin melibatkan guru dari luar untuk proses pembelajaran di rumah, ada baiknya mempertimbangkan hal-hal berikut sebelum memilih guru privat:

a. Guru yang menjadi pendidik haruslah bersertifikat. Mintalah kepada sang guru untuk memperlihatkan sertifikat, baik sertifikat yang berstandar sebagai guru maupun sertifikat khusus guru privat.

b. Minta kepada guru agar menyampaikan pengajarannya lebih kurang 45 menit untuk satu mata pelajaran atau setarakan dengan jadwal sekolahnya.

sumber : http://edukasi.kompas.com

Tuesday, August 9, 2011

PROGRAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI PROVINSI JAWA TIMUR KINI, DAN YANG AKAN DATANG

Program Pendidikan Anak Usia Dini (Non Formal) secara nasional dikembangkan di Indonesia (termasuk Jawa Timur) sejak tahun 2002. Program tersebut (khusus Kelompok Bermain dan TPA) sebenarnya telah dirintis jauh sebelumnya oleh masyarakat secara swadaya. Berdasarkan catatan yang ada pada akhir 2001 di Jawa Timur telah berdiri 113 lembaga kelompok bermain dan 12 lembaga Taman Penitipan anak. Melalui sosialisasi yang cukup intensif didukung semangat dan dana terbatas program paud berkembang di luar dugaan. Secara kuantitas telah bertambah secara sangat signifikan, yaitu saat ini berkembang sekitar 11.000% (seratus sepuluh kali lipat).

Perkembangan tersebut tentu sangat menggembirakan kita semua. Namun jika diukur dari jumlah penduduk pada usia dini, ternyata perkembangan tersebut masih jauh dari ideal. Dengan jumlah lembaga yang ada saat ini dan telah melayani anak usia dini (baca 0-4 tahun) ternyata baru mencapai Angka Partisipasi Kasar sekitar 13% (angka ini masih sedang di konfirmasi ulang dengan pejabat kabupaten/kota. Oleh karena itu perjuangan masih sangat panjang. Pembina dan penggiat program yang terkait masih harus terus fokus untuk menuju titik maksimum yaitu pencapaian APK 100% atau lebih, dengan batu loncatan pencapaian 75,3% pada tahun 2015 (target nasional).

Di sisi lain dari aspek mutu, ternyata membutuhkan perhatian yang tak kalah seriusnya. Kualifikasi pendidikan Tenaga Pendidik rata-rata masih di tingkat SLTA, bahkan beberapa di antaranya baru lulus SLTP dan SD. Keiikutsertaan di pelatihan/peningkatan mutu juga masih sangat rendah (sekitar 11%). Kondisi ini kian dipersulit dengan minimnya fasilitas pembelajaran (termasuk kepemilikan Alat Permainan Edukatif) yang ada pada lembaga secara umum. Oleh karena itu upaya perluasan layanan harus dilakukan secara paralel (simultan) dengan upaya peningkatan mutu, dengan mengacu Standar Pendidikan Anak Usia Dini sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri nomor 58 tahun 2009.

Berbagai perkembangan positip patut disyukuri, yaitu antara lain (1)adanya reformasi birokrasi di Kementerian Pendidikan yang memungkinkan adanya pembinaan yang lebih efektif dan efisien (2)ditempatkannya program paud sebagai salah satu program prioritas setelah program wajib belajar pendidikan dasar. Hal tersebut tentu membawa implikasi positip yaitu adanya peningkatan alokasi anggaran yang signifikan. Sayangnya peningkatan alokasi anggaran ini belum merata di level bawahnya. Baru sebagian pemerintah kabupaten/kota yang memberi perhatian memadai.

Komitmen Pembina program di lapangan sebenarnya cukup tinggi, sayangnya seringkali terkendala adanya mutasi pejabat yang terlalu sering dan pendek jangka waktunya. Oleh karena itu strategi memanfaatkan waktu sebaik-baiknya merupakan pilihan satu-satunya, yang memungkinkan program paud berjalan pada jalur yang benar dan sesuai harapan.

Dari paparan diatas, maka impian PAUD yang akan datang (2015) diantaranya adalah :

A.Pembelajaran Berpusat Kepada Anak;

Metode Pembelajaran Yang Berpusat Kepada Anak (salah satunya adalah BCCT) diharapkan akan terus diterapkan di lembaga-lembaga Paud, sehingga memungkinkan seluruh aspek perkembangan anak dapat berkembang secara optimal.

B.Kualifikasi Guru;

Guru yang dibutuhkan anak didiknya adalah yang sesuai dengan kualifikasi yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri 58 tahun 2009 tentang Standar Paud, yang menyangkut Latar Belakang Pendidikan, Kompetensi Kepribadian, dan Kompetensi Sosial.

C.BOL Paud;

Mengingat makna penting Paud, maka keberadaan Dana Bantuan Operasional Lembaga (BOL) Paud layak diupayakan. Jika BOL dapat diadakan secara layak, merata, dan memadai, maka memungkinkan bagi setiap lembaga menyelenggarakan program pembelajaran secara bermutu.

D.Tenaga Kependidikan yang bermutu;

Keberadaan tenaga kependidikan mulai dari pengawas/penilik, kepala sekolah, penjaga sekolah, tukang kebun, dan lainnya yang berada di lungkungan lembaga pendidikan anak usia dini selain guru, seharusnya memiliki pemahaman yang cukup tentang anak usia dini. Sehingga mereka juga memiliki kepekaan bagaimana seharusnya bersikap atau memberi respon terhadap anak usia dini.

E.Peran Forum Paud;

Peran Forum Paud pada saat ini masih sangat vital yaitu utamanya dalam upaya terus mensosialisasikan program paud hingga di tingkat lapangan. Sedangkan pada masa yang akan datang masih diperlukan utamanya dalam mengembangkan Paud yang holistic-komprehensif, penelitian dan pengembangan, serta sebagai wadah para ahli di berbagai disiplin ilmu yang terkait program paud.

F.Peran Himpaudi;

Persoalan Sumber Daya Manusia Paud (Pendidik dan Tenaga Kependidikan) saat ini dan yang akan datang masih akan terus berada pada posisi strategis dan dinamis. Oleh karena itu Himpunan Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi) akan terus ditunggu peranannya.

Untuk menggapai impian tahun 2015 itu, kiranya diperlukan beberapa prasyarat yang harus dipenuhi, antara lain:

A.Alokasi Anggaran yang ideal;

Untuk mewujudkan kondisi ideal sebagaimana terurai di bagian atas, tentu harus didukung dengan alokasi anggaran yang memadai. Pusat telah menunjukkan komitmen yang cukup menggembirakan. Demikian pula beberapa kabupaten/kota telah mengalokasikan anggaran yang memadai. Anggaran tersebut digunakan untuk membiayai penguatan lembaga paud, peningkatan kualitas tenaga pendidik paud, serta peningkatan kapasitas Pembina paud di lapangan.

B.Pelatihan:

1.Tenaga Pendidik;

Pelatihan Tenaga Pendidik perlu dilanjutkan yang setidaknya meliputi (1)Pelatihan Dasar, dan (2) Pelatihan Lanjutan.

Pelatihan-pelatihan tersebut sangat penting dan mendesak agar kemampuan Tenaga Pendidik serta pemahamannya tentang Tumbuh-Kembang Anak terus berkembang, dengan mengacu peraturan pemerintah tentang Standar Paud.

2.Tenaga Kependidikan;

Agar Program Paud berjalan lebih optimal, maka peran Tenaga Kependidikan juga diharapkan optimal pula. Kinerja Tenaga Kependidikan dipengaruhi juga oleh kemampuan (personality) dari tenaga kependidikan tersebut.

C.Beasiswa untuk Guru;

Guru-guru layak dan mendesak untuk dibantu dengan beasiswa agar mereka meningkatkan kualifikasinya dengan cara terus belajar di lembaga-lembaga formal, sehingga pada gilirannya semua guru memenuhi standar kualifikasi tenaga pendidik sebagaimana yang ditetapkan oleh pemerintah. Guru dengan pendidikan yang sesuai standar selain bermanfaat untuk meningkatkan kemampuannya, juga akan menambah semangat dan rasa percaya dirinya, khususnya ketika para pendidik Paud memiliki program Pembinaan lanjutan kepada para orangtua/wali murid pada saat anak-anak sudah “bersekolah”. Pembinaan ini menyangkut beberapa bentuk, yaitu antara lain:

* Pembekalan orangtua pada awal tahun ajaran
* Pertemuan bulanan (hari konsultasi)
* Pemberian PR untuk orangtua
* Bermain Sehari Bersama Anak yang diselenggarakan lembaga
* Kunjungan Rumah (Home Visit)
* Program Orangtua Membantu di kelas/sekolah
* Penyediaan Buku Pendidikan Keorangtuaan (Parenting).
* Satgas Tumbuh-Kembang Anak Usia Dini ;

Dibutuhkan Satuan Tugas (Satgas) Tumbuh-Kembang Anak Usia Dini yang dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah di setiap Tingkat (mulai tingkat provinsi hingga di tingkat desa/kelurahan). Satgas Tumbuh-Kembang beranggotakan seluruh instansi pemerintah yang terkait dan memiliki kompetensi dalam tumbuh-kembang anak usia dini. Instansi/lembaga dimaksud antara lain:

Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Bapemas, Dinas Sosial, Kementerian Agama, Biro Kesra, Bappeda, penggerak PKK, Dunia Usaha/Dunia Industri dan lembaga lain yang punya perhatian pada perkembangan Paud.


Menyadari berbagai kondisi seperti terurai di atas, maka untuk saat ini berbagai pihak hendaknya tidak terlalu mencari “penghidupan” di Paud, melainkan selalu berusaha menghidupkan paud. Berbagai persoalan Sumber Daya Manusia yang terjadi saat ini menyangkut mentalitas, kualitas dan integritas. Hal ini hanya dapat diatasi melalui program yang paling dasar dan mendasar, yaitu program Pendidikan Anak Usia Dini. Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa keterbatasan dapat diatasi dengan semangat, komitmen, dan daya kreativitas. Wassalam. * (Bidang PNFI/NB Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur)

Oleh : Drs. Totok Isnanto
sumber : http://paudni.kemdiknas.go.id/bppnfi4/

Sunday, August 7, 2011

Pendidikan Non Formal Jalur Masa Depan

Kesulitan Dan tantangan dalam kehidupan manusia baik yang diakibatkan oleh lingkungan maupun alam yang kurang bersahabat, sering memaksa manusia untuk mencari cara yang memungkinkan mereka untuk keluar dari kesulitan yang dialaminya. Masih banyaknya warga yang tidak melanjutkan pendidikan ke taraf yang memungkinkan mereka menggeluti profesi tertentu, menuntut upaya-upaya untuk membantu mereka dalam mewujudkan potensi yang dimilikinya agar dapat bermanfaat bagi pembangunan bangsa.
Sejauh ini, anggran yang berkaitan dengan pendidikan mereka masih terbatas, sehingga berbagai upaya untuk dapat terus mendorong keterlibatan masyarakat dalam membangun pendidikan terus dilakukan oleh pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar makin tumbuh kesadaran akan pentingnya pendidikan dan mendorong masyarakat untuk terus berpartisipasi aktif di dalamnya.
Bertitik tolak dari permasalahan yang dihadapi, pendidikan luar sekolah berusaha mencari jawaban dengan menelusuri pola-pola pendidikan yang ada, seperti pesantren, dan pendidikan keagamaan lainnya yang keberadaannya sudah jauh sebelum Indonesia merdeka, bertahan hidup sampai sekarang dan dicintai, dihargai dan diminati serta berakar dalam masyarakat. Kelanggengan lembaga-lembaga tersebut karena tumbuh dan berkembang, dibiayai dan dikelola oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat merasakan adanya kebermaknaan dari program-program belajar yang disajikan bagi kehidupannya, karena pendidikan yang diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat.
Dalam hubungan ini pendidikan termasuk pendidikan nonformal yang berbasis kepentingan masyarakat lainnya, perlu mencermati hal tersebut, agar keberadaannya dapat diterima dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan masyarakat berkaitan dengan kepentingan hidup mereka dalam mengisi upaya pembangunan di masyarakatnya. Ini berarti bahwa pendidikan nonformal perlu menjadikan masyarakat sebagai sumber atau rujukan dalam penyelenggaaraan program pendidikannya.
Hasil kajian Tim reformasi pendidikan dalam konteks Otonomi daerah (Fasli Jalal, Dedi Supriadi. 2001) dapat disimpulkan bahwa apabila pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal) ingin melayani, dicintai, dan dicari masyarakat, maka mereka harus berani meniru apa yang baik dari apa yang tumbuh di masyarakat dan kemudian diperkaya dengan sentuhan-sentuhan yang sistematis dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan lingkungan masyarakatnya. Strategi itulah yang perlu terus dikembangkan dan dilaksanakan oleh pendidikan luar sekolah dalam membantu menyediakan pendidikan bagi masyarakat yang karena berbagai hal tidak terlayani oleh jalur formal/sekolah.
Bagi masyarakat yang tidak mampu, apa yang mereka pikirkan adalah bagaimana hidup hari ini, karena itu mereka belajar untuk kehidupan; mereka tidak mau belajar hanya untuk belajar, untuk itu masyarakat perlu didorong untuk mengembangkannya melalui Pendidikan nonformal berbasis masyarakat, yakni pendidikan nonformal dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat
B. PENDIDIKAN NONFORMAL BERBASIS MASYARAKAT
Pendidikan berbasis masyarakat (communihy-based education) merupakan mekanisme yang memberikan peluang bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pembelajaran seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis masyarakat dipicu oleh arus besar modernisasi yang menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan manusia, termasuk di bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.~
Sebagai implikasinya, pendidikan menjadi usaha kolaboratif yang melibatkan partisipasi masyarakat di dalamnva. Partisipasi pada konteks ini berupa kerja sama antara warga dengan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, menjaga dan mengembangkan aktivitas pendidikaan. Sebagai sebuah kerja sama, maka masvarakat diasumsi mempunyai aspirasi yang harus diakomodasi dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu program pendidikan.
1. Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendidikan berbasis masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah.
Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidik memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat. pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan. Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutullan mereka. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi Peluang dan kebebasan untuk merddesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.
Di dalam Undang-undang no 20/2003 pasal 1 ayat 16, arti dari pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan demikian nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan suatu pendidikan yang memberikan kemandirian dan kebebasan pada masyarakat untuk menentukan bidang pendidikan yang sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri.
Sementara itu dilingkungan akademik para akhli juga memberikan batasan pendidikan berbasis masyarakat. Menurut Michael W. Galbraith, community-based education could be defined as an educational process by which individuals (in this case adults) become more corrtpetent in their skills, attitudes, and concepts in an effort to live in and gain more control over local aspects of their communities through democratic participation. Artinya, pendidikan berbasis masvarakat dapat diartikan sebagai proses pendidikan di mana individu-individu atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep mereka dalam upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal dari masyarakatnya melalui partisipasi demokratis. Pendapat lebih luas tentang pendidikan berbasis masyarakat dikemukakan oleh Mark K. Smith sebagai berikut:
… as a process designed to enrich the lives of individuals and groups by engaging with people living within a geographical area, or sharing a common interest, to develop voluntar-ily a range of learning, action, and reflection opportunities, determined by their personal, social, econornic and political need.”
Artinya adalah bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah sebuah proses yang didesain untuk memperkaya kehidupan individual dan kelompok dengan mengikutsertakan orang-orang dalam wilayah geografi, atau berbagi mengenai kepentingan umum, untuk mengembangkan dengan sukarela tempat pembelajaran, tindakan, dan kesempatan refleksi yang ditentukan oleh pribadi, sosial, ekonomi, dan kebutuhan politik mereka.
Dengan demikian, pendekatan pendidikan berbasis masyarakat adalah salah satu pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan, melihat pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih balk. Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada di tangan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat bekerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota ataupun desa, mereka telah memiliki potensi untuk mengatasi masalah mereka sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.
Dalam UU sisdiknas no 20/2003 pasal 55 tentang Pendidikan Berbasis Masyarakat disebutkan sebagai berikut :
1. Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
2. Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanannya sesuai dengan standar nasional pendidikan.
3. Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber-dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan-yang berlaku.
4. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
5. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dari kutipan di atas nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat dapat diselenggarakan dalam jalur formal maupun nonformal, serta dasar dari pendidikan berbasis masyarakat adalah kebutuhan dan kondisi masyarakat, serta masyarakat diberi kewenangan yang luas untuk mengelolanya. Oleh karena itu dalam menyelenggarakannya perlu memperhatikan tujuan yang sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat.
Untuk itu Tujuan dari pendidikan nonformal berbasis masyarakat dapat mengarah pada isu-isu masyarakat yang khusus seperti pelatihan karir, perhatian terhadap lingkungan, budaya dan sejarah etnis, kebijakan pemerintah, pendidikan politik dan kewarganegaraan, pendidikan keagamaan, pendidikan bertani, penanganan masalah kesehatan serti korban narkotika, HIV/Aids dan sejenisnya. Sementara itu lembaga yang memberikan pendidikan kemasyarakat bisa dari kalangan bisnis dan industri, lembaga-lembaga berbasis masyarakat, perhimpunan petani, organisi kesehatan, organisasi pelayanan kemanusiaan, organisi buruh, perpustakaan, museum, organisasi persaudaraan sosial, lembaga-lembaga keagamaan dan lain-lain .
2. Pendidikan Nonformal Berbasis Masyarakat
Model pendidikan berbasis masyarakat untuk konteks Indonesia kini semakin diakui keberadaannya pasca pemberlakuan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keberadaan lembaga ini diatur pada 26 ayat 1 s/d 7. jalur yang digunakan bisa formal dan atau nonformal.
Dalam hubungan ini, pendidikan nonformal berbasis masyarakat adalah pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan dan berfungsi sebagai pengganti, penambah dan/pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian fungsional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan masyarakat, majelis taklirn serta satuan pendidikan yang sejenis.
Dengan demikian, nampak bahwa pendidikan nonformal pada dasarnya lebih cenderung mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat yang merupakan sebuah proses dan program, yang secara esensial, berkembangnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat akan sejalan dengan munculnya kesadaran tentang bagaimana hubungan-hubungan sosial bisa membantu pengembangan interaksi sosial yang membangkitkan concern terhadap pembelajaran berkaitan dengan masalah yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik,, lingkungan, ekonomi dan faktor-faktor lain. Sementara pendidikan berbasis masyarakat sebagai program harus berlandaskan pada keyakinan dasar bahwa partisipasi aktif dari warga masyarakat adalah hal yang pokok. Untuk memenuhinya, maka partisipasi warga harus didasari kebebasan tanpa tekanan dalam kemampuan berpartisipasi dan keingin berpartisipasi.
3. Pinsip-prinsip Pendidikan Berbasis Masyarakat
Menurut Michael W. Galbraith pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut:
• Self determination (menentukan sendiri). Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut.
• Self help (menolong diri sendiri) Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkaii. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangun kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri.
• Leadership development (pengembangan kepemimpinan) Para pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai ketrampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan, dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus-menerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat.
• Localization (lokalisasi). Potensi terbesar unhik tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup.
• Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan) Adanya hubungan antaragensi di antara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik.
• Reduce duplication of service. Pelayanan Masyarakat seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber dava manusia dalam lokalitas mereka dan mengoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.
• Accept diversity (menerima perbedaan) Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat secara menyeluruh. Ini berarti pelibatan warga masyarakat perlu dilakukan seluas mungkin dan mereka dosorong/dituntut untuk aktif dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.
• Institutional responsiveness (tanggung jawab kelembagaan) Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus-menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat. Lembaga harus dapat dengan cepat merespon berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat agar manfaat lembaga akan terus dapat dirasakan.
• Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup) Kesempatan pembelajaran formal dan informal harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latar belakang masyarakat.
Dalam perkembangannya, community-based education merupakan sebuah gerakan nasional di negara berkemang seperti Indonesia. community-based education diharapkan dapat menjadi salah satu fondasi dalam mewujudkan masyarakat madani (civil society). Dengan sendirinya, manajemen penndidikan yang berdasarkan pada community-based education akan menampilkan wajah sebagai lembaga pendidikan dari masyarakat. Untuk melaksanakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat pada jalur nonformal setidak-tidaknva mempersyaratkan lima hal (Sudjana. 1984). pertama, teknologi yang digunakan hendaknya sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang ada di masyarakat. Teknologi yang canggih yang diperkenalkan dan adakalanya dipaksakan sering berubah menjadi pengarbitan masyarakat yang akibatnva tidak digunakan sebab kehadiran teknologi ini bukan karena dibutuhkan, melainkan karena dipaksakan. Hal ini membuat masyarakat menjadi rapuh. Kedua, ada lembaga atau wadah yang statusnya jelas dimiliki atau dipinjam, dikelola, dan dikembangkan oleh masyarakat. Di sini dituntut adanya partisipasi masyarakat dalam peencanaan, pengadaan, penggunaan, dan pemeliharaan pendidikan luar sekolah. Ketiga, program belajar yang akan dilakukan harus bernilai sosial atau harus bermakna bagi kehidupan peserta didik atau warga belajar dalam berperan di masyarakat. Oleh karena itu, perancangannya harus didasarkan pada potensi lingkungan dan berorientasi pasar, bukan berorientasi akademik semata.
Keempat, program belajar harus menjadi milik masyarakat, bukan milik instansi pemerintah. Hal ini perlu ditekankan karena bercermin pada pengalaman selama ini bahwa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh instansi pemerintah terbukti belum mampu membangkitkan partisipasi masyarakat. Yang terjadi hanyalah pemaksaan program, karena semua program pendidikan dirancang oleh instansi yang bersangkutan. Kelima, aparat pendidikan luar sekolah/nonformal tidak menangani sendiri programnya, namun bermitra dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Organisasi-organisasi kemasyarakatan ini yang menjadi pelaksana dan mitra masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka dan dalam berhubungan dengan sumber-sumber pendukung program.
4. Pendidikan Berbasis Masyarakat untuk pembangunan masyarakat
Dalam upaya mendorong pada terwujudnya pendidikan nonformal berbasis masyarakat, maka diperlukan upaya untuk menjadikan pendidikan tersebut sebagai bagian dari upaya membangun masyarakat. Dalam hal ini diperlukan pemahaman yang tepat akan kondisi dan kebutuhan masyarakat.
Pembangunan/pengembangan masyarakat, khususnya masyarakat desa merupakan suatu fondasi penting yang dapat memperkuat dan mendorong makin meningkatnya pembangunan bangsa, oleh karena itu pelibatan masyarakat dalam mengembangkan pendidikan nonformal dapat menjadi suatu yang memberi makna besar bagi kelancaran pembangunan.
Pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat sebagai istilah-istilah yang dimaksud dalam pembahasan ini mengandung arti yang bersamaan. Pengembangan masyarakat, terutama di daerah pedesaan, bila dibandingkan dengan daerah perkotaan jelas menunjukan suatu ketimpangan, sehingga memerlukan upaya yang lebih keras untuk mencoba lebih seimbang diantara keduanya. pengembangan masyarakat, pengembangan sosial atau pembangunan masyarakat tersebut menunjukkan suatu upaya yang disengaja dan diorganisasi untuk memajukan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya yang dilakukan di dalam satu kesatuan Wilayah. Kesatuan wilayah itu bisa terdiri dari daerah pedesaan atau daerah perkotaan.
Upaya pembangunan ini bertujuan untuk terjadinya perubahan kualitas kehidupan manusia dan kualitas wilayahnya atau lingkungannya ke arah yang lebih baik. Agar pembangunan itu berhasil, maka pembangunan haruslah menjadi jawaban yang wajar terhadap kebutuhan perorangan, masyarakat dan Pemerintah baik di tingkat desa, daerah ataupun di tingkat nasional. Dengan demikian maka isi, kegiatan dan tujuan pengembangan masyarakat akan erat kaitannya dengan pembangunan nasional.
TR Batten menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat ialah proses yang dilakukan oleh masyarakat dengan usaha untuk pertama-tama mendiskusikan dan menentukan kebutuhan atau keinginan mereka, kemudian merencanakan dan melaksanakan secara bersama usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka itu (Batten, 1961). Dalam proses tersebut maka keterlibatan masyarakat dapat digambarkan sebagai berikut. Tahap pertama, dengan atau tanpa bimbingan fihak lain, masyarakat melakukan identifikasi masalah, kebutuhan, keinginan dan potensi-potensi yang mereka miliki. Kemudian mereka mendiskusikan kebutuhan-kebutuhan mereka, menginventarisasi kebutuhan-kebutuhan itu berdasarkan tingkat keperluan, kepentingan dan mendesak tidaknya usaha pemenuhan kebutuhan. Dalam identifikasi kebutuhan itu didiskusikan pula kebutuhan perorangan, kebutuhan masyarakat dan kebutuhan Pemerintah di daerah itu. Mereka menyusun urutan prioritas kebutuhan itu sesuai dengan sumber dan potensi yang terdapat di daerah mereka. Tahap kedua, mereka menjajagi kemungkinan-kemungkinan usaha atau kegiatan yang dapat mereka lakukan, untuk memenuhi kebutuhan itu. apakah sesuai dengan sumber-sumber yang ada dan dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan hambatan yang akan dihadapi dalam kegiatan itu. Selanjutnya mereka menentukan pilihan kegiatan atau usaha yang akan dilakukan bersama. Tahap ketiga, mereka menentukan rencana kegiatan, yaitu program yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa memiliki dikalangan masyarakat. Rasa pemilikan bersama itu menjadi prasarat timbulnya rasa tanggung jawab bersama untuk keberhasilan usaha itu. Tahap keempat ialah melaksanakan kegiatan. Dalam tahap keempat ini motivasi perlu dilakukan. Di samping itu komunikasi antara pelaksana terus dibina. Dalam tahap pelaksanaan ini akan terdapat masalah yang menuntut pemecahan. Pemecahan masalah itu dilakukan setelah dirundingkan bersama oleh masyarakat dan para pelaksana. Tahap kelima, penilaian terhadap proses pelaksanaan kegiatan, terhadap hasil kegiatan dan terhadap pengaruh kegiatan itu. Untuk kegiatan yang berkelanjutan, hasil evaluasi itu dijadikan salah satu masukan untuk tindak lanjut kegiatan atau untuk bahan penyusunan program kegiatan baru. Semua tahapan kegiatan itu dilakukan oleh masyarakat secara partisipatif. Pengembangan masyarakat yang bertumpu pada kebutuhan dan tujuan pembangunan nasional itu memiliki dua jenis tujuan. Tujuan-tujuan itu dapat digolongkan kepada tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dengan sendirinya mengarah dan bermuara pada tujuan nasional, sedangkan tujuan khusus yaitu perubahan-perubahan yang dapat diukur yang terjadi pada masyarakat. Perubahan itu menyangkut segi kualitas kehidupan masyarakat itu sendiri setelah melalui program pengembangan masyarakat. Perubahan itu berhubungan dengan peningkatan taraf hidup warga masyarakat dan keterlibatannya dalam pembangunan. Dengan kata lain tujuan khusus itu menegaskan adanya perubahan yang dicapai setelah dilakukan kegiatan bersama, yaitu berupa perubahan tingkah laku warga masyarakat. Perubahan tingkah laku ini pada dasarnya merupakan hasil edukasi dalam makna yang wajar dan luas, yaitu adanya perubahan pengetahuan, ketrampilan, sikap dan aspirasi warga masyarakat serta adanya penerapan tingkah laku itu untuk peningkatan kehidupan mereka dan untuk peningkatan partisipasi dalam pembangunan masyarakat. Partisipasi dalam pembangunan masyarakat itu bisa terdiri dari partisipasi buah fikiran, harta benda, dan tenaga (Anwas Iskandar, 1975). Dalam makna yang lebih luas maka tujuan pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah pengembangan demokratisasi, dinamisasi dan modernisasi (Suryadi, 1971).
Prinsip-prinsip pengembangan masyarakat yang dikemukakan di sini ialah keterpaduan, berkelanjutan, keserasian, kemampuan sendiri (swadaya dan gotong royong), dan kaderisasi. Prinsip keterpaduan memberi tekanan bahwa kegiatan pengembangan masyarakat didasarkan pada program-program yang disusun oleh masyarakat dengan bimbingan dari lembaga-lembaga yang mempunyai hubungan tugas dalam pembangunan masyarakat. Prinsip berkelanjutan memberi arti bahwa kegiatan pembangunan masyarakat itu tidak dilakukan sekali tuntas tetapi kegiatannya terus menerus menuju ke arah yang lebih sempurna. Prinsip keserasian diterapkan pada program-program pembangunan masyarakat yang memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan Pemerintah. Prinsip kemampuan sendiri berarti dalam melaksanakan kegiatan dasar yang menjadi acuan adalah kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat sendiri.
Prinsip-prinsip di atas memperjelas makna bahwa program-program pendidikan nonformal berbasis masyarakat harus dapat mendorong dan menumbuhkan semangat pengembangan masyarakat, termasuk keterampilan apa yang harus dijadikan substansi pembelajaran dalam pendidikan nonformal. Oleh karena itu, upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal sebagai bagian dari kegiatan masyarakat memerlukan upaya-upaya yang serius agar hasil dari pendidikan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam upaya peningkatan kualitas hidup mereka
Dalam hal ini perlu disadiri bahwa pengembangan masyarakat itu akan lancar apabila di masyarakat itu telah berkembang motivasi untuk membangun serta telah tumbuh kesadaran dan semangat mengembangkan diri ditambah kemampuan serta ketrampilan tertentu yang dapat menopangnya, dan melalui kegiatan pendidikan, khususnya pendidikan nonformal diharapkan dapat tumbuh suatu semangat yang tinggi untuk membangun masyarakat desanya sendiri sabagai suatu kontribusi bagi pembangunan bangsa pada umumnya.
C. K E S I M P U L A N
Dari apa yang telah diuraikan terdahulu dapatlah ditarik beberapa kesimpulan berkaitan dengan Pendidikan Nonformal berbasis Masyarakat sebagai berikut :
• Pendidikan berbasis masyarakat merupakan upaya untuk lebih melibatkan masyarakat dalam upaya-upaya membangun pendidikan untuk kepentingan masyarakat dalam menjalankan perannya dalam kehidupan.
• Pendidikan nonformal berbasis masyarakat merupakan suatu upaya untuk menjadikan pendidikan nonformal lebih berperan dalam upaya membangun masyarakat dalam berbagai bidangnya, pelibatan masyarakat dalam pendidikan nonformal dapat makin meningkatkan peran pendidikan yang dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat.
• Untuk mencapai hal tersebut pemberdayaan masyarakat melalui pengelolaan pendidikan nonformal menjadi suatu keharusan, dalam hubungan ini diperlukan tentang pemehaman kondisi masyarakat khususnya di desa berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya, serta turut bertanggungjawab dalam upaya terus mengembangkan pendidikan yang berbasis masyarakat, khususnya masyarakat desa
D. DAFTAR PUSTAKA
Faisal, Sanapiah, (tt). Sosiologi Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya.
Nasution, S. (1983). Sosiologi Pendidikan,Jemmars, Bandung.
Soelaiman Joesoef dan Slamet Santosa, (1981). Pendidikan Sosial, Usaha Nasional,Surabaya
Sudjana SF, Djudju. (1983). Pendidikan Nonformal (Wawasan-Sejarah-Azas), Theme, Bandung.
Tilaar, H.A.R (1997) Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta, Cetakan Pertama.
Peraturan Pemerintah no 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Undang-undang no 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Oleh habibthecreator

Thursday, August 4, 2011

Menebar Harapan Melalui PNF

Pendidikan Luar Sekolah atau yang kita kenal dengan Pendidikan nonfornal (PNF) yang diketahui oleh Pamong Belajar, mahasiswa adalah mengajar di SKB, PKBM, Pemberantasan Buta Aksara, Pelatihan, mengajar kursus, pengelola Paud, dan bersifat pada instansi dan melembaga. Namun apakah kompetensi itu sudah terdapat pada PB, mahasiswa tersebut ?, Ataukah hanya sebatas teori semata yang Cuma tertulis di sebuah buku dan menjadi pajangan saja? Dan kita ketahui banyaknya PB, dan mahasiswa dari lulusan sarjana PLS sendiri tak tau arah tujuan kompetensinya sebagai penganyom masyarakat, dan tak jelas arah tujuannya dikarenakan kurangnya pengetahuan akan hal itu. Akankah kita selaku PB, masyarakat atau mahasiswa PLS terus- terusan tidak peduli dengan jurusan kita ini, atau kah kita kuliah cukup hanya untuk mendapat gelar SPd saja? Ironis sekali kalau hal itu terjadi, kompetensi dan daya pikir yang primitif bagi mahasiswa jika hanya mendapat gelar saja. Gelar SPd, sudahkah menjamin mendapat pekerjaan khususnya jurusan kita ini? Hendak kemana sasaran bagi lulusan sarjana PLS? Katanya jadi boss, pengelola PKBM, Tutor, PNS, Jadi pengawas sekolah, guru BP, penyuluh dan lain-lain. Apakah kita punya dana dan relasi yang cukup untuk itu ?.
Bagaimana menurut anda, apakah jurusan PLS ini sudah dikenal oleh masyarakat awam? Tidakkah sering kita temui kendala dan banyak pertanyaan dari orang awam apabila kita ditanya : Kuliah dimana dik? Jurusan apa? Dan semester berapa? Dan kita menjawab kuliah di UNIMED, jurusan PLS dan sekarang sudah semester 5. Dan kemudian Bapak itu menanyakan kembali : PLS ? apa itu? Dan kemana nantinya? Dengan ragu dan seperti kelihatan orang pintar kita menjawab : Nantinya pak kami yang mengajari Pendidikan Non Formal Pak, seperti Paket A, B dan C, dan jika ada penyuluhan dan pelatihan kamilah orangnya. Kita menjawab pertanyaan itu seolah tak ada beban yang melekat dihati. Seolah lepas saja, padahal kenyataan nantinya di lapangan orang yang seperti yang kita ucapkan tadi bukanlah berdasarkan jurusan kita (kita tak seperti guru formal, jurusan biologi mengajar biologi), namun dengan pengalaman dan latihan.
Kita lihat pada kenyataannya banyak yang bekerja di pendidikan non formal adalah lulusan- lulusan yang bukan jurusan dari PLS. Bagaimana ini terjadi itu karena kita sendiri mahasiswa tidak mau peduli akan jurusan dan sasaran kita sendiri. Kita asik beleha- leha dijejali teori tanpa praktik yang berarti tanpa ada motivasi kedepan untuk mendalami apa yang menjadi tujuan kita. Kita terus saja dijadikan objek proyek pendidikan oleh orang- orang yang tak bertanggung jawab. Pernahkah anda berfikir begitu banyaknya alokasi dana pemerintah untuk biaya pendidikan khususnya pendidikan non formal. Dan juga bantuan luar negeri yang berpartisipasi untuk memajukan pendidikan di Indonesia khususnya bagi masyarakat yang tidak mampu.
Namun karena kita tidak tahu dan tak mau tahu maka dana itu dikelola oleh orang- orang yang tak berkompeten dalam hal itu, sehingga dana tersebut raup tanpa hasil dan hanya menjadi sumber kekayaan mereka. Kita dibuat hanya untuk proyek saja, ada tapi tidak ada dalam aplikasinya. Kita dipendam dan hanya dibungkam, dan berusaha untuk berdiri sendiri. Padahal jurusan kita dibentuk oleh pemerintah karena permintaan luar negeri yang tujuannya spesialis untuk mengajarkan orang- orang yang tidak mampu dan tak berkesempatan untuk sekolah. Kita berbeda dengan pendidikan formal, kita lebih bersifat manajemen dan bersifat independent yang tak terikat. Perbedaan pendidikan non formal dengan pendidikan formal sudah kita pelajari pada azas- azas pendidikan luar sekolah dan buku- buku diktat lainnya. Sudah saatnya kita lebih kritis dan lebih spesifik dalam hal ini, jangan hal ini terus berlarut dan hanya menjadi kerancuan dalam mengikuti perkuliahan. Kita harus tau apa makna PLS itu, apa yang menjadi kemampuan dan kompetensi yang diberikan dalam perkuliahan, dimana sasaran yang akan dituju, siapa saja yang dapat menjadi relasi dari pendidikan luar sekolah, bagaimana kedepannya jelas atau tidak, Mengapa kita memilih jurusan ini, Kapankah kita dapat pekerjaan (apakah setahun, dua tahun, ataukah sebelum tamat kuliah kita sudah mendapat pekerjaan), dan Apakah sekarang kita peduli dengan masa depan kita sendiri?
”Cobalah renung dalam hati semoga kita mendapat jawaban dan petunjuk untuk diri kita sendiri”

Pada awalnya Pendidikan Luar Sekolah(PLS) ada dalam bentuk indegenous yaitu tradisi dari masyarakat, agama dan kebiasaan. Kegiatannya berupa pelestarian budaya secara turun temurun. Kaitannya dengan masyarakat adalah prakarsa aktivitas masyarakat untuk pelaksanaan sebuah pembangunan, dan pendidikan Luar Sekolah itu muncul karena masih banyak jumlah anak usia sekolah yang tidak mendapatkan kesempatan untuk memasuki sekolah formal, banyak juga yang telah mendapatkan pengetahuan tapi masih membutuhkan pendidikan dan tambahan pengetahuan, karena pendidikan ini adalah pendidikan seumur hidup beda dengan pendidikan formal yang hanya sementara.

Konon, pada tahun 1946 PLS resmi ditangani oleh pemerintah dibawah jawatan pendidikan masyarakat, isinya mengenai pendidikan agama dan budi pekerti, pendidikan keterampilan dan pendidikan hidup mandiri. pada masa orde baru PLS mendapat perhatian yang cukup besar. istilah PLS dan pendidikan seumur hidup menjadi pembahasan yang luas, setelah itu dinyatakan bahwa pendidikan tidak terbatas hanya disekolah, masyarakat dan lingkungan akan tetapi berlangsung seumur hidup. setelah itu PLS di indonesia tidak hanya dilakukan oleh departemen PLS saja namun juga departemen lain dan juga lembaga-lembaga serta organisasi kemasyarakatan.

Adapun makna pendidikan luar sekolah adalah ; (1) perbaikan kondisi ekonomi dan kultural, (2) pengintegrasian masyarakat pedesaan kedalam kehidupan bangsa secara keseluruhan supaya masyarakat dapat memberikan kontribusi terhadap pendidikan nasional. Hal ini sesuai dengan tujuan PLS adalah ; (1) memberikan pelayana kepada masyarakat, (2) mendukung dan melengkapi pendidikan sekolah, dan (3) membina warga belajar agar memiliki pengetahuan,keterampilan dan sikap untuk mengembangkan diri, serta ( 4) sebagai suplemen, subtitute, complement, yang tidak dapat dipenuhi oleh pendidikan formal. Kemudian yang menjadi sararan PLS adalah ; (1) Masyarakat yang tidak punya keterampilan, (2). masyarakat yang tidak memiliki pendidikan, dan (3). masyarakat yang kurang terpenuhi kebutuhan pendidikannya.

Seperti diketahui bahwa satuan PLS itu terdiri dari ; (a). Kursus, yaitu satuan pendidikan luar sekolah yang terdiri atas sekumpulan warga masyarakat yang memberikan pengetahuan, keterampilan, dalam waktu yang relatif singkat dan dapat dimanfaatkan dalam kehidupan di masyarakat. (b). Pelatihan, yaitu kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan sengaja, terorganisir, dan sistematis diluar sistem persekolahan untuk memberikan dan meningkatkan suatu pengetahuan, dan keterampilan tertentu kepada masyarakat yang relatif singkat dengan mengutamakan praktek dari pada teori. (c). Kelompok belajar, adalah upaya yang dilakukan secara sadar dan terencana dengan belajar dalam sebuah kelompok untuk mencapai suatu kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan kondisi sekarang. (d). Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), adalah tempat belajar yang dibentuk dari, oleh dan untuk masyarakat dalam rangka untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap, hoby, dan bakat warga masyarakat. (e). Majelis taklim, majelis taklim adalah lembaga pendidikan yang dibentuk atas dasar pendekatan dari kebutuhan masyarakat yang kegiatannya lebih berorientasi pada keagamaan, khususnya agama islam. (f). satuan pendidikan yang sejenis, adalah pesantren, sanggar seni dan TPA. Sedangkan program-programnya meliputi ;(a). pendidikan kecakapan hidup, yaitu pendidikan yang memberi kecakapan personal, intelektual, sosial,dan vokasional untuk bekerja (b). pendidikan anak usia dini (PAUD), adalah pendidikan yang ditujukan pada anak usia dini (0-6 tahun) yang dilakukan dengan pemberian berbagai ransangan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak agar memiliki kesiapan untuk memasuki jenjang pendidikan berikutnya.(c). pendidikan kepemudaan, adalah program pendidikan yang ditujukan khusus bagi pemuda untuk mempersiapkan kader pemimpin bangsa seperti : organisasi pemuda, pendidikan keolahragaan, dan pelatihan. (f). pendidikan pemberdayaan perempuan, adalah pendidikan yang ditujukan khusus bagi perempuan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan (pengarusutamaan gender). (g). pendidikan keaksaraan, adalah suatu jenis pendidikan yang dilakukan untuk membimbing dan membelajarkan pengetahuan mengenai keaksaraan bagi mereka yang buta aksara. (h). pendidikan keterampilan adalah pendidikan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. (i). pendidikan kesetaraan, adalah program pendidikan luar sekolah yang menyelenggarakan pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA yang mencakup program paket A, B, C.

*Jusuf Mualo, Pamong Belajar Pada BPPNFI Regional IV Surabaya
sumber : paudni.kemdiknas.go.id/bppnfi4/