Sunday, January 30, 2011

Merangsang Minat Baca Anak Prasekolah

Membaca untuk anak usia prasekolah memiliki segudang manfaat. Minat baca anak sudah bisa dikembangkan sejak ia masih di usia kandungan. Lalu bagaimana dengan usia prasekolah? Dalam pemaparan mengenai kebaikan menumbuhkan minat baca pada anak beberapa waktu lalu di The Cone, FX, Jakarta, Sani B. Hermawan, Psi, Direktur Lembaga Daya Insani mengatakan bahwa usia anak prasekolah butuh trik sedikit berbeda ketimbang usia anak sekolah.

"Untuk usia anak sekolah, lebih baik diberikan cerita yang tokohnya itu asli. Kalau anak-anak usia prasekolah, tak masalah berupa dongeng atau cerita rakyat," jelasnya. Sani juga membagi tips cara merangsang minat baca anak usia prasekolah, yakni:

1. Bacakan cerita kepada anak dan minta ia untuk menceritakan kembali. Hal ini bisa membantunya berlatih mengambil hal-hal penting dari sebuah hal. Ini penting untuk melatih daya tangkapnya. Saat menceritakan ulang, ajak ia untuk melihat gambar dari buku cerita itu supaya bisa melatih daya imajinasinya saat mencoba menceritakan ulang.

2. Upayakan cerita yang dibawakan cukup singkat, menarik, serta memiliki gambar dan warna yang mencolok.

3. Bisa pula membuat cerita dari biografi anak itu sendiri.

4. Jadikan buku sebagai hadiah (reward) atas hal-hal yang baik yang dilakukan oleh anak.

Sumber: http://female.kompas.com/

Strategi mendidik anak

Pelajari tahap-tahap perkembangan anak
Usia 0-2 tahun adalah tahap sensorimotor (merasakan dunia melalui gerak dan indera, dan mempelajari keberadaan objek). Usia 2-7 tahun adalah tahap pra-operasional (mulai memiliki kecepatan motorik). Usia 7-11 tahun adalah tahap operasional konkret (mulai berpikir logis tentang kejadian-kejadian nyata).Di atas 11 tahun adalah tahap operasional formal (mulai mengembangkan penalaran abstrak).

2. Stimulasi anak sesuai kebutuhan
Anak usia prsekolah sampai usia SD awal mulai memiliki kecakapan motorik. Maka senang dengan melibatkan motorik kasar dan motorik halus. Anak usia 7-11 tahun mulai berpikir logis. mereka senang dengan belajar:mengamati alam sekitar,membuat percobaan untuk melihat sebab akibat dll. Anak usia 11 tahun ke atas mulai berpikir abstrak dan senang belajar dengan diskusi.

3. Respon setiap pertanyaan anak
Jangan matikan rasa ingin tahu anak dengan mengabaikan pertanyaan mereka. Pertanyaan adalah salah satu tanda adanya rasa ingin tahu.

4. Apresiasi proses belajar anak
Apapun yang dilakukan anak terutama anak prasekolah yang masih dalam proses belajar berikanlah penilaian positif.

5. Jadilah teman diskusi yang baik
Semakin besar usia anak berusahalah menjadi teman diskusi yang baik.

6. Biasakanlah anak belajar di rumah secara teratur.
yaitu belajar pada jam yang tepat setiap hari. Saat belajar, minimal anak mengulang pelajaran di sekolah dan melihat jadwal pelajaran besok. Pembiasaan belajar hendaknya tidak dilakukan secara drastis dan mendadak jika anak belum punya kebiasaan belajar.

7. Samakan kecenderungan metode belajar di rumah dan di sekolah
Orang tua perlu menjamin kekompakan dalam pola asuh. Ini memudahkan untuk menetapkan metode belajar tertentu untuk anak (sesuai kecenderungan anak).

sumber : http://tokomainananak.com/artikel/7-kiat-menumbuhkan-semangat-belajar-
anak-di-rumah.html

Saturday, January 29, 2011

MULTIPLE INTLEGENCY

Temuan revolusioner Howard Gardner tentang multiple intelegency telah merubah paradigma kecerdasan manusia. Gardner dengan gamblang membuka mata dunia, bahwa kesuksesan manusia tidak hanya didukung oleh kecerdasan intelektual saja. Konsep multiple intelegency kini digalakkan di berbagai belahan dunia. Ada berbagai kecerdasan yang dapat mengantarkan kesuksesan seseorang di dalam hidupnya:
1. Kecerdasan Linguistik Adalah kemampuan membaca, menulis, dan berkomunikasi. Contoh: pengarang, sastrawan, editor,penyair, penyiar, orator, dan wartawan.
2. Kecerdasan Logika Matematika Adalah kemampuan dalam logika dan rasionalitas. Contoh: ahli teknik, ahli fisika, pemrogram, akuntan, pialang saham, dan ahli statistik.
3. Kecerdasan Kinestesis Adalah kemampuan mengendalikan dan mengolah gerak tubuh. Contoh: olahragawan, penari, pengrajin, pemahat, maupun dokter bedah.
4. Kecerdasan Spasial Adalah kemampuan melihat, merancang, menganalisis, dan menentukan objek dari berbagai sudut pandang. Contoh: arsitek, pelukis, desainer, ahli fotografi, dan pilot.
5. Kecerdasan Musikal Adalah kemampuan mengolah nada, irama, dan vokal. Contoh: musisi, penyanyi, komposer, dan pencipta lagu.
6. Kecerdasan Intrapersonal Adalah kemampuan memahami, mengenal, dan mengendalikan diri agar dapat berprestasi di bidang yang ditekuni. Contoh: orang yang berprestasi di bidangnya.
7. Kecerdasan Interpersonal Adalah kemampuan mengenal, memahami, membina, dan bekerjasama dengan orang lain. Contoh: pemimpin, pebisnis, psikolog, ahli pemasaran, dan negosiator.
8. Kecerdasan Natural Adalah kemampuan mengenal, memahami, dan berinteraksi dengan alam. Contoh: ahli geologi, kehutanan, biologi, pertanian, dan dokter hewan.
9. Kecerdasan Spiritual Adalah kemampuan mengenal dan memahami jatidiri manusia sebagai makhluk Tuhan.

Matematika bagi sebagian anak merupakan sesuatu yang sangat sulit, bahkan menakutkan!
Di sisi lain, dunia anak adalah dunia bermain. Critical point yang dianjurkan para pakar pendidikan untuk melejitkan kecerdasan logis-matematis adalah menjadikan anak mencintai matematika. Mencintai matematika bagi anak-anak dapat dilakukan dengan pendekatan permainan

sumber: http://cahayabintang-edu.com

Friday, January 28, 2011

PEMBERDAYAAN LEMBAGA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN NONFORMAL DI ERA GLOBALISASI

PENDAHULUAN
Era globalisasi dewasa ini terus melanda kehidupan kita. Kekuatan arus itu terus mengejar dan tidak dapat kita hindari. Sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu manusia yang memiliki kemampuan profesional dan keunggulan kompetitif merupakan jawaban mutlak agar masyarakat mampu ikut menjadi pelopor dan pelaku perubahan/ pembangunan.
Proses kearah penciptaan SDM yang diharapkan dapat berlangsung pada berbagai kegiatan pendidikan baik formal nonformal, maupun informal
Pendidikan nonformal sebagai salah satu sub sistem pendidikan nasional memiliki bermacam-macam program dan wadah pembelajaran, seperti lembaga kursus dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Wadah pembelajaran PNF seperti itu telah menyebar ke penjuru negeri, ada yang berkembang ada pula yang berdiri kemudian menghilang.
Setiap lembaga/ wadah pembelajaran PNF perlu mengambil posisi dan peran nyata yang dinamis, proaktif, interaktif serta berorientasi jauh ke masa depan. Untuk itu perlu diberdayakan, sehingga dapat terus eksis dan berkembang memenuhi kebutuhan belajar masyarakat, pemerintah dan dunia usaha.

LEMBAGA PEMBELAJARAN PNF
Kebijakan pemerintah memberikan peluang kepada segenap warga masyarakat untuk membentuk dan menyelenggarakan pembelajaran PNF. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, keluarga dan masyarakat.
Berbagai lembaga pembelajaran PNF yang ada dalam masyarakat, baik yang dikelola pemerintah maupun masyarakat, dapat dikemukakan sebagai berikut
1. Lembaga yang dikelola pemerintah
a. Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP) yang sekarang berubah nama menjadi BPPNFI (Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal), berjumlah 8 (delapan) regional di wialayah Indonesia.
b. Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) yang berkedudukan di wilayah Propinsi.
c. Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) yang tersebar di setiap daerah tingkat II (Kabupaten/ Kota)
d. Lembaga Diklat yang ada di setiap instansi/ lembaga pemerintah lainnya.
2. Lembaga yang dikelola masyarakat/ swasta
a. Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
PKBM sebagai lembaga/ wadah pembelajaran PNF yang dibentuk dari, oleh dan untuk masyarakat. Pada PKBM dapat diselenggarakan berbagai program pembelajaran PNF yang sesuai kebutuhan warga masyarakat.
b. Lembaga Kursus
Lembaga kursus merupakan lembaga yang dikelola oleh organisasi/ yayasan yang bergerak dalam pendidikan. Pada lembaga ini diselenggarakan bermacam-macam program pembelajaran PNF, yang lebih difokuskan kepada pendidikan life skill atau keterampilan kerja)
c. Kelompok Belajar
Kelompok belajar sebagai wadah/ tempat pembelajaran PNF dapat berupa kelompok pengajian, kelompok Majelis Ta’lim, kelompok, kelompok Seni budaya, dan lain-lain.

KONDISI LEMBAGA PEMBELAJARAN PNF
Suatu lembaga atau wadah pembelajaran PNF dapat eksis dan dipercaya jika pada wadah tersebut didukung oleh:
1. Sumberdaya manusia yang profesional, mereka dalam hal ini pengelola/ penyelenggara program dan unsur tenaga pendidik PNF.
2. Manajemen/ administrasi, perlu dirancang, diatur, dilaksanakan dan dikendalikan agar mencapai tujuan yang diharapkan. Segala kegiatan yang berlangsung tentunya dapat diadministrasikan dengan baik dan teratur.
3. Kemitraan dengan dunia kerja/ usaha; jalinan kerjasama dan kemitraan dengan berbagai kalangan termasuk dunia kerja dimaksudkan untuk memperoleh dukungan baik pendanaan, maupun penyediaan lapangan kerja bagi luaran program pembelajaran PNF.
4. Pendanaan yang cukup; setiap kegiatan pembelajaran memerlukan dana yang cukup, sehingga perlu digali sumber-sumber dana yang ada dalam mayarakat selain dari pemerintah.
5. Dukungan masyarakat dan pemerintah; warga masyarakat sebagai warga belajar perlu mengenal wadah pembelajaran yang ada, sehingga mereka mudah memilih dan memanfaatkan sesuai kebutuhan. Demikian pula pihak pemerintah dengan segala sumber yang dimilikinya dapat pula memberikan dukungan baik material maupun non materil.

UPAYA MEMBERDAYAAN LEMBAGA PEMBELAJARAN PNF
Untuk memberdayakan lembaga pembelajaran PNF diperlukan berbagai upaya, antara lain:
1. Pengembangan sumberdaya manusia
Para pengelola dan pendidikan PNF dapat mengambil inisiatif/ prakara untuk mengembangkan kemampuannya melalui pendidikan dan latihan. Khususnya mengenai kemampuan/ pemahaman ke PNF an dapat mengikuti pendidikan profesi atau program sertifikasi tenaga pengelola PNF.
2. Peningkatan mutu manajemen/ administrasi
Suatu wadah/ lembaga pembelajaran yang yang berkualitas, perlu didukung oleh manajemen/ pengadministrasian kegiatan yang teratur dan memenuhi standar. Perlu dikembangkan manajemen yang berciri:
a. Perencanaan partisipatif
b. Pengorganisasian yang dinamis
c. Pelaksanaan yang didasarkan pada komitmen
d. Pengorganisasian yang multi agensi
e. Membangkitkan pengawasan masyarakat
3. Mengembangkan kemitraan dengan dunia kerja/ usaha.
Kerjasama dan kemitraan dapat dilakukan dengan membuat piagam kerjasama saling menguntungkan, antara lembaga pengelola program PNF dengan perusahaan/ dunia kerja atau penerima lulusan.
4. Penyiapan dana yang cukup.
Pemerintah dan masyarakat perlu dilibatkan dalam pendanaan program PNF. Program pembelajaran PNF yang dirancang menggunakan biaya dengan kalkulasi masuk akal, karena yang mahal belum tentu berkualitas.
5. Meningkatkan peranserta pemerintah dan masyarakat.
Agar dapat memperoleh dukungan dari berbagai pihak, diperlukan sosialisasi program. Program PNF dikembangkan berdasarkan kepada kebutuhan belajar masyarakat dan dunia kerja. Peranserta pemerintah dan masyarakat dapat berupa keikutertaan mereka dalam merancang, melaksanakan, menilai dan memanfaatkan hasil pembelajaran program PNF.

PENUTUP
Upaya pemberdayaan lembaga Pendidikan Nonformal (PNF) memperhatikan kondisi dari tiap-tiap lembaga PNF yang ada. Setiap lembaga PNF memiliki karakteristik dan program pembelajaran yang berbeda, sehingga diperlukan penanganan yang berbeda pula dalam pembinaan dan pengembangannya.

DAFTAR PUSTAKA
Ishak Abdulhak, 1986, Strategi Pendidikan Luar Sekolah, Jakarta: Karunika
Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1992 tentang Peranserta Masyarakat dalam Pendidikan Nasional, Sekjen Depdikbud, Jakarta

oleh: Dra. Sitti Hasnah (Pemerhati PNF, Alumni Jurusan PLS FIP Universitas Negeri Makassar)

Thursday, January 27, 2011

Kemampuan Anak Membaca Sejak Dini Pengaruhi Prestasi Akademik

Kelancaran membaca menjadi dasar kesuksesan akademik anak. Anak-anak yang terampil membaca sejak usia dini dan selalu dipaparkan dengan bahan cetakan akan memiliki rasa ingin lebih besar, dan selalu ingin memperluas pengetahuannya.
Sebaliknya anak-anak yang lambat dalam penguasaan keterampilan membaca, lebih jarang mendapat latihan membaca dibandingkan teman sebaya sehingga akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan membaca dengan lancar.
Tesis itu diungkapkan Prof. Dr. Amitya Kumara, M.S., saat dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, di ruang Balai Senat, Yogyakarta, Kamis 27 Mei 2010.
Dalam pidato "Mengasah Keterampilan Membaca Pada Anak Melalui Belajar Atau Bermain", Koordinator Bidang Pendidikan Program Magister Profesi Psikolog UGM mengungkapkan tidak jarang ditemukan ketidaklancaran membaca disebabkan karena kepada anak selalu dipaparkan materi bacaan yang terlalu canggih dan tidak sebanding dengan kemampuan mereka. Akibatnya pada diri anak-anak tumbuh sikap dan motivasi negatif terhadap tugas membaca itu sendiri.
"Proses ini disebut Matthew effect. Artinya ketidaklancaran membaca berdampak pada kegagalan anak dalam menguasai area akademik lainnya. Kegagalan ini semakin diperparah seiring anak tersebut naik jenjang kelas," ujar Amitya Kumara dalam laman UGM.

Kemampuan Baca di Kelas 2 SD
Perempuan kelahiran Yogyakarta 25 Februari 1960 ini mengamati bahwa ketidaklancaran membaca yang muncul di tahun pertama dan kelas dua SD sering tidak terdeteksi oleh guru. Guru cenderung menganggap hal tersebut sebagai hal yang wajar. Sementara dalam pandangannya justru disinilah sesungguhnya titik awal kekompleksan masalah.
"Kebanyakan ketidaklancaran membaca baru dianggap masalah ketika anak sudah duduk di kelas 3 atau 4 SD, ketika mereka dituntut untuk mempelajari dan menguasai materi ajar," ujarnya.
Pada jenjang ini, kata Amitya, anak-anak sudah tidak dilatih untuk bisa membaca. Anak diharuskan sudah bisa membaca dengan lancar dan memahami apa yang dibacanya.
"Anak yang mengalami ketidaklancaran membaca di kelas-kelas awal umumnya akan mengalami kesulitan yang sama di kelas selanjutnya. Pada tingkat kelas ini, anak dianggap bermasalah jika tidak dapat memahami pelajaran, tidak dapat menjawab pertanyaan, dan sering gagal dalam mengerjakan soal ulangan," ujarnya.
Anak-anak tersebut bukannya tidak berusaha. Fakta kemampuan mereka untuk menerima dan memahami pelajaran yang diberikan guru tidaklah sebaik anak-anak pada umumnya. Mereka sesungguhnya memerlukan lebih banyak waktu dan kesempatan berlatih untuk menyamakan langkah dengan anak-anak pada umumnya.
Dalam kondisi seperti ini, guru seringkali menganggap mereka bermasalah, karena perilaku mereka mengganggu proses pembelajaran. Misalnya tidak bisa duduk tenang, tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan belajar, tidak mencatat, tidak mengerjakan PR dan tidak tuntas mengerjakan tugas sekolah. Di lain pihak sesungguhnya perilaku negatif tersebut muncul karena adanya perasaan tidak mampu dan tidak percaya diri.
"Dengan kata lain perilaku negatif merupakan kompensasi dari perasaan-perasaan negatif yang terkait dengan rendahnya motivasi anak untuk meningkatkan kemampuan dirinya. Anak-anak yang mengalami kesulitan membaca ini juga memiliki masalah dalam memotivasi diri sendiri," ujar dosen tamu Program Pascasarjana di sejumlah perguruan tinggi di Yogyakarta itu.
Menurut Amitya peran dan kedudukan orang tua sangat signifikan dalam perkembangan kemampuan berbahasa anak. Bahwa kualitas interaksi anak dan orangtua terbukti meningkatkan kemampuan ketepatan gramatika dan merupakan faktor yang signifikan bagi pertumbuhan kemampuan berbahasa.
"Lingkungan berperan mengaktifkan perkembangan bahasa. Dikarenakan untuk mewujudkan perkembangan bahasa yang baik dibutuhkan 'bahan' yang baik dan lingkungan yang menopang perkembangan bahasa," ujar penulis "Peran Aktif Orangtua Terhadap Ekspresi Tulis Anak" pada Jurnal Psikologi tahun 1999 ini.
Berkembangnya kemampuan berbahasa merupakan hal penting bagi anak usia pra sekolah. Ini menjadi indikasi kemampuan verbal berkait dengan daya intelegensi anak pada masa sekolah dasar dan lanjutan.
Latar belakang inilah yang menjadi alasan Nimas Zahrotul Ayniyah, Mahasiswi Universitas Airlangga menuliskan karyanya dalam suatu Lomba Karya Tulis. Juara Pertama akhirnya diraihnya.
Karya berjudul Membaca Buku Cerita Bergambar Sebagai Interaksi Ekstra Teks Orang Tua dan Anak Dalam Perkembangan Bahasa Usia Dini memberikan gambaran pentingnya masukan bahasa pada anak usia dini, yaitu 2-4 tahun atau yang disebut golden age. Serta peran penting orang tua sebagai fasilitator bahasa anak.
Membaca bersama antara orang tua dan anak dengan media buku cerita bergambar dapat menghasilkan interaksi ekstra. Menurut salah satu juri, Bambang Hidayat (ITB), ada unsur penting yang dikemukakan Nimas, yakni kesadaran orang tua.
"Tapi kami juga melihat potensi dari pemenang pertama ini karena dia ingin mengembangkan generasi termuda sebagai tiang pancang yang penting dalam pembangunan Indonesia. Melihat pentingnya menyerap kosakata, leksikon dasar, karena dengan itu diharapkan ada peningkatan intelejensia bagi bangsa Indonesia," ujarnya. Karya tulis ini juga dinilai relatif sederhana, cepat, dan tidak membutuhkan banyak biaya untuk direalisasikan.
Nimas sendiri mengatakan karya tulisnya dapat menjadi masukan bagi orang tua bagaimana mendidik anak tanpa melupakan nilai luhur masyarakat. "Saya sempat merasa tulisan saya tidak terlalu bermakna dibanding teman-teman yang ahli teknologi. Topik saya memang sederhana. Tapi, apabila saya tekuni dan disosialisasikan bagi masyarakat, Insya Allah akan berdampak bagus bagi anak usia dini. Karena saya fokus pada bagaimana orang tua mendidik anak, dan nanti mereka sekolah tidak melupakan nilai luhur keluarga dan masyarakat. Dan yang saya pentingkan terutama minat membaca," ujar Nimas.
Dalam karya tulisnya, Nimas juga mengatakan berdasarkan data Unicef, 70 persen anak yang putus sekolah dari SD tidak siap untuk berinteraksi dan mengikuti pendidikan SD. Hal tersebut karena anak kurang menguasai kemampuan berbicara, membaca, dan menulis secara bersamaan akibat rendahnya penguasaan kosakata.
Nimas juga menulis meskipun pemerintah telah menggalakkan program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dengan program belajar dan bermain, namun berdasarkan data Depdiknas, hingga akhir 2008 angka partisipasi kasar PAUD baru sekitar 50-53 persen dari 29,8 juta anak. Artinya separuh dari jumlah anak usia dini di Indonesia belum mengecam PAUD.
Sementara itu, belum sepantasnya guru TK menekankan kemampuan baca, tulis, dan berhitung atau calistung kepada anak-anak didiknya. Memang, hal itu akan meringankan kerja guru SD. Namun, yang seharusnya dicamkan oleh semua pihak adalah usia TK itu merupakan usia anak untuk bermain.
"Yang perlu diajarkan kepada anak-anak itu hanya motorik kasar, seperti keseimbangan sebagai bekal untuk konsentrasi atau melompat dan lain-lain sejenisnya, sedangkan untuk motorik halus perlu diberikan agar nantinya di SD mereka terbiasa memegang pensil, belajar menggaris atau menggunting," ujar Irma Juliasmi Nasution, guru SD Islam Dian Didaktika di Jakarta.
Di TK, guru kelas I SD ini mengatakan bahwa siswa seharusnya baru diberi pengenalan huruf dan tidak lebih. Kalaupun ada, maka hal itu bukan menjadi target utama pembelajaran.
"Sebetulnya, kenapa anak-anak TK itu diajarkan calistung juga karena tuntutan para orangtuanya sendiri. Mereka banyak yang protes, kenapa anak mereka kok diajarinya cuma menggambar, mewarnai, menggunting, tidak diajarkan membaca," ujar Juli, sapaan akrabnya.
"Mereka tidak tahu, belajar motorik halus dan kasar untuk anak usia TK jauh lebih penting dan dibutuhkan ketimbang belajar membaca," tambahnya.

sumber : www.suaramedia.com

Wednesday, January 26, 2011

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, Pondasi Bagi Masa Depan Anak

Pendidikan merupakan investasi terpenting yang dilakukan orang tua bagi masa depan anaknya. Sejak anak lahir ke dunia, ia memiliki banyak potensi dan harapan untuk berhasil di kemudian hari. Pendidikanlah yang menjadi jembatan penghubung anak dengan masa depannya itu. Dapat dikatakan, pendidikan merupakan salah satu pembentuk pondasi bagi tumbuh dan berkembangnya seorang anak untuk memperoleh masa depan yang lebih baik.
Sebagai “buah hati”, maka dengan penuh rasa kasih sayang para orang tua rela berkorban demi anaknya, karena masa depan anak juga merupakan masa depan orang tua. Keberhasilan ataupun kegagalan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya akan terlihat dari perasaan hatinya manakala menyaksikan kehidupan anaknya ketika dewasa.
Pada hakikatnya masa depan anak juga merupakan masa depan bangsa dan negara. Masa depan itu akan terlihat dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan, di saat mana jutaan anak yang ada sekarang ini memasuki usia remaja dan dewasa. Merekalah nantinya yang menjadi pelaku pembangunan di berbagai sektor kehidupan. Kelak diantara mereka ada yang berperan sebagai pemimpin-pemimpin bangsa yang kebijakannya akan turut menentukan arah perjalanan bangsa dan negara ini.
Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kelak akan sangat berbeda dengan kondisi yang ada sekarang ini. Kehidupan mendatang adalah kehidupan modern yang sangat dipengaruhi globalisasi yang semakin masif, ekstensif, dan seolah tanpa batas. Hubungan antar bangsa diwarnai oleh hubungan yang semakin kompetitif, karena semua bangsa berpacu untuk mencapai kemajuan dalam berbagai bidang.
Untuk menghadapi persaingan global yang semakin ketat, maka generasi mendatang harus memiliki kecerdasan, keterampilan, produktivitas kerja yang tinggi, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, ahli dan profesional minimal di bidangnya masing-masing.
Dunia pendidikan memang sangat diperlukan untuk membentuk generasi seperti itu. Akan tetapi, pendidikan sebagai proses berkelanjutan tidak semata diarahkan kepada hal yang bersifat “reaktif” atau untuk kepentingan jangka pendek, ia juga harus bersifat “proaktif” yang artinya pendidikan juga harus berorientasi kepada kemampuan untuk mengantisipasi permasalahan yang lebih luas dan mampu menjawab tantangan yang lebih kompleks di masa yang akan datang.
Untuk membentuk generasi yang demikian itu, maka calon-calon generasi mendatang itu harus dipersiapkan pertumbuhan dan perkembangannya sedini mungkin, yakni sejak mereka lahir sampai berusia enam tahun, sehingga mereka memiliki akar yang kuat sebagai pondasi untuk memasuki pendidikan yang lebih tinggi.

Anak Usia Dini
Robert D. Ramsey, Ed.D, seorang pendidik, pernah menyarankan:“Berikanlah anak-anak kita akar yang kuat untuk tumbuh dan sayap yang kokoh untuk terbang di kemudian hari”. Apa maknanya?
Saran itu mempunyai makna bahwa masa depan anak memang harus dipersiapkan sejak dini. Anak-anak kita harus dibantu perkembangannya sedini mungkin agar mereka menjadi individu yang seimbang baik dari segi intelektual, emosi, spritual, maupun sosialnya sehingga mereka mampu meraih sukses di kemudian hari.
Para ahli perkembangan anak, baik psikolog, psikiater maupun dokter menyatakan bahwa pada usia dini yakni usia dari nol sampai enam tahun pertama dalam kehidupan seorang manusia merupakan masa dimana perkembangan fisik dan motorik, intelektual maupun sosial berlangsung dengan sangat pesatnya, sehingga seringkali disimpulkan bahwa keberhasilan pada masa ini menentukan seluruh masa depan seorang anak.
Sedemikian vitalnya anak usia dini, maka sangat dianjurkan kepada orang tua untuk memberikan vaksinasi dan selalu memberikan nutrisi lengkap dan seimbang kepada anaknya, agar anak mempunyai tubuh yang sehat, kuat dan otak yang cerdas. Orang tua juga harus memperlakukan anak secara hati-hati dan benar, agar anak memiliki karakter dan kepribadian yang tepat untuk perkembangannya lebih lanjut.
Anak usia dini dapat digolongkan ke dalam anak usia prasekolah yang pertumbuhannya terbagi dalam dua tahap, yakni: (1) Usia sejak lahir s.d. usia 2 tahun. Pada usia ini pertumbuhan anak lebih mengarah kepada fungsi-fungsi biologis. Ia menggunakan mulut sebagai sarana terpenting; (2) Usia antara 2-6 tahun. Pada usia ini perkembangan panca indera sangat menonjol, sehingga dalam proses belajarnya pun mereka menggunakan panca indera. Ada tiga macam perkembangan yang terjadi pada usia ini, yakni perkembangan motorik (fungsi gerak), perkembangan bahasa dan berpikir, dan perkembangan sosial.
Usia anak di bawah usia lima tahun (balita) merupakan masa kritis untuk pengembangan kecerdasan yang bersifat permanen, dimana pada usia itu bobot otak tumbuh dan kecerdasan semakin berkembang. Pada saat bayi lahir bobot otaknya sekitar 350 gram, tetapi ketika ia dewasa maka berat rata-ratanya ada kira-kira 1360 gram pada lelaki, dan 1250 gram pada perempuan. Berat rata-rata otak usia dewasa itu merupakan 1/40 dari bobot badannya atau rata-rata mencapai 1.400 mililiter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usia 4 tahun kapasitas kecerdasan sudah mencapai 50 persen, dan pada usia 8 tahun sudah mencapai 80 persen.
Otak adalah yang terbesar dan paling kompleks diantara seluruh sistem saraf, dan ia bersama sumsum tulang belakang merupakan pembentuk sistem saraf pusat. Semua rangsangan yang datang ke reseptor dari permukaan atau dari bagian dalam tubuh tercatat di otak dan semua tanggapan yang menghasilkan gerakan atau sekresi berasal dari sini.
Pada dasarnya, kapasitas kecerdasan anak dapat ditingkatkan melalui dua hal, yakni pertama, dengan pemberian nutrisi lengkap dan seimbang yang diantaranya mengandung unsur-unsur yang berfungsi untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan otak. Dokter menganjurkan, usia anak sejak lahir sampai mereka berusia 4 bulan maka air susu ibu (ASI) adalah nutrisi terbaik bagi bayi. Akan tetapi, apabila produksi ASI tidak mencukupi kebutuhan bayi atau bila karena sesuatu hal ibu tidak dapat menyusui, atau ketika bayi telah berusia lebih dari 4 bulan, maka diperlukan susu formula bayi atau makanan tambahan pendamping ASI, sehingga asupan gizi anak tetap terjaga.
Dewasa ini, para orang tua dapat memilih produk minuman dan makanan tambahan untuk bayi, seperti susu formula yang telah dilengkapi dengan beberapa unsur gizi yang dapat membantu kapasitas kecerdasan anak, seperti Asam Linoleat (Omega 3), Asam Linolenat (Omega 6), Taurin, ARA (Asam Arakhidonat) dan DHA (Asam Dokosaheksaenoat).
Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI Prof Dr Azrul Azwar MPH, pernah mengatakan bahwa asupan gizi dapat mempengaruhi kecerdasan anak. Setiap anak dengan gizi buruk berisiko kehilangan IQ (Intellegence Quotion) hingga 10-13 poin. Jika misalnya terdapat 1,3 juta anak yang kekurangan gizi, maka itu berarti berpotensi kehilangan IQ sekitar 22 juta poin. Karena itulah, Azrul Azwar menyarankan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak sejak dini.
Kedua, kapasitas kecerdasan itu juga dapat distimulasi melalui perangsangan otak kiri dan kanan. Ilmu Neurologi memperlihatkan bahwa jaringan syaraf termasuk syaraf otak manusia pada usia dini berkembang dengan sangat cepat, akan tetapi perkembangan jaringan itu tidak dapat diwujudkan dengan sepenuhnya jika tidak dirangsang dengan reaksi-reaksi dari luar. Agar perangsangan itu berdampak positif terhadap kecerdasan, kepribadian, dan sikap sosial anak maka perangsaan itu harus dilakukan berdasarkan pengetahuan yang tepat, diantaranya adalah melalui satuan-satuan Pendidikan Anak Usia Dini.

Pendidikan Anak Usia Dini
Menurut Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai berusia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan Anak Usia Dini (selanjutnya, PAUD) merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual, sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama), bahasa, dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Seperti halnya jenjang pendidikan lainnya, jenjang PAUD merupakan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan orang tua. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, dikenal adanya tiga bentuk jalur pelaksanaan PAUD. Pertama adalah PAUD jalur pendidikan formal yakni pendidikan yang terstruktur untuk anak anak berusia empat tahun sampai enam tahun seperti Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), dan bentuk lain yang sederajat.
Kedua, PAUD jalur pendidikan nonformal, yakni pendidikan yang melaksanakan program pembelajaran secara fleksibel untuk anak sejak lahir (usia tiga bulan) sampai berusia enam tahun, seperti Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (Play Group), dan bentuk lain yang sederajat.
Ketiga, PAUD jalur pendidikan informal sebagai bentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan untuk pembinaan dan pengembangan anak sejak lahir (usia tiga bulan) sampai berusia enam tahun.
Pendidikan bisa saja diberikan untuk bayi yang belum lahir seperti yang dilakukan para orang tua dengan cara memperdengarkan musik klasik kepada bayinya yang masih berada dalam kandungan. Secara garis besar, pendidikan biasanya berawal pada saat bayi dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Dalam agama Islam ada anjuran, “tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai liang lahat”, yang berarti bahwa pendidikan itu harus dilakukan sedini mungkin, dimana saja, kapan saja dan berlangsung seumur hidup (life-long education).
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 diamanatkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Masyarakat, dan Orang Tua. Dalam hal penyelenggaraan PAUD dewasa ini terlihat bahwa masyarakat yang lebih berperan, dimana institusi-institusi pendidikan yang dibangun dan dikelola oleh masyarakat lebih banyak dan beragam yakni mencapai sekitar 80 persen sedangkan yang dibangun oleh pemerintah hanya 10 persen dari lembaga yang ada.
Meski pengelolaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, ternyata angka partisipasi pendidikan di Indonesia di berbagai jenjang pendidikan masih tergolong rendah, termasuk dalam hal ini rendahnya partisipasi anak balita untuk memasuki PAUD.
Minimnya pengetahuan orang tua tentang pentingnya PAUD, keterbatasan ekonomi keluarga, dan keterbatasan anggaran biaya pemerintah untuk alokasi penyelenggaraan PAUD merupakan faktor penyebab anak usia balita tidak tersentuh pendidikan. Berdasarkan hasil pendataan Depdiknas tahun 2004, baru sekitar 15,6 persen dari 11,5 juta anak usia 4-6 tahun yang bersekolah di TK, sedangkan untuk anak usia 0-3 tahun, hanya sekitar 15,8 persen yang tersentuh pelayanan anak usia dini.
Data itu menunjukkan, bahwa terjadi peningkatan angka partisipasi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2002, sebanyak 72 persen anak Indonesia usia nol sampai enam tahun di Indonesia, belum tersentuh pendidikan usia dini, karena pada tahun itu baru 7,34 juta atau 28 persen dari 26,1 juta anak usia 0-6 tahun yang mendapat pendidikan usia dini. Sebagian besar di antara mereka, yakni 2,6 juta, mendapatkan pendidikan dengan jalan masuk ke Sekolah Dasar pada usia lebih awal. Sebanyak 2,5 juta anak mendapat pendidikan di Bina Keluarga Balita (BKB), 2,1 juta anak bersekolah di TK atau Raudhatul Atfhal, dan sekitar 100.000 anak di Kelompok Bermain.
Berbeda dengan beberapa negara maju yang memandang pembinaan anak usia dini adalah suatu proses persiapan pemberdayaan sumber daya manusia yang sangat penting, sehingga Pendididikan Anak Usia Dini dilakukan secara sangat intensif dan mendapat perhatian yang sangat tinggi. Alasannya bukan karena orang tua mereka bekerja, tetapi justru karena pada orang tua sudah tertanam pemahaman bahwa pada usia dini anak-anak berada pada posisi paling ideal menerima dukungan untuk mengembangkan kepribadian dan jati dirinya. Dengan pemberdayaan yang baik pada usia dini, akan dihasilkan anak-anak yang masa depannya cerah karena mereka menjadi orang dewasa yang kreatif dan mempunyai rasa percaya diri yang kuat.
Kendalanya di Indonesia adalah bahwa tidak setiap orang tua punya pengetahuan dan kesiapan untuk mendidik anaknya secara betul. Seorang ibu memang telah memiliki “asam garam” dalam mengasuh anak-anak mereka, akan tetapi agar perkembangan potensi anak berjalan maksimal, maka diperlukan “kiat-kiat” tertentu, seperti pengetahuan tentang psikologi anak, aktivitas yang mereka sukai, dan cara terbaik dalam mendidik mereka.
Adakalanya karena faktor ketidaktahuan itulah, maka tidak jarang, dalam beberapa hal orang tua memperlakukan anaknya secara berlebihan atau dengan cara paksaan mengajarkan hal-hal yang sesungguhnya belum saatnya mereka terima sehingga justru menjerumuskan si anak itu sendiri.
Oleh karena itu, PAUD memegang peranan penting dalam pendidikan anak. Melalui PAUD anak dapat dididik oleh gurunya dengan metode dan kurikulum yang jelas. Melalui PAUD, mereka dapat bermain dan menyalurkan energinya melalui berbagai kegiatan fisik, musik, atau keterampilan tangan. Mereka juga dapat belajar berinteraksi secara interpersonal dan intrapersonal. Kepada mereka secara bertahap dapat dikenalkan huruf atau membaca, lingkungan hidup, pertanian, dan bahkan industri.
Pengenalan itu tidaklah berlebihan, karena dalam penyampaiannya disesuaikan dengan dunia anak, yakni dunia bermain sehingga proses belajarnya menyenangkan. Anak memang seringkali mengeskpresikan ide dan perasaannya melalui permainan, sehingga ketika mereka merasa menikmati dan senang dengan apa yang diajarkan itu, maka dengan sendirinya akan bermanfaat bagi perkembangannya.
Satuan PAUD seperti Kelompok Bermain merupakan media bagi anak untuk bersosialisasi dalam masyarakat kecil. Kelompok Bermain merupakan kegiatan bermain yang teratur pada jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan dan program kesejahteraan bagi anak berusia dua tahun sampai enam tahun.
Dalam kelompok itu, mereka akan menyesuaikan diri dalam lingkungan yang lebih luas, selangkah lebih mandiri, memiliki kebanggaan menjadi anggota kelompok bermain di luar anggota keluarganya, dan sejumlah manfaat lainnya yang pada gilirannya secara tidak sadar mendorong minat dan potensi anak untuk belajar.

Peranan Orang Tua
Di samping guru di sekolah, orang tua memegang peranan sentral dalam PAUD. Meski berjalan tidak resmi, pendidikan dalam keluarga yang disampaikan orang tua sering kali lebih mendalam. Pada saat anak baru dilahirkan dan ketika mereka berada di rumah, orang tualah yang berperan penting dalam pendidikan.
Dalam hal ini, penting bagi orang tua untuk tetap memperhatikan perkembangan anaknya, meski anaknya telah memasuki lembaga PAUD. Banyak orang tua setelah anaknya memasuki Taman Kanak-Kanak, mengendurkan upayanya dalam mendidik anaknya, karena adanya anggapan bahwa tugasnya telah dilimpahkan kepada para guru. Padahal untuk membentuk anak yang cerdas dan tangguh di masa depan, diperlukan pendidikan ganda, yakni dari orang tua dan sekolah.
Banyak yang dapat dilakukan orang tua ketika anaknya telah memasuki PAUD, misalnya dengan menyelaraskan suasana dan alat permainan yang ada di rumah dengan yang ada di sekolah. Keuntungannya adalah orang tua akan mendapatkan mainan anak di rumah yang sesuai dengan kondisi dan kurikulum yang mereka temui di sekolah, seperti alat peraga atau alat bantu pendidikan.
Para ahli psikologi berpendapat, bahwa para orang tua perlu memiliki sikap “self-esteem” yang positif dalam mendidik anaknya. Secara sederhana “self-esteem” diartikan sebagai penghargaan diri, rasa harga diri, atau kesan seseorang mengenai dirinya yang dianggap baik, seperti antara lain rasa percaya diri, menghormati diri sendiri, kebanggaan diri dan sikap mandiri.
Anak-anak yang memiliki orang tua dengan “self-esteem” yang positif, maka kemungkinan besar anak akan memiliki self-esteem yang positif pula. Hal itu terjadi, karena orang tua merupakan “role-model” bagi sang anak. Anak-anak seringkali berperilaku mengikuti perilaku orang tuanya, sehingga kepribadian orang tua sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian mereka.
Untuk menjadi “role-model” yang positif bagi anak, maka seyogyanya orang tua harus punya pengetahuan dan kemampuan bersikap yang betul ketika berinteraksi dengan anaknya, seperti bagaimana seharusnya sikap dan tindakan orang tua ketika anaknya melawan, bandel, tidak mau makan, tidak mau mandi, atau sebaliknya ketika anak menurut, belajar, bermain, dan sebagainya.
Dalam dunia psikologi anak terkenal adanya sebuah puisi, yang meski anonim, akan tetapi puisi itu dapat dijadikan inspirasi bagi setiap orang tua dalam mendidik anaknya, sehingga anak memiliki “self-esteem” yang positif. Puisi itu berbunyi: Jika Anak Hidup Dengan Kritikan Ia Akan Belajar Untuk Mengutuk, Jika Anak Hidup Dengan Kekerasan Ia Akan Belajar Untuk Melawan, Jika Anak Hidup Dengan Ejekan-Ejekan Ia Akan Belajar Menjadi Pemalu, Jika Anak Hidup Dengan Dipermalukan Ia Akan Belajar Merasa Bersalah, Jika Anak Hidup Dengan Toleransi Ia Akan Belajar Bersabar, Jika Anak Hidup Dengan Dorongan Ia Akan Percaya Diri, Jika Anak Hidup Dengan Pujian Ia Akan Belajar Menghargai, Jika Anak Hidup Dengan Tindakan Yang Jujur Ia Akan Belajar Akan Keadilan, Jika Anak Hidup Dengan Rasa Aman Ia Akan Belajar Untuk Mempercayai, Jika Anak Hidup Dengan Persetujuan Ia Akan Belajar Untuk Menghargai Dirinya, Jika Anak Hidup Dengan Penerimaan Dan Persahabatan Ia Akan Belajar Untuk Menemukan Cinta Di Muka Bumi Ini.

oleh: wajidi
http://bubuhanbanjar.wordpress.com

Tuesday, January 25, 2011

Model Pendidikan Keaksaraan: Pembelajaran Individual Berbasis Rekrutmen Sekuensial

Sampai saat ini program pendidikan keaksaraan masih digayuti berbagai persoalan sebagai akibat pelaksanaannya di lapangan menggunakan top-down approach, pendekatan struktural. Artinya, program berpusat pada pemerintah, terutama dalam hal regulasi penyelenggaraan, pengaturan anggaran, dan ketentuan batasan waktu penyelenggaraannya. Selain itu, hal penting yang memengaruhi kualitas hasil belajar yang rendah adalah pendekatan pembelajaran konvensional, yaitu pembelajaran yang masih berpusat pada teacher, tidak mengakomodasi perbedaan karakteristik dan kompetensi keaksaraan yang ada pada learners.

Penyelenggaraan program seperti tersebut di atas cenderung menghasilkan output yang secara kuantitatif tinggi, tetapi sekedar memenuhi target administratif. Pada akhir penyelenggaraan dan pembelajaran warga belajar hanya mendapatkan sertifikat sebagai tanda bukti telah mengikuti program pendidikan keaksaraan yang rendah kualitasnya, bersifat mekanis, dan lebih mementingkan aspek politis, misalnya memercepat deklarasi melek aksara. Penyelenggaraan program kurang memerhatikan aspek lain yang bersifat teknis, seperti pembelajaran yang memadukan substansi keaksaraan dan kecakapan hidup, serta pertimbangan mengenai pemanfaatan hasil pembelajaran bagi warga belajar di dalam kehidupan sehari-hari.

Kelemahan penyelenggaraan dengan top-down approach lainnya adalah pola pembelajaran teacher-centered yang tidak mengakomodasi perbedaan yang terdapat pada tiap individu/ warga belajar, yaitu: 1) kemampuan keaksaraan awal; 2) motivasi belajar; 3) kebutuhan belajar; 4) bakat yang dapat dikembangkan; 5) potensi yang dapat diberdayakan; 6) peluang yang dapat dimanfaatkan; 7) tingkat ekonomi; dan 8. usia warga belajar. Selain itu, warga belajar dengan kemampuan dasar akademis yang berbeda tidak seharusnya diperlakukan dengan mekanisme yang sama.

Perubahan situasi kondisi pada saat ini berdampak pada jumlah sasaran didik menjadi semakin sedikit, karena faktor mortalitas dan meningkatnya kemampuan pe-merintah dalam memberikan layanan program pendidikan keaksaraan. Sebaran sisa sasaran yang tidak merata menjadi permasalahan baru dalam penyelenggaraan pro-gram pendidikan keaksaraan yang bersifat top-down approach yang memerlukan penanganan secara khusus.

Fakta penting lainnya yang terkait dengan penyelenggaraan program pendi-dikan keaksaraan secara konvensional adalah hasil belajar yang belum berpengaruh pada kehidupan warga belajar pasca-pembelajaran keaksaraan. Hal ini terbukti belum adanya peningkatan ekonomi pendapatan dan taraf kehidupan dalam kehidupan sehari-hari warga belajar walaupun mereka telah selesai mengikuti pembelajaran dan mendapatkan sertifikat keaksaraan. Seharusnya, keberaksaraan sebagai hasil pem-belajaran tetap ditempatkan sebagai tujuan antara, bukan tujuan akhir program, sedangkan tujuan utamanya adalah keberdayaan masyarakat di dalam kehidupan memanfaatkan keberaksaraan yang dikuasainya.

Berdasar pada fakta-fakta sebagaimana tersebut di atas, Pusat Pengem-bangan Pendidikan Nonformal dan Informal (P2PNFI) Regional 2 Semarang pada tahun 2009 mengembangkan model pendidikan keaksaraan yang meliputi rekrutmen pembelajaran sampai dengan aplikasi hasil belajarnya di dalam kehidupan sehari-hari. Model ini dimaksudkan bukan semata-mata menemukembangkan inovasi pada pem-belajarannya, tetapi juga pada berbagai komponen lain yang ada di dalamnya. Pengembangan model ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif pilihan untuk mengatasi kebutuhan penyelenggaraan dan pembelajaran program pendidikan keaksaraan yang efektif dan efisien dari sisi kuantitas dan kualitas.

oleh: Tim Pengembang Keaksaraan P2PNFI- Semarang

Monday, January 24, 2011

MENGENALKAN SAINS PADA ANAK PRA SEKOLAH

PENDAHULUAN
Kehidupan anak tidak dapat lepas dari sains, kreativitas dan aktivitas sosial. Makan, minum, menggunakan berbagai benda yang ada di rumah seperti radio, TV, dan kalkulator tidak lepas dari sains dan teknologi. Oleh sebab itu, guru hendaknya dapat menstimulasi anak dengan berbagai kegiatan yang terkait dengan sains dan teknologi. Untuk itu, seorang guru perlu mempelajari konsep-konsep keilmuan dan cara pengajarannya.
Pengenalan sains untuk anak pra sekolah lebih ditekankan pada proses daripada produk. Untuk anak prasekolah keterampilan proses sains hendaknya dilakukan secara sederhana sambil bermain. Kegiatan sains memungkinkan anak melakukan eksplorasi terhadap berbagai benda, baik benda hidup maupun benda tak hidup yang ada disekitarnya. Anak belajar menemukan gejala benda dan gejala peristiwa dari benda-benda tersebut.
Sains juga melatih anak menggunakan lima inderanya untuk mengenal berbagai gejala benda dan gejala peristiwa. Anak dilatih untuk melihat, meraba, membau, merasakan dan mendengar. Semakin banyak keterlibatan indera dalam belajar, anak semakin memahami apa yang dipelajari. Anak memperoleh pengetahuan baru hasil penginderaanya dengan berbagai benda yang ada disekitarnya. Pengetahuan yang diperolehnya akan berguna sebagai modal berpikir lanjut. Melalui proses sains, anak dapat melakukan percobaan sederhana. Percobaan tersebut melatih anak menghubungkan sebab dan akibat dari suatu perlakuan sehingga melatih anak berpikir logis.
Dalam pembelajaran sains, anak juga berlatih menggunakan alat ukur untuk melakukan pengukuran. Alat ukur tersebut dimulai dari alat ukur nonstandar, seperti jengkal, depa atau kaki. Selanjutnya anak berlatih menggunakan alat ukur standar. Anak secara bertahap berlatih menggunakan stuan yang akan memudahkan mereka untuk berfikir secara logis dan rasional. Dengan demikian sains juga mengembangkan kemampuan intelektual anak.

SAINS DAN APLIKASINYA
Produk sains meliputi fakta, konsep, teori, prinsip dan hukum. Untuk anak prasekolah fakta dan konsep sederhana dapat dipelajari melalui kegiatan bermain. Sebagai contoh, melalui bermain air, anak mengamati air dan melakukan berbagai percobaan terhadap air seperti melempar, menuang, memasukkan benda dan mengambil dengan berbagai cara. Dari kegiatan tersebut anak belajar sifat-sifat air. Anak mungkin akan mengetahui bahwa air dapat mengalir dari satu tempat ke tempat lain. Air dapat dituang dari satu tempat ke tempat lain. Anak mengetahui benda tenggelam dan yang lain terapung.
Aplikasi sains dalam kehidupan sehari-hari diwujudkan dalam bentuk karya teknologi. Radio, mesin cuci, TV, komputer, lampu dan HP adalah contoh-contoh karya teknologi yang sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Anak pra sekolah selalu ingin tahu bagaimana benda-benda tersebut bekerja. Anak ingin sekali mengetahui isi radio. Mereka berfikir di dalam radio ada orang yang bisa berbicara atau bernyanyi. Begitupula dengan televisi. Anak akan terkejut jika melihat radio yang yang dibongkar dan melihat isinya bukan orang. Itulah sebabnya di panti pendidikan untuk anak usia dini di luar negeri selalu memajang radio, televisi atau mesin sederhana lainnya yang dibuka agar anak mengenal isinya. Banyak pula perusahaan mobil dan motor yang menyediakan mesin yang telah dibelah dua agar anak-anak dapat mengenal karya teknologi.
Pengetahuan yang diperoleh anak akan berguna sebagai modal berfikir. Melalui sains, anak dapat melakukan percobaan sederhana. Percobaan tersebut melatih anak menghubungkan sebab dan akibat dari suatu perlakuan sehingga melatih anak berfikir logis.
RAMBU-RAMBU KEGIATAN SAINS UNTUK ANAK
Kegiatan pengenalan sains untuk anak prasekolah sebaiknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Guru/pendidik hendaknya tidak menjejalkan konsep sains kepada anak, tetapi memberikan kegiatan pembelajaran yang memungkinkan anak menemukan sendiri fakta dan konsep sederhana tersebut. Teori Experimental Learning dari Carl Rogermengisyaratkan pentingnya pembelajaran yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan anak. Menurutnya anak secara alamiah dengan kapasitas dan kemauan untuk belajar. Fungsi pendidik hanyalah memfasilitasi dan membantu agar anak dapat belajar secara optimal. Menurut Piaget (1972) anak prasekolah usia 4-6 tahun berada pada fase perkembangan pra operasional dan menuju konkret operasional. Untuk itu kegiatan sains sebaiknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan karakterstik anak tersebut.
Berikut ini merupakan rambu-rambu yang dapat menjadi acuan dalam pembelajaran sains :
1.Bersifat konkrit
Benda-benda yang digunakan bermain dalam kegiatan pembelajaran adalah benda yang konkrit (nyata). Pendidik tidak dianjurkan untuk menjejali anak dengan konsep-konsep abstrak. Pendidik sebaiknya menyediakan berbagai benda dan fasilitas lainnya yang diperlukan agar anak dapat menemukan sendirri konsep tersebut.
2.Hubungan sebab akibat terlihat secara langsung
Anak usia 5-6 tahun masih sulit menghubungkan sebab akibat yang tidak terlihat secara langsung karena pikiran mereka yang bersifat transduktif. Anak tidak dapat menghubungkan sebab-akibat yang tidak terlihat secara langsung. Jika anak melihat peristiwa secara langsung, membuat anak mampu mengetahui hubungan sebab akibat yang terjadi. Sains kaya akan kegiatan yang melatih anak menghubungkan sebab akibat.
3.Memungkinkan anak melakukan eksplorasi
Kegiatan sains sebaiknya memungkinkan anak melakukan eksplorasi terhadap berbagai benda yang ada disekitarnya. Pendidik dapat menghadirkan objek dan fenomena yang menarik ke dalam kelas. Misalnya guru menghadirkan induk kucing dengan anaknya, atau ulat yang akan menjadi kepompong. Anak akn merasa senang memperhatikan perilaku dan perubahan yang terjadi terhadap binatang tersebut. Bermain dengan air, magnet, balon, suara atau bayang-bayang akan membuat anak sangat senang. Anak juga akan dapat menggunakan hampir semua panca indranya untuk melakukan eksplorasi atau penyelidikan.
4.Memungkinkan anak menkonstruksi pengetahuan sendiri.
Sains tidak melatih anak untuk mengingat berbagai objek, tetapi melatih anak mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan objek tersebut. Oleh karena itu kegiatan pengenalan sains tidak cukup dengan memberitahu definisi atau nama-nama objek, tetapi memungkinkan anak berinteraksi langsung dengan objek dan memperoleh pengetahuan dengan berbagai inderanya dari objek tersebut. Oleh sebab itu sangat tidak tepat jika memperkenalkan anak berbagai objek melalui gambar atau model. Anak membutuhkan objek yang sesungguhnya.
5.Memungkinkan anak menjawab persoalan ”apa” dari pada ”mengapa”
Keterbatasan anak menghubungkan sebab akibat menyebabkan anak sulit menjawab pertanyan ”mengapa”. Pertanyaan tersebut harus dijawab dengan logika berfikir sebab akibat. Jika anak bermain dengan air di pipal lalu anak ditanya ”apa yang akan terjadi jika ujung pipa dinaikkan?”. Anak dapat menjawab, ”air akan mengalir melalui ujung yang lain yang lebih rendah.” tidak perlu anak ditanya ”mengapa jika ujung ini dinaikkan, air akan mengali ke ujung yang lebih rendah”? Hal itu tidak akan dapat dijawab oleh anak. Sering anak menerjemahkan pertanyaan ’mengapa” dengan ”untuk apa”, sehingga pertanyaan mengapa akan dijawab ”agar” atau ”supaya” .
6.Lebih menekankan proses daripada produk
Melakukan kegiatan eksplorasi dengan benda-benda akan sangat menyenangkan bagi anak. Anak tidak brfikir apa hasilnya. Oleh sebab itu guru tidak perlu menjejali nak dengan berbagai konsep sains atau mengharuskan anak untuk menghasilkan sesuatu dari kegiatan anak. Biarkan anak secara alami menemukan berbagai pengertian dari interaksinya bermain dengan berbagai benda. Dengan kata lain proses lebih penting daripada produk.
7.Memungkinkan anak mengunakan bahasa an matematika
Pengenalan sains hendaknya terpadu ddengan disiplin ilmu yang lain, seperti bahasa, matematika, seni dan atau budi pekerti. Melalui sains anak melakukan eksplorasi terhadap objek. Anak dapat menceritakan hasil eksplorasinya kepada temannya (bahasa). Anak melakukan pengukuran, menggunakan bilangan, dan membaca angka (matematika). Anak dapat juga menggambarkan objek yang diamati dan meawarnai gambarnya (seni). Anak juga diajarkan mencintai lingkungan atau benda disekitarnya (budipekerti).
8.Menyajikan kegiatan yang menarik (the wondwer of science)
Sains menyajikan berbagai percobaan yang menarik seperti sulap. Anak-anak yang masih memiliki pikiran magis (/imagical reasoning) akan sangat tertarik dengan keajaiban tersebut. Misalnya air susu dicampur air sabun dan diberi tiga macam pewarna makanan, lalu diaduk. Dengan manmbahkan sedikit air soda, anak akan melihat air berbuih dan mengeluarkan gelembung seperti mendidih, menampilkan air warna warni yang menarik.
MATERI DAN KEGIATAN SAINS
Ada beberapa materi sains yang sesuai untuk anak prasekolah terutama usia 5-6 tahun. Pembelajaran topik-topik sains hendaknya lebih bersifat memberikan pengalaman tangan pertama (first-hand experience) kepada anak, bukan mempelajari konsep saians yang abstrak. Selain itu pembelajaran sains hendaknya mengembangkan kemampuana observasi, klasifikasi, pengukuran, mengunakan bilangan dan mengidentifikasi hubungan sebab akibat. Materi tersebut antara lain:
1.Mengenal gerak.
Anak sangat senang bermain dengan benda-benda yang dapat bergrak, memutar, menggelinding, melenting, atau melorot. Ada beberpa kegiatan untuk mengenalkan anak dengan gerakan, antara lain:
a.Menggelinding dan bentuk benda.
Materi ini menyadarkan anak akan sebab-sebab timbulnya gerakan pada benda. Kemiringan papan, bentuk benda slilidris dan kotak, halus kasarnya permukaan benda ikut mempengaruhi kecepatan gerakan. Materi ini juga dapat melatih kemampuan observasi.
b.Menggelinding dan ukuran benda.
Bermain dengan cara menggelindingkan benda-benda dengan berbagai ukuran akan membantu siswa untuk mengenal bahwa besar kecil, berat ringannya suatu benda akan mempengaruhi gerak benda tersebut. Meteri ini juga melatih kemampuan observasi pada anak.
2.Mengenal benda cair
Bermain dengan air merupakan salah satu kesenangan anak. Pendidik dapat mengarahkan permainan tersebut agar anak dapat memiliki berbagai pengalaman tentang air. Air senantiasa menyesuaikan bentuknya dengan bentuk wadahnya. Air mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yng lebih rendah atau dari tempat yang bertekanan tinggi ke tempat yang bertekanan rendah. Berbagai kegiatan n dengn air, antara lain:
a.Konsevasi volume
Kegiatan ini merupakan cara untuk melatih anak memahami isi atau volume benda cair. Anak Pra operasional belum dapat memahami konservasi volume (Piaget 1972). Oleh karena itu memperkenalkan anak dengan bejana yang dapat diisi akan membantu anak memahami konservasi volume. Sambil mengisi botol besar, lalu memindahkan ke botol yang lebih kecil dan sebalaiknya, anak belajar mengunakan bilangan untuk menghitung banyaknya air yang dimasukkan ke botol tersebut. Anak juga akan berlatih memahami pengertian lebih banyak dan lebih sedikit. Kegiatan ini sebaiknya dilakukan di luar kelas. Agar tidak basah, sebaiknya anak diminta memakai rompi plastik.
b.Tenggelam dan terapung
Kegiatan ini dapat dilakukan di kelas atau di luar kelas. Jika di kelas, beri alas plastik dan koran agar air tidak mmbasahi tempat. Tujuan kegiatan ini adalah agar anak diberi pengalaman bahwa ada benda yang tenggelam an ada yang terapung. Anak sering mengira benda yang berukuran kecil terapung dan yang besar tenggelam. Tenggelam atau terapung tidak ditentukan oleh ukuran benda melainkan oleh berat jenis benda. .
c.Membuat benda terapung
Tujuan kegiatan ini addalah untuk mengenalkan pada anak bahwa benda yang tenggelam dapat dibuat terapung. Dari kegiatan ini pula anak akan memahami, mengapa perahu yang berat dapat terapung. .
d.Larut dan tidak larut.
Sebagian benda larut ke dalam air dan sebagian lagi tidak. Gula, garam dan warna pada teh larut dalam air sehingga akan membentuk larutan. Jika larutan dibiarkan, maka akan membentuk endapan, kecuali jika airnya diuapkan semua. Benda lain tidak larut dalam air, seperti tepung, pasir dan minyak. Jika benda tersebut dicampur dengan air maka tidak akan membentuk larutan, tetapi membentuk campuran. Campuran kelihatan tidak homogen dan jika diendapkan, maka akan terlihat adanya endapan.
e.Air mengalir.
Air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah karena gravitasi bumi. Air dari tempat yang lebih rendah dapat dialirkan ke tempat yang lebih tingi dengan menambah tekanan, misalnya dengan pompa air. Anak sangat senang bermain dengan air mengalir dan memperoleh pengalaman langsung yang kelak akan berguna untuk mempelajari sains.
f.Mengenal sifat berbagai benda cair
Melalui kegiatan ini anak diperkenalkan bahwa benda cair itu bermacam-macam, tidak hanya air. Benda-benda cair itu juga memiliki sifat yang berbeda.

3.Mengenal timbangan (neraca).
Neraca sangat baik untuk melatih anakmenghubungkan sebab akibat karena hasilnya akan nampak secara langsung.jika beban di satu lengan timbangan di tambah, maka beban akan turun. Demikian pula jika beban di geser menjauhi sumbu. Berbagai benda memiliki massa jenis berbeda. Kapas dan spon memiliki massa jenis yang lebih kecil dibanding besi dan batu, meskipun batu dan besi ukurannya kecil tetapi akan lebih berat dari kapas atau spon.
4.Bermain gelembung sabun
Anak sangat menyukai bermain dengan gelembung sabun. Dengan menambahkan satu sendok gliserin pada dua liter air, larutan sabun, akan diperoleeh larutan yang sabun yang menakjubkan yang dapat digunakan untuk membentuk gelembung raksasa, jendela kaca, atau bentuknya lainnya dari busa..
5.Mengenal benda-benda lenting
Benda-benda dari karet pada umumnya memuliki kelenturan sehingga mampu melenting jika dijatuhkan. Demikian pulla benda dari kare yang diisi udara , seperi bola basket, bola voli dan bola plastik. Anak sangat senang bermin dengan benda-benda tersebut.
6.Mengenal Binatang
Binatang merupakan mahluk yang menarik bagi anak-anak karena mampu merespon rangsang. Anjing, misalnya mampu mengembalikan bnda-benda yang dilemparkan pemiliknya. Anak kucing akan mengejar dan menerkam benda-benda yang bergerak. Meskipun masih diperdebatkan dari segi sanaitasi dan higienisnya, memelihara hewan peliharaan dapat mengembangkan rasa kasih dan sayang pada anak. Melalui binatang anak akan belajar banyak tentang mahluk tersebut. Oleh karena itu di nagara-negara maju, kebun binatang dilengkapi dengan pojok sains (sains center) dimana anak dapat berinteraksi dengan bintang yang jinak dan bersih sambil memperlajarinya. Ada beberapa keuntungan yang diperoleh anak jika berinteraksi dengan binatang. Pertama, anak belajar mengenal dan menghargai mahluk hidup, ia belajar bahwa mahluk hidup memerlukan makanan, papan dan kasih sayang. Kedua, anak belajar untuk menyayangi binatang yang pada akhirnya akan menumuhkan rasa kasih sayang pada mahluk hidup.
Masih banyak materi yang dapat membantu anak mengenal sains termasuk mengenal tubuh mereka sendiri. Guru dapat mengembangkan sendiri fenomena-fenomena yang ada dan yang terjadi di sekitar anak. Termasuk tumbuhan yang ada di sekitar mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Appleton, K. Using theory to guide practice: Teaching science from a constrictivist perspective.(1993) School Science and Mathematics.Washington DC.
Bybee, R.W. & Sund, R.B. (1982). Piaget for educators. Colombus, OH: Charles Merrill.
Djohar (2001). Konsep Dasar Pendidikan Biologi. Jurusan Pendidikan Biologi, UNY.
Gagne, R.M. (1985). The Conditions of Learning.(4th ed). New York: Holt, Rinehart & Winston.
Piaget, J.(1970). The Science of Education and The Psichology of The Child. New York: Grossman
Suyanto, Slamet. (2005). Pembelajaran untuk Anak TK. Jakarta: Depdiknas Direktorat Pendidikan Tinggi, Direktorat Pembinaan PTK dan ketenagaan Perguruan Tinggi.


Penulis: Dra. Kartini Marzuki, M.Si (Dosen Jurusan PLS FIP Universitas Negeri Makassar)

Evaluasi hasil pembelajaran pendidikan keaksaraan dengan model patroli aksara

Keberhasilan pembelajaran pendidikan keaksaraan sangat besar dipengaruhi oleh bentuk evaluasi yang digunakan dalam mengukur capaian kemampuan keaksaraan warga belajar. Hasil pembelajaran pada pendidikan keaksaraan selama ini terlihat pada suatu bentuk legalitas keberaksaraan, yaitu diberikannya Surat Keterangan Melek Aksara (SUKMA) kepada warga belajar. Disadari atau tidak, bentuk evaluasi yang dilakukan cukup memberikan pengaruh terhadap capaian keberhasilan program pendidikan keaksaraan. Kenyataan yang ada bahwa alat evaluasi yang selama ini digunakan dalam mengukur hasil pembelajaran pendidikan keaksaraan dominan merupakan alat evaluasi dengan pendekatan format tes, sedangkan bentuk evaluasi dengan pendekatan non tes sering terkesampingkan. Teknik penilaian non tes berarti melaksanakan penilaian dengan tidak mengunakan format tes. Teknik penilaian ini umumnya digunakan untuk menilai kepribadian seseorang (warga belajar/peserta didik) secara menyeluruh meliputi sikap, tingkah laku, sifat, sikap sosial, ucapan, riwayat hidup dan lain-lain. Namun pendekatan non tes ini dapat pula digunakan dalam evaluasi terhadap sebuah program pendidikan, baik itu evaluasi tehadap pembelajaran maupun evaluasi terhadap hasil pembelajaran.
Patroli aksara adalah suatu bentuk alat evaluasi hasil pembelajaran pada pendidikan keaksaraan dengan mengedepankan pendekatan non tes dalam pelaksanaannya. Pengukuran hasil pembelajan yang dicapai oleh warga belajar dalam proses evaluasi model patroli aksara dilakukan melalui proses pengamatan serta free interview dengan warga belajar. Dengan model evaluasi seperti ini, dimungkinkan untuk melihat kemampuan keberaksaraan yang dicapai oleh warga secara dari proses pembelajaran secara menyeluruh hingga pada tataran aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari warga belajar.
Patroli aksara merupakan model evaluasi yang dapat diterapkan sebagai suatu model alat evaluasi untuk mendapatkan SUKMA pada pendidikan keaksaraan. Model evaluasi patroli aksara menitikberatkan proses evaluasinya pada pengamatan yang dilakukan oleh tutor selaku evaluator terhadap warga belajar. Dalam proses pengamatan tersebut, dilakukan wawancara ringan dengan variasi pertanyaan atau permintaan terhadap warga belajar yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan keberaksaraan warga belajar yang merupakan capaian hasil pembelajaran yang telah dilakukan.
Evaluasi model patroli aksara merupakan bentuk evaluasi hasil pembelajaran dimana tutor sebagai evaluator melakukan pengawasan terhadap kemajuan pembelajaran yang dicapai oleh warga belajarnya. Pengawasan tersebut dilakukan tidak hanya di kelas atau tempat belajar pada saat proses pembelajaran, melainkan juga dilakukan diluar tempat dan waktu pembelajaran. Dalam proses evaluasi ini, tutor diharapkan untuk lebih banyak berinteraksi dengan warga belajar di luar suasana pembelajaran. Tutor melakukan kunjungan ke rumah atau ke tempat warga belajar biasa beraktifitas untuk melakukan penilaian kemampuan keaksaraan warga belajar. Bentuk kunjungan yang dilakukan oleh tutor merupakan kunjungan informal yang nampak sebagai sebuah pertemuan biasa dengan berbagai alasan (silaturrahmi, mampir, main dan lain-lain)
Model patroli aksara dalam evaluasi hasil pembelajaran pendidikan keaksaraan merupakan bentuk penilaian terhadap capaian keberaksaraan warga belajar pendidikan keaksaraan dengan menggunakan pendekatan non tes. Model ini mengedepankan metode observasi dan wawancara dalam pelaksanaannya.
Dalam model patroli aksara, tutor sebagai evaluator melakukan suatu bentuk observasi partisipatif untuk menilai kemampuan warga belajar. Selain itu tutor juga membangun suatu wawancara yang bersifat free interview dengan warga belajar. Dalam wawancara tersebut sedapat mungkin untuk membangun suasana wawancara yang bebas dan akrab sehingga tampak bahwa wawancara yang dilakukan hanya merupakan sebuah percakapan biasa, bukan sebagai sebuah kegiatan evaluasi yang dilakukan seorang tutor untuk menilai kemampuan warga belajarnya. Hal ini penting untuk menjaga suasana kebatinan warga belajar. Ketika mereka dihadapkan pada suatu alat evaluasi hasil pembelajaran model konvensional seperti bentuk alat evaluasi pada Sekolah Dasar tingkat awal bahkan TK, maka cenderung akan timbul rasa malu, ragu, was-was dan-lain, bahkan bisa jadi warga belajar akan merasa direndahkan dengan penerapan alat evaluasi seperti ini. Hal ini bisa menjadi sesuatu yang memberikan pengaruh yang besar terhadap pengekspresian kemampuan keaksaraan warga belajar. Belum lagi pengaruh faktor usia, tingkat emosional serta keberadaan warga belajar dalam tatanan masyarakatnya.
Langkah-langkah dalam pelaksanaan model evaluasi patroli aksara yaitu:
1. Membuat format penilaian
Meskipun evaluasi model patroli aksara kesannya sebagai sebuah bentuk evaluasi yang subjektif dimana tutor sebagai evaluator memegang kendali penuh serta proses evaluasi ini menitikberatkan pengukuran kemampuan warga belajar dari hasil observasi dan wawancara, namun seperti pada model evaluasi hasil belajar dengan memakai format tes, dalam evaluasi model patroli aksara juga digunakan acuan berupa instrumen pengukuran capaian keberaksaraan warga belajar sebagai rambu-rambu dalam melakukan proses evaluasi.
2. Melakukan proses evaluasi
Dalam pelaksanaan model evaluasi patroli aksara, tutor melakukan pengamatan terhadap kemampuan keberaksaraan yang dimiliki oleh warga belajar. Pengamatan tersebut dilakukan disetiap interaksi antara tutor dan warga belajarnya selama proses pelaksanaan program, baik interaksi itu pada saat proses belajar mengajar maupun di luar dari itu, seperti tutor melakukan kunjungan ke rumah atau ke tempat beraktifitas warga belajar. Bahkan pada saat tutor berinteraksi lewat perbincangan telepon pun proses evaluasi patroli aksara dapat dilakukan.
Selama proses interaksi tersebut tutor dapat melakukan pengukuran dengan cara mengamati warga belajar. Berikut contoh proses pelaksanaan evaluasi model patroli aksara terhadap seorang warga belajar dengan identitas sebagai berikut:


Nama warga belajar : Anto
Umur : 36 Tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Pekerjaan : Tukang Becak
Tutor dapat melakukan proses evaluasi terhadap si Anto dengan cara mengamati kemampuan membaca, menulis dan berhitung Anto di dalam dan di luar proses belajar mengajar. Dalam proses belajar mengajar, tutor dapat mengukur sejauh mana kemampuan membaca Anto pada saat pembelajaran membaca. Apakah anto telah dapat membaca satu kalimat dengan lancar atau kurang lancar, atau Anto baru dapat membaca dengan lancar satu kata yang maksimal terdiri atas dua sampai dengan tiga suku kata. Demikian pula halnya dengan pengukuran terhadap kemampuan menulis dan berhitung Anto.
Di luar proses pembelajaran, tutor dapat melakukan penilaian terhadap kemampuan keberaksaraan Anto dengan berkunjung ke rumah Anto atau ke tempat dimana Anto biasanya menunggu penumpang. Pada pertemuan dengan Anto tersebut, tutor dapat melakukan evaluasi lewat suatu proses wawancara yang sederhana berupa percakapan ringan yang nampak bukan sebagai sebuah wawancara, sehingga tidak tampak ada sebuah proses pengamatan didalamnya. Untuk menilai kemampuan membaca Anto, tutor dapat berpura-pura menanyakan sesuatu dimana untuk menjawab pertanyaan tersebut Anto mesti melakukan kegiatan membaca terlebih dahulu. Contoh, tutor memberikan secarik kertas yang bertuliskan sebuah alamat dan menanyakan kepada Anto, apakah dia mengetahui alamat tersebut. Untuk menilai kemampuan berhitungnya, tutor dapat menanyakan tentang pendapatan rata-rata perhari yang diperoleh Anto dari hasil menarik becak. Kemudian tutor menanyakan lagi berapa pendapatan rata-rata perminggu atau perbulan yang diperoleh Anto dari hasil pekerjaannya tersebut. Demikian pula halnya untuk menilai kemampuan menulisnya.
Dari variasi-variasi pertanyaan atau permaintaan yang diajukan tutor dalam percakapan dengan warga belajar, tutor dapat mengukur capaian kemampuan keberaksaraan warga belajarnya. Hanya saja dalam sebuah interaksi dengan warga belajar, tutor tidak mesti melakukan pengukuran terhadap semua kemampuan keberaksaraan (membaca, menulis dan berhitung) warga belajar. Dalam satu interaksi, tutor mungkin hanya dapat menilai kemampuan membaca seorang warga belajar, utamanya interaksi yang terjadi di luar luar jam pelajaran. Namun yang perlu diingat bahwa evaluasi model patroli aksara ini merupakan proses evaluasi menyeluruh terhadap warga belajar selama proses pembelajaran pendidikan keaksaraan. Jadi yang menjadi tolak ukur penilaiannya bukan hanya pada hasil akhir proses pembelajaran, tapi juga capaian-capaian kemampuan keberaksaraan pada tiap tahap proses pembelajaran. Evaluasi model patroli aksara ini juga merupakan kegiatan evaluasi hasil pembelajaran keaksaraan yang melihat kemampuan keberaksaraan warga belajar pada tataran aplikasi kemampuan keberaksaraan warga belajajar dalam kehidupan sehari-hari.

3. Pencatatan hasil proses evaluasi
Selama proses intraksi dengan warga belajar dalam rangka evaluasi hasil pembelajaran dengan model patroli aksara, pencatatan terhadap penilaian kemampuan keberaksaraan warga belajar tidak dilakukan. Pencatatan dilakukan setelah proses interaksi tersebut. Tutor dapat membuat catatan atau mengisi format capaian kemampuan keberaksaraan warga belajar yang telah dibuat/dipersiapkan berdasarakan hasil pengamatan (observasi) dan wawancara (perbincangan ringan) dengan warga belajar.

Penulis; Suyuti Zakir, S.S
Penilik PLS Dinas Pendidikan Kota Palopo

Sunday, January 23, 2011

Pengembangan Anak Usia Dini (PAUD) Holistik-Integratif


Konsep Dasar Pengembangan Anak Usia Dini

Berbagai studi menunjukkan bahwa periode 5 (lima) tahun pertama kehidupan anak merupakan 'Masa emas' (golden period) atau 'Jendela Kesempatan' (window opportunity) dalam meletakkan dasar-dasar tumbuh kembang anak. Kualitas tumbuh kembang anak pada masa ini akan menentukan kualitas kesehatan fisik, mental, emosional, sosial, kemampuan belajar dan perilaku sepanjang hidupnya.
Oleh karena itu Golden period harus dimanfaatkan (digarap) sebaik-baiknya untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Ada 2 hal yang perlu dilakukan orang tua, pendidik, dan pengasuh yaitu:
1. Mememenuhi kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang yang optimal.
2. Melakukan stimulasi, deteksi dan intervensi dini tumbuh kembang (SDIDTK) anak.
Kedua upaya di atas dikenal sebagai Pengembangan Anak Usia Dini (PAUD). Upaya PAUD dapat dilakukan sendiri di rumah dengan menggunakan sumber daya yang tersedia di rumah dan lingkungan rumah (disebut jalur informal). Akan lebih baik lagi bila mengikutsertakan anak usia dini pada kegiatan yang diselenggarakan Lembaga yang menyelenggarakan 'PAUD satu atap' yang tersedia di lingkungan tempat tinggal seperti Posyandu gabung dengan Bina Keluarga Balita (BKB) dan Pos PAUD baik melalui jalur pendidikan formal maupun non formal (lihat Undang-Undang terkait tentang Sistem Pendidikan Nasional di bagian bawah).

Latar belakang Pengembangan Anak Usia Dini (PAUD) Holistik-Integratif di Indonesia
Cikal bakal penyelenggaraan upaya PAUD di Indonesia sudah dilaksanakan masyarakat sejak beberapa puluh tahun yang lalu, baik yang telah lama dikenal seperti TK dan Posyandu maupun yang belum terlalu lama terbentuk seperti Pos PAUD. Masing-masing dikelola oleh Departemen/Kementerian/Lembaga, masyarakat dan dunia usaha, antara lain melalui jalur:
Taman Kanak-kanak (TK)
Raudatul Athfal (RA)
Bustanul Athfal (BA)
Sekolah Minggu
Kelompok Bermain (Play group)
Taman Penitipan Anak (TPA)
Satuan PAUD Sejenis (SPS)
Pos PAUD
Bina Keluarga Balita (BKB)
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu)
dll
Namun penyelenggaraan PAUD tersebut masih menghadapi berbagai permasalahan yang menyebabkan terbatasnya jangkauan, jenis pelayanan dan kesenjangan kebutuhan esensial anak, yang disebabkan antara lain:
* Pelayanan belum terintegrasi (masing-masing Lembaga nampak berjalan sendiri-sendiri dan kurang koordinasi dengan Lembaga lain yang sejenis).
* Kualitas pengelolaan kurang profesional.
* Keterbatasan jumlah Lembaga penyelenggara.
* Distribusi Lembaga penyelenggara kurang merata.
* Distribusi dan kualitas tenaga kurang merata.
* Fasilitas pelayanan kurang memadai.
* Pelayanan belum memenuhi seluruh aspek kebutuhan esensial anak.
* Pemahaman akan pentingnya pengembangan anak usia dini yang holistik-integratif dari para pemangku kepentingan (baik dari para pengambil kebijakan, penyelenggara dan masyarakat) masih terbatas.

Upaya kearah pengembangan anak usia dini telah dikembangkan Departemen Kesehatan sejak tahun 1988 melalui program Deteksi Dini Tumbuh Kembang (DDTK) Anak. Pada sekitar tahun 1999 dibentuk Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) pada Departemen Pendidikan Nasional, sejak saat itu upaya PAUD semakin berkembang dan mendapat respon positif dari masyarakat. Seiring dengan semakin berkembangnya pengetahuan dan penelitian mengenai PAUD, maka kebutuhan akan PAUD meningkat pesat, selaras dengan itu konsep PAUD mulai berubah. Para ahli menganggap perlu dan mendesak untuk melakukan Pengembangan Anak Usia Dini secara holistik (utuh dan menyeluruh) dan terintegrasi lintas sektor yang disebut sebagai "PAUD Holistik-Integratif".

Apakah PAUD Holistik-Integratif itu?
Pengembangan Anak Usia Dini (PAUD) Holistik-Integratif adalah pengembangan anak usia dini yang dilakukan berdasarkan pemahaman untuk memenuhi kebutuhan esensial anak yang beragam dan saling berkait secara simultan dan sistematis, yang meliputi berbagai aspek pengembangan fisik dan non fisik, agar anak dapat tumbuh kembang sebagai anak yang sehat, kuat, cerdas, ceria, dan berbudi luhur. Pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini secara fisik, mental, emosional, dan sosial dipengaruhi oleh pemeliharaan kesehatan, pemenuhan gizi, pendidikan, stimulasi mental, dan psikososial (Bappenas).

PAUD dalam Sistem Pendidikan Nasional
Menurut Undang-Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, BAB I KETENTUAN UMUM, Pasal 1 ayat 14:

"Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam pendidikan yang lebih lanjut".

Undang-Undang yang sama, BAB VI JALUR, JENJANG, DAN JENIS PENDIDIKAN, Bagian Ketujuh, Pendidikan Anak Usia Dini, Pasal 28 ayat 1-6:
(1) Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
(2) Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.
(3) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
(4) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
(5) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
(6) Ketentuan mengenai pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dasar perlunya PAUD Holistik-Integratif
Hal-hal yang mendasari perlunya PAUD Holistik-Integratif adalah:
1. Memenuhi kebutuhan esensial anak secara utuh dan menyeluruh.
2. Memenuhi pelayanan kepada anak yang sistematik dan terencana.
3. Tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh sistem interaksi yang kompleks dengan berbagai tingkatan lingkungan sekitarnya yang disebut 'Ekologi tumbuh kembang anak usia dini'. Lingkungan yang dimaksud meliputi sistem mikro, meso, exo dan makro (dibahas pada keterangan di bagian bawah).
4. Adanya masa emas (golden period) pada tumbuh kembang anak, yaitu sejak janin sampai usia 5 atau 6 tahun.
5. Manfaat dan pendekatan PAUD Holistik-Integratif sudah teruji secara ilmiah
Sistem Mikro adalah lingkungan yang paling dekat dengan anak dalam kegiatan dan interaksinya sehari-hari, yaitu interaksi dengan orang tua, kakak, adik, dan teman sebaya. Interaksi dengan lingkungan terdekat akan berakibat langsung terhadap anak, pada saat yang sama juga terdapat hubungan timbal balik (2 arah) yaitu anak mempengaruhi lingkungan dan lingkungan mempengaruhi anak. Lingkungan ini mempunyai dampak terbesar dan mendalam pada perkembangan anak karena berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dan intensif pada anak usia dini.
Sistem Meso adalah interaksi antar komponen dalam sistem mikro, misalnya hubungan antara keluarga dengan sekolah. Bila terjadi hubungan yang kuat dan saling mengisi antar komponen ini maka semakin besar pengaruh baiknya bagi perkembangan anak.
Sistem Exo merupakan sistem sosial yang lebih besar dimana anak tidak langsung berperan di dalamnya. Contoh: lingkungan kerja orang tua. Kebijakan dan keputusan pada tataran ini secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan anak.
Sistem Makro merupakan lingkungan terluar anak seperti nilai-nilai budaya, hukum, adat, peraturan perundang-undangan, dll yang juga berpengaruh tidak langsung terhadap perkembangan anak.
Manfaat pendekatan PAUD Holistik-Integratif
Manfaat secara sosial
Meliputi perkembangan kemampuan berbahasa, intelegensia, kepribadian, perilaku sosial, ketahanan mental dan psikososial serta prestasi akademik. Hasil studi mengungkapkan bahwa investasi yang diberikan pada kelompok usia dini akan dipetik hasilnya pada tahap-tahap selanjutnya dari siklus hidupnya.
Contohnya: perkembangan kemampuan berbahasa anak sangat dipengaruhi oleh intensitas interaksi orang tua untuk berbicara dengan anak. Jumlah kata-kata yang dikuasai anak secara dini sangat berpengaruh pada kemampuan berbahasa mereka yang selanjutnya akan mempengaruhi kinerja kognitif anak. Tingginya kemampuan berbahasa, intelegensia, kepribadian, perilaku sosial, ketahanan mental dan psikososial serta prestasi akademik akan dipetik hasilnya ketika anak sudah dapat mengekspresikan dan mengimplementasikan karya-karyanya yaitu pada umumnya ketika anak sudah mulai beranjak dewasa.
Manfaat secara ekonomi
Secara ekonomi, maka PAUD Holistik-Integratif bermanfaat untuk:
* Menghasilkan economic return yang lebih dan menurunkan social costs di masa yang akan datang.
* Meningkatkan efisiensi investasi pada sektor lain, misal: dengan melakukan intervensi program gizi, kesehatan dan pendidikan sejak dini maka akan menurunkan biaya yang diakibatkan masalah-masalah kesehatan dan problem sosial dimasa depan.
* Mencapai pemerataan sosial-ekonomi masyarakat termasuk mengatasi kesenjangan antar gender.
* Memutus siklus kemiskinan antar generasi.

Kesimpulan
Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif sangat diperlukan mengingat anak adalah individu yang utuh, maka pengembangannnya perlu dilakukan secara utuh dan menyeluruh. Diperlukan program yang terintegrasi meliputi pemeliharaan kesehatan, pemenuhan gizi, pendidikan, stimulasi mental, dan psikososial untuk memenuhi semua kebutuhan dasar anak (fisik, mental, emosional, dan sosial) agar dapat bertumbuh dan berkembang optimal sesuai potensi yang dimilikinya.

Referensi
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan_anak_usia_dini, diakses 26 Februari 2010.
2. http://www.diknas.go.id/headline.php?id=2, diakses 26 Februari 2010.
3. Materi Bappenas pada 'Pertemuan Regional I Evaluasi Kegiatan Integrasi Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK), Gizi, Kesehatan dan PAUD kerjasama Kementerian Kesehatan dengan Kementerian Pendidikan Nasional, Bandung 23-25 Februari 2010, Pedoman Umum Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif.
4.enas-Unicef, Jakarta, 2009, Pedoman Umum Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif.

oleh : dr. Awi Muliadi Wijaya, MKM

Thursday, January 20, 2011

MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN DIRI SIAP BEKERJA MELALUI PROGRAM PENDIDIKAN NONFORMAL


Lulusan Pendidikan sekolah (pendidikan formal), mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi, tentunya tidak akan mau menjadi penganggur, tetapi ingin terjun ke dunia kerja. Dunia kerja sangat lain dengan dunia belajar di bangku sekolah. Dari lingkungan belajar di sekolah dengan permasalahan lebih sedikit, menuju medan perburuan kerja dengan sejumlah permasalahan dan sama sekali lain.
Kegelisahan dan kecemasan yang dirasakan lulusan sekolah menjadi faktor intern; disambut dengan promosi sejumlah lembaga pendidikan yang menawarkan kemudahan dan keahlian untuk siap bekerja sebagai faktor ekstern, maka lengkap sudahlah faktor pendorongnya untuk mengembangkan diri sebelum terjun ke dunia kerja. Dalam konteks yang demikian, penentuan pilihan lembaga pendidikan untuk bekal bekerja adalah suatu hal yang sulit.

KEMAMPUAN DIRI SIAP BEKERJA
Menyiapkan dana untuk pengembangan kemampuan diri agar siap bekerja adalah sikap yang tepat; tetapi kemana diri kita akan dikembangkan dan apa saja yang perlu dikembangkan adalah pertanyaan yang harus dijawab, sebelum menerima uluran tangan lembaga pendidikan yang tak ada gratis begitu saja.
Ada enam unsur yang dapat menjadikan seseorang mampu memburu lapangan kerja dan berhasil. Keenam unsur tersebut adalah nilai, perasaan, keterampilan, kreativitas, resiko, dan tujuan. Keenam unsur yang telah disebutkan akan dibahas sebagai berikut
Pertama, nilai yang didefinisikan sebagai keseluruhan elemen yang menunjukkan bagaimana seseorang mempunyai keputusan untuk menggunakan hidupnya. Nilai ditentukan oleh dua hal utama, yakni pengalaman masa lalu dan harapan masa depan yang riel, akan menjanjikan nilai diri seseorang semakin kompetitif.
Kedua, perasaan yang didefinisikan sebagai reaksi emosional yang diberikan seseorang pada suatu kejadian tertentu.
Ketiga, keterampilan yang didefinisikan sebagai segala ragam kemungkinan yang paling luas tentang atribut yang mewakili kekuatan, kemampuan, dan karakteristik yang memberikan potensi terbesar, sebagai jalan menuju sukses menghadapi problem, tugas, dan pengalaman lainnya.
Keempat, kreativitas, yakni semua olah pikir yang diarahkan untuk menghasilkan gagasan yang lebih sekedar menyelesaikan problem. Selalu terdapat lebih dari satu penyelesaian suatu problem, dengan jalan melakukan modifikasi, penyederhanaan, penekanan atau penguatan, penggabungan dengan yang lain, pengaturan kembali, pembalikan, dsb.
Kelima, pengambilan resiko yang merupakan pengambilan satu dari sekian banyak alternatif dengan menyadari tanggung jawab dan resiko atas pilihan yang telah ditentukan. Resiko diambil setelah diperhitungkan kegagalan minimumnya, maksimun hasil yang dicapai, dan kemungkinan keberhasilannya.
Keenam, penentuan tujuan yang merupakan target yang hendak dicapai. Dalam hal ini dikenal dua jenis target, yakni target antara dan target akhir. Target antara adalah target sementara yang harus dilewai mencapai target akhir.

MENGENAL JENIS-JENIS PEKERJAAN
Mengenal jenis-jenis pekerjaan yang ada, berguna bagi seseorang untuk menentukan jenis pekerjaan apa yang akan dipilih dan ditekuni. Menurut jenisnya pekerjaan dibagi tiga, yaitu:
Pertama, pekerjaan lapangan. Sesuai dengan jenisnya, pekerjaan ini lebih banyak dilakukan di lapangan (alam terbuka), baik di darat, laut, maupun udara, bahkan di bawah tanah. Karena lokasi yang terbuka tentu saja temperatur udara juga berbeda-beda sesuai dengan keadaan alamnya. Oleh karena itu, pekerjaan lapangan menuntut persyaratan stamina fisik yang memadai dan harus mempunyai minat terhadap tugas-tugas luar. Selain di lokasi yang berbeda-beda juga akan berhubungan dengan orang yang berbeda-beda pula. Oleh sebab itu, pekerjaan lapangan harus memiliki penyesuaian diri yang baik. Contoh pekerjaan ini: tenaga penjualan/ salesmen, tenaga bangunan, dan operator mesin pertanian.
Kedua, pekerjaan produksi. Pekerjaan ini lebih banyak dilakukan di dalam ruangan. Kondisi lingkungan untuk pekerjaan ini relatif bising (suara mesin). Untuk pekerjaan tertentu, tempratur ruang agak panas dan bising karena pengaruh mesin. Pekerjaan ini monoton, sehingga dibutuhkan ketekunan dan keterampilan bagi pekerjanya. Contoh pekerjaan ini: operator mesin gergaji, tukang rakit jam, dan operator mesin penggilingan padi.
Ketiga, pekerjaan administratif. Kondisi kerja untuk pekerjaan ini sebagian besar di dalam ruangan, sehingga pengaruh cuaca relatif kecil. Faktor kebisingan maupun bahaya kecelakaan kerja hampir tidak ada. Pekerjaan lebih banyak duduk di belakang meja. Pekerjaan jenis ini menuntut kemampuan ketatausahaan yang memadai. Untuk jabatan-jabatan tertentu dibutuhkan daya analisis, inisiatif, dan kemampuan mengambil keputusan secara tetap. Karena sifat pekerjaan cenderung diulang-ulang dan rutin maka dibutuhkan ketekunan. Contoh pekerjaan ini: resepsionis, juru sortir surat, sekretaris, akuntan, dan manajer personalia.

PROGRAM PENDIDIKAN NONFORMAL MERUPAKAN ALTERNATIF
Program PNF/PLS memiliki kurikulum yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang mendesak, program belajarnya lebih sederhana, dan memiliki waktu pembelajaran yang singkat/ pendek, serta hasil belajarnya dapat digunakan segera. Selain itu program PNF beragam bentuk dan jenis satuan pendidikannya, seperti Kelompok belajar ( Kejar) Paket A, Paket B, Paket C, Kejar Usaha, Magang, kursus keterampilan, dan berbagai program keahlian khusus; ada yang dikelola pemerintah, swasta, dan perorangan.
Melihat karakteristik, jenis dan satuan PNF, nampaknya dapat dijadikan alternatif pilihan untuk mengembangkan kemampuan diri untuk siap bekerja. Semua jenis dan satuan PNF sebagaimana yang telah disebutkan, sudah ada dan terdapat dimana-mana, tinggal memilih sesuai kebutuhan dan minat.

KONDISI PROGRAM PNF YANG MENJADI PILIHAN
Sedikitnya terdapat lima hal yang perlu mendapat perhatian dalam memilih program PNF, yaitu kaji silabi (program dan waktu), guru/pengajar, sarana belajar, biaya dan akreditasi. Untuk jelasnya dibahas sebagai berikut
Pertama, kaji silabi. Diawali mempelajari brosur yang ditawarkan lembaga PNF. Sebaiknya dikunjungi dan dipelajari lebih dari satu tempat program PNF, dipertimbangkan plus dan minusnya, Jangan mudah termakan bualan lembaga penyelenggara program PNF. Pakailah rasio yang logis, jangan libatkan emosi, misalnya ada brosur yang menyebutkan ’gratis’, ditanggung bisa bahasa Inggeris hanya tiga minggu. Apa ada urusan bisnis bisa gratis, apa mungkin bisa bahasa Inggeris hanya dalam waktu tiga minggu.
Perhatikan secara seksama apa tujuan program PNF, silabi (program pembelajaran), lama waktu belajar, kapan mulai dan kapan berakhir program pembelajarannya, saat belajar (pagi, siang, sore atau malam). Bandingkan, gunakan pameo ’pembeli adalah raja’. Bila belum jelas tanyakan pada penyelenggara program PNF.
Kedua, guru/ pengajar. Apapun nama program PNF, sedemikian rinci silabinya, perlu diperhatikan siapa guru/ pengajarnya, latar belakang pendidikannya, pengalaman mengajar, sikap dan tindak tanduknya ketika mengajar, penghargaan yang diperoleh adalah kisi-kisi yang perlu diamati dan dicermati.
Ketiga, sarana belajar. Bagaimana keadaan kelas untuk kegiatan belajar mengajar, peralatan dan kondisi laboratorium atau workshop, manajemen (administrasi). Walaupun ruangan ber-AC memang lebih sejuk, tetapi apakah itu keharusan yang dituntut oleh peralatan belajar.
Untuk program PNF yang berjenis keterampilan, perlu diamati berapa jumlah alat atau mesin, berapa jumlah peserta dalam satu kelas, sudah tertibkah manjemen programnya. Perlu juga diamati bahwa tak ada keterampilan yang dilatihkan tanpa melakukan praktek (learning by doing).
Keempat, pertimbangan biaya. Berapa biaya total program ? dicicil berapa kali. Pertimbangkan matang-matang, sebab program PNF yang murah belum tentu baik, tetapi yang mahal juga bukan jaminan mutu. Program PNF yang murah dan gratis biasanya pemberiannya secara massal, perbandingan peserta didik dengan pengajarnya atau sarana yang dimiliki cukup besar. Akibatnya proses pembelajaran juga tidak efisien. Program PNF yang mahal kadangkala disebabkan fasilitas program yang dicari-cari. Kemudian service apapun, pasti yang dikorek juga dari kantong peserta didik. Bahkan tak jarang mahal untuk keperluan gengsi. Lebih mudahnya, carilah program PNF yang berbiaya dengan kalkulasi yang masuk akal.
Kelima, akreditasi, atau pengesahan status lembaga/ program PNF. Sudah diakreditasikah lembaga pendidikan yang dipilih ? Siapa yang mengeluarkan akreditasi ? Lembaga yang mengeluarkan akreditasi tersebut cukup bonafidkah ? Bagaimanapun tingkatan akreditasi akan menentukan sejauhmana kredential (diploma, sertifikat atau surat keterangan) dari lembaga/ program PNF dihargai oleh masyarakat dan atau oleh lembaga pemilik pekerjaan (pemakai lulusan)

PENUTUP
Kesiapan seseorang untuk bekerja tidak terbatas ketika lulus dari suatu lembaga pendidikan formal (sekolah). Justru kesiapan bekerja ditentukan sejauhmana seseorang memiliki kemampuan diri untuk siap bekerja. Unsur-unsur yang dapat memperkuat kemampuan diri seperti: nilai positif dalam mengambil keputusan, perasan positif, keterampilan produktif fungsional, kreativitas yang terarah, keberanian mengambil resiko dan penentuan tujuan/ target dalam beraktivitas.
Mengembangkan kemampuan diri untuk siap bekerja, dapat dilakukan dengan cara mengenali jenis-jenis pekerjaan yang ada, dan memilih program PNF yang relevan untuk mengasah kemampuan diri, setelah mempertimbangkan kondisi program pembelajaran yang menjadi pilihan.

DAFTAR PUSTAKA

Brembeck, Cole S., et.all; 1973, New Strategies For Educational Development: The Cross-Cultral Search For Nonformal Alternatives, Institut For International Studies College of Education, Michigan University.

Depnaker R.I., 1992, Klasifikasi Jabatan Indonesia, Jakarta: Proyek PPTK Ditjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja.


Oleh: Ali Latif Amri (Pengajar jurusan PLS Universitas Negeri Makassar)

Wednesday, January 19, 2011

Pendidikan Keaksaraan dengan Pendekatan Tutor BalibolaE


Istilah “BalibolaE” diangkat dari akar budaya lokal Bugis, dengan mempertimbangkan karakteristik masyarakatnya yang religius, menjunjung tinggi nilai gotong royong, kekerabatan, loyalitas, dan menghormati budaya leluhur.
Secara morfologis, kata “BalibolaE” berasal dari bahasa Bugis “Bali bola”. Kata “bali” biasanya diartikan “berhadapan”, “berpasangan” sedangkan “bola” rumah atau tempat tinggal. Dalam penulisan ditulis secara terpisah, dan apabila ditambahkan huruf “E” di belakang, maka penulisannya bersambung. Fungsi kata “E” pada kata dalam bahasa bugis menunjuk kata sifat. “Bali bola” lazim diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan arti tetangga. Dalam ajaran Islam Nabi mengajarkan bahwa batasan tetangga adalah 40 rumah dari samping kiri dan kanan, muka dan belakang. Bahkan ada yang memberi batasan tetangga adalah sejauh mata memandang.
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, kata “balibolaE” semua merujuk pada hubungan kekeluargaan, kekerabatan dan keakraban. Pendekatan tutor “BalibolaE” diangkat sebagai salah satu pendekatan dalam pembelajaran pendidikan keaksaraan, karena salah satu ciri khas pembelajaran dalam pendidikan keaksaraan adalah diangkat dari konteks dan desain lokal.
Penyelenggaraan pendidikan keaksaraan melalui pendekatan tutor “balibolaE” adalah suatu model layanan pendidikan bagi warga masyarakat yang belum mampu menulis, membaca, dan berhitung dengan memanfaatkan potensi lokal ( tutor, budaya, sosial dan potensi sumber daya) yang ada di lingkungan warga belajar. Dalam konsep penerapannya tutor “balibolaE” bukan hanya orangnya (tutor) tetapi segala sesuatu yang mendukung proses pembelajaran di dalam/sekitar rumah dan di lingkungan di mana warga belajar itu berada. Ciri khas dari pendidikan keaksaraan melalui pendekatan tutor “balibolaE” adalah: (1) tutor direkrut dari tetangga warga belajar, (2) target yang dibelajarkan oleh setiap tutor tidak dipatok dengan sistem kelompok (10 orang), tergantung berapa orang tetangganya yang buta aksara dan kesanggupan tutor itu sendiri, (3) insentif tutor dihargai/dibayarkan sesuai dengan jumlah warga belajar yang dilayani, dan (4) tema-tema pembelajaran diangkat dari konteks dan desain lokal di mana warga belajar itu berada, dimulai dari lingkungan terkecil, rumah dan isinya, dan sekitar rumah dan tetangganya.

Oleh: Pokja Keaksaraan BPPNFI Regional V Makassar

Jalan Panjang Keberaksaraan Badui



Ada hikmahnya ketika peringatan Hari Aksara Internasional setiap 8 September pada tahun ini diselenggarakan di Cilegon, Provinsi Banten. Provinsi Banten pernah mendapat predikat lumbung buta aksara karena jumlah orang yang buta aksara cukup tinggi, yaitu 500-an ribu orang. Jumlah itu sekarang menurun tajam menjadi 150-an ribu orang.
Namun, yang menarik dari Banten bukanlah angka statistik orang buta aksara yang menurun drastis, melainkan adanya kelompok masyarakat adat Badui. Seperti diketahui, sebagian komunitas adat tersebut hingga saat ini masih menolak belajar aksara, khususnya aksara Latin. Masyarakat ini terdiri atas Badui Dalam dan Badui Luar. Mereka tinggal di 59 desa di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Kini hanya tinggal tiga desa yang masih menganut tradisi secara ketat yang dianut kaum Badui Dalam.

Mengapa keaksaraan penting? Menurut frasa yang dirumuskan dalam pembukaan resolusi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, "Keaksaraan penting bagi pemerolehan keterampilan hidup, baik bagi anak-anak, pemuda, maupun orang dewasa, sehingga mereka dapat mengatasi tantangan yang dihadapi dalam hidup mereka dan merupakan langkah pokok dalam pendidikan dasar, yang merupakan faktor yang sangat diperlukan untuk bisa berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat dan ekonomi abad ke-21." Dalam bahasa lain, menurut Ella Yulaelawati, Direktur Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional, keaksaraan adalah prasyarat untuk memperoleh berbagai kemampuan dasar belajar agar siapa pun dapat mencari, memperoleh, menggunakan, dan mengelola informasi untuk meningkatkan mutu hidupnya.

Namun, dalam konteks masyarakat Badui, tampaknya keberaksaraan tak hanya menyangkut persoalan aksara sebagai alat, tapi juga aksara sebagai sebuah paradigma. Aksara Latin dalam hal ini dipandang mewakili paradigma ilmu pengetahuan modern. Sedangkan masyarakat adat Badui adalah komunitas adat yang percaya memiliki tradisi keilmuan tua yang mereka warisi secara turun-temurun secara lisan dari generasi ke generasi. Menurut Ayah Mursyid, salah satu tokoh masyarakat adat Badui Dalam, masyarakat Badui adalah keturunan Adam Tunggal, dan ada sejak permulaan bumi.

Cara pandang masyarakat Badui terhadap alam sama dengan masyarakat primitif yang menyatu dengan alam, dengan prinsip menjaga keseimbangan. Manusia adalah bagian dari alam, dan karena itu harus hidup harmonis dengan alam. Posisi ini berseberangan dengan pandangan masyarakat modern yang antroposentris, yang memandang manusia superior di hadapan alam dan karena itu berhak mengeksploitasinya. Pandangan masyarakat modern ini terbukti telah menghasilkan dampak peradaban modern yang mengakibatkan krisis lingkungan yang akut. Masyarakat bumi sekarang ini dihantui oleh bencana akibat krisis lingkungan yang disebut sebagai pemanasan global. Dalam konteks ini, pelajaran dari masyarakat Badui Banten menyangkut alam menemukan konteks dan momentumnya.
Secara ilmu lingkungan, sebetulnya masyarakat Badui tak hanya melek aksara, tapi juga memiliki ilmu tua yang sebetulnya bisa menjadi bahan pelajaran lingkungan oleh manusia modern. Dan beruntunglah masyarakat Badui di Indonesia ini masih ada dan tak tergusur oleh badai politik yang menguasai Jakarta. Bukan hanya masih ada, mereka juga berhasil mempertahankan kelestarian hutan di sekitarnya seperti hutan lindung di Gunung Salak, hingga kini. Jadi keberadaan budaya masyarakat Badui memang anomali di tengah budaya Indonesia yang memasuki masa industrialisasi. Namun, bukan berarti mereka tak berbudaya.

Untuk menghadapi masyarakat Badui, pemerintah harus menimbang-ulang positioning negara vis a vis masyarakat Badui. Pertama, bahwa masyarakat Badui memiliki budaya, dan bahkan peradaban sendiri, yang karena itu layak memperoleh apresiasi dari pemerintah Republik Indonesia. Kedua, bahwa program keaksaraan dari pemerintah itu sesuatu yang niscaya, dan karena itu masyarakat Badui sebaiknya juga belajar beraksara, seperti yang ditawarkan pemerintah.

Problemnya, sebagian masyarakat Badui menolak mempelajari aksara Latin, dengan berbagai alasannya. Jadi, bagaimana jalan keluarnya? Pertama, masyarakat Badui yang menolak belajar aksara hanya sebagian kecil. Masyarakat Badui Luar, yang diperkirakan berjumlah 500 lebih keluarga, bersikap terbuka, dan sekitar 40 persen dari mereka telah melek aksara. Jadi, mereka bisa dijadikan sasaran program ini.

Kedua, masyarakat Badui Dalam, yang hanya terdiri atas tiga desa, diberi transfer ilmu pengetahuan dengan cara lisan melalui guru pendamping. Ini sejalan dengan rencana Departemen Pendidikan Nasional yang akan mengadopsi Prakarsa Keaksaraan untuk Pemberdayaan (Literacy Initiative for Empowerment), yang dicanangkan UNESCO. Istilah ini akan diindonesiakan menjadi Aksara Agar Berdaya, disingkat Akrab. Pemerintah dalam hal ini akan membalik program pemberdayaan dahulu untuk kemudian masuk ke program keberaksaraan. Jadi, untuk menuju keberaksaraan, masyarakat Badui diberdayakan dulu.

Atau ketiga, masyarakat Badui Dalam dibuatkan program melek aksara Hanacaraka, sebagai upaya transfer ilmu pengetahuan melalui penerjemahan bahasa lokal.
Cara ini sebetulnya tak ubahnya pengajaran huruf Braille bagi kalangan tunanetra.

Positioning pemerintah itu sudah ditunjukkan dengan benar oleh Ella Yulaelawati, yang pada 17 Agustus 2009 mengunjungi masyarakat adat Badui, bahkan walau harus berjalan kaki selama empat jam ke desa Badui Dalam. Di depan Kepala Desa Djaro Daenah dan Ayah Mursyid, Ella Yulaelawati mengatakan bahwa pihaknya bersedia belajar soal lingkungan kepada masyarakat Badui dan bersedia bekerja sama untuk kemajuan masyarakat Badui.
Ini tentu sebuah langkah baru menuju saling belajar di antara kedua belah pihak.

sumber :http://epaper.korantempo.com