Tuesday, July 26, 2011

Pendidikan Karakter Wirausaha dalam Program Pendidikan Nonformal

Abstract

Character education is an effort that must involve all parties, such as households, family schools, school environment, and society at large.Non-formal education programs occur in society as an attempt to address the problem of laziness characters that have an impact on unemployment. Current educational programs in general pay less attention to the transformation of values/character in its implementation. Indifference towards value creation to this character causes the program to be ineffective, since it does not provide any impact on learners. The essence of true education as a tool to internalize the values of less well-facilitated, even the longer values education, is increasingly marginalized by a number of reasons. Practically, educationt recognizes man simply as a physical instrument to defend the ideology that is currently embraced by the western world, i.e., capitalism. Hence, to create character with entrepreneurial capability requires values—such as, responsibility, respect, fairness, courage, honesty, citizenship, self-discipline, caring, and perseverance—to be transformed into nonformal education. . These values are necessary to maintain and develop the culture of community. To implement it, entrepreneurial character education should pay attention to the elements or standard educational program and start the component input, process and output that consist of 10 elements.

Keyword: character building, Entrepreneurship, nonformal education.

PENDAHULUAN

Dalam acara peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2010 yang lalu, Menteri Pendidikan Nasional menentukan tema “Pendidikan Karakter untuk Keberadaban Bangsa”. Sungguh menjadi satu kejutan tersendiri bagi banyak orang yang sudah lama melupakan konsep Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang saat ini sudah tidak lagi diajarkan kepada siswa dan hanya tinggal menjadi sebuah nama dalam perjalanan sejarah masa lalu. Tema tersebut juga mendapat sambutan yang luar biasa karena dianggap sebagai satu kebangkitan pendidikan karakter di negeri ini, ketika negeri ini makin dipenuhi oleh banyak pelaku korupsi, makelar kasus, dan video mesum. Korupsi, makelar kasus dan video mesum telah menjadi isu keseharian yang ramai dibahas dalam acara televisi. Sungguh tema Hardiknas itu mengingatkan kita bahwa bangsa ini sudah menjadi bangsa yang tidak civilized lagi. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya membangun bangsa yang beradab melalui proses pendidikan.

PENDIDIKAN KARAKTER

Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak, baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, serta masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.

Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah). Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya. Pemberian penghargaan (reward) kepada yang berprestasi, dan hukuman (punishment) kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya perlu dilakukan penerapan pendidikan berdasarkan karakter (character-based education) melalui setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti; pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan sebagainya.

Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan di sini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.

Apabila kita cermati bersama, desain pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas sesungguhnya sejak masa kemerdekaan sudah digagas oleh para pendidik kita, seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, Prof. HA. Mukti Ali, Ki Hajar Dewantara. Pola pendidikan seperti ini mengajarkan praktek pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan "tuntunan" dan bukan "tontonan". Sangat jelas cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan "among"' yang lebih menyentuh langsung pada tataran etika, perilaku yang tidak terlepas dengan karakter atau watak seseorang. KH. Ahmad Dahlan berusaha "mengadaptasi" pendidikan modern Barat sejauh untuk kemajuan umat Islam, sedangkan Mukti Ali mendesain integrasi kurikulum dengan penambahan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Namun mengapa dunia pendidikan kita hingga saat ini masih berkutat dengan problem internalnya, seperti penyakit dikotomi, profesionalitas pendidiknya, sistem pendidikan yang masih lemah, perilaku pendidiknya dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, membangun karakter dan watak bangsa melalui pendidikan mutlak diperlukan, bahkan tidak bisa ditunda, mulai dari lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat dengan meneladani para tokoh yang memang patut untuk dicontoh.

Mengapa Melalui Pendidikan?

“Education is not a preparation of life, but it’s life itself”. Demikianlah pendapat John Dewey ketika beliau berusaha menjelaskan tentang ranah pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan adalah kehidupan. Oleh karena itu, benar kata WD Rendra dalam salah satu puisinya telah mempertanyakan tentang adanya “papan tulis-papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan”. Mengapa? Proses pendidikan di sekolah ternyata masih lebih mengutamakan aspek kognitifnya ketimbang afektif dan psikomotoriknya. Bahkan konon Ujian Nasional pun lebih mementingkan aspek intelektualnya ketimbang aspek kejujurannya. Konon tingkat kejujuran Ujian Nasional itu hanyalah 20%, karena masih banyak peserta didik yang menyontek dalam pelbagai cara dalam mengerjakan Ujian Nasional itu.

Dalam bukunya tentang Kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences), Daniel Goleman mengingatkan kepada kita bahwa kecerdasan emosional dan sosial dalam kehidupan diperlukan 80%, sementara kecerdasan intelektual hanyalah 20% saja. Dalam hal inilah maka pendidikan karakter diperlukan untuk membangun kehidupan yang lebih beradab, bukan kehidupan yang justru dipenuhi dengan perilaku biadab. Maka terpikirlah oleh para cerdik pandai tentang apa yang dikenal dengan pendidikan karakter (character education).

Hal di atas tentu bertentangan dengan esensi pendidikan yang dikemukakan oleh Jonh Dewey yang menyebutkan bahwa: “Anak didik tidak hanya disiapkan agar siap bekerja, tapi juga bisa menjalani hidupnya secara nyata sampai mati. Anak didik haruslah berpikir dan pikirannya itu dapat berfungsi dalam hidup sehari-hari. Kebenaran adalah gagasan yang harus dapat berfungsi nyata dalam pengalaman praktis.” John Dewey (1859 – 1952) dalam (Syohih, 2008).

Kelemahan lain yang masih terasa dalam beberapa program pendidikan kecakapan hidup yang terjadi saat ini adalah pengelolaan lingkungan yang kurang baik. Hakikat pendidikan sebenarnya sebagai alat untuk menginternalisasikan nilai-nilai yang kurang terfasilitasi dengan baik, terutama dalam program pendidikan nonformal. Instrumental input maupun enviornmental input pendidikan dalam program PNF kurang mendapat perhatian sebagai bagian yang penting dalam iklim pembelajaran. Jarang sekali ditemui media yang dapat memperkuat internalisasi nilai, seperti contoh tidak ada satupun slogan yang dipasang dalam ruang belajar yang berisi penguatan nilai seperti: “kejujuran adalah kunci kesuksesan” atau yang lainnya. Disamping itu penyelenggara juga tidak memberikan tauladan sebagai hidden curriculum yang mampu memperkuat internalisasi nilai-nilai tersebut, antara lain menyelenggarakan program tidak sesuai dengan pedoman, manipulasi data kegiatan, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya yang menyebabkan tujuan program itu sendiri tidak dapat terlaksana karena kelalaian pengelola program.

Tidak kalah penting adalah peran fasilitator dan tutor (guru) sebagai orang yang berhadapan langsung dengan peserta didik, dimana tutor dan fasilitator tidak dipersiapkan untuk mendidik dan membelajarkan peserta didik dengan nilai-nilai keagamaan maupun nilai-nilai pendidikan lainnya yang justru merupakan modal utama dari program pendidikan kecakapan hidup. Pertimbangan menjadi tutor lebih kepada kemampuan seseorang dalam memahami dan menguasai suatu materi tertentu, tanpa dipertimbangkan mengenai bagaimana seharusnya tutor disamping menyampaikan materi juga mampu menyisipkan nilai-nilai kewirausahaan berdasar keagamaan agar peserta didik dapat menjiwai apa yang mereka lakukan sebagai bagian dari ibadah dan pengabdian terhadap Tuhan.

Makna Pendidikan

Banyak kalangan memberikan makna tentang pendidikan sangat beragam, bahkan sesuai dengan pandangannya masing-masing. Azyumardi Azra dalam buku "Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi", memberikan pengertian tentang "pendidikan" adalah merupakan suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Bahkan ia menegaskan, bahwa pendidikan lebih sekedar pengajaran, artinya, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara individu-individu.

Di samping itu, pendidikan adalah suatu hal yang benar-benar ditanamkan selain menempa fisik, mental dan moral bagi individu-individu, agar mereka menjadi manusia yang berbudaya. Dengan pendidikan mereka diharapkan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan Allah Tuhan Semesta Alam sebagai makhluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifahNya di muka bumi ini yang sekaligus menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu negara.

APA ITU KARAKTER?

Para pegiat pendidikan karakter mencoba melukiskan pilar-pilar penting dalam pendidikan karakter dalam gambar berikut.

Dari gambar tersebut jelas bahwa pendidikan karakter meliputi 9 (sembilan) pilar yang saling kait-mengait, yaitu:

* responsibility (tanggung jawab);
* respect (rasa hormat);
* fairness (keadilan);
* courage (keberanian);
* honesty (kejujuran);
* citizenship (kewarganegaraan);
* self-discipline (disiplin diri);
* caring (peduli), dan
* perseverance (ketekunan).

Dalam gambar tersebut, dijelaskan bahwa nilai-nilai dasar kemanusian yang harus dikembangkan melalui pendidikan bervariasi antara lima sampai sembilan aspek. Di samping itu, pendidikan karakter memang harus mulai dibangun di rumah (home), dan dikembangkan di lembaga pendidikan sekolah (school), bahkan diterapkan secara nyata di dalam masyarakat (community) dan bahkan termasuk di dalamnya adalah dunia usaha dan dunia industri (bussiness).

Berkenaan dengan pengertian karakter, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Suyanto, PhD menjelaskan sebagai berikut. Karakter adalah “cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara”.

Lebih lanjut, Prof. Suyanto, PhD juga menyebutkan sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal manusia, yang kelihatan sedikit berbeda dengan sembilan pilar yang telah disebutkan di atas. Sembilan pilar karakter itu adalah:

1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
2. Kemandirian dan tanggungjawab
3. Kejujuran/amanah
4. Hormat dan santun
5. Dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama
6. Percaya diri dan pekerja keras
7. Kepemimpinan dan keadilan
8. Baik dan rendah hati
9. Toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Pendidikan Karakter yang Efektif

Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik; (2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku; (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter; (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian; (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral; (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil; (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa; (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa; (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter; (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter; dan, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.

Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan--sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat. Yang terpenting, semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti.

Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karenanya, pendekatan holistik dalam pendidikan karakter berupaya untuk mengembangkan keseluruhan aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Siswa memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati perilaku model, dan mempraktekkan pemecahan masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti dengan mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan yang penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup.

Sekolah yang telah berkomitmen untuk mengembangkan karakter melihat diri mereka sendiri melalui lensa moral, untuk menilai apakah segala sesuatu yang berlangsung di sekolah mempengaruhi perkembangan karakter siswa. Pendekatan yang komprehensif menggunakan semua aspek persekolahan sebagai peluang untuk pengembangan karakter. Ini mencakup apa yang sering disebut dengan istilah kurikulum tersembunyi, hidden curriculum (upacara dan prosedur sekolah; keteladanan guru; hubungan siswa dengan guru, staf sekolah lainnya, dan sesama mereka sendiri; proses pengajaran; keanekaragaman siswa; penilaian pembelajaran; pengelolaan lingkungan sekolah; kebijakan disiplin); kurikulum akademik, academic curriculum (mata pelajaran inti, termasuk kurikulum kesehatan jasmani), dan program-program ekstrakurikuler, extracurricular programs (tim olahraga, klub, proyek pelayanan, dan kegiatan-kegiatan setelah jam sekolah).

Di samping itu, sekolah dan keluarga perlu meningkatkan efektivitas kemitraan dengan merekrut bantuan dari komunitas yang lebih luas (bisnis, organisasi pemuda, lembaga keagamaan, pemerintah, dan media) dalam mempromosikan pembangunan karakter. Kemitraan sekolah-orang tua ini dalam banyak hal sering kali tidak dapat berjalan dengan baik karena terlalu banyak menekankan pada penggalangan dukungan finansial, bukan pada dukungan program. Berbagai pertemuan yang dilakukan tidak jarang terjebak kepada sekadar tawar-menawar sumbangan, bukan bagaimana sebaiknya pendidikan karakter dilakukan bersama antara keluarga dan sekolah.

Pendidikan karakter yang efektif harus menyertakan usaha untuk menilai kemajuan. Terdapat tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian: (1) Karakter sekolah: sampai sejauh mana sekolah menjadi komunitas yang lebih peduli dan saling menghargai? (2) Pertumbuhan staf sekolah sebagai pendidik karakter: sampai sejauh mana staf sekolah mengembangkan pemahaman tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk mendorong pengembangan karakter? (3) Karakter siswa: sejauh mana siswa memanifestasikan pemahaman, komitmen, dan tindakan atas nilai-nilai etis inti? Hal seperti itu dapat dilakukan di awal pelaksanaan pendidikan karakter untuk mendapatkan baseline dan diulang lagi di kemudian hari untuk menilai kemajuan.

Secara historis, pendidikan (membangun karakter) dalam arti luas telah mulai dilaksanakan sejak manusia berada di muka bumi ini. George F. Kneller menyebutkan bahwa pendidikan dapat dipandang dalam arti luas dan dalam arti teknis, atau dalam arti hasil dan dalam arti proses. Secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan jiwa (mind), watak (character), atau kemampuan fisik (physical ability) individu. Pendidikan dalam artian ini berlangsung terus (seumur hidup). Kita sesungguhnya belajar dari pengalaman seluruh kehidupan kita (Kneller, 1967:63 dalam Siswoyo, 2007:18). Dalam arti teknis, pendidikan adalah proses dimana masyarakat, melalui lembaga-lembangan pendidikan (sekolah), dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi (Siswoyo, 2007:19).

Menurut Ki Hadjar Dewantara, yang dimaksud dengan pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu, menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Siswoyo, 2007:20). Sedangkan menurut Driyarkara, intisari atau eidos dan pendidikan ialah pemanusiaan manusia-muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf insani, itulah yang menjelma dalam semua perbuatan mendidik, yang jumlah dan macamnya tak terhitung (Siswoyo,2007:20).

Selanjutnya menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No. 20 Tahun 2003).

Dari uraian pengertian pendidikan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara implisit terkandung nilai-nilai pendidikan bagi individu, masyarakat dan bangsa. Adapun nilai-nilai tersebut antara lain:

· Membentuk pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kepercayaan diri, disiplin dan tanggung jawab, mampu mengungkapkan dirinya melalui media yang ada, mampu melakukan hubungan manusiawi, dan menjadi warga negara yang baik;

·Membentuk tenaga pembangunan yang ahli dan terampil serta dapat meningkatkan produktivitas, kualitas, dan efisiensi kerja;

·Melestarikan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, bangsa dan negara;

·Mengembangkan nilai-nilai baru yang dipandang serasi oleh masyarakat dalam menghadapi tantangan ilmu, teknologi dan dunia modern;

·Merupakan jembatan masa lampau kini dan masa depan.

Secara garis besar, “nilai” dibagi kedalam dua kelompok yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk dalam nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada kelompok nilai-nilai memberi adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil dan murah hati (Linda, 1995 dalam Kneller, 1971 dalam Elmubarok, 2008:7).

Pendidikan mencakup kegiatan mendidik, mengajar, dan melatih. Dalam kegiatan tersebut terjadi usaha untuk mentransformasikan nilai-nilai dalam kehidupan manusia. Nilai tersebut antara lain nilai- nilai religi, kebudayaan, sains dan teknologi, seni, dan keterampilan. Nilai-nilai tersebut dapat mempertahankan, mengembangkan bahkan merubah kebudayaan yang dimiliki masyarakat. Di sini akan berlangsung pendidikan dalam kehidupan manusia.

Nilai sendiri berarti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Purwadarminta, 1999:677). Nilai juga dimaknai sebagai kualitas yang memang membangkitkan respon penghargaan (Titus, 1993:112). Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam masyarakat (Muhaimin dan Mujib, 1993: 110).

KEWIRAUSAHAAN

Pengertian Kewirausahaan

Kewirausahaan pada hakikatnya adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif (Suryana, 2000). Istilah kewirausahaan berasal dari terjemahan “Entrepreneurship” yang dapat diartikan sebagai “the backbone of economy”atau tulang punggung perekonomian atau pengendali perekonomian suatu bangsa (Soeharto Wirakusumo, 1997:1). Secara epistimologi, kewirausahaan merupakan suatu nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha atau suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru dan berbeda. Menurut Thomas W Zimmerer, kewirausahaan merupakan penerapan kreativitas dan keinovasian untuk memecahkan permasalahan dan upaya untuk memanfaatkan peluang yang dihadapi sehari-hari. Kewirausahaan merupakan gabungan dari kreativitas, keinovasian dan keberanian menghadapi risiko yang dilakukan dengan cara kerja keras untuk membentuk dan memelihara usaha baru.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan adalah suatu kemampuan dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan siasat, kiat dan proses dalam menghadapi tantangan hidup.

Perkembangan Kewirausahaan

Dahulu ada pendapat bahwa kewirausahaan merupakan bakat bawaan sejak lahir, bahwa entrepreneurship is born not made, sehingga kewirausahaan dipandang bukan hal yang penting untuk dipelajari dan diajarkan. Namun dalam perkembangannya, nyata bahwa kewirausahaan ternyata bukan hanya bakat bawaan sejak lahir, atau bersifat praktek lapangan saja. Kewirausahaan merupakan suatu disiplin ilmu yang perlu dipelajari. Kemampuan seseorang dalam berwirausaha dapat dimatangkan melalui proses pendidikan. Seseorang yang menjadi wirausahawan adalah mereka yang mengenal potensi dirinya dan belajar mengembangkan potensinya untuk menangkap peluang serta mengorganisir usahanya dalam mewujudkan cita-citanya.

Dan menurut Suryana, sejalan dengan tuntutan perubahan yang cepat pada paradigma pertumbuhan yang wajar dan perubahan ke arah globalisasi yang menuntut adanya keunggulan, pemerataan, dan persaingan, maka dewasa ini terjadi perubahan paradigma pendidikan. Pendidikan kewirausahaan telah diajarkan sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang independen, yang menurut Soeharto Prawirokusumo adalah dikarenakan oleh:

·Kewirausahaan berisi “body of knowledge” yang utuh dan nyata (distinctive), yaitu ada teori, konsep, dan metode ilmiah yang lengkap;

·Kewirausahaan memiliki dua konsep, yaitu posisi “venture start up” dan “venture growth”. Hal ini jelas tidak masuk dalam “frame work general management courses” yang memisahkan antara “management” dengan “business ownership”;

·Kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang memiliki objek tersendiri, yaitu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda;

·Kewirausahaan merupakan alat untuk menciptakan pemerataan berusaha dan pemerataan pendapatan atau kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur.

Seperti halnya ilmu manajemen yang pada awalnya berkembang pada lapangan industri, kemudian berkembang dan diterapkan di berbagai lapangan lainnya, maka disiplin ilmu kewirausahaan dalam perkembangannya mengalami evolusi yang pesat, yaitu berkembang bukan pada dunia usaha semata, tetapi juga pada berbagai bidang, seperti bidang industri, perdagangan, pendidikan, kesehatan dan institusi-institusi lainnya.

Dengan memiliki jiwa/corak kewirausahaan, maka birokrasi dan institusi akan memiliki motivasi, optimisme dan berlomba untuk menciptakan cara-cara baru yang lebih efisien, efektif, inovatif, fleksibel, dan adaptif.

Pendidikan Karakter Kewirausahaan dalam Program Pendidikan Nonformal

Sebenarnya tidak ada makna pendidikan yang terbebas dari penanaman karakter (nilai), karena setiap kegiatan pendidikan haruslah bermuatan transformasi nilai/karakter untuk peserta didik sebagai subjek dari pendidikan itu sendiri. Namun menyikapi permasalahan pendidikan yang banyak terjadi saat ini istilah pendidikan karakter sepertinya layak untuk kedepankan mengingat pendidikan saat ini lebih banyak mengarah pada pengajaran, berfungsi sebagai lembaga transformasi pengetahuan dan keterampilan bagi warga belajar dengan mengesampingkan eksistensi nilai yang seharusnya menjadi landasan awal pendidikan itu sendiri.

Tanpa dilandasi nilai, sebuah upaya pendidikan yang terselubung dalam kegiatan pengajaran akan menjadi bumerang bagi pendidikan itu sendiri. Dengan netralitas yang disandang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan dampak pembelajaran di masyarakat bisa menjadi apa saja, baik positif maupun negatif tergantung dari orang yang telah mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Tanpa dilandasi nilai hasil pengajaran menjadi tidak bermanfaat untuk semua orang, melainkan hanya untuk segelintir orang yang berhasil menyelesaikan program pengajaran yang telah dirancang sebelumnya. Oleh sebab itu penekanan terhadap nilai terutama dalam program pendidikan nonformal harus menjadi prioritas, mengingat hasil pendidikan akan langsung diimplementasikan oleh warga belajar di masyarakat.

Untuk mengimplementasikan pendidikan karakter dalam program pendidikan nonformal, perlu diperhatikan 10 unsur/patokan yang selalu ada dalam setiap kegiatan pendidikan nonformal seperti diungkapkan oleh Sihombing, antara lain: (1) warga belajar; (2) sumberbelajar; (3) pamong belajar; (4) sarana belajar; (5) tempat belajar; (6) dana belajar; (7) ragi belajar; (8) kelompok belajar; (9) program belajar; dan, (10) hasil belajar. Setiap unsur tersebut harus dirancang sedemikian rupa agar trasnformasi karakter/nilai dapat berjalan dengan baik, disamping transformasi materi program pendidikan. Artinya hasil pelatihan tidak hanya berorientasi pada penguasaan materi, namun juga pada penguasaan dan penghayatan nilai-nilai kewirausahaan itu sendiri.

Warga belajar merupakan individu yang terlibat secara aktif dalam menentukan kegiatan pendidikan yang dilaksanakan. Terkait dengan kewirausahaan, maka warga belajar adalah orang dewasa yang menganggur atau putus sekolah yang memerlukan keterampilan untuk menunjang kehidupannya melalui kegiatan wirausaha. Warga belajar harus dirorong untuk benar-benar mau berwirausaha, hasil pembelajaran harus mendidik warga belajar untuk mandiri, tidak sekedar terampil untuk bekerja pada orang lain.

Sumber belajar merupakan anggota masyarakat yang memiliki kelebihan dalam bidang pengetahuan maupun keterampilan tertentu. Dalam pendidikan berbasis nilai, rekrutmen sumber belajar mempertimbangkan tidak saja pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki, melainkan sikap dan perilakunya di masyarakat, apakah dapat dijadikan figur tauladan masyarakat atau tidak, agar transformasi nilai tidak hanya berlangsung ketika kegiatan pembelajaran terjadi, namun ketika di masyarakat sosok sumber belajar dapat dijadikan contoh bagi warga belajar. Di samping itu sumber belajar juga harus memiliki kemampuan dalam praktik pembelajaran khususnya pembelajaran orang dewasa agar proses pembelajaran berjalan lebih demokratis.

Pamong belajar adalah tokoh masyarakat yang mampu dan mau membina, membimbing, mengarahkan dan mengorganisir program pembelajaran masyarakat disekitarnya (Sihombing, 2001). Pamong belajar memiliki fungsi yang cukup banyak terkait dengan penyelenggaraan program, khususnya pendidikan nonformal yang berbasis nilai. Pamong belajar harus dapat memastikan bahwa proses pembelajaran penuh dengan nuansa transfer of value, membimbing warga belajar ataupun sumber belajar dan meyakinkan warga belajar mengenai nilai-nilai yang ditransformasikan oleh sumber belajar. Pamong belajar dapat pula seorang tokoh agama di masyarakat, sehingga nilai-nilai yang ada dalam proses pembelajaran juga dapat di tindak lanjuti dalam kegiatan keagamaan di masyarakat, misalnya dalam pengajian rutin atau saat khutbah. Proses berkelanjutan ini akan menghasilkan keterpaduan antara kegiatan di tempat belajar dengan di masyarakat, sehingga internalisasi nilai-nilai dapat berlangsung terus menerus.

Sarana belajar merupakan bahan atau alat yang ada di lingkungan masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembelajaran, dalam pendidikan berbasis nilai, alat-alat yang dipergunakan dalam kegiatan pembelajaran harus dapat menunjang transfer nilai pada warga belajar. Sarana belajar dirancang dan dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menggambarkan nilai-nilai yang harus dimiliki oleh warga belajar. Sarana tersebut dapat berupa gambar-gambar atau slogan-slogan berbentuk tulisan yang merujuk pada nilai yang dituju, atau dapat juga berupa media audio visual seperti video atau film pendek yang menggambarkan eksistensi nilai di masyarakat dan dampaknya terhadap wirausaha yang dilakukan. Film dokumenter biografi pengusaha sukses juga dimungkinkan, terutama pengusaha-pengusaha yang menjunjung tinggi nilai-nilai dalam usahanya.

Yang dimaksud dengan tempat belajar adalah tempat di mana dimungkinkan terjadinya proses pembelajaran, yang dapat berwujud rumah, tempat pertemuan, tempat ibadah, balai desa, atau bangunan yang tidak digunakan lagi namun masih memungkinkan untuk dimanfaatkan kembali (Sihombing, 2001). Tempat belajar juga sangat menunjang efektivitas dari proses pembelajaran berbasis nilai. Ruang belajar di desain sedemikian rupa agar kegiatan belajar berlangsung dengan tertib dan demokratis, kental dengan nuansa nilai-nilai yang akan di transformasikan.

Dana belajar merupakan faktor penting namun bukan yang utama. Unsur ini juga berlaku tidak hanya bagi warga belajar, namun bagi program itu sendiri. Pelaksanaan kegiatan pendidikan yang tidak mengedepankan dana sebagai faktor utama dapat membelajarkan warga belajar bahwa dalam berwirausaha pun dana bukanlah faktor utama, namun faktor tekad dan kemauan yang lebih dominan. Akan lebih baik jika program dilaksanakan dengan dana yang seminimal mungkin dengan melibatkan warga belajar dalam proses perencanaannya.

Ragi belajardapat diartikan sebagai rangsangan yang mampu membangkitkan semangat belajar warga belajar, sehingga proses pembelajaran terjadi tanpa paksaaan, gertakan tetapi karena kesadaran warga belajar serta kekuatan yang ada pada ragi belajar itu sendiri (Sihombing, 2001). Ragi belajar cukup penting dalam kegiatan pembelajaran, salah satunya adalah dengan melakukan penguatan-penguatan nilai-nilai yang dituju. Penguatan ini dapat dilakukan dengan menghadirkan seorang pengusaha sukses, yang menjalankan usahanya dengan etika dan nilai yang baik.

Kelompok belajar adalah sejumlah warga belajar yang terdiri dari 5-10 orang, yang berkumpul dalam satu kelompok, memiliki tujuan dan kebutuhan belajar dan bersepakat untuk saling membelajarkan (Sihombing, 2001). Kelompok belajar ini harus dibentuk agar terbina kerja sama antar warga belajar dan membiasakan diri untuk bekerja sama dalam kegiatan usaha. Mengingat kegiatan wirausaha tidak dapat berdiri sendiri menlainkan perlu adanya kerja sama dengan pihak lain, termasuk dalam hal ini adalah kompetitor. Studi kasus maupun praktik lapangan harus dilakukan secara berkelompk, agar warga belajar dapat belajar bersama dan sharing pengalaman maupun memberikan masukan bagi warga belajar yang lain.

Program belajar merupakan serangkaian kegiatan yang mencerminkan tujuan, isi pembelajaran, cara pembelajaran, waktu pembelajaran, atau sering disebut dengan garis besar kegiatan belajar (Sihombing, 2001). Kurikulum pembelajaran harus memiliki keseimbangan antara muatan materi kewirausahaan dengan nilai-nilai yang melandasi kewirausahaan. Perbandingan diantara keduanya adalah 50:50 sehingga terjadi keseimbangan antara muatan materi dan muatan nilai, demikian pula dengan proses pembelajarannya, substansi nilai tidak diberikan secara khusus, melainkan tematik dan harus ada dalam setiap pertemuan pembelajaran dalam materi apapun. Studi kasus perlu dipersiapkan dengan matang sebagai bahan diskusi bagi warga belajar, disamping itu penggunaan media audio visual juga perlu dioptimalkan.

Selanjutnya, hasil belajar merupakan serangkaian pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dikuasai warga belajar setelah proses pembelajaran tertentu dilalui dalam kurun waktu tertentu (Sihombing, 2001). Kebermaknaan hasil belajar bagi peningkatan mutu hidup dan kehidupan warga belajar menjadi patokan keberhasilan. Hasil belajar utama dalam pendidikan berbasis nilai adalah seorang wirausahawan yang berkarakter dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama maupun nilai kebudayaan yang mendukung proses usaha. Instrumen pengukuran yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor terkait materi dan nilai perlu dirumuskan secara komprehensif sehingga diperoleh alat ukur yang valid dan reliabel sehingga ukuran-ukuran keberhasilan pendidikan berbasis nilai dapat tercermin dari hasil evaluasi tersebut.

PENUTUP

Pendidikan karakter kewirausahaan baik melalui program pendidikan kecakapan hidup atau program pemberdayaan lainnya yang melibatkan masyarakat harus secara serius dilaksanakan oleh pemerintah atau pun lembaga mitra pemerintah seperti yayasan atau lembaga swadaya masyarakat. Program-program tersebut harus benar-benar berorientasi pada hasil belajar untuk menciptakan generasi yang memiliki karakter wirausahawan. Tujuan seperti ini tentu tidak bisa dilakukan dengan model program yang banyak terjadi saat ini, yang hanya berorientasi pada penguatan materi dan keterampilan, namun tanpa ada dukungan penguatan karakter kewirausahaan dalam diri peserta didik. Oleh karena itu, pendidikan karakter wirausaha dalam program pendidikan nonformal harus mulai dikembangkan baik saat ini maupun di masa yang akan datang, mengingat pendidikan karakter kewirausahaan tersebut saat ini sangat dibutuhkan dalam pemberdayaan masyarakat yang sudah mulai kehilangan semangat dalam mengembangankan potensi dirinya dikarenakan berkembangnya kemajuan teknologi dan akulturasi kebudayaan asing yang masuk ke negeri ini.

DAFTAR RUJUKAN

Elmubarok, Z. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai, Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus dan Menyatukan yang Tercerai. Editor: Dudung R.H. Bandung: Alfabeta.

Iis Prasetyo. (2009). Membangun Karakter Wirausaha melalui Pendidikan Berbasi Nilai dalam Program Pendidikan Nonformal. (online) tersedia di (http://blog.uny.ac.id/iisprasetyo/prass/)

Kneller, G.F. (1971). Introduction to The Philosophy of Education. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Maryadi. (2005). Pemberdayaan Potensi Masyarakat Melalui Pendidikan Kecakapan Hidup. Diklus: Jurnal Pendidikan Luar Sekolah, Edisi 6, Th X, September 2005. Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Muhaimin dan Mujib, A. (1993). Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya.

Tim Redaksi Fokusmedia. (2003). Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (No. 20 Tahun 2003). Bandung: Fokusmedia.

Sadulloh, U. (2007). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Siswoyo, D. Dkk. (2007). Ilmu Pendidikan. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta: UNY Press.

Sihombing, U. (2001). Pendidikan Luar Sekolah: masalah, tantangan dan peluang. Jakarta: Wirakarsa.

Syohih, U. (2008). Lingkungan dan Pendidikan Indonesia. [online] tersedia di [http://nerri-unindra-bio2a.blogspot.com/2008/07/nilai-nilai-pendidikan-di-indonesia.html,].

oleh: Santoso, S.Pd, M.Si
sumber : paudni.kemdiknas.go.id/bppnfi4/

Penerapan Soft Skill Bagi Tenaga Pendidik dalam Pembelajaran Anak Usia Dini

Abstract

Teaching early childhood learning requires not only the educator’s academic competency but also his/her capability to deliver soft skill in the learning process. This is because children learn from concrete things to the abstract. In this case, the educator’s ability to deliver soft skill in the form of intra- and interpersonal abilities becomes a critical factor that contributes to the success of early childhood learning process. The intrapersonal ability covers self awareness and self ability, whereas interpersonal ability comprises social awareness and social ability. Soft skill in early childhood learning can be delivered by means of circles structuring before activity begins, during the activity times, or after the activity.

Keyword: soft skill, teachers, early childhood learning

PENDAHULUAN

Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan dan aspek aspek yang harus dilihat sebagai indikator keberhasilan pendidikan nasional, di antaranya aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun, selama ini sistem pendidikan nasional masih berorientasi pada pengembangan intelligence quotient (IQ). Dalam implementasinya kurikulum pembelajaran di berbagai lembaga pendidikan masih berorientasi pada perolehan nilai hasil ujian. Tidak mengherankan jika hanya ujian nasional (UN) yang sering dijadikan acuan dalam keberhasilan belajar siswa.

Dalam konsep pembelajaran Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), pencapaian aspek-aspek perkembangan yang sesuai dengan tahapan usianya merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik. Ada 6 (enam) aspek perkembangan yang harus dipahami oleh pendidik dalam proses pembelajaran anak usia dini, yaitu: aspek bahasa, aspek kognisi, aspek fisik, aspek sosial emosional, aspek seni, serta aspek moral dan nilai-nilai agama (Direktorat PAUD, 2005).

Selain itu, optimalnya stimulasi multiple intelligences (kecerdasan jamak) yang diterima oleh anak usia dini selama mengikuti proses pembelajaran juga merupakan salah satu indikator keberhasilan proses pembelajaran. Sebagaimana yang disampaikan oleh Gardner (1993), ada 8 (delapan) kecerdasan jamak yang dimiliki oleh setiap anak, yaitu kecerdasan: bahasa, logik matematik, visual, musikal, kinestetik, natural, interpersonal, dan intrapersonal. Dalam pencapaian aspek-aspek perkembangan dan optimalnya stimulasi kecerdasan jamak tersebut, tenaga pendidik memegang peranan penting di dalamnya.

Tenaga pendidik sebagai bagian dari komponen pelaksana proses pembelajaran dituntut untuk mempunyai kemampuan/kompetensi yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005, tentang Standar Nasional Pendidikan mensyaratkan adanya kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial, yang harus dimiliki oleh setiap tenaga pendidik di setiap jenjang pendidikan, sehingga dapat menjamin terselenggaranya proses pembelajaran secara optimal (Direktorat PTK-PNF, 2005).

Selain dituntut untuk memiliki kompetensi-kompetensi tersebut, tenaga pendidik PAUD juga harus memiliki kompetensi yang tidak hanya bersifat teknis akademis semata. Sebab proses pembelajaran anak usia dini sangat berbeda suasana dan karakteristiknya dibandingkan dengan proses pembelajaran di jenjang pendidikan selanjutnya (mulai dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi). Penguasaan materi dan metode pembelajaran saja tidak cukup bagi tenaga pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran anak usia dini.

Penguasaan kemampuan yang bersifat teknis akademis (hard skills) akan semakin lengkap apabila tenaga pendidik PAUD juga memiliki kemampuan intrapersonal dan interpersonal (soft skills). Dengan menguasai soft skill dari tenaga pendidik, maka proses pembelajaran akan berlangsung sebab tahapan pembelajaran pada anak usia dini adalah dari sesuatu yang konkrit mengarah kepada yang abstrak. Anak usia dibawah 8 tahun termasuk dalam tahap pra operasional, sehingga anak belum mampu untuk memisahkan antara fantasi dan realitas (William Sears, 2005). Dengan kata lain, tenaga pendidik harus memiliki dan mampu menerapkan soft skill dalam proses pembelajaran pada anak usia dini.

KONSEP SOFT SKILL

Konsep tentang soft skill sebenarnya merupakan pengembangan dari konsep yang selama ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence). Soft skill sendiri diartikan sebagai kemampuan diluar kemampuan teknis dan akademis, yang lebih mengutamakan pada kemampuan intrapersonal dan interpersonal. Kedua kemampuan tersebut dapat dimiliki oleh seseorang melalui proses pembelajaran maupun proses pembiaasan dalam kehidupan sehari-hari.

Secara garis besar, kemampuan intrapersonal mencakup aspek kesadaran diri (self awareness), yang didalamnya meliputi: kepercayaan diri, kemampuan untuk melakukan penilaian dirinya, pembawaan, serta kemampuan mengendalikan emosional. Selain itu, kemampuan intrapersonal juga mencakup aspek kemampuan diri (self skill), yang didalamnya meliputi: upaya peningkatan diri, kontrol diri, dapat dipercaya, dapat mengelola waktu dan kekuatan, proaktif, dan konsisten.

Sedangkan kemampuan interpersonal mencakup aspek kesadaran sosial (social awareness), yang meliputi kemampuan kesadaran politik, pengembangan aspek-aspek yang lain, berorientasi untuk melayani, dan empati. Selain itu juga aspek kemampuan sosial (social skill), yang meliputi kemampuan memimpin, mempunyai pengaruh, dapat berkomunikasi, mampu mengelola konflik, kooperatif dengan siapapun, dapat bekerja sama dengan tim, dan bersinergi (R. Poppy Yaniawati. 2009).

Disamping itu, soft skill juga bisa diterjemahkan ke dalam kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu untuk dapat mengembangan perasaan positif (positive feeling), selalu dan bisa untuk berfikir positif (positive thinking), dan mempunyai kebiasaan positif (positive habits) yang selalu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk orang lain (Sultoni, 2008).

Bagi tenaga pendidik PAUD, sejatinya unsur-unsur soft skill sudah dimiliki dan diterapkan dalam proses pembelajaran yang selama ini berlangsung diberbagai jenis PAUD, baik di jalur PAUD non formal (melalui kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan PAUD sejenis) maupun PAUD formal (taman kanak-kanak dan raudhatul atfal). Semboyan aktif, inovatif, dan kreatif merupakan semangat soft skill yang dimiliki tenaga pendidik untuk mencapai anak usia dini yang sehat, cerdas, dan ceria.

PENERAPAN SOFT SKILL PADA PAUD

Tenaga pendidik menjadi faktor terpenting dalam proses pelaksanaan pembelajaran anak usia dini. Tenaga pendidik dapat berperan sebagai orang dewasa yang mengarahkan, membimbing, dan menunjukkan kegiatan yang dilakukan oleh anak. Dengan kemampuan dan pengalaman yang dimiliki, tenaga pendidik dapat memberikan stimulasi terhadap aspek-aspek perkembangan melalui proses pembelajaran yang dilaksanakan.

Penelitian dan teori yang mendukung pengalaman bermain sebagai sebuah dasar untuk pembelajaran anak usia dini yang bermutu. Tidak semua anak mendapatkan manfaat secara penuh tanpa adanya perencanaan pembelajaran, penataan lingkungan, dan pijakan dari orang dewasa untuk memberikan contoh pada anak. Pengalaman bermain anak seharusnya direncanakan dengan hati-hati dan diberi pijakan untuk memenuhi kebutuhan setiap anak.

Karena itu, tenaga pendidik dapat menerapkan empat langkah pijakan/tahapan berikut ini untuk mencapai kualitas pengalaman bermain bagi anak, yaitu: 1) Pijakan penataan lingkungan bermain; 2) Pijakan pengalaman sebelum bermain; 3) Pijakan pengalaman bermain setiap anak; dan, 4) Pijakan pengalaman setelah bermain. Melalui pembelajaran di setiap pijakan/tahapan tersebut, kemampuan tenaga pendidik untuk menerapkan soft skill dapat diupayakan.

Dunia anak adalah dunia bermain, karena itu dalam setiap aktivitas bermain, anak seharusnya mampu melakukan percobaan dan penelitian sendiri. Tenaga pendidik (guru), bisa menuntun dan mengarahkan anak-anak dengan menyediakan bahan-bahan pembelajaran yang tepat, tetapi yang terpenting agar anak dapat memahami kegiatan yang dilakukan. Anak harus membangun pengertian dan harus menemukannya sendiri (Piaget, 1972).

Anak-anak belajar melalui permainan mereka. Pengalaman bermain yang menyenangkan dengan bahan, benda, anak lain, dan perhatian orang dewasa menolong anak-anak berkembang secara fisik, emosi, kognisi, dan sosial. Perhatian orang dewasa, termasuk di dalamnya adalah tenaga pendidik dengan mengupayakan adanya tiga jenis main bagi anak, yaitu: bermain sensori motor, bermainpengembangan, dan bermain peran.

Ketiga jenis permainan tersebut dapat diupayakan oleh tenaga pendidikan dengan penerapan soft skill dalam setiap proses pembelajaran yang dapat dilakukan melalui 4 (empat) tahapan pembelajaran/bermain, yaitu:

1.Tahapan Penataan Lingkungan

Pada tahapan ini yang berperan sepenuhnya adalah tenaga pendidik. Segala perlengkapan dan fasilitas yang dibutuhkan untuk melaksanakan proses pembelajaran harus disiapkan dan ditata sedemikian rupa. Penerapan soft skill oleh tenaga pendidik pada tahapan penataan lingkungan dapat dilihat pada:

* Kemampuan tenaga pendidik untuk menyusun perencanaan pembelajaran, baik yang dibutuhkan untuk pembelajaran harian, mingguan, maupun perencanaan untuk satu kali perputaran sentra pembelajaran.
* Kemampuan untuk menyiapkan alat permainan edukatif (APE) sebagai sarana dan media pembelajaran.
* Kemampuan untuk menata sarana dan media pembelajaran yang mendukung proses pembelajaran.
* Kemampuan untuk menata ruangan pembelajaran yang dapat menarik perhatian dan semangat pembelajaran.
* Kemampuan untuk menyiapkan dan menata prasarana yang mendukung kebiasaan positif dan tanggung jawab, seperti: rak sepatu/sandal, loker tas dan bekal, toilet training dan lain-lain.

2.Tahapan Pengalaman Sebelum Bermain

Pada tahapan pengalaman sebelum main, penerapan soft skill oleh tenaga pendidik dapat ditunjukkan dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

* Memberikan salam dan berjabat tangan ketika menyambut kedatangan anak di tempat pembelajaran;
* Menanyakan kabar/kondisi anak dan memberikan semangat dengan mengucapkan sebagai anak sehat, anak cerdas/pintar, anak yang sholeh/sholihah, dan lain-lain;
* Membantu meletakkan sepatu/sandal dan bekal yang dibawa oleh anak pada tempat yang telah disediakan;
* Mengajak anak untuk berdoa bersama-sama sebelum memulai proses pembelajaran/ kegiatan bermain;
* Memulai bermain dengan kegiatan bernyanyi, senam, dan gerakan-gerakan sederhana untuk memunculkan semangat anak mengikuti proses pembelajaran;
* Memberikan kesempatan kepada setiap anak untuk mengikuti dan melakukan gerakan yang dicontohkan oleh pendidik;
* Memberikan pujian dan semangat kepada anak-anak atas partisipasi mengikuti kegiatan sebelum bermain;
* Memberikan penjelasan urutan kegiatan bermain selanjutnya yang akan dilaksanakan oleh masing-masing anak di setiap sentra pembelajaran;
* Bersama-sama dengan anak didik memasuki sentra-sentra pembelajaran dengan suasana ramah dan ceria.


3.Tahapan Pengalaman Saat Bermain

Pengalaman saat bermain menjadi waktu terpenting untuk melaksanakan proses pembelajaran. Tenaga pendidik dapat menerapkan soft skill untuk pembelajaran dengan hal-hal sebagai berikut:

* Mengajar anak untuk berdoa sebelum memulai kegiatan permainan/pembelajaran di setiap sentra;
* Memulai pembelajaran/bermain di masing-masing sentra dengan menggunakan kata-kata positif (menghindari penggunaan kata-kata jangan, dilarang, tidak boleh, dll);
* Memberikan contoh pada anak bagaimana cara menggunakan alat permainan yang ada sesuai dengan perencanaan pembelajaran;
* Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak untuk mengeksplorasi alat permainan yang tersedia di sentra pembelajaran;
* Memberikan waktu yang cukup pada anak untuk mengelola dan memperluas pengalaman bermain di sentra-sentra pembelajaran;
* Mengamati dan mencatat seluruh aktivitas yang dilakukan oleh anak di sentra pembelajaran;
* Memberikan pertanyaan-pertanyaan pada setiap kegiatan yang dilakukan oleh anak yang memungkinkan anak menjawab dengan jawaban terbuka;
* Memberikan bimbingan dan arahan pembelajaran yang sesuai untuk memperkuat dan memperluas kemampuan bahasa anak maupun kemampuan yang lain;
* Meningkatkan kesempatan kepada anak untuk bersosialisasi melalui dukungan pada hubungan teman sebaya;
* Mengajarkan kepada anak untuk saling berbagi alat permainan yang tersedia dengan teman-temannya di sentra pembelajaran;
* Memberikan inspirasi pada anak-anak untuk melakukan kegiatan bermain dengan menggunakan alat permainan yang ada;
* Menggunakan bahasa yang menyenangkan ketika berbicara dan senyum yang mengembang ketika menyapa dengan anak-anak;
* Memberikan penilaian yang tidak menyebabkan berhentinya potensi anak dengan menghindari penggunaan kalimat yang menyalahkan;

4.Tahapan Pengalaman Setelah Bermain

Pada tahapan pengalaman setelah main, penerapan soft skill oleh tenaga pendidik dalam pembelajaran anak usia dini antara lain dengan:

* Memberitahukan sisa waktu yang tersedia, sehingga anak-anak bersiap-siap untuk mengakhiri kegiatan bermain;
* Mendukung anak untuk mengingat kembali pengalaman mainnya dan saling menceritakan pengalaman bermainnya;
* Mengajak anak-anak untuk membereskan alat permainan yang telah digunakan untuk diletakkan kembali pada tempatnya;
* Menggunakan waktu membereskan sebagai pengalaman belajar positif melalui pengelompokan, urutan, dan penataan lingkungan main secara tepat;
* Mengajak anak-anak untuk berdoa mengakhiri kegiatan bermain dan berjabat tangan sebelum anak meninggalkan sentra pembelajaran.

Selama ini, hampir semua tenaga pendidik telah menerapkan soft skill dalam pembelajaran anak usia dini. Hal ini bisa dilihat pada semangat yang menjadi landasan untuk melaksanakan tugas-tugas pembelajaran, yaitu: aktif, inovatif, dan kreatif. Implementasi semangat tenaga pendidik dalam proses pembelajaran dapat dilihat pada: 1) aktif untuk selalu memberikan dan membantu pembelajaran anak usia dini; 2) menyiapkan materi pembelajaran/bermain yang beragam sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan anak; dan, 3) memanfaatkan berbagai sumber daya pendidikan yang dapat memperlancar proses pembelajaran. Dari sisi kepribadian, penerapan soft skill oleh tenaga pendidik dalam proses pembelajaran anak usia dini dapat dilihat pada: 1) selalu datang di sekolah sebelum proses pembelajaran dilaksanakan untuk mempersiapkan sarana dan prasarana pembelajaran yang dibutuhkan; 2) ramah terhadap anak dan orang tua; dan, 3) mengembangkan potensi dan kepercayaan diri.

PENUTUP

Tenaga pendidik PAUD tidak hanya dituntut untuk memiliki kompetensi yang bersifat akademis saja, sebab membelajarkan anak usia dini tidak semata-mata menyampaikan informasi tetapi juga menanamkan dasar-dasar pembiasaan positif dan rasa tanggung jawab. Penguasaan soft skill oleh tenaga pendidik dapat memberikan landasan untuk mencapai indikator perkembangan anak usia dini. Penguasaan soft skill yang ditandai dengan kemampuan intrapersonal dan interpersonal tenaga pendidik, akan sangat mendukung proses pembelajaran anak usia dini yang dilaksanakan melalui tahapan penataan lingkungan, kegiatan sebelum anak bermain, stimulasi pembelajaran pada saat anak bermain, dan penguatan pembelajaran yang telah dilaksanakan dan dicapai oleh anak.

Stimulasi dan penguatan pembelajaran dapat dilaksanakan secara optimal jika memungkinkan anak untuk bisa bermain sensori motorik, bermain pembangunan, dan bermain peran. Ketiga jenis main tersebut dapat terlaksana secara bermakna bagi anak melalui dukungan tenaga pendidik untuk melaksanakan proses pembelajaran. Dukungan tenaga pendidik tersebut didasari semangat aktif, inovatif, dan kreatif yang dimilikinya untuk memberikan asah, asih, dan asuh pada anak usia dini.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini. (2002). Menu Acuan Pembelajaran Pendidikan Anak Usia Dini. Ditjen PLS Depdiknas, Jakarta.

Direktorat PTK-PNF.( 2005). Standar Kompetensi Pendidik Pendidikan Anak Usia Dini. Ditjen PMPTK Depdiknas, Jakarta.

Gardner, H. (1993). Multiple Intelligence: The Theory in Practice. New York: Basic Books

Piaget, J. (1972). The Child and Reality, Problems of Genetic Psychology.

New York: Penguin Books.

Sears, William M.D. (2005). The Successful Child (edisi terjemahan). Jakarta: PT. Kresna Prima Persada.

Sultoni. (2008). Soft Skill Building Training. School of Business (SOB), Malang .

Yaniawati R. Poppy. (2009). “Soft Skill Dalam Dunia Pendidikan.” Pikiran Rakyat. Bandung, 06 Agustus.

oleh : Moh. Zaqi, M.Si
sumber : paudni.kemdiknas.go.id/bppnfi4/

Sunday, July 24, 2011

Urgensi Pendidikan Kewirausahaan

Pengembangan entrepreneurship (kewirausahaan) adalah kunci kemajuan. Mengapa? Itulah cara mengurangi jumlah penganggur, menciptakan lapangan kerja, mengentaskan masyarakat dari kemiskinan dan keterpurukan ekonomis. Lebih jauh lagi dan politis, meningkatkan harkat sebagai bangsa yang mandiri dan bermartabat.

Dalam ranah pendidikan, persoalannya menyangkut bagaimana dikembangkan praksis pendidikan yang tidak hanya menghasilkan manusia terampil dari sisi ulah intelektual, tetapi juga praksis pendidikan yang inspiratif-pragmatis.

Praksis pendidikan, lewat kurikulum, sistem dan penyelenggaraannya harus serba terbuka, eksploratif, dan membebaskan. Tidak hanya praksis pendidikan yang link and match (tanggem), yang lulusannya siap memasuki lapangan kerja, tetapi juga siap menciptakan lapangan kerja.

Panelis Agus Bastian menangkap gejala yang berkebalikan di lingkungan terdekatnya, Kota Yogyakarta. Di satu sisi bermunculan banyak entrepreneur muda yang kreatif. Mereka jeli menangkap peluang menjawab kebutuhan komunitas kampus. Misalnya bisnis refil tinta, merakit komputer, jual beli buku, cuci kiloan, melukis sepatu—sebelumnya tentu saja yang sudah lama melukis kaus—sama seperti rekan-rekan mereka di kota lain, seperti Bandung.

Sebaliknya, pada saat yang sama, rekan-rekan mereka berebut tempat meraih kursi pegawai negeri. Ribuan anak muda terdidik berdesakan antre mendaftar, mengikuti ujian saringan, bahkan ada yang perlu merogoh kocek ratusan ribu untuk pelicin.

Ditarik dalam konteks nasional, pengamatan Bastian itulah miniatur kondisi ketenagakerjaan Indonesia, lebih jauh lagi potret lemahnya jiwa kewirausahaan. Misalnya, bahkan untuk sarjana yang relatif potensial terserap di lapangan kerja pun, sampai pertengahan tahun lalu 70 persen dari 6.000 sarjana pertanian lulusan 58 perguruan tinggi di Indonesia menganggur. Merekalah bagian dari 9,43 juta atau 8,46 persen jumlah penduduk pada Februari 2008.

Tidak imbangnya jumlah pelamar kerja dan lowongan kerja, gejalanya merata di seluruh pelosok—bahkan jumlah penganggur terdidik semakin membesar—menunjukkan kecilnya jiwa kewirausahaan. Para lulusan lebih tampil sebagai pencari kerja dan belum sebagai pencipta lapangan kerja.

Tidak terserapnya lulusan pendidikan ke lapangan kerja memang tidak sepenuhnya disebabkan faktor tak adanya jiwa kewirausahaan. Banyak faktor lain menjadi penyebab. Meskipun demikian, tampaknya faktor dan tantangan terpenting adalah bagaimana institusi pendidikan berhasil membentuk atau menanamkan semangat, jiwa, dan sikap kewirausahaan.

Sebagai disiplin ilmu, kewirausahaan bisa diajarkan lewat sistem terstruktur, salah satu hasil penting dan utama praksis pendidikan. Lembaga pendidikan tidak dapat memberikan pekerjaan, tetapi bisa memastikan agar hasil didik mampu menciptakan pekerjaan.

Mengutip Peter F Drucker, pakar manajemen yang kondang pada tahun 1990-an, kewirausahaan itu bukan bimsalabim, apalagi berurusan dengan keturunan. Singapura dengan memiliki 4 persen wirausaha dari total penduduknya, sementara Indonesia baru 0,18 persen dari total sekitar 225 juta penduduk, bukan karena mayoritas penduduknya beretnis China dan Indonesia mayoritas Jawa. Ketimpangan itu disebabkan kurang terselenggaranya praksis pendidikan yang membuka ke arah kreativitas dan temuan-temuan bersama.

Inisiatif pada tahun 2010 ini Kementerian Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) mengalokasikan dana Rp 50 miliar untuk mencetak 10.000 sarjana wirausaha perlu dihargai. Proyek itu menambah adrenalin Kementerian Pendidikan Nasional yang lama terengah-engah dengan masalah-masalah teknis dan sistem.

Dana UKM itu digunakan untuk pemberdayaan sarjana di bawah usia 30 tahun yang masih menganggur. Sejak digulirkan Desember 2009 dan telah disosialisasikan ke sembilan provinsi, program ini diikuti 4.525 sarjana dan akan berlangsung sampai tahun 2014 dengan target tahunan tercipta 10.000 atau seluruhnya 50.000 wirausaha baru hingga tahun 2014.

Memang terlambat, sebab justru kewirausahaan seharusnya ditanamkan sejak di jenjang pendidikan anak usia dini dan bukan dicangkokkan setelah lulus. Namun, tak ada kata terlambat untuk suatu perbaikan. Program ini merupakan bagian dari upaya memperbesar jumlah wirausaha Indonesia.

Tercatat jumlah 48 juta wirausaha Indonesia, tetapi yang benar-benar wirausahawan sejati sebenarnya hanya 0,1 persen atau sekitar 400.000 orang. Minimal dari jumlah total penduduk, setidaknya Indonesia harus memiliki 2 persen dari jumlah itu. Upaya itu sejalan dengan ”impian” Ciputra, salah satu entrepreneur Indonesia yang obses, bahwa pada 25 tahun lagi lahir 4 juta entrepreneur Indonesia.

Relatif barang baru

Kewirausahaan memang masih merupakan barang baru untuk Indonesia, sementara AS sudah mengenalnya sejak 30 tahun lalu dan Eropa 6-7 tahun lalu. Munculnya entrepreneur sebagai hasil lembaga pendidikan dan buah learning by doing masih ada perbedaan persepsi. Ada yang berpendapat jiwa kewirausahaan tidak harus dihasilkan dari lembaga pendidikan, ada pendapat lain bisa dilakukan tidak lewat proses yang direncanakan.

Menurut panelis Agus Bastian, entrepreneur dan kemudian politisi yang merasa sebagai entrepreneur lahir dari jalanan, yakin kewirausahaan bisa dihasilkan juga dari semangat mengambil risiko tanpa takut, bukan lewat pendidikan khusus kewirausahaan atau manajemen. Modal utama seorang entrepreneur bukanlah uang, melainkan kreativitas. Tanpa kreativitas, syarat utama seorang calon entrepreneur, yang ada bukanlah entrepreneur sejati, melainkan pedagang.

Keyakinan Agus didukung panelis Agung Waluyo. Seorang entrepreneur jadi dari sosok seorang pedagang atau juragan. Sebab, kewirausahaan menawarkan dan menciptakan nilai, sementara jiwa dagang hanya menawarkan alternatif.

Ada contoh, seorang sarjana lulusan UGM menciptakan nilai mau membantu yang sama-sama jadi korban gempa bulan Mei 2006. Dia buat desain pakaian Muslim. Dia tawarkan lewat internet atas mentoring langsung Ciputra.

Usahanya berkembang, bahkan sekarang sudah merambah mancanegara di tiga benua besar, sampai akhirnya dia merasa tak sanggup lagi melayani permintaan pasar. Tetapi, ia sudah menciptakan nilai untuk desanya, menciptakan lapangan kerja baru.

Contoh kasus itu menunjukkan, sikap menolong orang lain diwujudkan untuk orang lain. Nilainya bukan hanya miliknya sendiri, tetapi milik orang lain juga. Yang dia lakukan adalah menginspirasikan generasi muda bahwa mereka bisa menjadi berkah bagi masyarakat. Sosok sarjana lulusan UGM di atas mirip jiwa kewirausahaan Mangunwijaya, terutama dalam konteks menciptakan nilai untuk orang lain (social entrepreneurship, kewirausahaan sosial).

Selain Kementerian Urusan Koperasi dan UKM, Kementerian Pendidikan Nasional yang bertanggung jawab dalam urusan pendidikan perlu diakui belum lama tanggap. Walaupun masih terengah-engah bergulat dengan soal-soal teknis, bekerja sama dengan lembaga penggiat wiraswasta seperti Ciputra Entrepreneurship Center, Kementerian Pendidikan Nasional melakukan upaya membangun jiwa kewirausahaan. Dilakukan dengan membenahi kurikulum berbasis komunitas, memperbaiki praksis pendidikan di sekolah kejuruan dan tinggi, sampai pada pengarbitan calon-calon entrepreneur yang dicangkokkan di lembaga pendidikan tinggi.

Banyaknya industri kreatif yang dihasilkan bangsa ini menunjukkan sebenarnya bangsa ini kreatif. Tetapi, mengapa kekayaan alam dan kekayaan budaya dengan segala keragamannya itu tidak dimanfaatkan untuk ekonomi?

Karena kita tidak kreatif. Karena kita tidak punya jiwa kewirausahaan—yang dengan gampang terbelokkan karena sejak awal pun bangsa ini terbelenggu tidak dibesarkan dalam budaya wirausaha. Melalui kewirausahaan sebenarnya anugerah alam raya Indonesia bisa dimanfaatkan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa.

Gerakan nasional

Masalahnya, apakah yang perlu dipelajari generasi muda mengembangkan jiwa kewirausahaan? Kepercayaan diri menjadi modal utama, selain sikap dan kemauan terus menemukan yang baru tanpa kenal risiko.

Kewirausahaan membuat orang yang berhasrat besar terhadap sesuatu menjadi mandiri secara finansial dan berkontribusi untuk masyarakat. Dia melatih keterampilan, know-how, dan tindakan yang menghasilkan ide-ide dan inovasi, meyakinkan orang lain untuk menolong dan bekerja dalam sebuah tim, menerjemahkan ide menjadi kenyataan, dan mendirikan perusahaan.

Dalam konteks Indonesia, dengan kecilnya jumlah entrepreneur, kewirausahaan menjadi keharusan. Dialah kunci kemajuan. Dunia membutuhkan solusi masalah yang bisa mewujudkan impian jadi kenyataan, dilandasi ambisi dan keberanian mengambil risiko secara cerdas.

Menanamkan jiwa kewirausahaan perlu dimulai dini dalam praksis pendidikan mengusung kebebasan, sebagai contoh SD Mangunan di Sleman dan Sanggar Anak Alam di Bantul. Masih banyak yang lain, yang umumnya kembali pada dasar paling mendasar dari praksis pendidikan, yakni praksis pembelajaran yang membebaskan yang kadang direcoki dengan pendekatan teknis dan persoalan remeh-temeh mengganggu seperti kasus ujian nasional atau UU Badan Hukum Pendidikan.

Dibutuhkan satu gerakan nasional, semacam Gerakan Kewirausahaan berbasis komunitas untuk melahirkan UKM-UKM baru di satu pihak, sekaligus praksis pendidikan yang berorientasi pada pendidikan yang membebaskan di atas habitat masyarakat yang kondusif positif menyangkut 3 L (lahir, lingkungan, latihan). Gerakan baru itu dirumuskan oleh Ciputra sebagai Gerakan Budaya Wirausaha yang melibatkan pemerintah, akademisi, bisnis, dan sosok-sosok sosial.

Itulah tantangan urgen-mendesak Indonesia yang seharusnya menjadi batu penjuru dan batu sendi praksis pendidikan; dan sebaliknya menjauhkannya dari keterjebakan ”kekeliruan yang satu ke kekeliruan yang lain” yang bersifat teknis-metodis-yuridis.

Sumber: Kompas.Com

Monday, July 18, 2011

Optimalisasi Layanan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Untuk Menumbuhkan Minat Baca Masyarakat Pedesaan

Abstract: Reading is essential in human life. Reading habits should be started from the children. It must become a culture for the community as a whole. Rural has lots of local potential which if developed would be a great contribution to the local government. Growing and increasing interest in reading for public, especially rural communities will further enhance the quality of life.

Mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia melalui jalur pendidikan merupakan satu langkah dalam mewujudkan masyarakat adil, maju, dan makmur. Pendidikan memberikan kesempatan pada warga untuk mengembangkan potensi diri. Pengembangan potensi diri merupakan salah satu cara untuk mengatasi permasalahan yang ada di Indonesia.

Beberapa permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah masih rendahnya tingkat pendidikan penduduk, tingginya angka pengangguran, serta tingginya tingkat kemiskinan. Ketiga permasalahan ini saling terkait dan telah menjadi bagian dari kehidupan seluruh bangsa Indonesia. Pemerintah menyadari benar bahwa permasalahan tersebut harus dipecahkan, dengan cara memfasilitasi usaha-usaha yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Kebijakan pemerintah untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, khususnya dalam bidang pendidikan adalah dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara dalam mengenyam pendidikan. Hal ini sesuai dengan undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan dan ketrampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan tamatan pendidikan dasar jalur sekolah formal. Dalam pelaksanaannya, pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat yang ingin mengenyam pendidikan baik melalui jalur pendidikan formal dan jalur pendidikan nonformal.

Pendidikan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam membangun watak bangsa (Nation Character Building). Masyarakat yang cerdas akan memberikan nuansa kehidupan yang cerdas pula dan secara progresif akan membentuk kemandirian. Masyarakat/bangsa yang demikian merupakan investasi yang besar untuk berjuang keluar dari krisis dan menghadapi dunia global (Mulyasa, 2003:5).

Sistem pendidikan yang harus dilaksanakan di Indonesia adalah pendidikan yang dapat mengembangkan potensi masyarakat, mampu menumbuhkan kemauan serta membangkitkan motivasi generasi bangsa untuk menggali potensi, dan mengembangkannya secara optimal bagi kepentingan pembangunan masyarakat secara utuh dan menyeluruh. Tetapi pada kenyataannya kualitas SDM di Indonesia rendah jika dibandingkan dengan negara lain (Mulyasa, 2005:5).

Minat baca sebagian besar masyarakat Jawa Timur berada pada kategori sedang yaitu sebesar 56%. Sementara sejumlah 1,5% berada pada kategori sangat rendah, dan 20,8% berada pada kategori rendah. Pada kategori tinggi, minat baca masyarakat Jatim mencapai 29,8% dan hanya 4,0% yang masuk pada kategori sangat tinggi. Selaras dengan temuan di atas, minat baca masyarakat Kabupaten Trenggalek juga masih sangat rendah. Hal ini dilihat dengan tidak berkembangnya TBM yang ada di Kabupaten Trenggalek.

Sehubungan dengan hal tersebut, untuk meningkatkan Human Development Indeks (HDI) dan kemampuan dalam menghadapi tingkat persaingan yang semakin kompetitif, diperlukan strategi perencanaan pembangunan khususnya bidang pendidikan yang tepat. Dalam upaya mengembangkan sumber daya manusia (SDM) berkualitas dan profesional, sedikitnya terdapat 3 syarat utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan pendidikan yaitu (1) sarana gedung, (2) buku yang berkualitas dan (3) guru dan tenaga pendidikan yang profesional (Mulyasa, 2005:3)

Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia dilakukan melalui jalur pendidikan formal, nonformal maupun informal. Salah satu program di pendidikan nonformal yang diharapkan dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah program “Taman Bacaan Masyarakat (TBM)”. Program ini ditujukan untuk membantu peningkatan minat baca, budaya baca, dan cinta buku bagi warga belajar dan masyarakat. Secara khusus TBM dimaksudkan untuk mendukung gerakan pemberantasan buta aksara. Salah satu sasaran TBM adalah masyarakat yang tidak buta aksara tetapi menjadi buta aksara kembali.

Kabupaten Trenggalek merupakan salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Jawa Timur. Kabupaten Trenggalek memiliki topografi daerah relief pegunungan dan berbukit-bukit. Kabupaten Trenggalek memiliki luas daerah darat 126.140 Ha, dengan perincian lahan pemajakan seluas 64.917,70 Ha, lahan perhutani terdiri dari hutan produksi seluas 45.040, 30 Ha, dan hutan lindung seluas 16.182 Ha, serta daerah lautan 17.000 km2. Jumlah penduduk seluruhnya adalah 808.793 jiwa dan tingkat pendapatan penduduk 1.600.000 per tahun. Berdasarkan data BPS 2004, kabupaten Trenggalek terbagi menjadi 14 kecamatan, 152 desa dan 5 kelurahan. Sebagian besar penduduk yang ada di Kabupaten Trenggalek bekerja sebagai petani dan peladang.

Kabupaten Trenggalek belum memiliki banyak TBM. Data tahun 2009 menunjukkan jumlah TBM sebanyak 13 lembaga dimana penyebarannya tidak merata. Belum semua kecamatan memiliki TBM. Selain itu, kebanyakan TBM yang ada dikelola secara konvensional, hanya memberikan pelayanan peminjaman dan pengembalian buku. Hal ini diperparah dengan kondisi beberapa TBM yang koleksi buku bacaannya terbatas, baik jenis maupun jumlahnya. Keterbatasan tersebut menyebabkan TBM tidak dapat berkembang. Kondisi ini tentunya mempengaruhi minat baca masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan pengelolaan TBM harus diperbarui agar minat baca masyarakat meningkat.

TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM)

Membaca adalah pintu untuk membuka dunia. Buku adalah ibu pengetahuan. Membaca merupakan pintu kecerdasan menuju kehidupan yang berkualitas dan sejahtera. Salah satu media untuk membudayakan membaca adalah melalui TBM.

TBM memiliki beberapa tujuan yang meliputi (1) membangkitkan dan meningkatkan minat baca masyarakat sehingga tercipta masyarakat yang cerdas, (2) menjadi wadah kegiatan belajar masyarakat, dan (3) mendukung peningkatan kemampuan aksarawan baru dalam rangka pemberantasan buta aksara sehingga tidak menjadi buta aksara kembali.

TBM memiliki fungsi antara lain: (1) sebagai sarana pembelajaran bagi masyarakat, (2) sebagai sarana hiburan/rekreasi dan pemanfaatan waktu secara efektif dengan memanfaatkan bahan-bahan bacaan dari berbagai sumber, dan (3) sebagai sarana informasi dimana terdapat beragam buku dan bahan bacaan lain yang sesuai dengan kebutuhan warga belajar dan masyarakat setempat.

Membaca merupakan salah satu cara untuk belajar dan menambah ilmu pengetahuan. Keterampilan membaca tidak mudah untuk dikuasai oleh seseorang, oleh karenanya membaca harus dimulai sejak dini agar menjadi kebiasaan. Keterampilan membaca memerlukan proses pembiasaan dan dilatihkan sejak anak usia dini. Melalui pembiasaan sejak dini diharapakn kebiasaan yang terbentuk akan menumbuhkan budaya membaca di masyarakat.

Saat ini, pemerintah menggalakkan program pemberantasan buta aksara. Salah satu program dalam pemberantasan buta aksara lanjutan adalah dengan memperkuat dan memperluas kelembagaan TBM dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di setiap lokasi pembelajaran (Ace, 2005:35). Dengan adanya TBM dan PKBM tersebut, masyarakat khususnya warga belajar dapat lebih mengasah kemampuannya dalam membaca, menulis dan berhitung sehingga mereka tidak mengalami buta aksara kembali. Selain itu, keberadaan TBM dan PKBM di masyarakat juga ditujukan untuk memberikan pelayanan yang optimal terhadap kebutuhan masyarakat umum akan informasi dan pengetahuan.

SISTEM PENGELOLAAN TAMAN BACAAN MASYARAKAT (TBM)

TBM mempunyai peran dan fungsi strategis untuk melayani masyarakat yang karakteristiknya beragam. Untuk itu, dalam pengembangannya TBM harus ditujukan untuk melayani masyarakat sesuai dengan karakteristik sosial, ekonomi dan geografisnya (Warta, 2007:26). Pengembangan program TBM memberikan dampak yang signifikan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan masyarakat, kualitas masyarakat, pengembangan potensi daerah, pengembangan industri, dan mampu menjadi katalisator kehidupan sosial masyarakat. Hal ini berarti bahwa revitalisasi peran dan fungsi TBM untuk mendukung proses pembelajaran masyarakat sepanjang hayat perlu untuk tetap diupayakan.

Dalam pengelolaan TBM, diperlukan satu organisasi yang bertanggungjawab atas pelaksanaan program. Struktur organisasi ini dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang ada pada TBM tersebut. Ketika bidang kajian TBM semakin luas dan kompleks, maka struktur organisasi dapat dirubah dan disesuaikan dengan kondisi yang ada.

Pengelola TBM harus orang yang mempunyai kompetensi dan dedikasi serta memiliki kemampuan teknis dalam mengelola dan melaksanakan layanan kepustakaan kepada masyarakat. Oleh karena itu, pengelola TBM harus memiliki pengetahuan dalam bidang (1) Pengantar Kepustakaan, Dokumentasi dan Informasi, (2) Manajemen TBM, (3) Pemilihan/pengadaan bahan pustaka, (4) Pengolahan bahan pustaka, dan (5) Pelayanan pembaca (Depdiknas, 2005:5). Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh tenaga pelayanan TBM antara lain: (1) memiliki pengetahuan dasar tentang pengelolaan TBM, (2) memiliki kemauan, dedikasi dan kemampuan untuk melayani orang dengan ramah, sopan, teliti, tekun dan senang membaca, (3) berpenampilan menyenangkan sehingga orang tidak segan bertanya atau minta pertolongan, dan (4) pandai bergaul sehingga orang merasa dekat dan diperhatikan.

TBM yang baik adalah yang dapat memberikan pelayanan yang memuaskan bagi pengguna. Keberhasilan TBM dalam melayani masyarakat penggunanya antara lain terlihat dari jumlah orang yang memanfaatkan TBM setiap hari dan seberapa jauh TBM menyediakan berbagai jenis koleksi bacaan yang dibutuhkan pengguna. Untuk itu, ruang TBM harus nyaman bagi pembaca. Keadaannya harus bersih, sejuk, rapi dan aman.

Sistem layanan di TBM adalah sistem layanan terbuka, sehingga pengunjung dapat masuk ke ruang baca untuk memilih dan mengambil bahan bacaan sendiri dari rak, atau dapat pula meminta bantuan kepada petugas. Pembaca juga dapat menggunakan tempat baca secara bebas untuk membaca. Jenis pelayanan di TBM ada dua macam, yaitu (1) layanan membaca dan (2) layanan sirkulasi. Layanan membaca yaitu memanfaatkan bahan bacaan seperti buku, majalah surat kabar dan lain-lain untuk membaca di ruang baca. Sedangkan layanan sirkulasi/peminjaman adalah peminjaman buku untuk di bawa ke rumah atau di luar ruangan TBM.

MINAT MEMBACA MASYARAKAT

Minat adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu objek tertentu. Minat memegang peranan penting. Dengan adanya minat dapat memacu semangat seseorang untuk mempelajari hal-hal yang diamatinya. Menurut Doyles Fryer (dalam Nurkancana dan Sumartana, 1983:224) minat atau interest adalah gejala psikis yang berkaitan dengan obyek atau aktivitas yang menstimuler perasaan senang pada individu. Seseorang yang sikap positif dan minat belajarnya tinggi, akan selalu melakukan langkah-langkah nyata untuk mengetahui dan mempelajari lebih awal dari semua yang diinginkan itu.

Membaca adalah keterampilan mendasar yang diajarkan guru kepada peserta didik di bangku sekolah. Pengertian membaca dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:72) adalah sebagai berikut: arti kata kerja (verb) baca atau membaca adalah (1) melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati); (2) mengeja atau melafalkan apa yang tertulis; (3) mengucapkan; (4) mengetahui, meramalkan; (5) menduga; memperhitungkan; memahami. Berdasarkan pengertian membaca tersebut ada 4 hal yang menjadi syarat agar kita dapat membaca dengan baik yaitu (1) pemahaman tentang huruf, (2) pemahaman tentang angka, (3) pemahaman tentang gambar atau kode, dan (4) pemahaman bahasa. Membaca dapat digambarkan sebagai sebuah jendela untuk melihat, mengetahui, memahami dan menduga masa lalu, masa kini dan masa depan dunia.

Manfaat membaca diantaranya adalah (1) Meningkatkan kinerja otak IQ, EQ ,SQ, (2) Mengembangkan daya imajinasi dan kreativitas yang kuat, (3) Membuka wawasan dunia yang luas dan kaya, (4) Menimba pengetahuan, (5) Berbagi pengalaman hidup dengan tokoh cerita yang dibaca, (6) Mengembangkan keterampilan-keterampilan yang praktis, (7) Menumbuhkan nilai etika dan moral sesama manusia, (8) Mengekspresikan emosi dan perasaan yang dimiliki, (9) Menajamkan daya ingat, (10) Mengasah intelektual, (11) Mempelajari estetika tulisan dan bahasa, dan (12) Menambah keterampilan berbahasa Indonesia yang baik.

Salah satu tujuan membaca adalah untuk menambah pengetahuan. Menurut Weiss (1990: 49) membaca untuk pengetahuan adalah membaca untuk memperoleh semua informasi yang esensial di dalam teks atau membaca untuk mendapatkan isi dengan menetapkan tujuan dan sasaran membaca, menegakkan prioritas, menaruh perhatian dan menulis kerangka. Dengan membaca tersebut kita dapat mengetahui makna yang ada dalam buku atau teks informasi. Jika kita mendapat informasi tersebut, secara otomatis pengetahuan kita bertambah.

Menurut Munif (2005:3) membaca adalah suatu proses kegiatan berfikir kognitif untuk memperoleh pesan yang berupa kata-kata, kalimat, paragraf, dan isi bacaan yang disampaikan penulis melalui media bahasa tulis. Dapat disimpulkan bahwa membaca adalah proses untuk memperoleh pengertian dari kombinasi beberapa huruf dan kata. Membaca adalah proses untuk mengenal kata dan memadukan arti kata dalam kalimat dan struktur bacaan. Hasil akhir dari proses membaca adalah seseorang mampu membuat intisari dari bacaan.

Proses belajar yang efektif antara lain dilakukan dengan membaca (Pusat Perbukuan, 2003:12). Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang gemar membaca adalah masyarakat yang gemar belajar. Banyak usaha yang harus dilakukan untuk membawa “buku” dekat dengan masyarakat. Upaya ini harus dilakukan bersama-sama antara pemerintah dan masyarakat. Jika di masyarakat sudah tumbuh budaya membaca maka akan tercetak masyarakat yang berkualitas.

MENINGKATKAN BUDAYA BACA MASYARAKAT PEDESAAN

Problem pendidikan Indonesia sekarang ini satu diantaranya adalah minat baca siswa yang rendah. Menurut beberapa pakar, rendahnya minat baca siswa merupakan pengaruh dari rendahnya minat baca masyarakat secara keseluruhan. Gejala ini disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satu faktor tersebut adalah faktor budaya. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat dengan tradisi budaya lisan (oral culture) yang kuat. Seperti ditengarai oleh Taufik Abdullah, tradisi budaya lokal Indonesia adalah lisan atau orality, bukannya kata yang tertulis. Hal tersebut yang menyebabkan masyarakat Indonesia enggan berkomunikasi dengan tulis, mereka lebih senang untuk bersuara atau berkomunikasi secara lisan.

Meningkatkan minat baca merupakan tugas yang sulit. Salah satu solusi adalah dengan membangun kesadaran masyarakat untuk menumbuhkan dan menanamkan kebiasaan membaca sejak anak usia dini. Untuk itu, ada 3 stakeholder utama yang memiliki peran penting yaitu (1) pemerintah dalam hal pendanaan untuk pembinaan koleksi perpustakan sekolah, (2) guru sebagai pelaksana pendidikan untuk lebih intensif dalam mendorong dan meningkatkan minat baca pada peserta didik, dan (3) orangtua harus menumbuhkan kebiasaan membaca sejak dini di lingkungan keluarga.

Orang tua sering kali menuntut anaknya untuk gemar membaca, tetapi kebanyakan mereka lupa bahwa minat baca anak tidak bisa datang dengan sendirinya. Minat baca harus dipupuk dari dalam keluarganya sendiri. Menciptakan suasana gemar membaca dalam keluarga dengan melibatkan aktivitas anak yang berhubungan dengan buku adalah salah satu cara terbaik untuk membangkitkan minat baca anak (Warta Plus, 2007:24).

Sistem Pengelolaan TBM Ngudi Kaweruh SKB Trenggalek

Dalam rangka meningkatkan minat baca masyarakat pedesaan, maka rencana langkah-langkah yang dilaksanakan oleh SKB Trenggalek meliputi: (1) Penunjukkan dan Penetapan Pengelola TBM, (2) Identifikasi Objek Sasaran, (3) Identifikasi Tempat Sasaran, (4) Identifikasi Sarana dan Prasarana yang dibutuhkan, (5) Konsultasi dan Koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait,dan (6) Pelaksanaan Kegiatan TBM.

Adapun kegiatan langsung yang dilaksanakan dalam pengelolaan TBM yang ada di SKB Trenggalek antara lain: (1) Pengklasifikasian bahan bacaan, (2) Pelayanan membaca, dan (3) Pelayanan sirkulasi (peminjaman). Pelayanan membaca oleh SKB Trenggalek dilakukan dibeberapa lokasi, yaitu di TBM Ngudi Kaweruh dan di TBM Al Amin di Desa Karangsoko. Selain itu, SKB Trenggalek juga mempunyai TBM keliling untuk melayani kebutuhan membaca masyarakat di pedesaan.

Optimalisasi Layanan Taman Bacaan Masyarakat

TBM Ngudi Kaweruh mempunyai 2 layanan utama yaitu layanan membaca dan layanan sirkulasi. Berdasarkan pengalaman, terdapat beberapa keluhan dari masyarakat ketika melakukan kunjungan. Diantara keluhan tersebut diantaranya:

beberapa tempat tujuan (sasaran) minat membacanya kurang, sehingga jumlah buku yang dipinjam untuk dibaca sedikit.
terbatasnya jumlah koleksi buku yang dimiliki sehingga buku yang ada di TBM Ngudi Kaweruh ini belum bisa dipinjam untuk dibawa pulang
kurangnya sosialisasi yang dilaksanakan oleh Penilik kepada sasaran pelaksanaan TBM Keliling, sehingga jumlah warga yang membaca juga kurang optimal.
kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya membaca.

Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, maka pengelola TBM Ngudi Kaweruh selalu melakukan inovasi dalam penyelenggaraan TBM agar dapat merangsang minat baca masyarakat tersebut. Diantara langkah-langkah yang ditempuh dalam rangka mengoptimalkan pelayanan TBM kepada masyarakat adalah:

a. memberikan motivasi dan gambaran kepada masyarakat melalui sosialisasi tentang pentingnya membaca.

b. pengelola selalu mencari informasi-informasi tentang kebutuhan bahan bacaan yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga dapat menyediakan buku yang variatif dan sesuai kebutuhan masyarakat

c. menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang dapat menambah koleksi buku bacaan yang ada di TBM Ngudi Kaweruh.

d. memberikan layanan tambahan bagi masyarakat misalnya, kenyamanan masyarakat meningkat dengan adanya bantuan (hibah) dari Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB) berupa sarana komputer dan multimedia. Selain itu, juga ada pembelajaran dalam bentuk audio visual dan bantuan APE dari SIKIB untuk anak PAUD

e. Inovasi terpenting dalam rangka peningkatan minat baca masyarakat tersebut adalah dengan mengadakan berbagai perlombaan untuk menunjang pelaksanaan TBM Ngudi Kaweruh tersebut. Diantara kegiatan yang dilaksanakan adalah sebagai berikut:

· Kegiatan lomba mendongeng bagi pendidik PAUD se-Kabupaten Trenggalek.

· Kegiatan lomba mengarang bagi anak-anak.

· Kegiatan lomba menggambar dan mewarnai bagi anak usia dini.

· Mengadakan kegiatan lomba memasak bagi ibu-ibu

· adanya program-program lain yang mendukung minat membaca, seperti adanya program Koran Ibu yang ditujukan untuk lulusan warga belajar Pendidikan Keaksaraan agar tidak buta aksara kembali

Respon Masyarakat Terhadap Layanan TBM

Masyarakat tidak secara langsung merespon program TBM di Kabupaten Trenggalek. Perlu ada sosialisasi tentang TBM dan manfaatnya bagi masyarakat. Pada awal kunjungan ke lokasi di desa-desa, tampak bahwa masyarakat merasa ragu dan enggan mendekat. Mereka hanya melihat kedatangan tim. Setelah pengelola melakukan sosialisasi, mereka membaca selama rentang waktu kurang lebih 2 – 4 jam.

Saat ini, tampak masyarakat senang dengan layanan TBM. Seringkali mereka ingin meminjam buku untuk dibawa pulang. Namun, pengelola harus konsisten terhadap aturan yaitu tidak meminjamkan buku pada saat layanan TBM Keliling. Oleh karenanya, pengelola menyarankan agar mereka menjadi anggota dan meminjam ke TBM Ngudi Kaweruh yang ada di Kantor SKB Trenggalek.

Saat ini, respon masyarakat terhadap TBM sangat bagus. Hal ini terlihat di beberapa tempat yang dikunjungi TBM Keliling. Banyak masyarakat yang menunggu kedatangan TBM Keliling. Seringkali pengelola mendapat pertanyaan kapan kembali ke tempat tersebut. Bahkan, saat ini petugas layanan baca sering merasa kewalahan terhadap pembaca yang ingin membaca buku.

Hal yang sama juga terjadi di TBM Ngudi Kaweruh. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya jumlah peminjam. Jika dahulu hanya terbatas pada warga belajar pendidikan kesetaraan yang ada di Kampus SKB Trenggalek, sekarang sudah bertambah luas ke masyarakat sekitar dan beberapa pendidik PAUD yang ada di Kabupaten Trenggalek.

Pun di TBM Al Amin di Desa Karangsoko juga mendapat sambutan bagus dari masyarakat. Di desa ini sebelumnya tidak ada perpustakaan, sehingga masyarakat tampak haus akan bahan bacaan. Hal itu dapat dilihat setiap sore hari banyak anak-anak yang sangat antusias meminjam buku di TBM Al Amin. Mereka selalu menyempatkan datang ke TBM Al Amin setelah pulang dari mengaji di masjid yang lokasinya tidak berjauhan. Sedangkan untuk masyarakat lainnya, meraka mengunjungi TBM Al Amin pada waktu siang hari setelah pulang dari sawah. Bahkan, terdapat beberapa pembaca yang berasal dari desa lain. Hal ini tentunya lebih menambah semangat pengelola untuk lebih meningkatkan pelayanan.

PENUTUP

Menumbuhkan minat baca pada masyarakat khususnya pada anak memberikan banyak manfaat. Selain wawasan pengetahuan mereka bertambah, buku juga sangat membantu mengembangkan imajinasi anak. Namun, tidak semua orang tua mampu menularkan kebiasaan membaca buku pada anak-anaknya. Apabila minat baca masyarakat tumbuh dan berkembang maka masyarakat akan gandrung membaca berbagai sumber bacaan. Hal ini pada akhirnya akan membuat masyarakat haus informasi. Namun, kondisi ini tidak bisa lepas dari budaya yang ada. Mengembangkan budaya membaca pun harus bersesuaian dengan budaya yang ada di lingkungan masyarakat, dan diharapkan akan menjadi budaya baru di masayarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Munif, Erfan. 2005. Menumbuhkan Minat Baca Anak Melalui pengembangan Komunitas Membaca. Jurnal Pendidikan Nonformal, Edisi I (1-9)
Buletin Pusat Perbukuan. 2003. Gerak Masyarakat Mengembangkan Budaya Baca. Volume 9 Halaman 13 – 15.
Direktorat Pendidikan Masyarakat. 2005. Pedoman Pengelolaan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Jakarta: Depdiknas.
Gerbang. 2004. Kebijakan Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2004. Edisi I Tahun IV. Halaman 32 – 35.
http://gurupkn.wordpress.com/2007/11/02/10-tips-untuk-menumbuhkan-minat-baca-pada-anak/. (Diakses 2 Mei 2010).
http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat. (Diakses 6 Juli 2010).
http://tbmskbpo.blogspot.com/search/label/Taman%20Bacaan%20Masyarakat%20%2F%20TBM. (Diakses 2 Mei 2010).
http://www.asmakmalaikat.com/go/buku/13022000_1.htm. (Diakses 2 Mei 2010).
Kusmiadi, Ade. 2007. Pemberdayaan Masyarakat Dilihat Dari Prespektif PNF. Warta Plus. Volume 45 Edisi Januari. Halaman 34 – 39.
Masyarakat Pendidikan. 2001. Meningkatkan Minat Baca dan Problem Perpustakaan di Madrasah. Volume 1 No. 4 Tahun 2001. Halaman 13-15.
Mulyasa, Enco. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, Enco. 2005. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muslimah, Sita R. 20 November 2008. Menumbuhkan Minat Baca Anak. http://www.sunangunungdjati.com/blog/?p=317. (Diakses 2 Mei 2010).
Nurkancana, W dan Sumartana. 1983. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Purwadi. 2005. Modul Teknik Pembinaan Program Pendidikan Nonformal. Jakarta:Dediknas.
Sihombing, Umbertus. 2000. Pendidikan Luar Sekolah Manajemen Strategi: Konsep, Kiat dan Pelaksanaan. Jakarta: PD. Mahkota.
Sodiq A Kuntoro. 2006. Pendidikan Nonformal (PNF) Bagi Pengembangan Sosial. Jurnal ilmiah VISI Volume 1 Nomor 2. Halam 14 – 18.
Soedijarto. 1997. Mendapatkan Kinerja Sistem Pendidikan Nasional dalam Penyiapan Manusia Indonesia Memasuki Abad ke-21. Jakarta: PT. Sidi Alims Corporation.
Sudjana, H.D. 2000. Manajemen Program Pendidikan Untuk Pendidikan Luar Sekolah dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Falah Production.
Warta Plus. 2007. Rp. 90 Miliar Untuk TBM. Volume 53 Edisi IX. Halaman 49.
Warta Plus. 2007. TBM Perlu Tahu Kebutuhan Masyarakat. Volume 45 Edisi Pebruari. Halaman 25 – 27.
Weiss, Donald H. 1988. Meningkatkan Kemampuan Membaca. Terjemahan oleh Drs. Budi. 1990. Jakarta:Binarupa Aksara.

sumber : www.paudni.kemdiknas.go.id/bppnfi4/

Saturday, July 16, 2011

Program Layanan PAUD Non Formal dalam Mendukung Anak Jalanan Mengentaskan Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun

Abstract:

Keberadaan anak-anak jalanan masih dianggap sebagai limbah kota yang harus disingkirkan. Peningkatan jumlah anak jalanan merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak. Anak Jalanan memiliki hak yang sama seperti anak-anak lainnya baik perkembangan fisik, mental, sosial dan kepribadian agar mereka memiliki masa depan yang cerah. Namun anak jalanan tidak memperoleh hak-haknya bahkan sering hak-haknya sering terlanggar.

Anak-anak jalanan adalah korban baik sebagai korban di dalam keluarga, komunitas jalanan, dan korban pembangunan. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak jalanan perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap anak jalanan.

Kata Kunci: Program Layanan PAUD, PAUD Non Formal, Anak Jalanan,

Pendahuluan

Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi masalah bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara.

Anak jalanan memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang layak agar mereka dapat tumbuh sesuai dengan masa berkembang sebagaimana anak-anak yang lain. Baik perkembangan fisik maupun mentalnya, seperti mendapatkan hak pendidikan, pelayanan kesehatan, bermain dan sebagainya. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif, padahal mereka adalah bagian dari kita. Tentunya, dengan status sosial sebagai anak jalanan mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menikmati pendidikan secara formal. Mereka harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.

Di mata masyarakat, keberadaan anak jalanan hingga kini masih dianggap sebagai limbah kota yang harus disingkirkan. Bahkan anak-anak jalanan sendiri tidak sedikit yang menganggap dirinya sebagai sampah masyarakat. Jumlah anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun belakangan. Krisis ekonomi yang terjadi diyakini berpengaruh besar terhadap peningkatan jumlah ini. Komisi Perlindungan Anak (KPAI) memperkirakan, pada tahun 2006 terdapat sekitar 150 ribu anak jalanan di Indonesia, dengan konsentrasi terbesar di Jakarta (KPAI, 2006).

Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan, melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk di mana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering terlanggar.

A. Pengertian Anak Jalanan

Pengertian anak jalanan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah “mereka yang berada pada rentang usia wajib belajar 9 tahun (di bawah 18 Tahun) yang menghabiskan sebagian waktunya atau seluruh waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang atau guna mempertahankan hidupnya”. Anak yang seharusnya masih berada dalam lingkungan bermain dan belajar, ketika ia pergi atau bahkan tinggal di jalan, pernahkah kita membayangkan kehidupan seperti apa yang mereka jalani? Karakteristik atau sifat-sifat yang menonjol dari anak jalanan di antaranya adalah: (1) Kelihatan kumuh atau kotor, baik kotor tubuh, maupun kotor pakaian, (2) memandang orang lain yang tidak hidup di jalanan sebagai orang yang dapat dimintai uang, (3) mandiri, artinya anak-anak tidak terlalu menggantungkan hidup, terutama dalam hal tempat tidur atau makan, (4) raut wajah yang selalu memelas, terutama ketika berhubungan dengan orang yang bukan dari jalanan. (5), anak-anak tidak memiliki rasa takut untuk berinteraksi baik berbicara dengan siapapun selama di jalanan, (6) malas untuk melakukan kegiatan anak “rumahan” misalnya jadwal tidur selalu tak beraturan, mandi, membersihkan badan, gosok gigi, menyisir rambut, mencuci pakaian atau menyimpan pakaian. Ketika pertama kali hadir di jalan, seorang anak menjadi anonim. Ia tidak mengenal dan dikenal oleh siapapun. Selain itu juga ada perasan kuatir bila orang lain mengetahui siapa dirinya. Tidaklah mengherankan bila strategi yang kemudian digunakan adalah dengan menganti nama. Hampir semua anak yang saya kenal mengganti nama. Hal ini dilakukan untuk menjaga jarak dengan masa lalunya sekaligus masuk dalam masa kekiniannya. Anak-anak mulai memasuki dunia jalanan dengan nama barunya. Anak-anak yang berasal dari daerah pedesaan menggganti dengan nama-nama yang dianggap sebagai nama “modern” yang diambil dari bintang sinotren atau yang yang biasa didengarnya misalnya dengan anam Andi, Roy dan semacamnya. Seorang anak yang bernama Mohammad kemudian mengganti namanya menjadi Roni. Alasan yang diberikan karena Mohammad adalah nama nabi. Nama itu tidak cocok dengan kehidupan di jalan. karena yang dilakukan di jalan banyak tindakan haram. Corak moda kehidupan anak jalanan terutama adalah (re)aksi yang sesungguhnya tidak memiliki kekuatan besar, namun dari posisi di pinggiran itu tetap berupaya mengekspresikan dan menciptakan makna bagi dirinya. Dengan menyimpang dari kultur dominannya anak-anak jalanan dengan sekuat tenaganya mempertahankan kontrol atas dirinya sendiri dengan ekspresi “kebebasan” dan simbol kreatifitas sekaligus menjadi ajang dari pertandingan: pemberdayaan atau penaklukan. Pendek kata, bila bagi banyak pihak menjalani kehidupan di jalan diietakkan sebagai “masalah”, maka bagi anak-anak muda itu memilih kehidupan jalanan sebagai satu “solusi”. Paradoks semacam ini memang akan tetap memposisikan anak jalanan di pinggiran, tetapi ia sekaligus juga sumber kekuatan terciptanya satu sub-kultur anak muda perkotaan. http://www.yogyafree.net; http://milis.yogyafree.net/ http://groups.yahoo.com/group/yogyafree Berbagai penelitian, laporan program, hasil monitoring dan pemberitaan media massa telah banyak mengungkap situasi buruk yang dialami oleh anak jalanan. Kasus yang pernah terjadi adalah pengusiran anak-anak jalanan dari rumah dan penyerangan sekelompok orang terhadap anak jalanan di Manggala Kekerasan lainnya adalah kekerasan dan eksploitasi seksual. Hampir seluruh anak jalanan perempuan pernah mengalami pelecehan seksual terlebih bagi anak yang tinggal di jalanan. Ketika tidur, kerapkali mereka menjadi korban dari kawan-kawannya atau komunitas jalanan, misalnya digerayangi tubuh dan alat vitalnya (Shalahuddin, 2004). Kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh anak jalanan hingga terungkap ke publik diyakini hanyalah sebagian kecil saja dari kasus-kasus kekerasan yang sering terjadi di dalam kehidupan anak-anak jalanan. Oleh karena itu, tidaklah terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa anak jalanan senantiasa berada dalam situasi yang mengancam perkembangan fisik, mental dan sosial bahkan nyawa mereka. Dalam situasi kekerasan yang dihadapi secara terus-menerus dalam perjalanan hidupnya, maka pelajaran itulah yang melekat dalam diri anak jalanan yang akan membentuk nilai-nilai baru dan membawa tindakan yang mengedepankan kekerasan sebagai jalan keluar untuk mempertahankan hidupnya. Ketika memasuki masa dewasa, besar kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku kekerasan. Tanpa adanya upaya apapun, maka kita telah berperan serta menjadikan anak-anak sebagai korban tak berkesudahan. Menghapus stigmatisasi di atas menjadi sangat penting. Patut disadari bahwa anak-anak jalanan adalah korban baik sebagai korban di dalam keluarga, komunitas jalanan, dan korban pembangunan. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak jalanan perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap anak jalanan. Melalui kampanye ini didorong pula tumbuhnya empati terhadap anak jalanan agar ada keterlibatan konkrit berbagai pihak melalui berbagai kegiatan untuk perubahan. Mereka harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.

B. Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini

Pada waktu manusia lahir, kelengkapan organisasi otak yang memuat 100-200 milyar sel otak siap dikembangkan serta diaktualisasikan untuk mencapai tingkat perkembangan potensi tertinggi. Periode sensitif perkembangan otak manusia terjadi pada interval umur tiga sampai sepuluh bulan. Para ahli menemukan bahwa perkembangan otak manusia mencapai kapasitas 50% pada masa anak usia dini. Para ahli menyebut usia dini sebagai usia emas atau golden age (Hasan, 2004). Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. PAUD adalah pendidikan yang cukup penting dan bahkan menjadi landasan kuat untuk mewujudkan generasi yang cerdas dan kuat. PAUD merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. Usia dini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak. Usia dini sebagai usia penting bagi pengembangan intelegensi permanen dirinya, mereka juga mampu menyerap informasi yang sangat tinggi. Banyak penelitian yang dilakukan untuk membuktikan, pada usia itu memiliki kemampuan intelegensi yang sangat tinggi (Siswanto, 2006). Pendidikan usia dini, pra-sekolah dan taman kanak-kanak tidak boleh diabaikan atau dianggap sepele. Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini. Tujuan utamanya adalah untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa. Tujuan penyertanya adalah untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah. Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bentuk satuan pendidikan anak usia dini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: (1) Jalur pendidikan formal, terdiri atas taman kanak-kanak dan raudhatul atfal, (2) Jalur pendidikan non formal yang terdiri atas penitipan anak, kelompok bermain dan satuan PAUD sejenis. Kelompok bermain dapat diikuti anak usia dua tahun ke atas, sedangkan penitipan anak dan satuan PAUD Sejenis diikuti anak sejak lahir, atau usia tiga bulan, (3) Jalur Pendidikan Informal yang terdiri atas pendidikan yang diselenggarakan di keluarga dan di lingkungan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melindungi hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan meskipun mereka tidak masuk ke lembaga pendidikan anak usia dini, baik formal maupun nonformal.

C. Pemberdayaan Rumah Singgah dalam Meningkatkan Mutu Layanan PAUD Non Formal Bagi Anak Jalanan

Salah satu bentuk penanganan anak jalanan adalah melalui pembentukan rumah singgah. Konferensi Nasional II Masalah Pekerja anak di Indonesia pada bulan Juli 1996 mendefinisikan rumah singgah sebagai tempat pemusatan sementara yang bersifat non formal, dimana anak-anak bertemu untuk memperoleh informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses pembinaan lebih lanjut (Sander, 2007). Sedangkan menurut Departemen Sosial RI, rumah singgah didefinisikan sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka. Rumah singgah merupakan proses non formal yang memberikan suasana pusat realisasi anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma di masyarakat. Secara umum tujuan dibentuknya rumah singgah adalah membantu anak mengatasi masalah-masalahnya dan menemukan alternatif untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sedang secara khusus tujuan rumah singgah adalah:

a. Membentuk kembali sikap dan perilaku anak yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.

b. Mengupayakan anak-anak kembali ke rumah jika memungkinkan atau ke panti dan lembaga pengganti lainnya jika diperlukan.

c. Memberikan berbagai alternatif pelayanan pendidikan dini untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi masyarakat yang produktif.

Peran dan fungsi rumah singgah bagi program pemberdayaan anak jalanan sangat penting. Secara ringkas fungsi rumah singgah antara lain:

a. Sebagai tempat pertemuan (meeting point) pekerja sosial dan anak jalanan. Dalam hal ini sebagai tempat untuk terciptanya persahabatan dan keterbukaan antara anak jalanan dengan pekerja sosial dalam menentukan dan melakukan berbagai aktivitas pembinaan.

b. Pusat diagnosa dan rujukan. Dalam hal ini rumah singgah berfungsi sebagai tempat melakukan diagnosa terhadap kebutuhan dan masalah anak jalanan serta melakukan rujukan pelayanan sosial bagi anak jalanan.

c. Fasilitator atau sebagai perantara anak jalanan dengan keluarga, keluarga pengganti, dan lembaga lainnya.

d. Perlindungan. Rumah singgah dipandang sebagai tempat berlindung dari berbagai bentuk kekerasan yang kerap menimpa anak jalanan dari kekerasan dan prilaku penyimpangan seksual ataupun berbagai bentuk kekerasan lainnya.

e. Pusat Informasi tentang anak jalanan.

f. Kuratif dan rehabilitatif. yaitu fungsi mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial anak.

g. Akses terhadap pelayanan. yaitu sebagai persinggahan sementara anak jalanan dan sekaligus akses kepada berbagai pelayanan sosial.

h. Resosialisasi. Lokasi rumah singgah yang berada ditengah-tengah masyarakat merupakan salah satu upaya mengenalkan pendidikan dini penanaman norma dan kehidupan bermasyarakat bagi anak jalanan.

Pada sisi lain mengarah pada pengakuan, tanggung jawab dan upaya warga masyarakat terhadap penanganan masalah anak jalanan. Bentuk upaya pemberdayaan anak jalanan selain melalui rumah singgah dapat juga dilakukan melalui program-program:

a. Center based program, yaitu membuat penampungan tempat tinggal yang bersifat tidak permanen.

b. Street based interventions, yaitu mengadakan pendekatan langsung di tempat anak jalanan berada atau langsung ke jalanan.

c. Community based strategi, yaitu dengan memperhatikan sumber gejala munculnya anak jalanan baik keluarga maupun lingkungannya.

Dalam kaitannya dengan model pembinaan anak jalanan dapat dilakukan dengan cara memberikan pendidikan alternatif (pendidikan luar sekolah) sebagai kegiatan untuk mencegah munculnya masalah sosial anak jalanan, seperti pelatihan dan peningkatan keterampilan, dan pada akhir 2009 diharapkan angka partisipasi kasar (APK) PAUD nonfomal minimal telah mencapai 35 persen (Anonim, 2006).

D. Pemberdayaan Keluarga

Anak-anak jalanan pada umumnya berada pada usia sekolah, usia produktif, mereka mempunyai kesempatan yang sama seperti anak-anak yang lain, mereka adalah warga negara yang berhak mendapatkan pelayanan pendidikan, tetapi di sisi lain mereka tidak bisa meninggalkan kebiasaan mencari penghidupan di jalanan. Perlu disadari bahwa pelaksanaan program pelayanan sosial anak jalanan selama ini masih dirasa ”Jauh Panggang dari Api”. Hal ini sebagai akibat dari fokus penanganannya lebih diutamakan pada sasaran anak, kurang diimbangi dengan pendekatan pemberdayaan keluarga. Dalam hal ini pemberdayaan keluarga belum menjadi program utama melainkan hanya sebagai program pelengkap. Dalam hal ini diharapkan agar program penanganan anak jalanan lebih di fokuskan pada basis keluarga dan masyarakat. Program berbasis masyarakat sangat kental dengan aspek pemberdayaan. Dalam pemberdayaan tersirat ”to give and to ability” yakni memberikan sesuatu yang memungkinkan keluarga mampu berbuat lebih banyak. Keluarga diberdayakan secara sosial, ekonomi, agar mampu berperan membentuk kepribadian anak yang pro-sosial. Pada akhirnya mampu memberikan jaminan bagi anak untuk berkembang secara normal. Melalui program pemberdayaan keluarga sebagai basis utama dalam pembinaan anak jalanan ini, keluarga dikembalikan pada ”Khitah” Nya sebagai lembaga penjamin perkembangan anak yang mendekatkan anak pada keluarga. Banyak yang dipelajari anak dalam proses pendidikan yang dimulai di dalam keluarga ini, yang ternyata memiliki efek penting bagi perkembangan kepribadiannya di kemudian hari. Menurut Farida (2006: 2-7) unsur-unsur penting yang perlu diperhatikan antara lain adalah:

1. Menanamkan rasa percaya diri dan rasa cinta pada anak

Rasa percaya dan rasa cinta ini tumbuh pada diri anak berkaitan erat dengan pengalaman perawatan yang diterimanya sejak beliau dilahirkan ke dunia. Perawatan dan perlakuan yang mendatangkan rasa aman pada diri anak, lambat laun membentuk rasa percaya dan cinta pada orang-orang di sekelilingnya. Kelak perasaan ini akan berkembang kepada lingkungan dan orang-orang lain yang lebih luas dari lingkungan awalnya. Beliaupun akan lebih mengharapkan perlakuan yang sama dari orang lain yang berhubungan dengannya, kemudian diapun belajar memberi perlakuan tersebut kepada pihak lain. Lambat laun dia percaya akan dunia itu (Erikson, 1968). Sebaliknya jika perawatan dan perlakuan yang diterima tidaklah mendatangkan rasa aman dan nyaman bagi diri anak (menyakitinya), maka anak itu akan mengembangkan suatu rasa tidak percaya bukan saja terhadap orang-orang yang mengasuhnya, tetapi terhadap semua orang yang berhubungan dengannya. Rasa percaya atau rasa tidak percaya seperti ini sesuai dengan keadaannya, akan bertahan cukup lama walaupun sebenarnya hal itu dapat berubah sebagai akibat dari pengalaman di kemudian hari, namun hal tersebut cukup sulit untuk terjadi. Sebab keberhasilan berbagai upaya untuk mensosialisasikan anak yang dalam proses pertumbuhan itu akan dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan yang diperolehnya dalam masalah rasa percaya tersebut. Rasa percaya diri dan rasa cinta ini kelak di kemudian hari sangat penting bagi diri anak untuk membangun hubungan sosial dan kerjasamanya dengan orang lain. Mereka yang memiliki problem dengan rasa percaya diri ini akan sulit untuk menjalin hubungan baik dengan orang lain, sebab perasaan minder, perasaan tidak mampu dan perasaan tidak disukai akan lebih dominan memenuhi perasaannya. Citra diri positif sulit dibangun anak sehingga menjadi hambatan dalam dia berhubungan sosial dikemudian hari. Dampak dari perawatan dan perlakuan yang diterima anak sejak dini di keluarga ternyata berpengaruhi bagi perkembangan personalitinya dikemudian hari. Anaklah yang akan merasakan secara langsung negatif atau positif dari proses tersebut.

2. Belajar Bahasa

Bahasa sangat diperlukan dalam seseorang berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa yang baik dan jelas akan memudahkan orang lain mengerti apa yang dimaksudkan. Bahasa juga berkaitan dengan tutur sapa dan cara penyampaian kata-kata yang diucapkan, selain itu bahasa yang dipakai juga mencerminkan pribadi orang yang memakainya. Kata pepatah “bahasa menunjukkan bangsa”, ini berarti pula dari kata-kata yang diucapkan seseorang dapat diketahui latar belakangnya termasuk lingkungan dimana dia berasal. Anak belajar bahasa pada awalnya lewat bunyi dan ucapan-ucapan yang didengarnya dari sekelilingnya. Keluarga adalah tempat lingkungan awal anak, maka keluarga merupakan tempat awal anak belajar bahasa (Burhan N., 2005).

Bahasa pertama-tama diajarkan di dalam keluarga. Keluarga-keluarga secara individual akan tergolong dalam kelas-kelas sosial tertentu dan sering dalam kelompok-kelompok sosial yang dapat dikenal pada perbedaan logat bicara yang dipakai. Perbedaan yang diajarkan pada anak akan merupakan tanda dalam golongan tempat ia disosialisasikan dan setidak-tidaknya dapat merupakan suatu sarana dari suatu proses sosialisasi tertentu. Dengan kata lain, perbedaan logat berbicara seseorang dapat merupakan suatu indikator dari nilai-nilai dan norma-norma yang telah ditanamkan pada seseorang. Mereka yang dapat berbicara dengan bahasa yang standar atau dengan cara yang umumnya dihargai orang di suatu budaya (misalnya budaya Jawa, yang dihargai orang yang dapat berbahasa halus, sopan) akan lebih mudah diterima jika dia berkomunikasi dengan orang lain dibanding mereka yang berbicara kasar dan menyakitkan (nylekit).

Orang tua sebaiknya mengenalkan kedua bahasa tersebut pada anak-anaknya, agar mereka mengetahui sejak dini bahwa dalam pergaulan di luar rumah ada bahasa lain yang dipakai yang berbeda dari bahasa yang biasa digunakan mereka. Hal tersebut dapat melatih anak mampu berkomunikasi yang tepat dengan teman bicara (berkomunikasinya). Memakai bahasa yang tepat dengan lawan bicara akan membuat komunikasi menjadi lebih efektif dan dapat diterima oleh yang diajak bicara. Artinya anak mampu berempati dan menempatkan dirinya pada posisi yang kondusif dengan orang yang diajak bicara. Bila dalam komunikasi terdapat jarak yang lebar antara komunikator dengan komunikate, maka pesan yang disampaikan dan yang diterima kurang efektif dan dapat saja terjadi miskomunikasi ataupun penolakan sebelah pihak.

Kemampuan menempatkan diri dan memahami situasi dalam berkomunikasi adalah model yang sangat penting dalam proses negosiasi dan hubungan antar individu, terutama di dalam masyarakat. Keluwesan dalam berpikir dan bertindak menunjang kemampuan seseorang untuk menjalin komunikasi yang harmonis dengan orang lain. Keluwesan menunjukkan pada kemampuan memandang sesuatu dalam perspektif yang berbeda-beda dan menghasilkan berbagai jenis gagasan bagi pemecahan masalah. Keluwesan mengisyaratkan pengaliran informasi tertentu atau tidak kaku dalam berpikir (Evans, 1991), yang memungkinkan mampu menerima perbedaan-perbedaan yang ada sehingga dapat berempati pada kondisi orang lain.

Pemilihan kata-kata yang baik dan sopan dalam berbahasa perlu dilatihkan dari sejak kecil agar anak terbiasa menggunakannya di kemudian hari. Menggunakan kata-kata yang kurang sopan dan terkesan kasar akan menghambat komunikasi harmonis, sebab hal tersebut dapat melukai dan menyakitkan perasaan orang lain. Dalam belajar bahasa anak tidak saja belajar bagaimana mengatakan, tetapi juga belajar apa yang tidak boleh dikatakan dalam kaitannya dengan fungsi sosial bahasa (Brown, 2000). Dalam proses sosialisasi di dalam keluarga, anak akan menirukan apa yang biasa dilakukan orang tuanya, bila orang tua mereka biasa menggunakan pilihan kata yang baik dan menyenangkan (tidak menyakitkan) maka anak-anakpun akan terbiasa melakukan hal yang sama, hal ini dinamakan proses identifikasi.

3. Belajar Memahami Peran

Sosialisasi mengajarkan tentang peran, yang menyangkut hak dan kewajiban apakah yang harus dilakukan dengan status yang dimilikinya. Sebagai contoh, kalau kita menanyakan tentang identitas kita dengan pertanyaan “siapa saya”, maka selain identitas kita yang terjawab, di dalamnya juga termasuk peran apa yang harus dimainkan.

Ada tiga tahap dalam perkembangan kesanggupan memainkan peran dan selanjutnya berpengaruh dalam perkembangan diri (Malkie, 1980). Pertama, tahap persiapan, dimana seorang anak yang masih muda hanya meniru orang dewasa, biasanya orang tua. Dalam hal ini hanya meniru begitu saja, tidak memperlihatkan secara jelas apakah banyak refleksi atau introspeksi dan tidak jelas apakah merupakan sesuatu yang dilakukan sesuai aturan (Piaget, 1951); Kedua, tahap bermain, permainan peran adalah dengan sengaja, tetapi dimana hal itu terbatas pada suatu kecakapan si anak memainkan peran orangtuanya atau orang yang dikenalnya; Ketiga, tahap permainan dimana anak melihat dirinya sendiri memainkan suatu peran dalam suatu jaringan berbagai peran, yang masing-masing akrab baginya yang sewaktu-waktu dapat ia lakukan atau boleh dimainkannya (Farida dalam Modul Sosio Antro, 2000).

Belajar peran dan memahami perannya sebagai individu dan anggota masyarakat sangat erat hubungannya dengan proses pembentukan kepribadian (konsep diri), sebab konsep diri merupakan produk dari interaksi seseorang dengan orang lain ataupun masyarakat (Mead, 1993). Artinya, seseorang mengembangkan konsep dirinya dari kesadaran hubungan-hubungan, evaluasi-evaluasi, dan harapan-harapan dari orang-orang lain yang berinteraksi dengannya, dan dari pengolahannya sendiri terhadap kesadaran-kesadaran tersebut. Introspeksi seperti itu hanya terjadi dengan diferensiasi seseorang tentang dirinya sendiri dari orang-orang lain di dalam lingkungannya.

Diterima dengan baik atau tidaknya seseorang dalam lingkungan pergaulannya, sangat bergantung pada kemampuannya menyesuaikan diri dan juga memerankan perannya. Sebab tidak semua individu dapat diterima dengan baik dan hangat oleh lingkungannya, dan tak jarang pula terjadi seseorang merasa sulit untuk dapat diterima oleh lingkungannya, karena kegagalannya dalam memainkan peran yang diharapkan. Oleh sebab itu kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri (diterima dengan baik dan hangat oleh lingkungannya) banyak tergantung pada kemampuannya dalam memerankan peran yang diharapkan lingkungan dari dirinya. Kemampuan-kemampuan tersebut sebenarnya dipelajari dari proses sosialisasi, yang pada awalnya diperoleh melalui pendidikan keluarga.

E. Program Untuk Anak Jalanan

Khusus untuk anak jalanan, menurut Ishaq (2000), pendidikan luar sekolah yang sesuai adalah dengan melakukan proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam wadah “rumah singgah” dan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat), yaitu: anak jalanan dilayani di rumah singgah, sedangkan anak rentan ke jalan dan orang dewasa dilayani dalam wadah PKBM.

Rumah singgah dan PKBM itu dipadukan dengan-sekaligus menerapkan-pendekatan kelompok dan CBE (Community Based Education, pendidikan berbasis masyarakat) serta strategi pembelajaran partisipatif dan kolaboratif (participative and collaborative learning strategy).

Program pendidikan yang terselenggara itu, antara lain, dapat berupa: Kejar Usaha; Kejar Paket A (setara SD); Kejar Paket B (setara SLTP); bimbingan belajar; Diktagama (pendidikan watak dan dialog keagamaan); Latorma (pelatihan olahraga dan bermain); Sinata (sinauwisata); Lasentif (pelatihan seni dan kreativitas); Kelompok Bermain; Kampanye KHA (Konvensi Hak Anak-anak); FBR (forum berbagi rasa); dan pelatihan Taruna Mandiri (M. Ishaq, 2000: 371).

Materi pembelajarannya mencakup: agama dan kewarganegaraan; calistung (membaca-menulis-berhitung); hidup bermasyarakat; serta kreativitas dan wirausaha.

Prestasi belajar dan keberhasilan program dievaluasi dengan tahapan self-evaluation berikut: (1) penetapan tujuan belajar; (2) perumusan kriteria keberhasilan belajar; (3) pemantauan kegiatan belajar; serta (4) penetapan prestasi belajar dan keberhasilan program.

Hasil evaluasi itu diungkapkan pada akhir masing-masing kegiatan melalui laporan lisan atau tertulis. Hasil evaluasi kegiatan belajar insidental dilaporkan secara lisan atau ditempel pada papan pengumuman yang terdapat di rumah singgah atau PKBM, sedangkan hasil evaluasi kegiatan belajar berkesinambungan dilaporkan melalui buku raport. Adapun keberhasilan program diungkapkan secara berkala: harian, mingguan, bulanan, dan tahunan.

Penutup

Anak-anak jalanan adalah korban baik sebagai korban di dalam keluarga, komunitas jalanan, dan korban pembangunan. Salah satu bentuk penanganan anak jalanan adalah melalui pembentukan rumah singgah. Bentuk upaya pemberdayaan anak jalanan selain melalui rumah singgah dapat juga dilakukan melalui program-program: Center based program, yaitu membuat penampungan tempat tinggal yang bersifat tidak permanen. Street based interventions, yaitu mengadakan pendekatan langsung di tempat anak jalanan berada atau langsung ke jalanan. Community based strategi, yaitu dengan memperhatikan sumber gejala munculnya anak jalanan baik keluarga maupun lingkungannya. Pelaksanaan program pelayanan sosial anak jalanan harus lebih diutamakan pada sasaran anak, diimbangi dengan pendekatan pemberdayaan keluarga. Unsur-unsur penting yang perlu diperhatikan dalam proses pendidikan dalam keluarga antara lain adalah: menanamkan rasa percaya diri dan rasa cinta pada anak, belajar bahasa, belajar memahami peran. Materi pembelajarannya mencakup: agama dan kewarganegaraan; calistung (membaca-menulis-berhitung); hidup bermasyarakat; serta kreativitas dan wirausaha.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. PAUD Jadi Prioritas Depdiknas. Harian Rakyat Merdeka.
Farida, Hanum. 2006. Memenuhi Hak-Hak Anak untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Masyarakat: Makalah
Hasan, H. 2004. Strategi Pengembangan dan Pemasaran Pusat PAUD. Depdiknas.
Ishaq, M. (1998). “Pengembangan Modul Literasi Jalanan untuk Peningkatan Kemampuan Hidup Bermasyarakat Anak-anak Jalanan”. Makalah. Lokakarya Modul Literasi Jalanan di BPKB Jayagiri-Lembang, 24-25 Maret 1998. Bandung : Yayasan Bahtera-Unicef.
Ishaq, M. (2000). Pengembangan Model Program Taruna Mandiri. Disertasi. Tidak Diterbitkan. Bandung : PPS-UPI Bandung.
Kirik Ertanto Anak Jalanan dan Subkultur: Sebuah Pemikiran Awal http://www.yogyafree.net;http://milis.yogyafree.net/http://groups.yahoo.com/ group/ yogyafree Diakses Tgl. 11 Februari 2008
KPAI. 2006. Perlindungan Anak Belum Prioritas. Suara Karya
Riyanto, T. 2004. Pendekatan Pembinaan Watak Usia Dini.
Sander, D.Z. 2006. Pemberdayaan Keluarga Sebagai Basis Utama
Shalahuddin. 2004. Kekerasan Terhadap Anak Jalanan. Relawan
Siswanto, Henny. Pentingnya Pendidikan Usia Dini.Waspada Online. 28 Agustus 2006.
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Depdiknas

oleh : Halim Malik
sumber :http://edukasi.kompasiana.com/
Tulisan ini telah dimuat di Jurnal Pelangi Ilmu