Sunday, November 30, 2014

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KELUARGA



Seperti menanam pohon, untuk memperoleh pohon yang bagus, tak hanya harus memilih bibit yang bagus, tetapi juga harus diberi pupuk dan dipelihara dengan baik. Seperti itulah yang harus kita lakukan untuk mempersiapkan generasi penerus bangsa.
Semua ornag tentu setuju, anak yang cerdas dan berkarakter baik adalah aset bangsa yang harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya agar tumbuh dan berkembang secara optimal. Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam mempersiapkan masa depan anak. Agar memperoleh hasil yang diinginkan, Pendidikan anak harus dimulai sejak usia dini. Mengapa? Setiap manusia dilahirkan dalam pola pikir positif, punya rasa ingin tahun dan ingin belajar.
Anak berusia satu sampai lima tahun sering disebut dengan golden Age. Dimasa ini anak menyerap segala sesuatu dari lingkungan. Meniru apa yang mereka lihat dan mereka dengar. Oleh sebab itu, anak harus diperlihatkan, diperdengarkan dan diajarkan segala sesuatu yang baik. Masa ini merupakan waktu yang pas untuk membentuk karakter anak.
Sejatinya karakter harus dimulai sejak dini. Di sini peran orang tua tentunya sangat besar. Karena orang tua adalah guru pertama bagi anak. Orang tua harus menyadari perannya. Orang tua harusnya menanamkan nilai-nilai kebajikan dan agama sejak usia dini. Sehingga selain cerdas juga memiliki akhlak yang mulia. Orang tua tidak bisa sepenuhnya menyerahkan pendidikan anak kepada guru di sekolah. Karena kenyataannya waktu anak lebih banyak dihabiskan dirumah atau dilingkungannya. Bisa dibayangkan apa jadinya bila yang mereka lihat dan mereka dengar adalah hal-hal yang buruk dari orang-orang disekitarnya?
Kemiskinan kerap menjadi akar penyebab anak-anak dari kelompok marjinal tidak bisa mencicipi pendidikan. Namun asa itu masih ada. Jaminan perlindungan hak-hak anak merupakan komitmen nasional dan internasional. Pun di Indonesia komitmen ini senantiasa digelorakan. Pemerintah dan masyarakat terus mengupayakan anak-anak yang terpinggirkan ini bangkit dari jerat marjinalisasi.
Sekalilagi anak adalah modal utama dalam pembangunan bangsa. Sehingga ia harus benar-benar dipersiapkan dengan sebaik-baiknya sejak dini. Agar kelak menjadi sosok yang berkualitas dan berguna bagi diri serta lingkungannya.
Kita boleh bersyukur, pemerintah telah mencanangkan gerakan pendidikan karakter untuk membangun keadaban bangsa. Gerakan ini bertujuan agar pendidikan menjadi motor penggerak untuk memfasilitasi pembangunan karakter, sehingga anggota masyarakat mempunyai ikesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis.
Gerakan ini harus dilaksanakan semua elemen bangsa mulai dari tingkat atas hngga satuan terkecil di keluarga.
Generasi muda perlu contoh yang bisa menjadi panutan. Para pemimpin bangsa hingga pemimpin keluarga harus betul betul bisa menunjukkan ketokohannya yang pantas menjadi panutan.


Sumber: Bulettin Akasara edisi 5 tahun 2013

Sunday, November 16, 2014

MENULISLAH ANDA AKAN ABADI

menulis


"Jika anda meninggalkan warisan harta benda, tidaklah kekal. Tetapi bila anda mewariskan karya tulisan, nama anda akan Abadi." (Ahmad Syauqi, Mesir)

Menulis memang terlihat sepele dan sederhana. Namun, di balik guratan pena, susunan kata, dan kesatuan kalimat. atau rentetan angka dan huruf, berbagai peradaban datang silih berganti. Sebagiannya tumbang, menyisakan informasi dan identifikasi yang akurat, sebagian yang lain musnah begitu saja, sebab tak ada data, nihil informasi tulis.

Berbeda dengan bahasa lisan yang merupakan bakat sejak lahir, tetapi kemampuan menulis dan munculnya ulisasn itu sendiri dalam sejarah muncul melalui proses yang cukup panjang. Menulis adalah bagian dari evolusi  intelektualitas manusia sepanjang sejarah peradaban. Tradisi menulis tidak begitu saja ada berbarengan dengan kehadiran sebuah peradaban. Ia datang lebih akhir.

Ada Puluhan ribu bahasa yang pernah beredar di muka bumi, tetapi sebagian besar punah lantaran tidak ada bukti tertulis. Dari sejumlah itu yang tersisa hanya sekitar 3000 bahasa. Itupun bila dikerucutkan lagi yang memang benar-benar terstruktur dan terdokumentasikan rapi melalui beragam media, baik yang berbentuk formal maupun tidak, sekira 100 bahasa saja.

Apa jadinya dunia tanpa adanya aktivitas menulis?. Tulis menulis menjadi penyambung antar generasi melintasi peradaban. Dan sunah yang ditentukan Oleh ALLAH , SWT, peradaban satu dan lainnya seling mengisi dan melengkapi. Meski terkadang kemalangan berada di salah satunya. begitulah aturan mainnya. Peradaban ada yang maju, ada yang terbelakang, dan tidak sedikit telah bertumbangan.

"Dan masa kejayaan dan kehancuran itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan supaya Allah  membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikanNya (gugur sebagai) saksi-saksi." (Qs. Ali Imran [3]:140).

Islam sebagai bagian dari estafet peradaban itu kuat dan berjaya melalui aktivitas tulis menulis. Geliat penulisan dan penerjemahan buku-buku yang bersumber dari barat begitu masif pada masa keemasan Islam selama dinasti Abbasiyyah (750-1258 M) berkuasa.

Pada abad ke - 10, baghdad memiliki sekitar 300 sekolah. Dua yang paling terkenal adalah Bait Al-Hikmah dai Baghdad (820 M) dan Dar Al-Ilm di Kairo (998 M). Islam tumbuh sebagai pusat peradaban dunia hingga pecahnya perang salib.

Allah berkehendak pula melalui aktivitas tulis-menulis untuk menjaga kemurnian Al-Quran. Skenario yang menjadi titik tolak itu tentu seperti yang diungkap oleh As-suyuti dalam "Majma' al-Lughat", bermula ketika Abu Bakar menerima usulan Umar Bin Khatab yang prihatin dengan banyaknya para penghafal Al-Quran  yang gugur di Perang Yamamah. Kodifikasi Al-Quran dapat dilakukan merujuk ke para pencatat wahyu, seperti Zaid bin Tsabit.

Meski embrio inisiatif Abu Bakar tersebut erat kaitannya dengan skenario dasar pencatatan wahyu pada era Rasulullah. SAW yang berlangsung sporadis ketika Ayat-Ayat Al-Quran ditulis diberbagai media, semisal pelepah qurma dan kulit binatang. Dari skenario inilah muncul istilah mushaf yang dipopulerkan oleh Abu Bakar.

Peristiwa berikutnya yang tek kalah penting dan menunjukkan tulis- menulis begitu penting dalam peradaban Islam tentu upaya standarisasi penulisan mushaf oleh Utsman bin Affan. Aktivitas ini dilatar belakangi oleh ketidak seragaman dan potensi kesalahan, baik dalam pembacaan maupun penulisan ayat-ayat Alquran. Tercetuslah mushaf standar Utsman yang dikenal dengan Rasm Utsmani.

Skenatio tersebut ada pula yang bersifat individual, muncul dari para ulama dan cendekiawan. Abu Aswad Ad-Duali (603-688M) merupakan tokoh yang cukup berjasa dalam membuat tanda baca (harakat) Al-Quran.

Sosok yang bernama lengkap Dzalam bin Amru bin Sufyan bin Jandal bin Yu'mar bin Du'ali mencetuskan sistem penempatan titik tinta berwarna merah sebagai tanda baca, seperti satu titik untuk tanda fathah (a) dan satu titik dibawah huruf untuk bunyi (i) atau kasrah. Meski upayanya tersebut akhirnya disempurnakan oleh para muridnya, seperti Nashr bin Ashim (w 707 M) dan Yahya bin Ya'mur (708 M)

Selanjutnya ada pula aktivitas tulis menulis yang meski tidak berkorelasi langsung dengan kodifikasi Al-Quran sangat mendukung agenda besar umat Islam tersebut. Apa yang dilakukan oleh Abu Umar Utsman Said Ad-Dani dengan bukunya yang berjudul al-Muhkam di Naqth al-Mushahifi berkontribusi besar dalam rekonstruksi sejarah kodifikasi Alquran.

Kehidupan modern yang kita pijak sekarang adalah buah dari aktifitas tulis-menulis. Tulis menulis menghubungkan manusia pada masa lalu, sekarang dan esok. Beragam peradaban tumbuh dan berkembang dan bertahan melalui tulisan. Tanpa tulisan, kata Ahmad Syauqi anda akan menjadi lenyap bersamaan dengan fananya masa dan raibnya dunia, maka menulislah sebab dengan menulis maka anda akan abadi.

oleh:  Nashih Nasrullah
sumber : harian umum Republika 16 November 2014



Wednesday, November 12, 2014

PENDIDIKAN KEORANGTUAAN UNTUK MENINGKATKAN PERAN ORANGTUA SEBAGAI PILAR UTAMA PENDIDIKAN

Keluarga adalah pilar pertama dan utama pendidikan, sedangkan orang tua adalah pendidik pertama dan utama dalam proses pendidikan.
Disebut pilar pertama karena proses pendidikan dimulai dari keluarga sejak anak dalam kandungan,  proses ini merupakan proses pendidikan informal yang dilakukan orang tua dan orang sekitar keluarga dalam kehidupan sehari hari sang anak.
Disebut pilar utama karena pendidikan atau pembelajaran utama lahir dari rumah atau keluarga, meskipun nantinya anak akan mengenyam pendidikan persekolahan, tetapi porsi terbesar pendidikan masih lahir dari rumah atau keluarga. pendidikan persekolahan diperkirakan sekitar  8 jam sehari atau 30% dari waktu dalam sehari. Selebihnya anak berada pada lingkungan  rumah atau keluarga.
Oleh karena itu pengetahuan dan wawasan orang tua menjadi penting kalau kita kaitkan dengan peran orang tua dan keluarga dalam proses pendidikan anak, sehingga pendidikan dan wawasan orang tua tersebut harus terus ditingkatkan dengan pendidikan keorang tuaan (parenting education) karena disitulah pengetahuan dan wawasan orang tua diasah kemampuan dan kecakapannya untuk menjalankan peran memberikan pendidikan yang memadai dan berkualitas bagi anak-anaknya.
Dengan meningkatnya pengetahuan dan wawasan orang tua tersebut maka orang tua mampu memberikan pendidikan dan wawasan terhadap anak sejak dalam kandungan hingga mereka mampu mandiri.
Beberapa hal yang diharapkan mampu lahir dalam pendidikan di rumah adalah :  peningkatan kapasitas dan perkembangan fisik, emosi, sosial dan intelektual anak .
Oleh sebab itu dengan adanya  pendidikan keorang tuaan tersebut orang tua diharapkan bisa membina dan mengasuh anaknya sehingga anak anak tersebut bisa meningkat kapasitas dan perkembangan fisik, emosi, sosial dan intelektual anak, melalui interaksi antara orang tua dan anak yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (makan, minum, dll) kebutuhan psikologis (rasa aman, kasih sayang) serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar dapat hidup selaras dengan lingkungannya.

oleh : Dwi Sarmulyanto,
(Pemerhati Pendidikan anak Usia Dini, Pendidikan Non Formal dan Informal)


Monday, November 3, 2014

BELAJAR SIAP MENANG DAN SIAP KALAH SEJAK USIA DINI

lomba anak
Dalam setiap event apapapun, selalu saja orang berkata siap untuk menang dan siap untuk kalah, sebelum event itu terjadi, apakah itu event antar RT, antar kampung atau bahkan event nasional.
hal tersebut bukan saja terjadi pada pertandingan pertandingan baik pertandingan olah raga, maupun pertandingan lain dimana terjadi persaingan untuk menjadi juara atau pemenang event.
Akan sangat membanggakan bila filosofi siap menang dan siap kalah  itu dapat pula di wujudkan sebagaimana mestinya.
Tetapi apa yang nampak di mass media baik elektronik maupun cetak, semuanya cuman sekedar filosofi semata tanpa ada bukti nyata.
Pertandingan sepak bola antar kampung berubah menjadi tawuran bila salah satu tim ada yang kalah, dengan alasan di curangi dan sebagainya.padahal semua orang tahu bahwa setiap event pasti akan ada yang menang dan ada yang kalah.
Untuk mencegah hal tersebut mungkin diperlukan pendidikan karakter sehingga Warga Indonesia dapat mewujudkan filosofi siap menang dan siap kalah  sedini mungkin. Hal itu menjadi tugas dari orang tua maupun pendidik untuk memberikan penjelasan makna filosofi siap menang dan siap kalah dalam berbagai masalah
Beberapa hal yang perlu disampaikan kepada anak agar dapat menerima kekalahan/kegagalan diantaranya :

1. Memaknai arti kekalahan/kegagalan:
Memberikan pengertian kepada anak bahwa dalam hidup ini ada kalanya kita menang atau sukses dan ada kalanya kita kalah atau gagal, sebagaimana Allah menciptakan alam ini ada siang ada malam, ada sehat ada sakit dan sebagainya sehingga anak mendapat keyakinan bahwa tidak selamanya seseorang akan sukses dan tidak selamanya sesorang akan gagal tergantung dari usaha dari masing masing orang tersebut untuk meraih kemenangan/kesuksesan ataupun bangkit dari kekalahan/kegagalan.

2. Tidak berlebihan dalam menanggapi peristiwa kemenangan/kesuksesan maupun kekalahan/kegagalan
Untuk memberikan edukasi agar anak tidak terlalu bangga karena kemenangan/kesuksesan dan tidak begitu malu atau menjadi minder karena sedang mengalami kekalahan/kegagalan, orang tua maupun pendidik tidak boleh memberikan penghargaan yang terlalu berlebih-lebihan, sehingga menimbulkan menjadikan anak tersebut menjadi sombong atau besar kepala, begitu juga sebaliknya jangan memberikan teguran yang berlebihan atau bahkan kadang memberikan hukuman atas kegagalan/kekalahan sehingga membuat anak menjadi malu untuk mengakui kekalahan/kegagalan tersebut, bahkan kadang menimbukan rasa minder dan frustasi terhadap anak tersebut. Tetapi sebaiknya sama sama mengevaluasi penyebab kemenangan maupun kekalahan tersebut sehingga kemenangan/kesuksesan dapat dipertahankan dan kegagalan bisa dihindari atau bangkit darui kegagalan/kekalahan tersebut

3. Membelajarkan bahwa tidak semua keinginannya selalu dapat dituruti
Salah satu cara memberikan edukasi agar anak dapat menerima kekalahan sejak dini adalah dengan tidak menuruti segala kemauan anak, dalam artian bahwa harus bisa memberikan pengertian terhadap prioritas setiap keinginan dari anak tersebut, sehingga anak bisa memahami mana yang harus didahulukan sehingga anak tidak memaksakan kehendak untuk selalu dapat memperoleh segala keinginannya.

4. Memberikan pengertian berdasarkan agama yang dianut tentang kegagalan tersebut. (dalam hal ini penulis menyampaikan beberapa pendapat tentang kegagalan sesuai ajaran Islam)
a. Seorang muslim harus bersabar dalam menerima kegagalan sebagaimana tercantum dalam QS. An Nisa ayat 19 yang artinya : "Maka bersabarlah kamu, sebab jika kamu mendapat apa yang tidak kamu sukai, maka sesungguhnya di dalamnya terdapat suatu kebaikan yang banyak", dan (Q.S. An-Nahl : 96) yang artinya "Dan kami pasti akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik  dari apa yang telah mereka kerjakan.”
b. Memahami bahwa selama manusia hidup itu akan selalu di uji baik ujian dalam hal kesuksesan maupun kegagalan sebagaimana tercantum dalam  Q.S Al-Ankabut ayat 2-3 “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
c. Mengingat bahwa setelah kegagalan pasti ada kesuksesan tercantum dalam  Q.S Asy Syarh ayat 5 yang artinya “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” dan diulang lagi pada QS. Asy Syarh ayat 6 yang artinya: “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”

oleh : Dwi Sarmulyanto  (pemerhati pendidikan anak usia dini, pendidikan nonformal dan informal)

Sunday, November 2, 2014

MENUMBUHKEMBANGKAN TAMAN BACAAN MASYARAKAT MELALUI PENDEKATAN NILAI-NILAI SOSIAL BUDAYA

taman bacaan masyarakat


PENGANTAR


Membangun manusia menjadi masyarakat utuh mulai dari membangun pendidikan. Pendidikan berperan utama membangun masyarakat karena pendidikan dapat membawa manusia menjadi masyarakat yang cerdas, mandiri, dan berkarakter mulia. Dengan pendidikan, masyarakat dapat mengubah pola pikirnya; dari pola pikir  masyarakat mekanik menjadi masyarakat organik; atau dari pola pikir tradisional menjadi moderen.  
Amanat undang-undang dalam memenuhi hak warga negara untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan dapat terwujud melalui peningkatan minat baca masyarakat. Salah satu metode untuk menyadarkan dan meningkatkan minat baca masyarakat adalah mendirikan taman bacaan masyarakat, yang disingkat dengan nama TBM.
Kemampuan minat baca masyarakat Indonesia masih tergolong rendah, sementara disisi lain jumlah TBM yang ada secara kuantitatif sebanyak 4.729 dengan jumlah desa kurang lebih 72.000. Di Sulawesi Selatan TBM yang sudah berdiri sebanyak 373 dengan jumlah desa 2.893 (Dinas Pendidikan Prov. Sulsel, 2008).  Kondisi ini cukup memprihatinkan baik dari segi kuantitatif maupun kualitatif. Dari segi kualitatif berdasarkan hasil evaluasi penyelenggaraan TBM yang selama ini
dilaksanakan masih jauh dari standar minimal sehingga TBM masih terkesan sebagai tempat buku menumpuk.
Atas keprihatinan tersebut, penulis memberikan solusi terhadap masalah TBM melalui penyelenggaraan TBM yang berbasis nilai-nilai sosial budaya masyarakat dimana TBM itu tumbuh dan berkembang.

PEMBAHASAN

Penumbuhan dan Pengembangan 
Istilah menumbuhkembangkan TBM terisnpirasi dari konsep tumbuh kembang anak dalam disiplin ilmu psikologi. Konsep penumbuhan dan pengembangan yang  dimaksudkan dalam pengembangan model TBM ini adalah agar TBM dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Istilah penumbuhan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berkaitan dengan masalah perubahan dalam ukuran baik besar, jumlah, atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu. Namun dalam menumbuhkembangkan TBM, istilah penumbuhan terkait dengan pengorganisasian, karakteristik, keanggotaan, penyelenggaraan, dan struktur organisasi TBM.
Sedangkan, istilah pengembangan terkait dengan pengembangan yang menitikberatkan pada aspek perubahan bentuk atau fungsi TBM, termasuk pula perubahan pada aspek nilai sosial budaya masyarakat di wilayah TBM. Faktor-faktor tersebut merupakan modal dasar TBM dalam mencapai proses pengembangan TBM yang baik. Bentuk fisik TBM yang menarik dapat memotivasi masyarakat untuk mengunjungi TBM. Faktor Lingkungan berpengaruh terhadap pengembangan TBM.
Faktor perilaku sangat terkait dengan prilaku pengelola TBM, masyarakat, dan pemerintah.  Prilaku pengelola TBM yang ramah dapat mendorong menarik masyarakat untuk mengunjungi TBM. Perilaku masyarakat yang sadar akan pentingnya membaca mendorong dirinya untuk mengunjungi TBM. Begitu pula dengan perilaku pemerintah yang menyadari peranan TBM dalam membelajarkan masyarakat akan mendorong dan memotivasi masyarakatnya untuk belajar di TBM.

Taman Bacaan Masyarakat
Pada awal tahun lima puluhan telah berdiri dan berkembang Taman Pustaka Rakyat (TPR) yang didirikan oleh Pendidikan Masyarakat. TPR bertujuan untuk meningkatkan minat dan kegemaran membaca masyarakat dengan memberikan pelayanan bahan bacaan. Pada tahun 1992/1993, TPR ini kemudian berkembang menjadi Taman Bacaan Masyarakat yang disingkat menjadi TBM. Tugas pokoknya adalah menyediakan berbagai jenis bahan bacaan dalam membangun masyarakat
gemar membaca dan gemar belajar (Direktorat Pendidikan Masyarakat, 2006:1). TBM merupakan lembaga pembudayaan kegemaran membaca masyarakat yang menyediakan ruangan untuk membaca, diskusi, bedah buku, menulis, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang sejenis. TBM dilengkapi dengan bahan bacaan berupa buku,
majalah, tabloid, koran, komik, dan bahan multi media lain, serta didukung oleh pengelola yang berperan sebagai motivator (Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat Ditjen PAUDNI, 2011: 6).
TBM dapat didirikan, dikelola, serta dibiayai baik oleh masyarakat, pemerintah daerah, atau masyarakat bekerja sama dengan pemerintah daerah. Seperti namanya, lokasi TBM ini biasanya berada dekat dengan pemukiman atau kegiatan masyarakat. Persyaratan pembentukannya yang tidak ketat, tata cara pengelolaannya yang luwes dan tidak terlalu formal merupakan ciri yang membedakan TBM dengan perpustakaan.
Pembudayaan masyarakat menjadi tidak hanya gemar membaca, bahkan gandrung membaca memerlukan upaya yang sungguh-sungguh, baik dari pihak  pemerintah maupun masyarakat sendiri. Mengingat pengembangan dan peningkatan kegemaran membaca terkait dengan bahan pustaka, maka gerakan nasional gemar membaca menjadi tugas dan tanggung jawab Perpustakaan Nasional (RUU Perpustakaan, Pasal 17).
Data Kemdikbud menunjukkan bahwa di era milenium ini ternyata angka buta huruf masih 8,3 juta orang. Sedangkan angka minat baca di Indonesia berdasarkan data dari Progress in International Reading Literacy Study  (PIRLS) tahun 2006 yang melibatkan siswa SD menempatkan Indonesia pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel penelitian. Sedangkan data tentang perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara yang dikeluarkan oleh CSM,
seperti Amerika Serikat jumlah buku yang wajib dibaca 32 buku; Belanda 30 buku; Prancis 30 buku; Jepang 22 buku; Swiss 15 buku; Kanada 13 buku; Rusia 12 buku; Brunei 7 buku; Singapura 6 buku; Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku (Direktorat Penmas, 2010).
Mewujudkan masyarakat berbudaya baca berarti turut mendorong tumbuhnya minat baca masyarakat. TBM merupakan salah satu program yang dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan membaca masyarakat. Masyarakat yang sudah mampu dan terampil membaca akan melahirkan minat dan kebiasaan membaca, yang pada akhirnya menjadikan masyarakat sebagai masyarakat berbudaya baca.
Apabila membaca sudah menjadi budaya masyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi masyarakat melek informasi. Tercapainya masyarakat melek informasi akan mampu mencari dan mengumpulkan informasi; memilih dan mengolah informasi; dan memanfaatkan informasi untuk meningkatkan kemandirian dan produktivitas kehidupannya.

Pendekatan Nilai Sosial Budaya
TBM yang menggunakan pendekatan nilai sosial budaya dalam penyelenggaraan program-programnya dapat didukung oleh masyarakat pengunjungnya. Hal ini terjadi karena masyarakat merasa memiliki TBM itu. Identitas nilai sosial budaya yang ada dalam program TBM sudah menjadi identitas budaya pada masyarakat pengunjung TBM.  Konsep  keanekaragaman  nilai  budaya tersebut menurut Koentjaraningrat(1981: 63) adalah pertama, manusia itu tidak hidup sendiri di dunia ini tetapi dikelilingi oleh komunitasnya, masyarakatnya, dan alam semesta sekitarnya. Di dalam sistem makrokosmos itu ia merasakan dirinya hanya sebagai unsur kecil saja yang ikut terbawa oleh proses peredaran alam semesta yang mahabesar; kedua, segala aspek kehidupan manusia pada hakikatnya tergantung kepada sesamanya; ketiga, manusia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya yang terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa; dan keempat, manusia sedapat mungkin untuk bersifat menyesuaikan diri, berbuat sama dan bersama dalam komunitasnya, yang terdorong oleh rasa sama tinggi sama rendah.
Dengan memperhatikan keempat konsep tersebut, maka keretakan bangsa yang diakibatkan konflik antaretnis dapat diminimalisir.
Pengintegrasian nilai sosial budaya dalam program TBM berperan amat penting bagi sebuah TBM untuk menuju kepada TBM yang menyenangkan. Diakui bahwa masyarakat Indonesia telah menjadikan nilai-nilai sosial budaya sebagai salah satu unsur tujuan dari bangsa ini, sebagaimana telah termaktub dalam dasar negara, yakni sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mengandung makna bahwa keadilan sosial dapat tercapai apabila tercipta keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan masyarakat. Apabila nilai sosial itu terwujud dalam diri pribadi masyarakat, maka keseimbangan kehidupan masyarakat dapat tercapai.
Kniker mengemukakan bahwa nilai sosial sebagai suatu standar atau aturan dalam suatu masyarakat yang bersifat abstrak. Nilai tersebut berfungsi sebagai alat mencapai kehidupan masyarakat yang harmonis, sebagaimana dikemukakannya “Social values as the standards or rule of society. This definition is abroad enough to encompass both the abstract (justice, honesty) and the specific (laws and virtues, such as punctuality). Advocates of this definition would see human beings as rule-following animals who basically wish to life in harmony with fellow human beings” (Kniker, 1977: 30).
Pendekatan nilai sosial budaya dalam aktivitas TBM dapat menjadikan TBM tumbuh dan berkembang. Hal ini didukung oleh konsep nilai sosial selalu berorientasi terhadap peningkatan kualitas hidup manusia. Nilai sosial memiliki hubungan sangat erat dengan jati diri manusia sehingga nilai sosial sangat dijunjung tinggi oleh orang banyak atau masyarakatnya. Apabila nilai sosial sudah disepakati melalui konsensus orang banyak, maka nilai tersebut dipandang sebagai hal yang menyangkut
kesejahteraan bersama. Nilai itu kemudian melekat pada etika dan moral masyarakat sehingga apa yang menjadi kebutuhan atau cita-cita yang dianggap baik oleh  masyarakat luas menjadi pedoman dalam hidup di masyarakat tersebut. Nilai sosial menurut Woods (2008: 1) adalah sebagai petunjuk umum yang telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan manusia dalam kehidupan sehari-hari. Terpelihara dan terimplementasinya nilai sosial pada setiap program TBM
menjadi TBM dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, dan akan dapat merealisasikan tujuan-tujuan program yang mereka inginkan. Untuk mencapai TBM yang dapat tumbuh dan berkembang, maka ada empat nilai sosial di mana penyelenggara harus mewujudkannya: (1) kerjasama, (2) solidaritas, (3) tolong menolong, dan (4) loyalitas (Mahmud, 2004: 96).

Metode  Menumbuhkembangkan TBM
Metode menumbuhkembangkan TBM melalui pendekatan nilai sosial budaya dapat dilihat sebagaimana gambar berikut:



Gambar di atas menunjukkan bahwa nilai sosial budaya yang diintegrasikan dalam menumbuhkembangkan TBM adalah nilai sosial budaya Bugis. Nilai-nilai sosial budaya tersebut adalah nilai sipakainge, sipakalebbi, dan sipakatau. Tiga konsep nilai-nilai tersebut menjadi pilar bagi TBM untuk mewujudkan masyarakat menjadi masyarakat yang sadar baca, cerdas, dan religius. Konsep sipakainge bermakna adanya saling ingat mengingatkan dalam kebaikan antara pengelola TBM dengan masyarakat di wilayah TBM. Kata sipakainge adalah kata yang berasal dari bahasa Bugis yang berarti saling mengingatkan. Nilai sipakainge ini masih terpelihara dalam kehidupan masyarakat Bugis.
Selain nilai sipakainge, nilai sipakalebbi dan sipakatau juga menjadi pegangan pengelola dalam menjalin hubungan harmonis dengan masyarakat di wilayah TBM. Secara etimologi, sipakalebbi berarti saling memuliakan, dan sipakatau berarti saling menghargai. Konsep sipakalebbi menjadi konsep yang harus dimplementasikan oleh pengelola TBM terhadap pengunjungnya. Semua orang senang akan dimuliakan oleh orang lain. Dengan sifat memuliakan ini, pengunjung TBM akan merasa tenang dan senang duduk berlama-lama di TBM. Disamping dimuliakan, pengunjung TBM perlu dihargai atas waktunya berkunjung ke TBM. Sifat menghargai pengunjung yang ditampakkan oleh pengelola merupakan implementasi dari konsep sipakatau. Peranan nilai-nilai budaya dalam membudayakan budaya baca masyarakat merupakan faktor pendukung yang tidak boleh diabaikan. Untuk menumbuhkembangkan TBM yang berbasis nilai sosial budaya Bugis, Pengelola hendaknya menerapkan tiga konsep nilai dalam pelayanan: (1) mabbere warekkada madeceng, (2) manyameng kininnawa, dan (3) fada siobbi-obbi lao ri gau madecengnge. Tiga nilai itu harus ada dalam jiwa setiap pengelola TBM. Pengelola TBM hendaknya memiliki sifat senang menyapa pengunjung dengan sapaan yang menyejukkan, menanyakan bagaimana kabar pengunjung, ramah, dan sopan. Secara etimologi, mabbere warekkada madeceng, manyameng ininnawa, dan fada siobbi-obbi lao rianu madecengnge adalah bahasa Bugis dengan arti bertutur sapa yang baik, menyenangkan, dan saling mengajak dalam kebaikan. Pengunjung yang disapa dengan penuh kesopanan, disambut dengan raut wajah gembira dan disertai dengan senyum lalu diundang ke TBM akan tergerak hatinya untuk mendatangi TBM.
Konsep menumbuhkembangkan TBM yang menekankan pada peranan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat Bugis dapat tetap lestari. Nilai-nilai tersebut diharapkan menjadi pendorong dan perekat masyarakat untuk mendatangi TBM. Kegiatan melalui pendekatan nilai sosial budaya masyarakat yang dilakukan di TBM mendapat dukungan dari masyarakat.  Selain strategi tersebut, pengelola TBM harus menjalin sinergitas antara pemerintah, masyarakat, dan pengelola TBM dalam menumbuhkembangkan TBM.
Pelibatan orang-orang tersebut terhadap kegiatan program TBM ternyata cukup baik dan efektif. Orang-orang tersebut adalah ketua RT/RW, Kades/Lurah, dan tokoh masyarakat setempat.  Karena mereka memiliki pengaruh yang kuat di mata masyarakat sehingga mudah mengajak masyarakat untuk mengunjungi TBM.
Kesuksesan TBM dalam mengajak masyarakat untuk datang membaca tidak terlepas dari strategi pengembangan yang dilakukan oleh pengelola TBM. Tiga strategi yang digunakan pengelola TBM untuk menjadikan TBM tetap tumbuh dan berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat: (1) strategi kekuasaan, yang meliputi ketua RT/RW, kepala dusun, kepala Kelurahan, camat, dan tokoh-tokoh masyarakat; (2) strategi persuasif, yakni melalui media massa, keterampilan produktif,
dan kegiatan nilai-nilai sosial budaya masyarakat; dan (3) strategi reedukatif normatif, yakni pendidikan formal, nonformal dan informal. Strategi persuasif dilakukan oleh TBM Ujung Tape dalam rangka menghidupkan TBM. Masyarakat harus diyakinkan bahwa TBM bukan hanya sebagai
tempat membaca, tetapi juga tempat mendapatkan keterampilan, termasuk kegiatan adat dan budaya masyarakat setempat. Wujud dari strategi persuasif tersebut adalah pengelola TBM Ujung Tape mengharapkan media lokal untuk mempublikasikan kegiatannya. Hal ini dimaksudkan untuk memperkenalkan TBM dikalangan masyarakat luas. Kegiatan produktif dilakukan untuk memberikan bekal keterampilan seperti resep masakan bagi ibu-ibu rumah tangga. Sedangkan kegiatan nilai sosial budaya tampak pada peranan masyarakat dalam menyukseskan program lomba yang diadakan di wilayah TBM.
Strategi reedukatif normatif merupakan strategi yang melibatkan masyarakat pendidikan, baik jalur pendidikan formal maupun nonformal dan informal. Pelibatan semua jalur pendidikan tersebut dimaksudkan agar setiap warga negara dapat mengakses pendidikan, dalam hal ini TBM sebagai sarana bagi masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan. Sedangkan kegiatan bagi pendidikan formal diperuntukkan kepada anak SD hingga SMA atau yang sederajat dan pendidikan nonformal diperuntukkan kepada warga belajar pendidikan anak usia dini non formal dan informal.

KESIMPULAN
TBM dengan pendekatan nilai sosial budaya dalam implementasi programnya mendapat dukungan yang kuat dari masyarakat. Hal ini terjadi karena nilai sosial budaya sudah menyatu dengan diri masyarakatnya. Dengan demikian, TBM dengan basis nilai sosial budaya menjadikan TBM itu dekat dengan masyarakat. Disamping itu, masyarakat merasa memiliki TBM.
TBM yang berbasis pada kegiatan nilai sosial budaya masyarakat dalam pelaksanaan progran dan pelayanan kepada masyarakat telah terbukti efektif dan efisien memberikan motivasi membaca dan layanan pendidikan kepada masyarakat.

REFERENSI

Direktorat Pendidikan Masyarakat. (2006). Pedoman Pengelolaan TBM. Jakarta: Direktorat Pendidikan Masyarakat.
--------- (2010). Taman Bacaan Masyarakat Kreatif. Jakarta: Direktorat Pendidikan Masyarakat.
---------- (2009). Media Informasi Pendidikan Nonformal & Informal: “Menumbuhkan Minat Baca Sejak Usia Dini.” Vol. 78. Edisi XI.
Kniker, C.R. (1977). You and Values Education. Columbus. Ohio: Charles E. Merril Publishing Company.
Mahmud, A.A.H. (2004). Akhlak Mulia. (Terjemahan). Jakarta: Gema Insani.
Raven, J. (1977). Education, Values, and Society: The Objectives of Education and the Nature and Development of Competence. London:HK Lewis & Co. Ltd.
Sumadi. (1987). Hubungan Minat Baca dan Bakat Bahasa dengan Prestasi Membaca Pemahaman Siswa SMA Kodya Malang. Thesis. Malang: PPs IKIP Malang.
Yasil, S. (2002). Ensiklopedi: Sejarah dan Kebudayaan Mandar. Makassar: Forum Studi dan Dokumentasi Sejarah dan Kebudayaan Mandar.

Oleh     : Dr. Muhammad Fardus
sumber : bpplsp-reg5.go.id

>>> Ini file file nya broo <<<

Saturday, November 1, 2014

BUAH MANIS DARI KETELADANAN


guru di gugu ditiru

Guru, di gugu lan ditiru.

Guru adalah panutan. Ucapan dan tindakannya menjadi acuan murid.
Ketua Yayasan Pesantren Al Azhar Jakarta, Ustadz Muhammad Suhadi, mengatakan murida akan menjadikan guru sebagai teladan, figur dalam hidup. Sampai akhir hayat, keteladanan guru akan selalu diingat. " Guru harus memberikan keteladanan," tuturnya.
Tidak hanya itu, kata dia harus didukung dengan ikhlas. akan beda hasilnya antara proses pendidikan yang dijalankan dengan ikhlas dan mana yang tidak.
Pendidikan dengan ikhlas akan terasa manfaatnya bagi banyak orang, sedangkan yang setengah hati, bahkan tidak ikhlas, hanya akan menimbulkan kerugian. "Ini selalu saya tekankan kepada guru-guru di sini," kata Suhadi.
Ia selalu mengingatkan guru-guru dilembaganya untuk selalu ikhlas dalam menjalankan amanah yang di emban. Jadi Guru berarti harus mendidik anak sepenuh hati, "Jangan setengah-setengah," ujarnya 
Ketika guru ikhlas mendidik, maka anak-anak akan diperhatikan seperti memperhatikan diri sendiri. Mereka bukan dianggap orang lain. Anak akan mendapatkan kasih sayang yang cukup. Sehingga mereka tumbuh menjadi dewasa dengan baik.
Mengajar siswa mesti pula dengan kasih sayang., " Kasih sayang ada di hati," kata dosesn Universitas Al-Azhar Jakarta selatan Ustadz Ahmad ahidin..
Dosen agama Islam Universitas Yarsi Andian Parlindungan menyatakan bahwa para guru hendaknya menyadari mereka memiliki peran yang sangat penting dan strategis. Mereka bukan hanya sebagai pengajar, melainkan juga pendidik. Pengajar hanya memikirkan bagaimana mentransfer ilmu pengetahuan kepada anak didik.
Adapun pendidik bukan hanya berkewajiban mengajar melainkan mendidik anak didik dari tiga spek penting manusia yaitu, akal, hati, dan jiwa. Kesemuanya merupakan organ spiritual yang berfungsi menyimpan dan menghayati ilmu dari Allah, sekalipun sumber dan dasar manusia berperilaku. Jika tetanam disana adalah keburukan maka niscaya perilakua anak didik akan buruk juga, "dan begitu pula sebaliknya," ujar Andian.
Jika para guru memahami tugas pendidikan bukan hanya pengajaran, guru juga memahami pentingnya sifat sifat mulia yang harus mereka miliki. Pertama adalah dedikasi yang tinggi terhadap anak didik. Kedua, memiliki rasa tanggung jawab, bukan hanya menjadikan anak didik cerdas melainkan juga berakhlak.
Kemudian, Andian menjelaskan, guru harus memiliki semangat yang tinggi untuk mewujudkan pendidikan yang komprehensif. Mereka memiliki integritas yang tinggi terhadap dunia pendidikan. Juga memiliki visi dan cita cita mulia dalam menjalankan tugas pendidikan. 
Dia memberikan tips kesuksesan mendidik, pertama adalah keikhlasan, guru yang ikhlas dan punya wawasan pendidikan yang mumpuni akan lebih ikhlas mengajar. Tidak seperti guru yang banyak bekerja sekedar untuk mendaatkan gaji.
selain itu, guru harus menyadari peran aktifnya dan kesadaran akan pendidikan. Mereka harus mengerti dan memahami kurikulum pendidikan yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan jaman, terutama berbasis pendidikan karakter.
Lembaga pendidikan yang baik dan kondusif juga menentukan kesuksesan pendidikan, jangan sampai lembaga pendidikan hanya sibuk mengurus proposal mencari donatur pendanaan, sedangkan anak didik dibiarkan terlantar.
Guru memainkan perannya dengan memaksimalkan diri untuk menjadikan anak lebih baik dari diri sendiri. Jangan sampai dibiarkan begitu saja. sementara guru sibuk dengan kegiatannya sendiri     

oleh : Erdy Nasrul
Sumber: harian Republika 29 november 2013



BERSAMA GURU MENUJU SURGA

guruku ikhlas

"Sebaik-baik kalian adalah yang mengajarkan Alqur'an (HR. Muslim)

Ilmu yang diajarkan guru bernilai sedekah

Islam memuliakan guru. Orang yang berilmu dan mengamalkannya memiliki kedudukan yang utama daripada ibadah.
Ketua Departemen Dakwah Pimpinan Pusat Ikatan Dai Indonesia (IKADI) Ustadz Ahmad Kusyairi Suhail mengatakan guru yang memiliki keistimewaan merupakan guru yang memiliki semangat mengajarkan ilmunya.
Ilmu yang bermanfaat yang dimiliki seorang guru merupakan bukti bahwa dia temasuk orang yang beriman. "Allah SWT suka yang belajar dan mengamalkannya, " tutur dia.
Kusyairi menegaskan, guru akan mendapatkan manfaat tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Hadis Riwayat Muslim menyebutkan, seluruh amal perbuatan seorang manusia akan terputus jika meninggal dunia, kecuali tiga hal, yaitu ilmu yang bermanfaat, amal sedekah, dan anak yangg shaleh.
Menjadi seorang guru artinya memiliki ilmu yang bermanfaat karena telah diamalkan dan diajarkan kepada muridnya. Sehingga, ilmu yang pernah diajarkan akan terus menerus digunakan dan mendapatkan pahala yang tak pernah trputus, bahkan sampai dia meninggal.
Kusyairi menambahkan, Islam sangat menghormati kedudkan guru karena guru merupakan penerus misi nabi dan rasul. Estafet risalah yang diterima oleh Rasulullah SAW diteruskan oleh para guru itu, pada hakikatnya. Sehingga, Rasul pun menyerukan agar memosisikan guru dalam kedudukan yang terhormat. "Berkat guru, yang semula tidak tahu menjadi tahu," ujar dia.
Di dunia, tutur Kusyairi, gurusejatina juga memberikan kebahagiaan. Ini berkat ilmu pengetahuan yang mereka transfer. Bedakan dengan seorang yang luput dari sentuhan guru, tak memiliki ilmu, dan menjadi manusia "buta"
Namun ungkap dia ada kriteria seorang guru dikategorikan ideal. Di antaranya mengajarkan kebaikan dan mampu mengarahkan perilaku anak didik dari yang semula kurang baik menjadi baik.
Kedua, seorang guru harus memiliki akhlak yang mulia. Untuk menjadi teladan yang baik dan dapat dijadikan contoh, guru harus berakhlak mulia. "Bagaimana murid baik bila si guru tak pernah baik". kata dia.
Guru juga harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap pekerjaannya dan anak didiknya.Karena, guru tidak semata-mata hanya mentrasnfer ilmu, tetapi juga mendidik dan menjaga anak agar tetap berbuat baik.
Sebagai guru, dia harus mampu mngemban amanah dan dapat mengajarka ilmu untuk membedakan mana perkara yang makruf dan apa sajakah urusan yang munkar. Sehingga, si anak dapat membedakan hal baik dan hal yang buruk.
Dosen pasca sarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Ustadz Mulyadi Kosim mengatakan, Islam memandang guru sangat mulia. Ilmu yang disampaikan seorang guru akan mendapatkan nilai nilai kebaikan bahkan hingga akhirat.
Kedudukan guru sampai bermacam-macam sesuai dengan sebutannya. Seorang guru tidak hanya menjadi rang yang bertugas mentransfer ilmu. Guru adalah seorang mualim yang memberikan ilmu dan mencerdaskan anak didiknya. guru bertugas sebagai muaddib yang bertugas untuk menjadikan manusia yang beradab.
Guru juga bertugas untuk menyebarkan ta'dzim uluhiyah. Artinya guru juga dapat menyampaikan akhlak dan pensucian jiwa. Sebagai Mursyid, guru juga menjadi pembimbing dan memberikan petunjuk kebenaran.
Sedangkan keistimewaan seorang guru, menurut Mulyadi yang juga sebagai kepala sekolah International Islamic High school Jakarta adalah sebagai pewaris kenabian.Artinya seorang  guru membawa anak didik dari kegelapan kepada cahaya.
Guru disebut istimewa karena dia telah melanjutkan tongkat estafet perjuangan Rasulullah. Allah SWT juga menjadi 'guru' pertama bagi Adam AS. Mengajarkan perkara yang belum diketahui, lalu menjadi tahu. Guru menjadi sumber perubahan bagi murid yang tidak baik menjadi baik.
Qosim pun menyebutkan sejumlah kriteria guru ideal, antara lain amanah, memiliki hubungan yang dekat dengan muridnya, memiliki akhlak yang mulia dan wawasan yang luas. Guru di tuntut pula memiliki ilmu kejiwaan dan ilmu cara untuk mendidik."Guru mesti bisa berkomunikasi dari hati ke hati," papar dia.
Guru, kata Qosim harus menjadi contoh teladan baik bagi anak-anak dan menjadi teman pada saat anak-anak mengalami masalah. Sehingga anak didik dapat menghormati mereka. Hubungan antar keduanya tidak hanya formalitas, tapi juga saling menghargai dengan mendengarkan segala nasihat dan menerapkan ilmu yang diajarkan.

Oleh : Ratna Ajeng Tejomukti
Sumber: harian Republika 29 november 2013