Sunday, September 25, 2011

TANTANGAN YANG HARUS DIHADAPI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Bangsa Indonesia, demikian juga seluruh bangsa dimuka bumi ini menghadapi tantangan globalisasi yang melibatkan seluruh umat manusia , khususnya dibidang ekonomi (perdagangan bebas) politik, (demokratisasi) dan budaya (budaya global) yang emalhirkan suatu masyarakat yang terbuka. Sebuah masadimana tidak ada sebuah bangsa dan negara yang mampu untu menolak masuknya era globalisasi dalam kehidupan manusia. Era globalisasi, dimana batas antar bangsa, antar budaya, dan negara sedemikian tipisnya, sehingga tidak ada kekuatan apapun yang sanggup memproteksi bangsa, budaya negara, dari bangsa-budaya-negara lainnya. Disamping itu tantangan makso di atas, dalam jangka pendek bangsa indonesia harus menyelesaikan krisis multi dimensi yang berkepanjangan.
Permasalahannya adalah ketidak siapan bangsa kita menghadapi kedua tantangan di atas, dikarenakan rendahnya mutu sumberdaya manusia kita. Untuk menghadapi tantangan di atas, diperlukan upaya yang sungguh-sungguh melalui pendidikan mendasar, sebuah pendidikan yang mampu meletakkan dasar-dasar pemberdayaan manusia agar memiliki kesadaran akan potensi dirinya dan mengembangkannya bagi kebutuhannya diri sendiri. Masyarakatnya dan bagi umat manusia dalam mebentuk masyarakat madani. Pendidikan mendasar itu adalah pendidikan yeng diakukan sedini mungkin yang dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Menyeluruh, artinya layanan yang diberikan kepada anak mencakup layanan pendidikan, kesehatan, dan gizi. Terpadu mengandung arti layanan tidak saja diberikan kepada anak usia dini, tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat sebagai satu kesatuan layanan.
Pentingnya pendidikan bagi anak usia dini didasarkan adanya berbagai hasil penelitian yang menyebutkan bahwa masa usia dini merupakan periode kritis dalam perkembangan anak. Berdasarkan kajian neurologi pada saat lahir otak bayi berkembang sangat pesat dengan menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan antar neuron yang banyak melebihi kebutuhan. Sambungan ini harus diperkuat melalui berbagai rangsangan psikososial, karena sambungan yang tidak diperkuat dan mengalami antrofi (penyusutan) dan musnah.
Inilah yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kecerdasan anak. Dalam kajian lain diungkapkan bahwa sekitar 50% kapabilitas kecerdasan manusia ketika anak berumur 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak mencapai usia 18 tahun. Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya dan selanjutnya perkembangan otak akan mengalami stagnasi. Itulah mengapa masa ini dinamakan masa emas perkembangan , karena setelah masa perkembangan ini lewat, berapapun kapabilitas kecerdasan yang dicapai oleh masing-masing individu tidak akan mengalami peningkatan lagi.
Pengembangan anak usia dini harus dilakukan secara terpadu untuk menolong masyarakat misikin dan memutus siklus kemiskinan antar generasi. Intervensi pendidikan meningkatkan kinerja anak dan intervensi gizi dan kesehatan meningkatkan kemungkinan kelangsungan hidup anak. Perpaduan keduanya akan mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai pribadi yang utuh, yang dilakukan melalui pemeliharaan kesehatan, pemberian nutrisi, stimulasi kecerdasan, penyediaan kesempatan yang luas bagi anak untuk bereksplorasi dan belajar secara menyenangkan. Pengasuhan dan bimbingan anak untuk memahami potensi dirinya dan berperan aktif dal keluarga serta masyarakatnya. Di Indonesia beragam program pengembangan anak usia dini telah dikembangkan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat sendiri. Hasilnya belum optimal, karena pelaksanaan dan pembinaannya belum dilakukan secara terpadu. Setiap sektor melaksanakan sendiri-sendiri programnya tanpa merasa harus mengkoordinasikan nya dengan sektor lain.
Fungsi pendidikan bagi anak usia dini tidak hanya sekedar memberikan berbagai pengalaman belajar seperti pendidikan pada orang dewasa, tetapi juga berfungsi mengoptimalkan perkembangankapabilitas kecerdasannya. Pendidikan di sini hendaknya diartikan secara luas, mencakup seluruh proses stimulasi psikososial yang tidak terbatas pada proses pembelajaran yang dilakukan secara klasikal. Artinya endidikan dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja, baik yang dilakukan sendiri dilingkungan keluarga maupun oleh lembaga pendidikan di luar lingkungan keluarga.
Pembelajaran harus dilakukan secara menyenangkan yaitu melalui bermain. Kesenangan yang dipereoleh melalui bermain memungkinkan anak belajar tanpa tekanan, sehingga disamping motoriknya, kecerdasan anak (kecerdasan kognitif, sosial-emosional, spritiual dan kecerdasan lainnya) akan berkembang optimal. Lebih penting lagi, dampak dari jenuh belajarrr berupa semakin menurunnya prestasi anak dikelas-kelas yang lebih tinggi dapat dihindari.Pembelajaran yang menyenangkan merupakan pembelajaran yang berpusat anak, dimana anak mendapatkan pengalaman nyata yang bermakna bagi kehidupan selanjutnya. Pada gilirannya melalui pendidikan anak usia dini yang pembelajarannya dilakukan secarfa menyenengkan akan membentuk manusia-manusia Indonesia yang siap menghadapi berbagai tantangan.

Sumber : Bulettin PADU edisi pertama tahun 2002

Tuesday, September 20, 2011

Opini PKBM Sebagai Home Base Dalam Menjadikan Masyarakat Mandiri

Dalam upaya mewujudkan masyarakat belajar, mandiri dan berdaya guna sejalan dengan visi pendidikan luar sekolah bahwa belajar adalah suatu pember-dayaan dan pendidikan sepanjang hidup yang relevansinya dengan pembangunan masyarakat untuk selalu belajar sampai melahirkan produk yang dapat dimanfaatkan. Sehubungan dengan hal tersebut konsep pendidikan seumur hidup oleh Coombs (1973) menyatakan bahwa hidup itu adalah belajar, sedangkan Mannheim (de Jong 1984) menyata-kan bahwa pendidikan luar sekolah merupakan penemuan paling menen-tukan dalam abad ini, bahkan lebih hebat dari pendidikan persekolahan, belum dihargai sebagaimana seharusnya.

Sebagai akibat pola pendi-dikan kita yang selama ini dilakukan secara birokratis, sentralistis dan uniformatis yang dampaknya sangat merugikan terhadap pengem-bangan SDM yang unggul yang dapat membangun diri dan lingkungan. Pengelolaan pendidikan yang ter-pusat dengan kebijakan secara makro dan dengan pembakuan seca-ra nasional mengakibatkan pelaksa-naan pendidikan sangat terbakukan dan tidak memiliki volatilitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga pada skala mikro pendidikan kurang peka. Oleh karenanya perlu adanya gagasan pemberdayaan masyarakat yang mengacu pada pola manajemen pendidikan yang berbasis masyarakat.

Perlu dikembangkan kebijakan yang mendukung kelembagaan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang dilaksanakan dengan filosofi dari, oleh dan sebesar-besarnya untuk masyarakat. PKBM dalam perannya diharapkan dapat merupakan wadah atau sentra seluruh potensi dan selanjutnya akan dikelola oleh dan untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Pengelolaan PKBM hendaknya menempatkan masyarakat sebagai basis dan kekuatan sentral sehinga penyelenggaraan pendidikan luar sekolah selalu bermuara pada kepentingan asyarakat dan pember-dayaan masyarakat itu sendiri. Selanjutnya dalam perkembangannya PKBM diharapkan juga merupakan upaya privatisasi pengelolaanprogram pendidikan luar sekolah yang berlandaskan pada partisipasi dan tanggungjawab masyarakat, sehingga masyarakat merasakan bahwa pendidikan adalah untuk dirinya dan bukan kepentingan pemerintah atau golongan lain.

Upaya pemberdayaan masyara-kat pada saat ini menjadi sangat strategis, karena PKBM akan selalu memberikan layanan pembelajaran yang dapat membangun masyarakat, sehinga mampu melakukan sesuatu, mengambil keputusan, memecahkan masalah dan lain lain. Arah pendidik-an pemberdayaan adalah mewujud-kan pada kemandirian mayarakat. Masyarakat yang mandiri adalah ma-syarakat yang tidak tergantung bantuan yang lain untuk kelang-sungan hidupnya. Kemandirian dalam arti luas bkan hanya bersumbar dari kemampuan untuk menjamin kelang-sungan hidup tetapi juga untuk tumbuh dan berkembang dengan kekuatan sendiri.

Dengan demikian kemandirian adalah faktor penting dalam mendorong terwujudnya ketahanan masyarakat. Menurut Ginanjar Kartasasmita (1995) kemandirian dicerminkan antara lain:

1. Memiliki SDM, yaitu tenaga profesional yang mampu memenuhi tuntutan kebutuhan
dan kemajuan pembangunan.
2. Makin kecilnya ketergantungan pada sumber pembiayaan dan modal investasi
seiring dengan sumber pembiayaan masyarakat yang semakin kukuh.
3. Memiliki kemampuan untuk memenuhi kebuthuan pokok secara cukup dan memadai.
4. Memiliki daya tahan ekonomi terhadap gejala ekonomi global.
5. Memiliki jiwa dan kemampuan kompetitif serta mampu meme-nangkan dalam
percaturan global.

Dari hal tersebut di atas, kelima persyaratan sangat penting dijadikan acuan untuk memba-ngun kemandirian masyarakat melalui sektor pendidikan. Dalam konteks ini PKBM dapat diharapkan sebagai "Home base" yang dibangun dari, oleh dan untuk masyarakat dalam memperjuangkan haknya, kebebasan serta kemampuan untuk menentukan nasib sendiri dan masa depannya secara demokratis, karena yang paling penting dari masyarakat mandiri adalah demokratisasi dari bidang kehidupan, termasuk pendidikan.

Oleh: Dra. Sri Ujiani Lies Purwati (P2PNFI Ungaran)

Monday, September 19, 2011

ALFABETISASI DAN LITERASI

Ada kegamangan dalam kebijakan pendidikan kita ketika dihadapkan dengan fakta dan anagka. Kebijakan pendidikan terutama dalam hal angka, akan dengan cepat menghitung skala prioritas secara alfabetis dan bahasa anggaran selalu longgar. Namun jika berkaitan dengan fakta, kenijakan tersebut selalu menghindar dan selalu mengatakan keterbatasan. Inilah yang kita lihat dalam kebijakan tentang melek aksara ditengah-tengah masyarakat kita, yaitu meningkatnya jumlah angka buta huruf, tetapi tidak ada data dan definisi pasti tentang melek budaya dan sejenisnya.
Masalah melek aksara atau literasi merupakan bagian terpenting dalam proses humanisasi disetiap negara manapun. Karena begitu pentingnya melek aksara ini, Los Angeles Times (2009) pernah memuat laporan khusus tentang hal itu dengan menyebut melek akasara sebagai sebuah keterampilan yang dapat mendorong tercapainya cita-cita negara dalam berdemokrasi.
‘No skill is more crucial to the future of a child, or to e democratic and prosperous society, than literacy.’ Melek aksara dengan demikian merupakan tumpuan masa depan anak-anak sekaligus tumpuan kehidupan demokrasi di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara didunia ini, baik penganut sistem demokrasi terbuka maupun tetutup, yang tak menyebutkan soal melek akasar sebagai isu politik dan kemanusiaan.
Abdul Qadeer Khan, saintis dan ahli nuklir kontroversial asal pakistan, bahkan banyak menginisiasi program-program buta aksara dalam kampanye program-program nuklirnya. Baginya, program nuklir bisa menjelma menjadi lapangan pekerjaan masif yang dapat menyejahterakan rakyat banyak. Dengan meyakini hadis nabi bahwa kemiskinan merupakan pangkal kekafiran dan kebodohan, Khan percaya akar kemiskinan, sikap tidak toleran, kebendian, dan kekerasan adalah kebodohan. “Hatred, intolerance, poor hygienic conditions and violence all have roots in literacy,’ tegas Khan. Karena itu merupakan tugas untuk semua orang, pemerintah dan masyarakat
Jika melek aksara identik dengankecerdasan dan buta aksara (illiteracy) adalah kebodohan, dalam dunia pendidikan kedua terminologi ini harus dikaji dengan serius, baik secara budaya maupun secara sosial. Sebab jika kondisi ini hanya dimaknai dengan ketidakmampuan baca tulis, idiom tentang ragam kecerdasan (multiple intelligence) ala Gardner (2006) pastilah tak mendapat rujukan. Karena itu ada baiknya juga jika terminologi buta aksara diimbangi dengan melihat sisi lain dari ragam bakat dan minat masyarakat, terutama dalam berkomunikasi antar sesama mereka.
Kesadaran tentang hal itu menjadi penting, terutama jika dikaitkan dengan kebijakan pendidikan dalam sebuah negara. Dalam konteks buta aksara ada baiknya bila adaptasi Paulo Fraire tentang pengaksaraan dan keterbacaan (alfabetisasi dan literasi ) ditelaah. Dalam pandangan Fraire, pendidikan harus memberi keleluasaan kepada setiap orang untuk mengungkapkan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata orang lain. Maka itu peserta didik harus di beri kesempatan untuk menyampaikan dengan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata sang pendidik. Atas dasar itula Fraire mengatakan bahwa proses pengaksaraan dan keterbacaan (alfabetisasi dan literasi pada tingkat paling awal sekali dalam proses pendidikan haruslah benar-benar merupakan suatu proses yang fungsional, bukan sekedar kegiatan teknis yang mengajarkan huruf-huruf dan angka-angka serta merangkainya menjadi kata-kata dalam kalimat-kalimat yang sudah tersusun secara mekanis.
Pengalaman Fraire di Brasil dan Cile dalam dialognya dengan kaum petani miskin dan buta huruf menunjukkan bahwa pengaksaraan dan keterbacaan akan lebih mudah dipahami jika menggunakan perbendaharaan kata-kata yang digali dari berbagai ‘tema pokok’ (generative themes) pembicaraan sehari-hari masyarakat petani itu. Sebab itu pelaksanaan konsep pendidikan melek huruf fungsional ala Fraire ini dekenal dengan tiga tahapan utama.
Pertama, tahap kodifikasi dan dekodifikasi melalui serangkaian tahap pendidikan melek huruf elementer, seperti gambar-gambar dan cerita rakyat.
Kedua, tahap diskusi kultural, sebagai tahap lanjutan dalam suatu kelompok-kelompok kerja kecil yang sifatnya problematis dan menggunakan ‘kata kunci’.
Ketiga, tahap aksi kultural, tahap praksis yang sesungguhnya tindakan setiap orang atau kelompok menjadi bagian langsung dari realitas.
Meskipun pernyataan-pernyataan Fraire sering kontroversial, meletup-letup, dan memancing banyak pertanyaan bahkan juga kritik, fakta yang diajukannya merupakan realitas tak terbantahkan dihampir semua negara dunia ketiga. Atas dasar itulah konsep pendidikan Fraire sampai sekarang tetap bernisbah untuk dikaji , dikembangkan dan dipertimbangkan terus oleh setiap pemangku kebijakn bidang pendidikan. Apalagi mengingat anak-anak disekolah merupakan para pemakai bahasa ibu yang secara budaya sengat dekat dengan lingkungan sekitar mereka.
Yvonne S Freeman dan David. E dalam Whole Language for second Language leaners (1992), menyebutkan signifikansi penggunaan bahasa ibu sebagai pengantar disekolah sebelum bahasa kedua dikuasai anaka akan mampu menghasilkan prestasi yang lebih baik bagi anak-anak dimasa datang. Harus ada cara yang secara pedagogis mempu membuat anak nyaman ketika mereka mengalami peralihan dari bahasa ibu ke bahasa indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah. Itu artinya proses pengaksaraan dan keterbacaan jelas harus meninmbang unsur budaya dan konteks lokal secara luas dan tajam

oleh :Ahmad Baedowi
sumber : Media Indonesia september 2011

Tupoksi Baru Menjanjikan Penilik Masa Depan

Konon, sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, pendidikan nonformal (PNF) memiliki beberapa peran, salah satunya adalah menunjang tercapainya tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia indonesia seutuhnya yang diantaranya , memiliki pengetahuan, ketrampilan, sikap dan tanggung jawab kemasyarakatan. Upaya mencapai statement diatas diantaranya bisa melalui (1) Program Pasca Keaksaraan, yaitu upaya mempertahankan dan meningkatkan kemampuan beraksara dengan menyediakan Taman Bacaan Masyarakat. (2) Program Peningkatan Kualitas Kehidupan, yang di dalamnya termasuk pendidikan kependudukan, pengarus utamaan gender, bahaya traficking, bahaya narkoba dan penyuluhan lain yang ada relevansinya dengan pendidikan nonformal yang menjadi garapan penilik. Dalam Permenpan dan RB nomor 14 disebutkan bahwa jabatan fungsional penilik adalah jabatan fungsional yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melakukan kegiatan pengendalian mutu dan evaluasi dampak program pendidikan anak usia dini, pendidikan kesetaraan dan keaksaraan, serta kursus pada jalur pendidikan nonformal dan informal. Untuk itulah segala informasi program-program PNFI diatas, secara kreatif bisa “dititipkan” atau “dikerjasamakan” oleh penilik melalui kegiatan PKK, Arisan, Posyandu, majlis taklim dan kegiatan desa lainnya. Informasi itu juga bisa disampaikan melalui pembelajaran pada kelompok keaksaraan fungsional dan kelompok belajar kesetaraan yang saat ini semakin diperhatikan oleh Kemendiknas dalam rangka memperbaiki mutu kehidupan masyarakat yang beberapa tahun terakhir ini selalu terpuruk, berkutat pada masalah kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Dengan demikian peran penilik PNF dalam upaya membelajarkan masyarakat akan tampak eksistensinya dengan segala program-programnya, hal ini sesuai dengan tujuan PNF, yaitu membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah demi kesejahteraan hidupnya. Seperti diketahui bahwa program pendidikan nonformal, dalam hal ini program kesetaraan semakin menjadi tolehan dari berbagai pihak sejak banyaknya siswa yang tidak lulus dalam ujian nasional, perlu kiranya disisipi bimbingan yang membekali warga belajar agar mereka memiliki kesadaran dan memahami dirinya secara utuh, baik potensi dirinya, bakat dan minatnya untuk menghadapi masa depannya. Dengan kata lain warga belajar perlu diberi pembinaan (pendampingan) tentang sikap dan perilaku yang baik dalam hidup bermasyarakat. Mereka harus dikenalkan tentang nilai, norma serta sopan santun bermasyarakat sebagai bekal yang sangat penting bagi seseorang untuk menjalani kehidupan, berani menghadapi dan memecahkan segala permasalahan kehidupan secara wajar dan kreatif dalam menjalani aktivitas hidupnya. Dengan demikian, setiap saat dan setiap waktu produktivitas seseorang senantiasa dalam kondisi prima untuk menghadapi jaman yang cepat berubah di era kapitalisasi dunia.

Hal ini mengingat, bahwa mereka terpaksa bekerja membantu ekonomi orang tua. Dengan demikian “masa bermain” sebagai anak telah terampas oleh keadaan yang memaksa mereka melupakan norma dan nilai susila untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai upaya bertahan hidup (survive). Mereka sangat rentan untuk terjerumus pada tindak kriminal, bahkan menjadi incaran empuk bagi calo-calo traficking yang semakin marak ditengah-tengah menjamurnya penduduk miskin.

Peran Penilik PNF (yang tentunya bekerja sama dengan para tokoh masyarakat setempat termasuk tutor dan pamong belajar ) sangatlah penting sekali untuk menyadarkan mereka akan pengaruh “Lingkungan” yang bisa menjerumuskannya, sehingga akan memperburam masa depan mereka yang senyatanya sudah buram. Sukur-sukur Penilik punya waktu untuk menyampaikan muatan lokal berupa keterampilan berusaha yang bermanfaat sebagai mata pencaharian, yang dapat diusahakan secara kelompok atau individual melalui pendekatan fun learning. Untuk itulah kegiatan pembelajaran kepada “masyarakat” melalui pendidikan nonformal haruslah dikemas sedemikian rupa yang bisa menggairahkan, perlu pula menggunakan berbagai metode yang kreatif agar mereka merasa ‘enjoyful learning’ yang bisa melesatkan kemampuan pikir mereka agar cepat menyadari akan kekurangannya untuk kemudia bersedia diajak berubah melalui program pendidikan luar sekolah yang “menggembirakan” , tidak sekedar bergelut dalam tataran teori semata sehingga program bentukan para penilik bisa lestari dan berkesinambungan. Mudah-mudahan dengan lahirnya aturan baru tentang jabatan fungsional penilik dan angka kreditnya sekaligus perubahan Batas Usia Pensiun 60 tahun, akan diikuti dengan peningkatan kualitas kinerja penilik yang mengarah kepada profesionalisme yang bermartabat sebagai sebuah profesi yang “mewartakan” pendidikan nonformal agar nantinya semakin menjadi tolehan berbagai pihak. Dalam permenpan dan RB nomor 15 disebutkan bahwa pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Sedangkan satan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, PKBM dan majelis taklim serta satuan pendidikan yang sejenis. Semua yang disebutkan diatas merupakan ‘wilayah kerja’ yang harus dikuasai dengan baik agar menghasilkan keluaran yang baik pula

oleh : Drs. Edi Basuki, M.Si

Sunday, September 18, 2011

Mendidik Anak Soleh

Bunda sedang mencari buku mengenai cara mendidik anak soleh beserta kiat-kiatnya. Bunda baru menemukan buku mengenai pendidikan anak yang sesuai dengan keinginan Bunda setelah berkutat cukup lama.Bunda mendesah, akh.. terlalu teoritis dan banyak sekali hadits Rasulullah yang diulang-ulang, dan sangat sedikit sekali buku mengenai pendidikan anak dalam Islam yang bisa bunda temui di toko buku. Dibandingkan dengan bergelimangnya ilmu-ilmu pendidikan anak dari negeri barat, dengan semua metode yang membuat siapapun tertarik dan tercengang, maka Bunda membatin, mengapa yaa kok buku pendidikan anak dalam Islam tidak begitu banyak.Juga hadits-hadits yang mengupas bagaimana Rasulullah begini atau begitu pada anak juga jumlahnya tidak terlalu banyak, lebih banyak hadits-hadits yang berhubungan dengan aqidah, akhlak, dan lain lain yang lebih banyak untuk konsumsi orang dewasa.

Apa mungkin buku-buku mengenai pendidikan anak ada dalam bahasa arab dan belum diterjemahkan dan belum masuk ke toko buku di Indonesia? demikian Bunda membatin sambil mengarahkan 2 buah buku yaitu buku tarbiyatul aulad karangan DR.Abdullah Nashih 'Ulwan, serta buku saku metode berkomunikasi yang efektif pada anak dan remaja karangan bapak dari negeri seberang.

Dalam perjalanan Bunda berpikir, mengapa dan mengapa, sampai akhirnya bunda mendapat sebuah kesimpulan, bahwa tak perlu mendidik anak menjadi anak soleh, karena yang harus didik adalah guru maupun orang tuanya, agar soleh dulu, akhirnya tercipta sebuah lingkungan yang soleh. Lingkungan yang mengamalkan sunnah-sunnah Rasul dalam menjalankan agama, dan menjalankan perintah Allah, dan menjadikan sunnah sebagai habbit atau sebagai kebiasaan yang ada dimana- mana, baik di sekolah maupun dirumah.Dan sang anak akan secara otomatis mengikuti apa yang dilakukan oleh sang guru maupun orang tua.

Dalam hal ini Bunda pun berfikir, sebaiknya kita tidak menyuruh anak untuk soleh, melakukan pekerjaan-pekerjaan yang kita iginkan yang kita percayai dapat membuat dia menjadi soleh. Namun sebaiknya kita lakukan saja apa yang kita inginkan pada anak anak kita, baik anak didik maupun anak kandung untuk akhirnya mereka mengikuti apa yang kita lakukan.Bersabarlah bila ternyata hasilnya lama, karena membentuk sebuah kebiasaan tentu saja memerlukan waktu yang lama, sebab kita tengah membentuk kepribadian. Tumbuh dari seorang bayi menjadi remaja saja butuh waktu lama, maka dalam membentuk akhlak dan kepribadian sang anak agar menjadi soleh seperti yang kita harapkan memerlukan juga kesabaran dan waktu yang cukup lama.

Maka mulailah dari diri sendiri untuk soleh, niscaya anak-anak akan melihat contoh soleh itu dan melakukannya karena memang dia melihat dan terkontaminasi oleh kesolehan kita. Orang tua dan para pendidik.

Mimpi saya, betapa indahnya bila semua orang soleh, dan kita tidak soleh sendirian, agar anak- anak kita bisa melihat kesolehan dimana-mana dan melakukan kesolehan tersebut dimana mana.

Fifi.P.Jubilea - Founder and Conceptor of JISc

PENDIDIKAN BAGI KAUM PEREMPUAN BUTA AKSARA

Sebagian besar kaum perempuan di negeri ini adalah penderita buta aksara/buta huruf. Dari tahun ke tahun jumlah mereka belum mengalami penurunan secara signifikan. Pada tahun 2007, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data yang menunjukkkan bahwa perempuan penderita buta aksara sebanyak 12,3% dari 211.063.000 jiwa. Pada 2010, Ditjen Pendidikan Nonformal dan informal (PNFI) Kemdiknas (2010) menyebutkan jumlah perempuan buta aksara sekitar 65% atau 5,46% dari jumlah total 8,4 juta jiwa. Adapun dari data mutakhir yang dirilis Kemdiknas (2011) diketahui jumlah perempuan buta aksara masih sekitar 5,3 juta jiwa dengan usia 15 tahun ke atas
Fenomena sebagaimana disebutkan mengindikasikan bahwa upaya pengentasan perempuan dari buta aksara masih terseok dalam jalan yang terjal. Dengan kata lain upaya itu belum efektif dan memerlukan perhatian yang serius dari pemerintah, khususnya stakeholder pendidikan juga dari masyarakat secara umum.
Diskriminasi Pendidikan
Buta aksara merupakan sumber kebodohan, Mengapa? Sebab penderitanya tidak mampu membaca. Membaca merupakan sarana untuk mengakses informasi. Sebagian besar sumber informasi itu berujud tulisan atau aksara. Mereka juga gagap teknologi dan informasi terkini mengenai kemajuan zaman. Mereka ibarat terkungkung dalam sebuah tempurung. Hal ini membuat wawasan mereka sempit, kerdil, dan picik.
Tentu sangat menyedihkan jika penyakit buta aksara itu diderita oleh sebagian besar kaum perempuan negeri ini. Bagaimana tidak, mereka juga soko guru atau pilar utama penyangga bangsa ini. Jika kaum perempuan sudah bodoh dan terbelakang, nasib generasi mendatang dikhawatirkan akan terbengkalai.
Apa yang memicu masih tingginya jumlah kaum perempuan yang menderita buta aksara? Menurut Bambang Sudibyo (2008), setidaknya ada tiga hal yang memicu tingginya angka itu. Pertama faktor kemiskinan. Memang kemiskinan tidak hanya menyebabkan buta aksara pada kaum perempuan, tetapi juga pada kaum laki-laki. Itu karena kemiskinan menghambat orang untuk mengembangkan bakat dan potensinya. Logika sederhananya, misalnya orang miskin, setiap hari ia tak lepas dari persoalan makan atau bertahan hidup. Maka, Jangankan untuk mengenyam pendidikan atau setidaknya belajar baca tulis, untuk makan saja mereka susah.
Benar ada sebagian orang miskin yang sukses. Namun jumlahnya sangat sedikit. Mereka hanya orang-orang miskin yang memeiliki tekad, kemauan, cita-cita, dan semangat besar untuk maju. Mereka tidak menjadikan kemiskinan sebagai penghalang, sebaliknya, kemiskinan dijadikan sebagai pelecut semangat sekaligus peluang untuk menggapai keberhasilan. Tidak mengherankan bila orang-orang seperti itu sukses, entah menjadi pengusaha,kaum intelektual, pengajar, politikus, dan sebagainya. Oleh karena itu strategi pemberantasn buta aksara dengan target orang-orang miskin, harus lebih banyak ditekankan pada upaya-upaya penyadaran eksistensi, pemupukan motivasi, dan disertai pen=mberdayaan potensi.
Kedua, faktor diskriminasi pendidikan. Tidak dipungkiri sejak berabad-abad lalu perempuan yang mengenyam pendidikan dianggap tabu. Selain itu menurut asumsi masyarakat kita tugas perempuan itu hanya di dapur, kasur, dan sumur. Jadi tidak perlu sekolah. Bahkan budaya feodal dan patriarkis itu menempatkan perempuan sebagai objek pelengkap atau orang kedua. (the second people) setelah kaum laki-laki.
Itulah sebabnya perempuan sering mendapat pendidikan lebih rendah ketimbang laki-laki. Akibatnya perempuan menjadi kurang mahir baca tulis dan tidak bisa mengoptimalkan potensi yang mereka miliki. Padahal, baca-tulis merupakan fundamental sekaligus jendela untuk melihat dunia. Perempuan yang buta aksara akan melihat dunia dengan sempit karena informasi yang diterimanya sangat sedikit.
Karena akses untuk emngenyam pendidikan terbatas, wajar jika kaum perempuan tidak benyak memiliki keahlian yang bisa dijadikan nilai tawar guna memasuki dunia kerja. Dengan keahlian minim itu pula tidak ada lapangan kerja yang bisa mereka masuki. Selain menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) pemantu rumah tangga, buruh pabrik, buruh toko, dan pekerjaan rendah lainnya. Keteika bekerja di Luar negeripara TKW yang buta aksara itu sering mendapatkan perlakuan kurang manusiawi tanpa bisa berbuat apa-apa.
Ketiga, faktor diskriminasi gender. Diskriminasi itu menyebabkan perempuan sulit mengakses pendidikan, mendapat fasilitas kesehatan dan perlindungan dalam hukum, serta terlibat dalam pembuatan kebijakan. Oleh karena itu, UNICEF (2007) menyeru anggotanya untuk menaruh perhatian pada keadilan gender sebagai agenda utama abad ini. Keadilan ini dimaksudkan untuk menciptakan dunia yang adil dan toleran, kala tanggungjawab diemban bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan.
Selain itu, dengan ditegakkannya keadilan gender, diharapkan tidak akan terjadi lagi pembatasan akses pendidikan dan informasi terhadap kaum perempuan.
Melek Aksara
Kita tentu tidak ingin generasi yang akan datang menjadi terbelakang lantara para ibu mereka masih menderita buta aksara. Maka sudah saatnya pemerintah, masyarakat, dan stakeholder di tingkat pusat maupun lokal mengoptimalkan kerja pemberantasan buta aksara. Salah satunya dengan mengoptimalkan program belajar melek akasara berbasis bahasa daerah ataupun bahasa ibu. Sebagai contoh, diwilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta bahasa Jawa- yang merupakan Bahasa Ibu-dijadikan sebagai dasar guna mempelajari bahasa nasional. Artinya ketika penderita buta aksara sudah menguasai bahasa Jawa, mereka lantas diperkenalkan dan diajarkan untuk menguasai bahasa Indonesia. Mengapa harus melalui bahasa ibu lebih dahulu ? Sebab itu sesuai dengan asumsi bahasa ibu merupakan sosok paling dekat dan familier dengan penderita buta aksara. Sejak tahun 2010 lalau, Pemerintah sebenarnya telah menerapkan satu skema bersama UNESCO yang disebut life iteracy initiative for empowerment (LLIFE). Menurut Hamid Muhammad (2010) arah program LLIFE itu bukan sekedar me-melek-huruf-kan saja, melainkan juga memberdayakan perempuan baiks ecara ekonomi, sosio kultural, maupun lingkungan hidup. Dengan begitu, mereka baru akan belajar buta aksara ketika kecakapan hidup sudah dikuasai.
Selain itu, gerakan pembebasan buta aksara, sebagaimana tertuang dalam instruksi presiden No. 5 tahun 2006, harus dilakukan dengan mengerahkan seluruh kekuatan, mulai presiden, menteri terkait, gubernur, walikota/bupati, camat, samapi kepala desa.
Adapaun pendekatan horizontal menurut Agus Wibowo (2008) dilakukan dengan melibatkan berbagai ormas, seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan lain-lain. Itu artinya segenap pihak harus bekerjasama menyatukan komitmen, dan menjadikan buta aksara sebagai musuh bersama (common enemy)
Sudah saatnya kaum perempuan mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan seluas-luasnya. Pemerintah bersama para stake holder harus bahu membahu menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan mereka. Pendonor dan penyandang dana pun harus mengubah orientasi beasiswa.
Jika semula kesempatan mendapatkan beasiswa lebih banyak untuk kaum laki-laki, saat ini harus adil, artinya laki-laki dan perempuan punya hak yang sama dalam memperoleh beasiswa. Selain itu, penyediaan beasiswa sendiri dilakukan secara proporsional, artinya berdasarkan kuantitas dan kualitas perempuan.
Ormas dan organisasi keagamaan harus menjadi ujung tombak pemberantasan buta aksara bagi kader mereka. Melalui majelis pendidikan yang ada disetiap cabang, kedua organisasi massa tersebut bisa bekerjasama dengan pemerintah untuk melakukan sosialisasi tentang pentingnya pendidikan kepada masyarakat.
Selain melalui majelis pendidikan, kedua ormas tersebut bisa memberdayakan organisasi otonomnya. Misalnya NU, melalui gerakan Fathayatnya, atau Muhammadiyah melalui Nasyiyatul Asyiyah, harus menjadikan forum-forum pengajian keagamaan menjadi media pembelajaran yang efektif, artinya forum-forum itu tidak hanya menyuguhkan wacana-wacana dalam hal amaliyah keagamaan, tetapi juga menyuguhkan aspek-aspek yang mendukung program pengentasan Buta aksara.
Melalui kegiatan tersebut, kaumperempuan harus disadarkan akan pentingnya arti pendidikan dan melek huruf bagi mereka. Kesadaran semacam itu akan mendorong mereka untuk terus berusaha mendapatkan pelatihan, pendidikan dan pengajaran.
Institusi dan lembaga pendidikan harus menjadi media transformatif bagi pemberantasan buta aksara. Artinya model pembelajaran selalu melibatkan siswa pada kesadaran, kehidupan nyata, atau hubungannya dengan orang lain. Singkatnya peserta didik dilatih menekuni pekerjaannya sebagai sarana menemukan makna baru, sekaligus memahami karya itu sebagai objek budaya

Oleh : Siti Fathimatuz Zahroh (pemerhati pendidikan)
Sumber : Media Indonesia 12 September 2011

Thursday, September 8, 2011

Trik Membuat Anak Cinta Baca

Menumbuhkan atau mengajak anak untuk gemar membaca memang harus dilakukan sejak dini. Namun, upaya ini terkadang tak mudah. Ibaratnya seperti meminta anak untuk minum obat saat mereka sakit atau mencekokinya dengan jamu pahit.

Penulis buku anak-anak, ilustrator, guru, dan pendiri National Children's Book and Literacy Alliance, Mary Brigid Barred, berbagi sejumlah tips yang mungkin bisa diterapkan terhadap anak Anda. Silakan disimak!

1. Buatlah anak Anda merasakan dengan indra mereka apa yang diceritakan pada buku yang dibaca.

Ajaklah mereka merasakan apa yang diceritakan di buku itu dengan indra mereka sehingga mereka merasa memiliki bagian atau menjadi salah satu tokoh di buku tersebut.

"Sangat mengagumkan ketika sebuah buku menjadi hidup dan dirasakan oleh indra anak-anak. Saya suka membacakan buku karya Robert McCloskey kepada anak-anak TK, dan pertama-tama saya selalu membagikan lemon untuk mereka. Cerita buku ini tentang seorang anak lelaki yang tinggal di sebuah kota kecil di Ohio dan menjadi penyelamat karena harmonikanya. Ada sebuah bagian di mana band kota tersebut siap untuk manggung di acara perayaan, tetapi tiba-tiba mereka diserang oleh si jahat Old Sneep sambil mengisap lemon. Band tersebut mengerut karena takut sehingga tak bisa memainkan alat musik mereka. Pada bagian itu, saya selalu berseru kepada anak-anak, 'Isap lemon kalian sekarang!' Mereka dengan bersemangat mengisap lemon mereka dan merasakan menjadi Old Sneep," kisah Mary.

2. Ajak anak berpikir kritis dengan cara menyenangkan.

Anda tentu ingin anak Anda dapat berpikir kritis. Salah satu guna pendidikan adalah mengasah anak dapat berpikir secara kritis. Dan, tidak pernah ada kata terlalu dini untuk mengajak anak berpikir kritis. Begitu pula lewat membaca.

Kita ambil contoh cerita tentang laba-laba sang penyelamat.

Mary mengisahkan, ketika ia bertanya kepada anak-anak umur empat tahun siapakah pahlawan dari cerita tersebut, mereka selalu menjawab dengan semangat, "Laba-laba!" Lalu, Anda dapat melanjutkan dengan, "Laba-laba itu punya kesulitan ketika menjadi penyelamat, kira-kira apa, ya, kesulitannya?"

Kepada anak-anak umur enam tahun, Anda bahkan bisa mengenalkan konflik. Tanyalah kepada mereka, "Apa, ya, yang bakal terjadi jika tidak ada hujan, lalu laba-laba tersebut bisa memanjat dan keluar dari saluran pembuangan tersebut?"

Jika dalam satu cerita tidak ada konflik atau masalah yang harus diselesaikan, tentu cerita itu akan membosankan, bukan? Anda bisa menjelaskan kepada anak Anda siapa tokoh protagonis, tokoh antagonis, konflik, dan resolusi dari cerita tersebut.

Dengan begitu, Anda sudah menunjukkan elemen-elemen sebuah cerita pada anak Anda. Seru, bukan? Jika Anda sudah bosan membacakan cerita ini untuk yang kelima kalinya atau bahkan lebih untuk anak Anda, hal-hal seperti ini akan mengeluarkan Anda dari kebosanan karena Anda tidak menceritakan hal yang itu-itu saja!

3. Tulis buku Anda sendiri.

Untuk anak-anak yang baru mulai membaca, siapkanlah notebook atau scrapbook dengan halaman kosong dan isi buku tersebut dengan kata-kata mereka. Anda bisa mulai dengan keluarga Anda. Siapkan foto ayah dan ibu. Bahkan, Anda bisa meminta si sulung untuk menggambarinya. Siapkan foto kakek, nenek, atau anggota keluarga lain. Anda bisa memcentak cerita tersebut dengan huruf-huruf besar dan tebal.

Dengan cara ini, orangtua juga bisa berkreasi sesuai hal yang disenangi anak. Misalnya anak Anda suka sekali dengan pemadam kebakaran, isi buku kosong tersebut dengan gambar-gambar yang berhubungan dengan pemadam kebakaran.

Mary mengungkapkan, ia mengenal satu keluarga yang anaknya terobsesi sekali dengan penyedot debu. "Ketika bertemu dengan saya, anak itu bertanya apakah saya punya tabung tegak atau tidak. Ini merupakan pengantar yang hebat untuk menulis. Ketika nanti anak Anda bertambah besar, bahkan mereka bisa 'kecanduan' untuk menulis cerita mereka sendiri," paparnya.

Selamat mengaplikasikan!

Sumber: wondertime.go.com