Thursday, January 27, 2011

Kemampuan Anak Membaca Sejak Dini Pengaruhi Prestasi Akademik

Kelancaran membaca menjadi dasar kesuksesan akademik anak. Anak-anak yang terampil membaca sejak usia dini dan selalu dipaparkan dengan bahan cetakan akan memiliki rasa ingin lebih besar, dan selalu ingin memperluas pengetahuannya.
Sebaliknya anak-anak yang lambat dalam penguasaan keterampilan membaca, lebih jarang mendapat latihan membaca dibandingkan teman sebaya sehingga akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan membaca dengan lancar.
Tesis itu diungkapkan Prof. Dr. Amitya Kumara, M.S., saat dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, di ruang Balai Senat, Yogyakarta, Kamis 27 Mei 2010.
Dalam pidato "Mengasah Keterampilan Membaca Pada Anak Melalui Belajar Atau Bermain", Koordinator Bidang Pendidikan Program Magister Profesi Psikolog UGM mengungkapkan tidak jarang ditemukan ketidaklancaran membaca disebabkan karena kepada anak selalu dipaparkan materi bacaan yang terlalu canggih dan tidak sebanding dengan kemampuan mereka. Akibatnya pada diri anak-anak tumbuh sikap dan motivasi negatif terhadap tugas membaca itu sendiri.
"Proses ini disebut Matthew effect. Artinya ketidaklancaran membaca berdampak pada kegagalan anak dalam menguasai area akademik lainnya. Kegagalan ini semakin diperparah seiring anak tersebut naik jenjang kelas," ujar Amitya Kumara dalam laman UGM.

Kemampuan Baca di Kelas 2 SD
Perempuan kelahiran Yogyakarta 25 Februari 1960 ini mengamati bahwa ketidaklancaran membaca yang muncul di tahun pertama dan kelas dua SD sering tidak terdeteksi oleh guru. Guru cenderung menganggap hal tersebut sebagai hal yang wajar. Sementara dalam pandangannya justru disinilah sesungguhnya titik awal kekompleksan masalah.
"Kebanyakan ketidaklancaran membaca baru dianggap masalah ketika anak sudah duduk di kelas 3 atau 4 SD, ketika mereka dituntut untuk mempelajari dan menguasai materi ajar," ujarnya.
Pada jenjang ini, kata Amitya, anak-anak sudah tidak dilatih untuk bisa membaca. Anak diharuskan sudah bisa membaca dengan lancar dan memahami apa yang dibacanya.
"Anak yang mengalami ketidaklancaran membaca di kelas-kelas awal umumnya akan mengalami kesulitan yang sama di kelas selanjutnya. Pada tingkat kelas ini, anak dianggap bermasalah jika tidak dapat memahami pelajaran, tidak dapat menjawab pertanyaan, dan sering gagal dalam mengerjakan soal ulangan," ujarnya.
Anak-anak tersebut bukannya tidak berusaha. Fakta kemampuan mereka untuk menerima dan memahami pelajaran yang diberikan guru tidaklah sebaik anak-anak pada umumnya. Mereka sesungguhnya memerlukan lebih banyak waktu dan kesempatan berlatih untuk menyamakan langkah dengan anak-anak pada umumnya.
Dalam kondisi seperti ini, guru seringkali menganggap mereka bermasalah, karena perilaku mereka mengganggu proses pembelajaran. Misalnya tidak bisa duduk tenang, tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan belajar, tidak mencatat, tidak mengerjakan PR dan tidak tuntas mengerjakan tugas sekolah. Di lain pihak sesungguhnya perilaku negatif tersebut muncul karena adanya perasaan tidak mampu dan tidak percaya diri.
"Dengan kata lain perilaku negatif merupakan kompensasi dari perasaan-perasaan negatif yang terkait dengan rendahnya motivasi anak untuk meningkatkan kemampuan dirinya. Anak-anak yang mengalami kesulitan membaca ini juga memiliki masalah dalam memotivasi diri sendiri," ujar dosen tamu Program Pascasarjana di sejumlah perguruan tinggi di Yogyakarta itu.
Menurut Amitya peran dan kedudukan orang tua sangat signifikan dalam perkembangan kemampuan berbahasa anak. Bahwa kualitas interaksi anak dan orangtua terbukti meningkatkan kemampuan ketepatan gramatika dan merupakan faktor yang signifikan bagi pertumbuhan kemampuan berbahasa.
"Lingkungan berperan mengaktifkan perkembangan bahasa. Dikarenakan untuk mewujudkan perkembangan bahasa yang baik dibutuhkan 'bahan' yang baik dan lingkungan yang menopang perkembangan bahasa," ujar penulis "Peran Aktif Orangtua Terhadap Ekspresi Tulis Anak" pada Jurnal Psikologi tahun 1999 ini.
Berkembangnya kemampuan berbahasa merupakan hal penting bagi anak usia pra sekolah. Ini menjadi indikasi kemampuan verbal berkait dengan daya intelegensi anak pada masa sekolah dasar dan lanjutan.
Latar belakang inilah yang menjadi alasan Nimas Zahrotul Ayniyah, Mahasiswi Universitas Airlangga menuliskan karyanya dalam suatu Lomba Karya Tulis. Juara Pertama akhirnya diraihnya.
Karya berjudul Membaca Buku Cerita Bergambar Sebagai Interaksi Ekstra Teks Orang Tua dan Anak Dalam Perkembangan Bahasa Usia Dini memberikan gambaran pentingnya masukan bahasa pada anak usia dini, yaitu 2-4 tahun atau yang disebut golden age. Serta peran penting orang tua sebagai fasilitator bahasa anak.
Membaca bersama antara orang tua dan anak dengan media buku cerita bergambar dapat menghasilkan interaksi ekstra. Menurut salah satu juri, Bambang Hidayat (ITB), ada unsur penting yang dikemukakan Nimas, yakni kesadaran orang tua.
"Tapi kami juga melihat potensi dari pemenang pertama ini karena dia ingin mengembangkan generasi termuda sebagai tiang pancang yang penting dalam pembangunan Indonesia. Melihat pentingnya menyerap kosakata, leksikon dasar, karena dengan itu diharapkan ada peningkatan intelejensia bagi bangsa Indonesia," ujarnya. Karya tulis ini juga dinilai relatif sederhana, cepat, dan tidak membutuhkan banyak biaya untuk direalisasikan.
Nimas sendiri mengatakan karya tulisnya dapat menjadi masukan bagi orang tua bagaimana mendidik anak tanpa melupakan nilai luhur masyarakat. "Saya sempat merasa tulisan saya tidak terlalu bermakna dibanding teman-teman yang ahli teknologi. Topik saya memang sederhana. Tapi, apabila saya tekuni dan disosialisasikan bagi masyarakat, Insya Allah akan berdampak bagus bagi anak usia dini. Karena saya fokus pada bagaimana orang tua mendidik anak, dan nanti mereka sekolah tidak melupakan nilai luhur keluarga dan masyarakat. Dan yang saya pentingkan terutama minat membaca," ujar Nimas.
Dalam karya tulisnya, Nimas juga mengatakan berdasarkan data Unicef, 70 persen anak yang putus sekolah dari SD tidak siap untuk berinteraksi dan mengikuti pendidikan SD. Hal tersebut karena anak kurang menguasai kemampuan berbicara, membaca, dan menulis secara bersamaan akibat rendahnya penguasaan kosakata.
Nimas juga menulis meskipun pemerintah telah menggalakkan program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dengan program belajar dan bermain, namun berdasarkan data Depdiknas, hingga akhir 2008 angka partisipasi kasar PAUD baru sekitar 50-53 persen dari 29,8 juta anak. Artinya separuh dari jumlah anak usia dini di Indonesia belum mengecam PAUD.
Sementara itu, belum sepantasnya guru TK menekankan kemampuan baca, tulis, dan berhitung atau calistung kepada anak-anak didiknya. Memang, hal itu akan meringankan kerja guru SD. Namun, yang seharusnya dicamkan oleh semua pihak adalah usia TK itu merupakan usia anak untuk bermain.
"Yang perlu diajarkan kepada anak-anak itu hanya motorik kasar, seperti keseimbangan sebagai bekal untuk konsentrasi atau melompat dan lain-lain sejenisnya, sedangkan untuk motorik halus perlu diberikan agar nantinya di SD mereka terbiasa memegang pensil, belajar menggaris atau menggunting," ujar Irma Juliasmi Nasution, guru SD Islam Dian Didaktika di Jakarta.
Di TK, guru kelas I SD ini mengatakan bahwa siswa seharusnya baru diberi pengenalan huruf dan tidak lebih. Kalaupun ada, maka hal itu bukan menjadi target utama pembelajaran.
"Sebetulnya, kenapa anak-anak TK itu diajarkan calistung juga karena tuntutan para orangtuanya sendiri. Mereka banyak yang protes, kenapa anak mereka kok diajarinya cuma menggambar, mewarnai, menggunting, tidak diajarkan membaca," ujar Juli, sapaan akrabnya.
"Mereka tidak tahu, belajar motorik halus dan kasar untuk anak usia TK jauh lebih penting dan dibutuhkan ketimbang belajar membaca," tambahnya.

sumber : www.suaramedia.com

0 comments: