Thursday, January 13, 2011

PERANAN PENDIDIKAN NONFORMAL DALAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI


Abstract :
Penelitian ini bertujuan untuk mencoba mengangkat peranan pendidikan luar sekolah dalam pendidikan anak usia dini serta kendala yang dihadapi dalam upaya pembinaan dan sosialisasi pendidikan anak usia dini di masyarakat. Dan secara khusus penelitian ini bertujuan untuk (1) Membahas permasalahan mengenai masih kurangnya anak-anak usia dini yang memperoleh layanan pendidikan, terutama di jalur pendidikan formal (TK/RA) sehingga peran pendidikan luar sekolah (PLS) sangat diperlukan. Juga mengungkapkan tujuan penulisan makalah, (2) Menguraikan teori-teori yang relevan dengan topik yang dibahas dalam makalah ini berupa pengertian dan sejarah PLS, asas pendidikan sepanjang hayat yang merupakan salah satu asas PLS, pengertian PAUD, pengertian pertumbuhan dan perkembangan anak, tumbuh kembang anak, aspek-aspek perkembangan serta kecerdasan atau potensi anak, (3) Mengetengahkan pembahasan menyangkut pentingnya PAUD, pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan anak yaitu melalui bermain, serta peranan PLS dalam PAUD yang terdapat di masyarakat.

Kata Kunci : Pendidikan Non formal, Pendidikan Anak Usia Dini


LATAR BELAKANG
Arti pentingnya pendidikan dini pada anak telah menjadi perhatian internasional. Dalam pertemuan Forum Pendidikan Dunia tahun 2000 di Dakkar, Senegal, telah menghasilkan enam kesepakatan sebagai kerangka aksi pendidikan untuk semua (The Dakkar Frame work for Action Education for All) yang salah satu butirnya menyatakan: “memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini (PAUD), terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung.
Anggapan bahwa pendidikan baru bisa dimulai setelah usia sekolah dasar yaitu usia tujuh tahun ternyata tidaklah benar. Bahkan pendidikan yang dimulai pada usia Taman Kanak-kanak (4 - 6 tahun) pun sebenarnya sudah terlambat. Menurut hasil penelitian di bidang neurologi seperti yang dilakukan oleh Dr. Benyamin S. Bloom, seorang ahli pendidikan dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, mengemukakan bahwa pertumbuhan sel jaringan otak pada anak usia 0 - 4 tahun mencapai 50% (Cropley, 94). Artinya bila pada usia tersebut otak anak tidak mendapatkan rangsangan yang maksimal maka otak anak tidak akan berkembang secara optimal.
Hasil penelitian di Baylor College of Medicine menyatakan bahwa lingkungan memberi peran yang sangat besar dalam pembentukan sikap, kepribadian, dan pengembangan kemampuan anak secara optimal. Anak yang tidak mendapat lingkungan baik untuk merangsang pertumbuhan otaknya, misal jarang disentuh, jarang diajak bermain, jarang diajak berkomunikasi, maka perkembangan otaknya akan lebih kecil 20 - 30% dari ukuran normal seusianya (Depdiknas, 2003:1).
Secara keseluruhan hingga usia delapan tahun, 80% kapasitas kecerdasan manusia sudah terbentuk, artinya kapasitas kecerdasan anak hanya bertambah 30% setelah usia empat tahun hingga mencapai usia delapan tahun. Selanjutnya kapasitas kecerdasan anak tersebut akan mencapai 100% setelah berusia sekitar 18 tahun (Abdulhak, 2002). Oleh sebab itu masa kanak-kanak dari usia 0 - 8 tahun disebut masa emas (Golden Age) yang hanya terjadi satu kali dalam perkembangan kehidupan manusia sehingga sangatlah penting untuk merangsang pertumbuhan otak anak melalui perhatian kesehatan anak, penyediaan gizi yang cukup, dan pelayanan pendidikan.
Menurut psikologi perkembangan dan berdasarkan riset neurologi tentang pertumbuhan otak, usia dini meliputi anak yang berusia 0 - 8 tahun. Dalam hal ini, pendidikan anak usia dini merupakan konsep tentang perlakuan dini terhadap anak yang berada pada usia prasekolah atau usia sekolah yaitu di kelas-kelas awal SD (kelas 1, 2 dan 3) (Supriadi, Pikiran Rakyat).
Namun dalam hal ini pembahasan mengenai anak usia dini dibatasi mulai usia 0 - 6 tahun sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 pasal 1 ayat 14 dan pasal 28 ayat 1 bahwa pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
RUMUSAN MASALAH
Layanan pendidikan anak usia dini di Indonesia masih termasuk sangat memprihatinkan. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000, dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 203,09 juta, 26,09 juta diantaranya adalah anak usia dini (0 - 6 tahun). Dari jumlah tersebut mereka yang berusia 0 – 3 tahun ada 13,5 juta dan anak usia 4 – 6 tahun terdapat 12,6 juta.
Dari 13,5 juta anak usia 0 – 3 tahun tersebut, yang telah mendapatkan layanan pendidikan prasekolah melalui Bina Keluarga Balita dan sejenisnya baru sekitar 2,5 juta (18,74%). Sementara itu dari 12,6 juta anak usia 4 – 6 tahun, yang sudah memperolah layanan pendidikan hanya terdapat 4,6 juta (36,54%). Yang perlu dicatat bahwa Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Athfal hanya mampu melayani sekitar 2 (dua) juta anak dari 12,6 juta anak usia 4 – 6 tahun yang ada.
Melihat kenyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa anak usia dini yang mendapatkan layanan pendidikan di jalur pendidikan formal sangat minim sehingga masih terdapat begitu banyak anak-anak usia dini prasekolah saat ini yang belum tersentuh oleh pendidikan dini, dimana kehidupan bangsa ini dimasa mendatang tentunya berada di tangan mereka kelak. Oleh sebab itu peran pendidikan luar sekolah (PLS) dalam mengatasi masalah tersebut sangat penting dan mendesak.

KAJIAN TEORITIK
1. Pendidikan Luar Sekolah Dalam Optimalisasi Tumbuh Kembang Anak
Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 28 menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal (Taman Kanak-kanak, Raudatul Athfal, atau bentuk lain yang sederajat), jalur pendidikan nonformal (Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, atau bentuk lain yang sederajat), dan/atau jalur pendidikan informal yang berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Sehubungan dengan kenyataan yang telah disebutkan sebelumnya, maka anak-anak yang tersentuh pendidikan dini yang diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal masih sangat minim jumlahnya. Berkenaan dengan hal tersebut di atas maka sewajarnya bila peran Pendidikan Luar Sekolah – yang mencakup pendidikan nonformal dan informal – dalam memberikan pelayanan pendidikan dini pada anak-anak yang tak memperoleh pendidikan di jalur pendidikan formal sangatlah penting dan mendesak.
Sebelum membahas mengenai peran pendidikan luar sekolah dalam pendidikan anak usia dini maka perlu kiranya untuk membahas teori-teori yang relevan dengan tema tersebut.
2. Pendidikan Luar Sekolah
2.1. Pengertian Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan nasional, sebagai salah satu sistem dari supra sistem pembangunan nasional, memiliki tiga subsistem pendidikan - sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 – yaitu pendidikan formal, pendidikan nonformal, dan pendidikan informal. Pendidikan formal disebut juga pendidikan sekolah sedangkan pendidikan nonformal dan informal tercakup ke dalam pendidikan luar sekolah.
Menurut pengertian Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 12 “Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang” sedangkan ayat 13 menyatakan “Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan”.
Seperti diketahui bersama bahwa pendidikan luar sekolah mencakup pendidikan nonformal maupun pendidikan informal sehingga dapat dijelaskan bahwa pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar jalur pendidikan sekolah yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang baik dalam keluarga, lingkungan maupun masyarakat.
Coombs (Trisnamansyah, 2003: 19) mendefinisikan nonformal education (pendidikan nonformal atau pendidikan luar sekolah) sebagai setiap kegiatan pendidikan yang diorganisasikan di luar sistem persekolahan yang mapan baik dilakukan secara terpisah atau sebagai bagian penting dari kegiatan yang lebih besar, dilakukan secara sengaja untuk melayani peserta didik tertentu guna mencapai tujuan belajarnya.
2.2 Sejarah Pendidikan Luar Sekolah
Sebagaimana dikemukakan Sudjana ( 2001: 63) pendidikan luar sekolah telah hadir di dunia ini sama tuanya dengan kehadiran manusia yang berinteraksi dengan lingkungan di muka bumi ini dimana situasi pendidikan ini muncul dalam kehidupan kelompok dan masyarakat. Kegiatan pendidikan dalam kelompok dan masyarakat telah dilakukan oleh umat manusia jauh sebelum pendidikan sekolah lahir di dalam kehidupan masyarakat.
Pada waktu permulaan kehadirannya, pendidikan luar sekolah dipengaruhi oleh pendidikan informal, yaitu kegiatan yang terutama berlangsung dalam keluarga dimana terjadi interaksi di dalamnya berupa transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai, dan kebiasaan. Pada dasarnya kegiatan tersebut menjadi akar untuk tumbuhnya perbuatan mendidik yang dikenal dewasa ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, kelompok-kelompok yang terdiri dari keluarga-keluarga mengadopsi pola transmisi tersebut ke dalam kehidupan kelompok seperti keterampilan bercocok tanam. Kegiatan belajar-membelajarkan tersebut yang dilakukan untuk melestarikan dan mewariskan kebudayaan secara turun temurun itulah yang termasuk ke dalam kategori pendidikan tradisional yang kemudian menjadi akar pertumbuhan pendidikan luar sekolah.
Sejak awal kehadirannya di dunia ini, pendidikan luar sekolah telah berakar pada tradisi dan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat yang mendorong penduduk untuk belajar, berusaha, dan bekerjasama atas dasar nilai-nilai budaya dan moral yang dianut oleh masyarakat tersebut. Hal ini biasanya terdapat dalam pepatah dan nasehat para orang tua yang intinya mendorong seseorang untuk melakukan kegiatan belajar, berusaha, dan bekerjasama dalam masyarakat.
Kehadiran agama dalam kehidupan masyarakat lebih melandasi lagi perkembangan pendidikan luar sekolah. Belajar membaca kitab suci, kaidah-kaidah agama, tata cara sembahyang merupakan kegiatan belajar- mengajar yang mendasari situasi pendidikan luar sekolah. Agama memberikan motivasi kepada masyarakat bahwa belajar itu merupakan kewajiban setiap pemeluk agama dan kegiatan belajar dilakukan di dalam dan terhadap lingkungan kehidupannya.
2.3. Asas Pendidikan Sepanjang Hidup
Pendidikan luar sekolah didasari oleh empat asas yaitu asas kebutuhan, asas pendidikan sepanjang hayat, asas relevansi dengan pembangunan masyarakat, dan asas wawasan ke masa depan. Dalam hal ini perhatian lebih ditujukan pada asas pendidikan sepanjang hayat yang relevan dengan topik yang sedang dibahas.
R.H. Dave (dalam Hawes, H.W.R. dalam Trisnamansyah, 2003: 7) mengemukakan dua puluh karakteristik pendidikan sepanjang hayat namun di sini hanya membahas karakteristik yang sesuai dengan topik penulisan:
a. Pendidikan sepanjang hayat tidak hanya terbatas pada pendidikan orang dewasa tapi juga meliputi serta menyatukan semua tingkat pendidikan – prasekolah, SD, SLTP dan seterusnya. Ini merupakan pandangan pendidikan secara menyeluruh.
Berdasarkan karakteristik di atas maka pendidikan prasekolah telah diakui sebagai bagian dari pendidikan sepanjang hayat. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Worth, W.H. (Cropley, A.J., 43) yang mengemukakan bahwa pendidikan tidak boleh menolak anak di bawah umur enam tahun dan menganjurkan pendidikan anak-anak awal yang disebutnya “Early Ed”. Ia mengemukakan tiga tujuan pokok “Early Ed”, yang meliputi perlengkapan stimulasi, membantu pemahaman identitas, dan menciptakan pengalaman sosialisasi yang tepat. Aspek terpenting anjuran Worth ialah pendidikan anak usia dini sebagai fase pertama sistem pendidikan seumur hidup. Ia menyarankan bahwa tujuannya harus memuat pengembangan keterampilan untuk mendayagunakan informasi dan simbol-simbol, meningkatkan apresiasi bermacam-macam mode ekspresi diri, memelihara keinginan dan kemampuan berpikir, menanamkan keyakinan setiap anak tentang kemampuannya untuk belajar, membantu perasaan harga diri, dan akhirnya, meningkatkan kemampuan untuk hidup dengan orang lain. Worth melihat pendidikan anak usia dini meliputi variable yang kompleks dalam bidang kognitif, motivasi dan sosio affektif yang jika berkembang dengan tepat akan menjadi basis pemenuhan diri dalam kehidupan. Dengan demikian Worth mengakui pentingnya pendidikan anak-anak usia prasekolah sebagai salah satu fase pendidikan seumur hidup.
b. Rumah memegang peranan pertama, tajam dan penting dalam memulai proses belajar sepanjang hayat yang terus berlanjut sepanjang kehidupan individu melalui proses belajar keluarga.
Dalam keluargalah anak pertama kali mendapatkan pengalaman belajarnya dimana diketahui bersama bahwa keluarga merupakan tempat belajar di luar sekolah. Di dalam kehidupan keluarga ini terjadi interaksi, di dalamnya berupa transmisi pengetahuan, keterampilan, sikap, nilai, dan kebiasaan. Pada dasarnya kegiatan tersebut menjadi akar untuk tumbuhnya perbuatan mendidik yang dikenal dewasa ini (Sudjana, 2001:63).
3. Pendidikan Anak Usia Dini
3.1. Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini
Pengertian pendidikan anak usia dini sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang Sisdiknas tahun 2003 pasal 1 ayat 14 menyatakan bahwa:
Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Batasan lain mengenai usia dini pada anak berdasarkan psikologi perkembangan yaitu antara usia 0 – 8 tahun.
Disamping istilah pendidikan anak usia dini terdapat pula terminologi pengembangan anak usia dini yaitu upaya yang dilakukan oleh masyarakat dan atau pemerintah untuk membantu anak usia dini dalam mengembangkan potensinya secara holistik baik aspek pendidikan, gizi maupun kesehatan (Direktorat PADU, 2002:3).
3.2. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Kata pertumbuhan sering dikaitkan dengan kata perkembangan sehingga ada istilah tumbuh kembang. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pertumbuhan merupakan bagian dari perkembangan. Namun sebenarnya pertumbuhan dan perkembangan adalah dua hal yang berbeda.
Pertumbuhan adalah perubahan ukuran dan bentuk tubuh atau anggota tubuh, misalnya bertambah berat badan, bertambah tinggi badan, bertambah lingkaran kepala, bertambah lingkar lengan, tumbuh gigi susu, dan perubahan tubuh yang lainnya yang biasa disebut pertumbuhan fisik.
Pertumbuhan dapat dengan mudah diamati melalui penimbangan berat badan atau pengukuran tinggi badan anak. Pemantauan pertumbuhan anak dilakukan secara terus menerus dan teratur.
Adapun perkembangan adalah perubahan mental yang berlangsung secara bertahap dan dalam waktu tertentu, dari kemampuan yang sederhana menjadi kemampuan yang lebih sulit, misalnya kecerdasan, sikap, tingkah laku, dan sebagainya. Proses perubahan mental ini juga melalui tahap pematangan terlebih dahulu. Bila saat kematangan belum tiba maka anak sebaiknya tidak dipaksa untuk meningkat ke tahap berikutnya misalnya kemampuan duduk atau berdiri.
Pertumbuhan dan perkembangan masing-masing anak berbeda, ada yang cepat dan ada yang lambat, tergantung faktor bakat (genetik), lingkungan (gizi dan cara perawatan kesehatan), dan konvergensi (perpaduan antara bakat dan lingkungan). Oleh sebab itu perlakuan terhadap anak tidak dapat disamaratakan, sebaiknya dengan mempertimbangkan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak (Diktentis Diklusepa, 2003:8).
3.3. Tumbuh Kembang Anak
Psikologi perkembangan adalah teori yang mempelajari perkembangan manusia dari lahir sampai dewasa atau tua. Psikologi perkembangan berarti juga perubahan yang sistematis dalam diri seseorang mulai dari konsepsi (pertemuan sel telur dengan sperma) sampai kematian. Sedangkan psikologi perkembangan anak (Early Childhood Development) hanya mempelajari perkembangan manusia sejak lahir sampai dengan usia delapan tahun (Diktentis Diklusepa, 2003: 9).
Menurut berbagai penelitian di bidang neurologi terbukti bahwa 50% kapasitas kecerdasan anak terbentuk pada kurun waktu empat tahun pertama sejak kelahirannya. Pada saat anak mencapai usia delapan tahun maka perkembangan otak anak telah mencapai 80% hingga pada usia 18 tahun mencapai 100%. Usia 0 – 8 tahun merupakan masa emas perkembangan anak sebab 80% perkembangan otak berada pada rentang usia tersebut.
Pada saat anak dilahirkan ia sudah dibekali tuhan dengan struktur otak yang lengkap, namun baru mencapai kematangannya pada saat setelah di luar kandungan. Bayi yang baru dilahirkan memiliki 100 miliar neuron dan bertriliun-triliun sambungan antar neuron. Melalui persaingan alami akhirnya sambungan-sambungan yang tidak atau jarang digunakan akan mengalami atrofi.
Pemantapan sambungan terjadi apabila neuron mendapatkan informasi yang mampu menghasilkan letupan-letupan listrik. Letupan tersebut merangsang bertambahnya produksi myelin yang dihasilkan oleh zat perekat glial. Semakin banyaknya zat myelin yang diproduksi maka semakin banyak dendrit-dendrit yang tumbuh, sehingga akan semakin banyak synapse yang berarti lebih banyak neuron-neuron yang menyatu membentuk unit-unit. Kualitas kemampuan otak dalam menyerap dan mengolah informasi tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit-unit.
Otak manusia bersifat hologram yang dapat mencatat, menyerap, menyimpan, mereproduksi dan merekonstruksi informasi. Kemampuan otak yang dipengaruhi oleh kegiatan neuron ini tidak bersifat spontan, tetapi dipengaruhi oleh mutu dan frekuensi stimulasi yang diterima indra. Stimulasi pada tahun-tahun pertama kehidupan anak sangat mempengaruhi struktur fisik otak anak, dan hal tersebut sulit diperbaiki pada masa-masa kehidupan selanjutnya. Implikasinya adalah bahwa anak yang tidak mendapatkan stimulasi psikososial seperti jarang disentuh atau jarang diajak bermain akan mengalami berbagai penyimpangan perilaku. Penyimpangan tersebut dalam bentuk hilangnya citra diri yang berakibat pada rendah diri, sangat penakut, dan tidak mandiri, atau sebaliknya menjadi anak yang tidak memiliki rasa malu dan terlalu agresif.
Stimulasi psikososial untuk merangsang pertumbuhan anak tidak akan memberikan arti bagi masa depan anak jika derajat kesehatan dan gizi anak tidak menguntungkan. Pertumbuhan otak anak ditentukan oleh bagaimana cara pengasuhan dan pemberian makan serta stimulasi anak pada usia dini yang sering disebut critical period ini. Gizi yang tidak seimbang maupun gizi buruk serta derajat kesehatan anak yang rendah akan menghambat pertumbuhan otak, dan pada gilirannya akan menurunkan kemampuan otak dalam mencatat, menyerap, mereproduksi dan merekonstruksi informasi. Disamping itu, rendahnya derajat kesehatan dan gizi anak akan menghambat pertumbuhan fisik dan motorik anak yang juga berlangsung sangat cepat pada tahun-tahun pertama kehidupan anak. Gangguan yang terjadi pada pertumbuhan fisik dan motorik anak, sulit diperbaiki pada periode berikutnya, bahkan dapat mengakibatkan cacat yang permanen (Dirjen Diklusepa, Depdiknas: 2002).
Konsep di atas menuntut adanya pengintegrasian aspek psiko-sosial/pendidikan, gizi dan kesehatan dalam proses tumbuh kembang anak atau dengan kata lain anak mendapatkan layanan dasar secara holistik.
Dalam perkembangan anak, pada saat-saat tertentu dapat terjadi kemandegan tugas-tugas perkembangan (discontinuity), misalnya karena sakit, namun setelah masa ini berlalu ada tugas perkembangan yang bisa dikejar dan ada pula yang tidak bisa dikejar sama sekali.
3.4. Aspek-aspek Perkembangan
Secara garis besar aspek-aspek perkembangan anak dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a. Pembentukan perilaku meliputi aspek: moral, keimanan, dan ketakwaan (spritual intellingence), sosial dan emosional (interpersonal intellingence dan intra-personal intellingence).
b. Perkembangan kemampuan dasar meliputi aspek: perkembangan bahasa (linguistic intellingence), daya pikir (logico-mathematical intellingence), keterampilan dan seni (visual-spatial intellingence, naturalis intellingence, dan musical/rythmic intellingence), serta kesehatan jasmani (bodily/kinesthetic intellingence) (Diktentis Ditjen Diklusepa, 2003:11).
3.5. Kecerdasan atau Potensi Anak
Lebih lanjut hadir teori baru tentang Multiple Intelligence yang menyatakan bahwa setiap anak memiliki beberapa potensi kecerdasan. Kegiatan pendidikan anak usia dini hendaknya memperhatikan 9 macam kecerdasan atau potensi dalam diri anak tersebut ketika anak sedang belajar tentang dunianya. Setiap kecerdasan dapat dirangsang dengan cara yang berbeda (Direktorat PADU, 2002; Diktentis, 2003). Kesembilan kecerdasan tersebut adalah:
a. Kecerdasan verbal (linguistic intelligence) adalah kemampuan untuk memanipulasi bahasa secara efektif untuk mengekspresikan diri secara retorikal atau puisi. Bahasa juga digunakan sebagai alat untuk mengingat informasi yang ada. Kemampuan ini dapat dirangsang melalui mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, berdiskusi, dan bercerita.
b. Kecerdasan logika-matematik (logico-mathematical intelligence) adalah kemampuan untuk mendeteksi pola-pola, beralasan deduksi, dan berpikir logis. Umumnya kecerdasan ini diasosiasikan dengan berpikir ilmiah dan matematis. Kemampuan ini dapat dirangsang melalui kegiatan menghitung, membedakan bentuk, menganalisa data, dan bermain dengan benda-benda.
c. Kecerdasan visual-spasial (visual-spatial intelligence) adalah kemampuan untuk menyelesaikan masalah dengan cara memanipulasi dan menciptakan melalui imajinasi mental. Kemampuan ini dapat dirangsang melalui bermain kertas warna warni, balok-balok, bentuk-bentuk geometri, puzzle, menggambar, melukis, dan berimajinasi.
d. Kecerdasan musikal (musical/rhytmic intelligence) adalah kemampuan umtuk mengenal dan mengkomposisikan irama, birama, dan ritme musik. Kemampuan ini dapat dirangsang melalui irama, nada, birama berbagai bunyi, dan bertepuk tangan.
e. Kecerdasan kinestetik (bodily/kinesthetic intelligence) adalah kemampuan untuk menggunakan salah satu kemampuan mental dalam mengkoordinasikan gerakan tubuh. Kemampuan ini dapat dirangsang melalui gerakan tubuh, tarian, dan olahraga.
f. Kecerdasan mencintai keindahan alam (naturalist intelligence) adalah kemampuan untuk menangkap informasi melalui keindahan alam. Kemampuan ini dapat dirangsang melalui pengamatan lingkungan, bercocok tanam, memelihara binatang, termasuk mengamati gejala alam seperti hujan, angin, banjir, pelangi, siang-malam, panas-dingin, bulan-bintang, dan matahari.
g. Kecerdasan berkawan (interpersonal intelligence) adalah kemampuan untuk melakukan hubungan antar manusia (berkawan) yang dapat dirangsang dengan bermain bersama teman, bekerjasama, bermain peran, memecahkan masalah, dan menyelesaikan konflik.
h. Kecerdasan mengenal diri sendiri (intrapersonal intelligence) adalah kemampuan untuk memahami diri sendiri yang dapat dirangsang melalui pengembangan konsep diri, harga diri, mengenal diri sendiri, percaya diri, termasuk kontrol diri, dan disiplin.
i. Kecerdasan spritual (spritual intelligence) adalah kemampuan mengenal dan mencintai ciptaan Tuhan. Kemampuan ini dapat dirangsang melalui penanaman nilai-nilai moral dan agama.

PEMBAHASAN
Adalah suatu kenyataan bahwa selama ini perhatian terhadap pendidikan anak usia dini masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain, terutama negara maju. Padahal belajar dari pengalaman negara maju, konsep pembangunan sumber daya manusia (SDM) justru dimulai sejak masa usia dini. Pengembangan anak usia dini yang mencakup aspek gizi, kesehatan, dan pendidikan dilakukan secara intensif dan utuh sejak anak dilahirkan.
Di Singapura dan Korea misalnya, hampir seluruh anak usia dini telah terlayani PAUD. Di Malaysia, pelayanan PAUD mencakup 70% anak. Bahkan di Singapura masalah penuntasan dua bahasa, yaitu bahasa Cina dan Inggris, telah terselesaikan di tingkat TK. Hal ini terbukti dengan peringkat ketiga negara tersebut dalam hal kualitas SDM jauh lebih baik daripada negara kita yang berada di peringkat 110 (Singapura, Korea Selatan dan Malaysia masing-masing berada di peringkat 25, 27 dan 59).
1. Pentingnya PAUD
Berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa masa usia dini merupakan periode emas bagi perkembangan anak dimana 50% perkembangan kecerdasan terjadi pada usia 0 – 4 tahun, 30% berikutnya hingga usia delapan tahun. Periode emas ini sekaligus merupakan periode kritis bagi anak dimana perkembangan yang didapatkan pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan pada periode berikutnya hingga masa dewasanya. Periode ini hanya datang sekali dan tidak dapat ditunda kehadirannya, sehingga apabila terlewat berarti habislah peluangnya. Hal inilah nampaknya yang masih banyak disia-siakan oleh sebagian besar masyarakat. Akibatnya, berdampak terhadap kesiapan anak memasuki jenjang persekolahan.
Pada periode kritis ini anak memerlukan berbagai asupan terutama yang mencakup aspek gizi, kesehatan, dan pendidikan yang merupakan pilar utama pengembangan anak usia dini, mengingat ketiga aspek ini sangat besar pengaruhnya terhadap kualitas anak di kemudian hari.
Kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan kesehatan bagi anak lebih tinggi daripada kesadaran akan pentingnya pendidikan. Padahal penanganan masalah gizi dan kesehatan saja tidak cukup, melainkan harus dilengkapi pula dengan penanganan pendidikannya sebagai kesatuan yang utuh dan terpadu. Sebagai contoh, program penanggulangan masalah kekurangan gizi dan kesehatan dasar untuk survival memang sangat diperlukan, tatapi apa arti survival bila kemampuan dasar intelektual dan psikososialnya rendah, tentu nantinya hanya akan menjadi beban orang lain bukan?
Oleh sebab itu sudah saatnya memasukkan aspek pendidikan dalam program anak usia dini sehingga ketiganya menjadi satu kesatuan intervensi yang utuh, walaupun belum dapat menjangkau semua anak. Sebagai contoh, keberhasilan program posyandu dalam pelayanan perbaikan gizi dan kesehatan dasar, akan lebih lengkap apabila ditambah dengan layanan stimulasi pendidikan bagi para balitanya. Sedangkan untuk paket yang lebih intensif, program layanan gizi dan kesehatan dapat diintegrasikan dengan program Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, atau TK/RA. Dengan demikian diharapkan semua kegiatan yang melibatkan anak usia dini perlu sentuhan ketiga aspek tersebut.
2. Pembelajaran Melalui Bermain
Anak-anak usia dini dapat saja diberikan materi pelajaran, diajari membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan bukan hanya itu saja, mereka bisa saja diajari tentang sejarah, geografi, dan lain-lainnya. Jerome Bruner menyatakan, setiap materi dapat diajarkan kepada setiap kelompok umur dengan cara-cara yang sesuai dengan perkembangannya (Supriadi, 2002: 40). Kuncinya adalah pada permainan atau bermain. Permainan atau bermain adalah kata kunci pada pendidikan anak usia dini. Ia sebagai media sekaligus sebagai substansi pendidikan itu sendiri. Dunia anak adalah dunia bermain, dan belajar dilakukan dengan atau sambil bermain yang melibatkan semua indra anak.
Bruner dan Donalson dari telaahnya menemukan bahwa sebagian pembelajaran terpenting dalam kehidupan diperoleh dari masa kanak-kanak yang paling awal, dan pembelajaran itu sebagian besar diperoleh dari bermain. Sayangnya, menurut Samples bermain sebagai gagasan yang dikaitkan dengan pembelajaran kurang mendapatkan apresiasi dalam berbagai lingkungan budaya (Supriadi, 2002: 40).
Bermain bagi anak adalah kegiatan yang serius tetapi menyenangkan. Menurut Conny R. Semiawan (Jalal, 2002: 16) bermain adalah aktivitas yang dipilih sendiri oleh anak karena menyenangkan, bukan karena hadiah atau pujian. Melalui bermain, semua aspek perkembangan anak dapat ditingkatkan. Dengan bermain secara bebas anak dapat berekspresi dan bereksplorasi untuk memperkuat hal-hal yang sudah diketahui dan menemukan hal-hal baru. Melalui permainan, anak-anak juga dapat mengembangkan semua potensinya secara optimal, baik potensi fisik maupun mental intelektual dan spritual. Oleh karena itu, bermain bagi anak usia dini merupakan jembatan bagi berkembangnya semua aspek.
Kritik yang ditujukan kepada sejumlah TK bukan karena mereka mengajarkan berhitung, membaca, dan menulis melainkan caranya yang salah seakan-akan menjadikan TK sebagai miniatur SD. Padahal PAUD itu sesuatu yang lain dengan landasan psikologis dan pedagogis yang berbeda. Belajar Quantum dari De Porter & Hernacki serta revolusi belajar yang dibawakan oleh Dryden & Vos (Supriadi, 2002: 41) meletakkan titik berat pada “pendinian” belajar pada anak dengan memilih cara-cara yang sesuai, bukan pengakademikan belajar pada usia dini – dua hal yang sangat besar perbedaannya.
Pembelajaran pada anak usia dini dapat dilaksanakan dengan menggunakan beberapa metode (Direktorat PADU,2001; Depdikbud, 1998), diantaranya yaitu:
a. Bercerita
Bercerita adalah menceritakan atau membacakan cerita yang mengandung nilai-nilai pendidikan. Melalui cerita daya imajinasi anak dapat ditingkatkan. Bercerita dapat disertai gambar maupun dalam bentuk lainnya seperti panggung boneka. Cerita sebaiknya diberikan secara menarik dan membuka kesempatan bagi anak untuk bertanya dan memberikan tanggapan setelah cerita selesai. Cerita tersebut akan lebih bermanfaat jika dilaksanakan sesuai dengan minat, kemampuan dan kebutuhan anak.
b. Bernyanyi
Bernyanyi adalah kegiatan dalam melagukan pesan-pesan yang mengandung unsur pendidikan. Dengan bernyanyi anak dapat terbawa kepada situasi emosional seperti sedih dan gembira. Bernyanyi juga dapat menumbuhkan rasa estetika.
c. Berdarmawisata
Darmawisata adalah kunjungan secara langsung ke obyek-obyek yang sesuai dengan bahan kegiatan yang sedang dibahas di lingkungan kehidupan anak. Kegiatan tersebut dilakukan di luar ruangan terutama untuk melihat, mendengar, merasakan, mengalami langsung berbagai keadaan atau peristiwa di lingkungannya. Hal ini dapat diwujudkan antara lain melalui darmawisata ke pasar, sawah, pantai, kebun, dan lainnya.
d. Bermain peran
Bermain peran adalah permainan yang dilakukan untuk memerankan tokoh-tokoh, benda-benda, dan peran-peran tertentu sekitar anak. Bermain peran merupakan kegiatan menirukan perbuatan orang lain di sekitarnya. Dengan bermain peran, kebiasaan dan kesukaan anak untuk meniru akan tersalurkan serta dapat mengembangkan daya khayal (imajinasi) dan penghayatan terhadap bahan kegiatan yang dilaksanakan.
e. Peragaan/Demonstrasi
Peragaan/demonstrasi adalah kegiatan dimana tenaga pendidik/tutor memberikan contoh terlebih dahulu, kemudian ditirukan anak-anak. Peragaan/demonstrasi ini sesuai untuk melatih keterampilan dan cara-cara yang memerlukan contoh yang benar.
f. Pemberian Tugas
Pemberian tugas merupakan metode yang memberikan kesempatan kepada anak untuk melaksanakan tugas berdasarkan petunjuk langsung yang telah dipersiapkan sehingga anak dapat mengalami secara nyata dan melaksanakan tugas secara tuntas. Tugas dapat diberikan secara berkelompok ataupun individual.
g. Latihan
Latihan adalah kegiatan melatih anak untuk menguasai khususnya kemampuan psikomotorik yang menuntut koordinasi antara otot-otot dengan mata dan otak. Latihan diberikan sesuai dengan langkah-langkah secara berurutan.
3. Peranan Pendidikan Luar Sekolah
Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan bahwa dari jumlah 26,09 juta anak usia 0 – 6 tahun, sebagian besar (sekitar 17, 99 juta anak atau 68,9%) belum terlayani dalam pendidikan prasekolah. Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Athfal hanya mampu melayani sekitar 2 (dua) juta anak dari 12,6 juta anak usia 4 – 6 tahun yang ada.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas maka sewajarnya bila peran Pendidikan Luar Sekolah – yang mencakup pendidikan nonformal dan informal – dalam memberikan pelayanan pendidikan dini pada anak-anak yang tak memperoleh pendidikan di jalur pendidikan formal sangatlah penting dan mendesak.
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang diselenggarakan pendidikan luar sekolah berupa kelompok bermain, taman penitipan anak, dan satuan pendidikan anak usia dini yang sejenis.
Kelompok bermain adalah salah satu bentuk layanan PAUD bagi anak usia tiga – enam tahun, yang berfungsi untuk meletakkan dasar-dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan bagi anak usia dini dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya, sehingga siap memasuki pendidikan dasar.
Taman Penitipan Anak adalah wahana pendidikan dan pembinaan kesejahteraan anak yang berfungsi sebagai pengganti keluarga untuk jangka waktu tertentu selama orangtuanya berhalangan atau tidak memiliki waktu yang cukup dalam menagsuh anaknya karena bekerja atau sebab lain.
Satuan PAUD sejenis merupakan bentuk-bentuk layanan PAUD lainnya yang tidak diselenggarakan dalam bentuk taman penitipan anak ataupun kelompok bermain. Satuan PAUD sejenis dapat berbentuk: PAUD dalam keluarga dan berbagai layanan pendidikan lainnya, baik yang bersifat khusus maupun umum yang diselenggarakan bagi anak usia dini.
PADU Terintegrasi Posyandu atau Pospadu adalah pengembangan dari satuan PADU sejenis, yang merupakan upaya pendidikan bagi anak usia dini yang dilaksanakan dengan mengintegrasikan pendidikan dengan program posyandu, sehingga anak memperoleh layanan dasar secara holistik/menyeluruh yang mencakup layanan gizi, kesehatan, dan pendidikan.
3.1. Peranan dan Pemberdayaan Masyarakat
Kenyataan bahwa masih banyak anak usia dini yang belum mendapatkan pelayanan pendidikan tak dapat dipungkiri, terlebih bagi masyarakat kelas bawah yang merupakan sebagian besar penduduk Indonesia yang berada di pedesaan. Hal itu disebabkan antara lain kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak usia dini masih sangat rendah.
Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi dan kesehatan untuk peningkatan kualitas anak, nampaknya jauh lebih baik daripada kesadaran akan pentingnya pendidikan. Hasil penelitian Meneg Pemberdayaan Perempuan tahun 2001 di wilayah Jakarta dan sekitarnya seperti yang dilansir oleh Yayasan Kita dan Buah Hati (Jalal, 2002: 13) menyebutkan bahwa pada umumnya masyarakat memandang belum perlu pendidikan diberikan kepada anak usia dini. Hal ini sangat wajar mengingat bahwa pemahaman masyarakat terhadap pentingnya PAUD masih sangat rendah serta pada umumnya mereka berpandangan bahwa pendidikan identik dengan sekolah, sehingga bagi anak usia dini pendidikan dipandang belum perlu.
Lebih jauh Hadis (2002: 25) mengemukakan ada beberapa faktor yang menjadikan penyebab masih rendahnya kesadaran masyarakat di bidang pendidikan anak usia dini seperti: ketidaktahuan, kemiskinan, kurang berpendidikan, gagasan orangtua tentang perkembangan anak yang masih sangat tradisional, kurang mau berubah, masih sangat konkret dalam berpikir, motivasi yang rendah karena kebutuhan yang masih sangat mendasar (untuk survival), serta masih sangat dipengaruhi oleh budaya setempat yang sempit.
Rendahnya tingkat partisipasi anak mengikuti pendidikan prasekolah dapat juga dipengaruhi oleh beberapa hal lainnya seperti: (1) Masih terbatas dan tidak meratanya lembaga layanan PAUD yang ada di masyarakat terutama di pedesaan. Sebagai contoh pertumbuhan TK, KB/RA, dan TPA di perkotaan lebih pesat dibandingkan di pedesaan; (2) Rendahnya dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Fakta menunjukkan (Rosadi, 2002) dari 41.317 buah TK di seluruh Indonesia, 41.092 buah (99.46%) didirikan oleh pihak swasta sedangkan pemerintah hanya mendirikan 225 buah (0.54%). Jumlah TK tersebut tidaklah berimbang dengan jumlah anak yang seharusnya mengikuti pendidikan dini.
Memang berhasilnya PAUD merupakan tanggung jawab pemerintah bersama masyarakat terutama keluarga yang merupakan penanggungjawab utama dalam optimalisasi tumbuh kembang anak. Peran pemerintah adalah memfasilitasi masyarakat agar mereka dapat mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
Upaya pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat antara lain melalui standarisasi kurikulum guna membantu masyarakat mengontrol penyelenggaraan pendidikan agar tidak merugikan peserta didik maupun masyarakat, peningkatan kemampuan profesi dan akademik bagi tenaga kependidikan, peningkatan fungsi keluarga sebagai basis pendidikan anak, serta pengembangan manajemen pembelajaran yang mencakup pengembangan metodologi pembelajaran, pengembangan sarana dan bahan belajar termasuk bacaan anak, pengembangan permainan dan alat permainan serta pengembangan evaluasi tumbuh kembang anak.
Dalam rangka memberikan perhatian secara khusus terhadap anak usia dini yang tidak terlayani pada lembaga formal (TK/RA) maka dibentuklah Direktorat PADU di lingkungan Depdiknas. Kehadiran direktorat ini terutama untuk memberikan layanan, bimbingan dan atau bantuan teknis edukatif yang tepat terhadap semua layanan anak usia dini (di luar TK dan RA) yang ada di masyarakat.
Masyarakat itu sendiri juga perlu meningkatkan peran sertanya secara aktif dalam pelaksanaan, pembinaan, dan pelembagaan pembinaan anak. Untuk itu pemerintah perlu memberdayakan peranserta masyarakat sebagai upaya menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan masyarakat, dengan cara mengembangkan segala potensi yang dimiliki agar masyarakat memiliki kemampuan sendiri dalam menentukan pilihan dan mengambil keputusan. Dalam kondisi seperti ini, sinergi antara pemerintah dengan masyarakat sangat diperlukan. Perlu pula diingat bahwa kebanyakan program PAUD masih berjalan sendiri-sendiri, tidak ada sinergi antar program yang ada di masyarakat.
Sinergi berbagai unsur yang berkepentingan dalam pembinaan anak merupakan kunci keberhasilan upaya pembinaan anak. Pemerintah harus memperluas jaringan kemitraan. Jaringan kemitraan merupakan kunci efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan program pendidikan, dimana selama ini tumpang tindih program termasuk pembinaannya, merupakan kesalahan sebagai akibat tidak berjalannya jaringan kemitraan termasuk koordinasi sebagai salah satu komponennya. Disamping itu adanya jaringan kemitraan yang luas di setiap tingkatan institusi masyarakat, mulai dari pusat sampai grass-root, merupakan jawaban atas keberlangsungan suatu program di masyarakat.
Program yang mempunyai jaringan kemitraan memiliki ciri-ciri antara lain tingginya komitmen semua unsur yang terlibat dan tingginya rasa memiliki masyarakat terhadap program yang ada. Kedua ciri ini merupakan komponen terpenting untuk menjamin keberlangsungan suatu program yang pada gilirannya mengarah pada pelembagaan program di masyarakat. Perluasan jaringan kemitraan agar efektif hendaknya diarahkan pada penciptaan situasi kondusif yang menumbuh kembangkan komitmen semua unsur dan kepemilikan oleh masyarakat terhadap suatu program.
3.2. Peranan Keluarga dan Lingkungan
Bagi anak usia dini, orangtua merupakan guru yang terpenting dan rumah tangga merupakan lingkungan belajar utamanya. Harus diingat bahwa fungsi PAUD bukan sekedar untuk memberikan berbagai pengetahuan kepada anak melainkan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk mengajak anak berpikir, bereksplorasi, bergaul, berekspresi, berimajinasi tentang berbagai hal yang dapat merangsang pertumbuhan sinaps baru dan memperkuat yang telah ada serta menyeimbangkan berfungsinya kedua belahan otak (Jalal, 2002: 15). Oleh karena itu lingkungan yang baik untuk PAUD adalah lingkungan yang mendukung anak melakukan kegiatan tersebut. Selama ini ada anggapan bahwa lingkungan yang baik adalah ruangan yang berdinding putih, bersih, dan tenang. Sebuah anggapan yang keliru karena ruangan tanpa rangsangan semacam itu justru menghambat perkembangan anak.
Memang benar bahwa faktor bawaan juga berpengaruh terhadap kecerdasan seseorang tetapi pengaruh lingkungan juga merupakan faktor yang tidak kalah pentingnya. Jika faktor bawaan dimisalkan sebagai dasar maka faktor lingkungan merupakan pengembangannya. Tanpa diperkaya oleh lingkungan, modal dasar tersebut tidak akan berkembang bahkan bisa jadi menyusut.
Jika orangtua karena satu dan lain hal tidak melaksanakan fungsinya sebagai pendidik, fungsi ini dapat dialihkan (sebagian) kepada pengasuh, lembaga pendidikan/penitipan anak, lingkungan atau siapa saja yang mampu berperan sebagai pengganti. Peran pengganti ini dapat dilakukan baik di lingkungan keluarganya (pengasuh) atau di luar lingkungan keluarga (KB, TPA & lembaga PAUD sejenis).
Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak adalah sangat penting. Pengaturan lingkungan yang membuat anak dapat bergerak bebas dan aman untuk bereksplorasi merupakan kondisi yang sangat baik bagi perkembangan anak, anak dapat meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas serta diperolehnya pengalaman-pengalaman baru.
KESIMPULAN
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sangat penting dan mendasar sebab merupakan hulu dalam pengembangan sumber daya manusia. Periode emas (Golden Period) dalam tumbuh kembang anak hanya terjadi sekali dalam kehidupan manusia yang dimulai sejak lahir hingga usia delapan tahun. Penelitian di bidang neurologi mengungkapkan bahwa perkembangan kecerdasan anak 50% terjadi pada empat tahun pertama kemudian mencapai 80% hingga usia delapan tahun dan akhirnya 100% pada usia 18 tahun.
Anak-anak yang berada pada rentang usia dini yang memperoleh asupan pendidikan masih sangat minim. Anak usia 0 – 6 tahun berjumlah 26,09 juta akan tetapi yang terlayani dalam PAUD di jalur pendidikan formal (TK/RA) baru sekitar dua juta anak sehingga peran pendidikan luar sekolah dalam membantu mengatasi masalah tersebut sangat penting dan mendesak.
Kurangnya anak usia dini yang mendapatkan layanan pendidikan disebabkan beberapa faktor diantaranya: (1) kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan pada anak usia dini; (2) masih terbatas dan tidak meratanya lembaga layanan PAUD yang ada di masyarakat terutama di pedesaan. Sebagai contoh pertumbuhan TK, KB/RA, dan TPA di perkotaan lebih pesat dibandingkan di pedesaan; (3) rendahnya dukungan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Terdapat 41.317 buah TK di seluruh Indonesia, hanya 225 buah (0.54%) TK yang didirikan oleh pemerintah, selebihnya dibangun oleh swasta.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulhak, Ishak. (2002). “Memposisikan Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Sistem Pendidikan Nasional”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 54 – 59.
Cropley. (……). Pendidikan Seumur Hidup Suatu Analisis Psikologi. Surabaya: Usaha Nasional.
Depdikbud. (1998). Petunjuk Kegiatan Belajar Mengajar Taman Kanak-kanak. Jakarta: Depdikbud.
Depdiknas. (2002). Sambutan Pengarahan Direktur Jenderal PLSP pada Lokakarya Pengembangan Program PADU, Jakarta.
Depdiknas. (2003). Bahan Sosialisasi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Direktorat Tenaga Teknis. (2003). Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia 0 – 6 Tahun. Jakarta: Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat PADU. (2001). Informasi Tentang Pendidikan Anak Dini Usia Pendidikan Prasekolah Pada Jalur Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Direktorat PADU -Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat PADU. (2002). Acuan Menu Pembelajaran pada Pendidikan Anak Dini Usia (Menu Pembelajaran Generik). Jakarta: Direktorat PADU - Ditjen PLSP – Depdiknas.
Direktorat PADU. (2003). Model PADU Terintegrasi Posyandu. Jakarta: Direktorat PADU - Ditjen PLSP – Depdiknas.
Gutama. (2003). “Kebijakan Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia (PADU)”. Makalah pada Pelatihan Penyelenggara Program PADU, Bandung
Hadis, Fawzia Aswin. (2002). “Strategi Sosialisasi Dalam Memberdayakan Masyarakat”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 25 – 28.
Jalal, Fasli. (2002). “Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Akan Pentingnya PADU”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 9 – 18.
Rosadi, Damanhuri. (2002). “Pendidikan Anak Dini Usia Dalam Kerangka Otonomi Daerah". Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 60 – 72.
Sudjana, D. (2001). Pendidikan Luar Sekolah. Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falasafah, Teori Pendukung, Asas. Bandung: Penerbit Falah Production.
Supriadi, Dedi. (2002). “Memetakan Kembali Pendekatan Pembelajaran Pendidikan Anak Dini Usia”. Buletin Padu Jurnal Ilmiah Anak Dini Usia. 03. 36 – 42.
__________ (2003). “Pendidikan Anak Usia Dini Dalam UU Sisdiknas”. Pikiran Rakyat.
Trisnamansyah, Sutaryat. (2003). “Materi Pokok Perkuliahan Filsafat, Teori, dan Konsep Dasar PLS”. Bandung: Makalah tidak diterbitkan.

Penulis : Rusdiana (Tenaga Fungsional pada BPPNFi regional V Makassar

0 comments: