Monday, December 26, 2011

KOMITMEN DAN STRATEGI PELAYANAN PENDIDIKAN UNTUK SEMUA (THE DAKAR FRAME WOORK FOR ACTION)

Pendidikan untuk semua (Edication for All), termasuk didalamnya pendidikan anak usia dini telah menjadi perhatian di dunia internasional. Hal ini ditunjukkan saat diadakan pertemuan Forum Pendidikan Dunia tahun 2002 di Dakar, Senegal, yang menghasilkan 6 komitmen sebagai kerangka aksi pendidikan untuk semua (The dakar Framework for Action) yang disahkan dan diterima oleh forum pendidikan dunia (The World Education Forum).
Enam Komitmen
Komitmen kerangka aksi pendidikan untuk semua adalah sebagai berikut :
a. Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung.
b. Menjamin bahwa menjelang tahun 2015 semua anak khususnya anak perempuan, anak-anak dalam keadaan yang sulit dan mereka yang termasuk minoritas etnik, mempunyai akses pada dan menyelesaiakan pendidikan dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas baik;
c. Menjamin bahwa kebutuhan belajar semua manusia muda dan orang dewasa terpenuhi melalui akses yang adil pada program-program belajar dan keterampilan hidup yang sesuai;
d. Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniakasaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa.
e. Menghapus disparitas gender di pendidikan dasar dan menengah tahun 2005, dan mencapai persamaan gender dalam pendidikan menjelang tahun 2015 dengan suatu focus jaminan bagi perempuan atas akses penuh dan sama pada prestasi dalam pendidikan dasar dengan kualitas yang baik;
f. Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan den menjamin keunggulannya, sehingga hasil-hasil belajar yang diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka keterampilan hidup yang penting.
Dua belas strategi
Untuk mewujudkan keenam komitmen sebagai tujuan yang harus dicapai, maka disepakati 12 strategi yang perlu ditunjuk, yaitu:
a. Mengerahkan komitmen politik nasional dan internasional yang kuat bagi pendidikan untuk semua (PUS), membangun suatu aksi nasional dan meningkatkan investasi yang besar didalam pendidikan dasar.
b. Mempromosi kebijakan PUS dalam kerangka sektor yang berlanjut dan terpadu-baik, yang jelas terkait dengan penghapusan kemiskinan dan strategi-strategi pembangunan;
c. Menjamin keikutsertaan dan peranserta masyarakat madani dalam perumusan, pelaksanaan dan pemantauan strategi-strategi untuk pembangunan pendidikan;
d. Mengembangkan sistem pengaturan dan manajemen pendidikan yang tanggap, partisipatori dan akuntabel;
e. Memenuhi kebutuhan sistem pendidikan yang dilanda oleh pertikaian (konflika), bencana alam dan ketidak stabilan, serta melaksanakan program-program pendidikan dengan cara-cara yang mempromosikan saling pengertian perdamaian dan toleransi, dan yang membantu mencegah kekerasan dan pertikaian;
f. Melaksankan strategi-strategi terpadu untuk persamaan gender dalam pendidikan yang mengakui perlunya perubahan-perubahan dalam sikap, nilai dan praktik;
g. Melaksanakan sebagi sesuatu yang mendesak program-program dan tindakan pendidikan untuk menangani epidemi HIV/AIDs
h. Menciptakan lingkungan sumberdaya pendidikan yang aman, sehat, inklusif dan andil yang kondusif bagi keunggulan dalam pembelajaran dengan tingkat-tingkat prestasi yang sudah jelas dibataskan untuk semua.
i. Meningkatkan status, moral danprofesionalisme guru;
j. Memanfaatkan teknologi-teknologi informasi dan komunikasi baru untuk membantu pencapaian tujuan-tujuan PUS
k. Secara sistematis memantau kemajuan kearah tujuan-tujuan dan strategi-strategi PUS pada tingkat-taingkat nasional, regional dan internasional;
l. Membangun di atas mekanisme yang sudah ada guna mempercepat kemajuan ke arah pendidikan untuk semua

Oleh: Prof. Dr. W.P. Napitupulu
Sumber : Bulettin PADU edisi I tahun 2002

Sunday, December 18, 2011

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, PENDIDIKAN YANG MENDASAR

Tiga tantangan besar, yaitu dampak krisis multi dimensi yang belum kunjung tuntas, globalisasi di segala aspek kehidupan, dan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah. Tantangan yang harus dijawab, diantaranya dengan ketersediaan sumberdaya manusia yang sanggup menghadapi tantangan yang ada. Pengembanagn sumberdaya manusia dalam rangka mencerdasakan kehidupan bangsa, yang antaralain ditandai oleh semakin meningkatnya mutu kehidupan dan martabat bangsa Indonesia di tengah-tengah peradaban dunia.

Kondisi Sumberdaya Manusia Indonesia
Berdasarkan hasil studi “kemampuan membaca” siswa tingkat SD yang dilaksanakan oleh International Educational Achievement (IEA)diketahui bahwa siswa SD di Inodnesia berada di urutan 38 dari 39 negara. Hasil penelitian The Third International Mathemathics and Science Study Repeat tahun 1999, kemampuan siswa kita dibidang IPA berada diurutan ke 32 dari 38 negara yang diteliti dan dibidang matetmatika berada diurutan 34 dari 38 negara yang diteliti. Rendahnya kualitas hasil pendidikan juga berdampak pada kualitas sumber daya manusia Indonesia. Menurut laporan UNDP tentang Human Development Index (HDI) pada tahun 2001 Indonesia menempati peringkat 102 dari 152 negara yang diteliti, jauh di bawah negara ASEAN leinnya, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Brunei Darussalam, yang berada diperingkat 40-an. Bahkan pada tahun 2002 peringkat itu menurun lagi menjadi 110 dari 173 negara.
Rendahnya kualitas pendidikan terseut antara lain dipengaruhi oleh inputnya, trutama calon siswa sebagai raw input (masukan). Rendahnya kualitas calon siswa didasarkan pada suatu kenyataan bahwa selama ini perhatian kita terhadap pendidikan bagi anak usia dini masih sangat rendah, apabila dibandingkan dengan negara-negara tersebut diatas. Belajar dari pengalaman negara maju, konsep pembangunan sumber daya manusia telah mereka lakukan sejak masa usia dini. . Pengembengan anak usia dini yang mencakup aspek gizi, kesehatan, dan psikososial (pendidikan) telah dilakukan secara intensif dan utuh sejak anak dilahirkan. Seperti di Singapura dan Korea Selatan misalnya: hampir seluruh anak usia dini telah terlayani. Contoh lain di Malaysia , pelayanan PAUD mencakup 70% anak. Bahkan di Singapura masalah penuntasan dua bahasa, yaitu bahasa Cina dan Bahsa Inggris telah terselesaiakan ditingkat Kindergarten (Taman Kanak-kanak), Sedangkan dinegara kita penanganan anak usia dini masih terfokus pada upaya perbaikan gizi dan kesehatan dasar untuk survival (kelangsungan hidup). Padahal apa artinya kalau nantinya hanya akan menjadi beban orang lain. Artinya ketiga pilar pengembangan anak usia dini terseut harus kita pandang sama pentingnya sebagai satu kesatuan intervensi yang perlu dilakukan secara terpadu dan utuh.

Pentingnya pendidikan anak usia dini
Berdasarkan kajian neurologi dan psikologi perkembangan, kualitas anak usia dini, disamping dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) juga sangat dipengaruhi oleh faktor kesehatan, gizi dan psikososial yang diperoleh dari lingkungannya . Oleh karena faktor bawaan harus kita terima apa adanya, maka faktor lingkunganlah yang harus direkayasa. Kita harus mengupayakannya semaksimal mungkin agar kekurangan yang dipengaruhi oleh faktor bawaan tersebut dapat kita perbaiki.
Pentingnya pendidikan anak usia dini didasarkan aadanya berbagai hasil peneltian yang menyebutkan bahwa masa usia dini merupakan periode kritis dalam perkembangan anak. N=Berdasarkan kajian neurologi pada saat lahir otak bayi mengandung sekitar 100 milyar neuron yeng siap melakukan sambungan antar sel. Selama tahun-tahun pertama, otak bayi berkembang sangat pesat dengan menghasilkan bertrilyun-trilyun sambungan antar neuron yang banyaknya melebihi kebutuhan. Sambungan ini harus diperkuat melalui berbagai rangsangan psikososial, karena sambungan yang tidak diperkuat akan mengalami antrofi (penyusutan) dan akhirnya tidak berfungsi. Inilah yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kecerdasan anak.
Dalam kajian lain diungkapkan bahwa perkembangan kecerdasan anak terjadi sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupan anak. Sekitar 50% kapabiltas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun, 80% tekah terjadi ketika anak berusia 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika anak berumur sekitar 18 tahun. Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya, dan selanjutnya perkembangan otak akan mengalami stagnasi. Kapabilitas kecerdasan dapat diibaratkan sebagai processor sebuah komputer yang berfungsi memproses dan menyimpan data dan informasi. Jika sebuah komputer prosessornya canggih maka kemanapun memproses data akan lebih cepat dan kemampuan memorinya pun lebih tinggi. Demikian juga otak anak-anak kita nantinya, tentu akan menghadapi tantangan yang lebih berat dari yang sekarang kita hadapi, sehingga mereka memerlukan kapabilitas kkecerdasan yang lebih tinggi pula. Itulah mengapa masa ini dinamakan masa emas perkembangan, karena setelah masa perkembangan ini lewat berapapun kapabilitas kecerdasan yang dicapai oleh masing-masing individu tidak akan mengalami peningkatan lagi.
Fungsi pendidikan bagi anak usia dini tidak hanya sekedar untuk memberikan berbagai pengalaman belajar, seperti pendidikan orang dewasa, tetapi juga berfungsi mengoptimalkan perkembangan kapabilitas kecerdasannya. Pendidikan disini hendaknya diartikan secara luas, mencakup seluruh proses stimulasi psikososial yang tidak terbatas pada proses pembelajaran yang dlakukan secara klasikal. Artinya pendidikan dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja, baik yang dilakukan sendiri dilingkungan keluarga maupun oleh lembaga pendidikan dilingkungan keluarga.
Pentingnya pendidikan anak usia dini telah mmenjadi perhatian dunia internasional. Dalam pertemuan Forum pendidikan dunia tahun 2000 di Dakkar, Senegal menghasilkan 6 kesepakatan sebagai kerangka aksi pendidikan untuk semua (The Dakkar Framwork for Action Education for All), yang salah satu butirnya bersepakat untuk “Memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan kurang beruntung”, Indonesia sebagai salahsatu anggota forum tersebut terikat untuk melaksanakan komitmen tersebut.
Permasalahan Pengembangan PAUD di Indonesia
Disamping permasalahan dana, untuk pengembangan PAUD, Pemerintah dihadapkan pada berbagai permasalahan. Pertama, masih tendahnya pemahaman masyarakat terhadap arti pentungnya PAUD bagi perkembangan anak selanjutnya. Hal ini memerlukan sosialisasi diberbagai tingkatan secara terus menerus dengan memanfaatkan berbagai media komunikasi yang ada. Kedua, belum semua daerah memiliki aparat yang secara khusus menangani pembinaan PAUD hingga ke tingkat operasional. Padahal lluasnya cakupan PAUD memerlukan penangan secara profesional oleh petugas khusus dibidang itu. Ketiga, masih kurangnya tenaga pendidik PAUD dilapangan. Di satu sisi kita kebanyakan pengangguran berpendidikan, tetapi disisi lain tenaga yang memiliki kualifikasi sebagai tenaga pendidik PAUD sangat kurang. Keempat, luasnya wilayah yang harus dilayani dan banyaknya daerah yang sulit dijangkau, kendala geografis seringkali menjadi penyebab utama ketinggalan informasi dan tidak terjangkau layanan. Oleh karena itu prioritas pemberian layanan harus diarahkan ke daerah pedesaan hingga akhirnya menjangkau daerah-daerah tertinggal semacam ini. Kelima, kurangnya lembaga pendidikan yang berminat menyelenggarakan PAUD . Hal ini terkait dengan masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya PAUD.
Pendidikan Untuk Masyarakat Marginal
Bila selama ini PAUD masih tergolong eksklusif dan hanya dinikmati oleh lapisan masyarakat tertentu, terutama di perkotaan, sudah saatnya difikirkan PAUD untuk anak-anak dari keluarga miskin, sangat rawan dan kurang beruntung termasuk anak-anak yang tinggal didaerah terpencil. Pelaksanaan PAUD di kalangan masyarakat menengah ke atas sepenuhnya diserahkan kepada keluarga dan masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini pemerintah berperan sebagai pengendali mutu dan pengawasan.
Pelaksanaan PAUD untuk masyarakat bawah secara proporsional dipikul bersama antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Secara proporsional artinya semakin masyarakat itu mampu, maka peran pemerintah semakin sedikit. Sebaliknya untuk kalangan masyarakat yang kurang mampu maka peran pemerintah semakin besar. Sejalan dengan kebijakan otonomi daerah, dimana daerah memiliki peran lebih banyak untuk memikirkan kebutuhan daerah, dan kepentingan masyarakat. Kewenangan pusat terbatas pada pengaturan kebijakan strategis yang berskala nasional dan internasional, berupa penetapan standar pedoman, perncanaan makro dan pengawasannya. Dengan demikian pelaksanaan dan pengembangan PAUD sepenuhnya menjadi kewenangan dan tanggungjawab pemerintah daerah. Maju mundurnya PAUD di daerah sangat bergantung dari seberapa besar komitmen dan keseriusan daerah yang bersangkutan dalam penanganannya

Oleh : Prof. Fasli Jalal, Ph.D
Sumber : Bulettin PADU edisi I tahun 2002

Friday, December 16, 2011

BERMAIN ITU BERMANFAAT

Apa yang melintas dibenak kita begitu mendengar kata “bermain”? kebanyakan dari kita pasti beranggapan bahwa bermain adalah kebebasan yang dimiliki anak kecil yang belum dibebani tanggungjawab, seperti belajar, mengerjakan tugas, kuliah atau mencari nafkah.
Bahkan ada pula yang menganggap bermain sebagai pemborosan waktu yang seharusnya diisi dengan belajar dan bekerja keras. Bermain memang masih dipandang dengan sebelah matasebagai kegiatan yang kurang bermanfaat.
Anggapan tersebut tenyata muncul karena ketidak tahuan mengenai manfaat aktivitas ini, baik bermain videogame, board game, hingga permainan tradisionil, manusia ternyata buth bermain. Hal yang sama ddiusulkan oleh peneliti dari belanda, Johan Huizinga, sewaktu memperkenalkan konsep homo ludens atau “manusia bermain”.
Dosen Multimedia di Fakultas Senirupa, Institut Teknologi Bandung, Intan R. Mutiaz mengatakan, bermain adalah representasi dari budaya yang berkembang seiring peradaban manusia. Itulah sebabnya, ujar intan, bermain adalah aktivitas yang tak lekang oleh waktu.
“Sewaktu masyarakat menjadi modern , begitupula permainan yang ikut jadi canggih,” kata Intan yang ditemui dalam acara Indonesia bermain, beberapa waktu lalu.
Permainan modern tidak bisa diartikan untuk menggeser permainan tradisionil, tetapi perubahan kondisi masyarakat yang mendorong perubahan pada konsep permainan. Dia mencontohkan permainan egrang yang kini sulit dilakukan dipemukiman yang tempat bermainnya cenderung kurang.
Hal itulah yang membuat Intan meyakini konsep homo ludens yang diajukan Huizinga bisa mendmpingi konsep lainnya, seperti homo erectus (manusia yang tegak bediri), homo sapiens (manusia yang bijak), maupun homo economics ( manusia ekonomi). “Kita semua butuh bermain.” Ujar Intan yang mengambil S2 mengenai video game ini.
Dokter yang merangkap sebagai wirausahawan, Irzan Nurman, bahkan memiliki argumen kuat bahwa bermain videogame bagus untuk tubuh kita. Dia mengungkapkan orang yang sering bermain otaknya lebih aktif sehingga cenderung terhindar dari alzheimer atau kepikunan akut. Dengan bermain kemampuan spasial akan terasah, begitu pula koordinasi mata dan tangan.
“Bermain videogame setiap hari menyehatkan asalkan tidak berlebihan. Bermain 20 menit saja sudah cukup,” kata Irzan.
Manfaat lain bermain bagi manusia adalah melatih unsur empati karena perasaan terlibat dalam permainan, meredakan efek pasca trauma terutama bagi anak-anak, terapi untuk meredakan nyeri, dan yan paling penting adalah melatih imajinasi. Menurut Irzan, dengan pengaturan jadwal bermain pada akhir pekan justru membuat orang lebih bersemangat pada hari kerja.
Contoh manajemen waktu dalam bermain misalnya adalah pada seorang mahasiswa akan bermain setelah ujian semester, bagaikan menghadiahi diri sendiri, dan kembali tekun belajar setelah masuk kuliah kembali.
HAPUS SITGMA
Eko Nugroho, pendiri Kumara adalah salahsatu pihak yang getol mempromosikan kata bermain. Hanya saja, jalurnya bukan permainan elektronik, melainkan permainan konvensional yakni board game atau permainan papan. Selain memperkenalkan board game yang kebanyakan masih impor, pihaknya juga mulai memperkenalakan produk buatan sendiri.
Menurut Eko, permainan papan juga memiliki keasyikan tersendiri meskipun tidak punya embel-embel permainan elektronik, seperti efek grafis yang berkilau hingga suara menggelegar. Permainan papan bisa digunakan dimanapun dan tidak membutuhkan daya listrik. Yang dikenal di Indonesi a baru permainan monopoli, padahal permainan papan beragam jenisnya, berikut cara memainkannya.
“Tidak ada bedanya antara permainan papan dan elektronik. Yang penting penggunanya bisa berbahagia saat bermain,” kata Eko
Eko juga percaya kata bermain sudah mendapatkan stigma kurang baik dari masyarakat sebagai kegiatan yang menghamburkan waktu. Yang terjadi justru sebaliknya, lanjut Eko. Bermain bisa mengubah seseorang menjadi lebih ceria karena lebih santai setelah bermain.
Oleh karena itu Eko baru-baru ini mengajak pelaku industri mainan untuk menggelar “Indonesia Bermain” di Bandung. Disana pengunjung dibebaskan bermain permainan elektronik, permainan papan, hingga permainan kartu. Harapannya hanya satu mengajak pengunjung untuk membongkar definisi bermain didalam kepalanya untuk arti yang lebih positif.
Oleh : Didit Putra Erlangga
Sumber : Harian Kompas 18 November 2011

Wednesday, December 14, 2011

Penilik dan Asesor

Masih ada sebagian yang beranggapan bahwa tugas penilik dan asesor yang merupakan petugas dari Badan Akreditasi Nasioal Pendidikan Nonformal (BAN PNF) tumpang tindih. Padahal masing-masing memiliki tugas berbeda yang diemban oleh peraturan perundang-undangan. Bahkan keduanya seharusnya bisa melakukan sinergi dalam rangka meningkatkan kualitas layanan pendidikan nonformal bagi masyarakat.
Jika kita merujuk pada Peraturan Pemerintah Pemerintah nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 40 ayat (1) dinyatakan bahwa pengawasan pada satuan pendidikan nonformal dilakukan penilik satuan pendidikan. Lebih lanjut uraian kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam PP 19 Tahun 2005 diterjemahkan ke dalam tugas pokok jabatan fungsional menurut Peraturan Menteri PAN dan RB nomor 14 Tahun 2010 sebagaimana diatur dalam pasal 4 bahwa tugas pokok penilik adalah melaksanakan pengendalian mutu dan evaluasi dampak program pendidikan nonformal dan informal (PNFI). Kegiatan pengendalian mutu meliputi perencanaan program pengendalian mutu, pelaksanaan pemantauan, penilaian program, pembimbingan kepada pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan PNFI, dan menyusun laporan hasil pengendalian mutu. Sedangkan kegiatan kegiatan evaluasi dampak program PNFI meliputi penyusunan rancangan/desain, penyusunan instrumen, pelaksanaan dan penyusunan laporan, serta presentasi hasil evaluasi dampak program.
Sementara itu rujukan yuridis akreditasi bisa ditemui mulai dari Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 60, yaitu bahwa akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Selanjutnya diatur bahwa akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan oleh pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik. Sedangkan keberadaan BAN PNF secara yuridis disebutkan pada PP 19 Tahun 2005 pasal 87 ayat (1) butir c. Akreditasi dilakukan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka yang mengacu kepada standar nasional pendidikan. Dengan demikian akreditasi yang dilakukan memakai komponen yang diketahui dan diakui publik.
Akreditasi pada dasarnya merupakan salah satu bentuk penilaian (assessment) dengan membandingkan apa yang ada dan apa yang dituntut dalam standar yang telah ditetapkan dalam upaya menjaga dan menjamin mutu (quality assurance & quality control). Dalam melakukan akreditasi, BAN PNF dibantu oleh petugas yang disebut dengan asesor akreditasi yang bertugas melakukan penilaian. Karena tugasnya melakukan penilaian (assesment), maka ia disebut sebagai asesor. Adapun pengertian dari asesor akreditasi adalah seseorang yang mempunyai kualifikasi dan kompetensi yang relevan dengan tugas untuk melaksanakan akreditasi terhadap kelayakan program dalam satuan PNF, baik secara perorangan maupun sebagai bagian dari tim akreditasi sesuai dengan persyaratan dan tugas yang ditetapkan oleh BAN PNF.
Sementara itu, esensi fungsi penilik dalam melakukan pengawasan sebagaimana diamanatkan PP 19 Tahun 2005 adalah melaksanakan pengendalian mutu program dan satuan PNFI. Jika penilik dapat melaksanakan tugas yang optimal maka program dan satuan PNFI di wilayah kerja penilik yang bersangkutan akan berkualitas. Artinya, ketika kriteria akreditasi bersifat terbuka bisa dijadikan rujukan oleh penilik untuk melakukan tugas pengendalian mutu mulai dari perencanaan, pemantauan, penilaian, dan pembimbingan pada satuan pendidikan nonformal. Ketika penilik melakukan tugas pengendalian mutu dengan menggunakan rujukan kriteria akreditasi maka secara langsung atau tidak langsung penilik sudah memberikan bantuan penilaian internal menuju akreditasi.
Berbagai jenis instumen akreditasi dipublikasikan secara luas oleh BAN PNF melalui situs resminya dapat dapat diunduh oleh siapa pun. Akan lebih praktis dan bermanfaat jika penilik melakukan pengendalian mutu menggunakan instrumen yang dikembangkan BAN PNF sebagai basis kerjanya yang kemudian diimplementasikan ke dalam butir-butir kegiatan pengendalian mutu penilik. Karena akreditasi program dan satuan pendidikan nonformal sudah merupakan kebutuhan. Di sinilah peluang sekaligus tantangan yang dihadapi oleh penilik.
Ketika kita ingin memposisikan penilik menjadi jabatan yang mendapatkan apresiasi yang positif dari masyarakat dan pemerintah, maka sekarang ini saatnya kita merubah paradigma kita dari konfrontatif menjadi kolaboratif. Bagi sebagian besar satuan pendidikan nonformal untuk pengakuan akreditasi sudah menjadi kebutuhan. Sementara itu tidak mungkin asesor melakukan pembinaan kepada satuan pendidikan nonformal yang sedang diakreditasi olehnya. Karena tugasnya hanya melakukan penilaian bukan pembinaan. Pembinaan dan bimbingan kepada satuan pendidikan nonformal menjadi tanggung jawab dan kewajiban penilik. Jika setiap satuan pendidikan nonformal mampu melewati tahapan akreditasi dengan baik atas bantuan penilik, maka kinerja penilik akan mendapatkan pengakuan yang positif baik dari masyarakat maupun pemerintah.

Oleh : Fauzi EP
sumber: http://fauziep.blogdetik.com

PERATURAN PRESIDEN TENTANG PERPANJANGAN BATAS USIA PENSIUN PENILIK

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 63 TAHUN 2010
TENTANG
PERPANJANGAN BATAS USIA PENSIUN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG MENDUDUKI JABATAN FUNGSIONAL PENILIK


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan fungsional Pengawas
pada satuan pendidikan formal mempunyai peran penting dalam pelaksanaan
tugas pokok dan fungsi di bidang pendidikan guna mencerdaskan kehidupan
bangsa;
b. bahwa perpanjangan batas usia pensiun bagi Pegawai Negeri Sipil yang
menduduki jabatan fungsional Penilik dilakukan dengan mempertimbangkan
kesetaraan dengan jabatan fungsional Pengawas pada satuan pendidikan
formal yang telah diperpanjang batas usia pensiunnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Perpanjangan Batas
Usia Pensiun Bagi Pegawai Negeri Sipil Yang Menduduki Jabatan
Fungsional Penilik;

Mengingat :1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3890);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai
Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 47,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3149) sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor
65 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
141);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional
Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994
Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3547)
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5121);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PERPANJANGAN BATAS USIA PENSIUN BAGI PEGAWAI
NEGERI SIPIL YANG MENDUDUKI JABATAN FUNGSIONAL PENILIK.

Pasal 1
Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan fungsional Penilik, batas usia pensiunnya dapat diperpanjang sampai dengan 60 (enam puluh) tahun.

Pasal 2
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan fungsional Penilik yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini dinyatakan tetap berlaku.

Pasal 3
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Presiden ini diatur oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara.

Pasal 4
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Oktober 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Perpanjangan Batas Usia Pensiun Menjadi Bumerang Bagi Penilik

Setelah melalui perjuangan dan perdebatan yang panjang akhirnya pada tanggal 25 Oktober 2010 Presiden menandatangani Peraturan Presiden tentang Perpanjangan Batas Usia Pensiun Jabatan Fungsional Penilik. Artinya, penilik yang saat ini masih menjabat batas usia pensiunnya dapat diperpanjang sampai dengan 60 tahun. Sudah barang tentu hal ini disambut gembira oleh semua jajaran penilik di seluruh Indonesia. Namun demikian masih ada tantangan lain yang perlu dijawab dengan terbitnya peraturan presiden ini. Tantangan utamanya adalah bagaimana menunjukkan kinerja dalam melakukan kepenilikan satuan pendidikan nonformal. Sebagaimana sering diartikulasikan oleh para penilik ketika menuntut perpanjangan batas usia pensiun, penilik menuntut untuk diperlakukan sama dengan pengawas sekolah untuk pensiun pada usia 60 tahun. Pasca terbitnya peraturan presiden ini, bisa jadi berbagai kalangan akan balik menuntut agar kinerja penilik seperti pengawas sekolah.

Menurut Peraturan Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi nomor 14 tahun 2010 penilik memiliki tugas utama melakukan kegiatan pengendalian mutu dan evaluasi dampak program pendidikan anak usia dini (PAUD), pendidikan kesetaraan dan keaksaraan, serta kursus pada jalur Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI). Berdasarkan ketentuan tersebut tugas penilik di era sekarang menjadi lebih berat, penilik harus mampu memotret mutu satuan pendidikan nonformal dan informal dan bahkan mampu melakukan pengendalian mutu yang dilakukan dengan cara (1) perencanaan program pengendalian mutu PNFI; (2) pelaksanaan pemantauan program PNFI; (3) pelaksanaan penilaian program PNFI; (4) pelaksanaan pembimbingan dan pembinaan kepada pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan PNFI; dan (5) penyusunan laporan hasil pengendalian mutu PNFI. Tugas-tugas tersebut menuntut kompetensi penilik sebagai seorang evaluator sekaligus supervisor. Untuk dapat melakukan tugas pengendalian mutu maka penilik harus memiliki dimensi kompetensi supervisi manajerial dan dimensi kompetensi supervisi akademik.

Dimensi kompetensi supervisi manajerial menuntut penilik memiliki kompetensi (1) menguasai fungsi-fungsi manajemen pendidikan dalam penyelenggaraan satuan PNFI; (2) menguasai konsep, prinsip, metode dan teknik supervisi pendidikan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan; (3) menguasai teknik penyusunan rancangan dan pelaksanaan program kepenilikan pada satuan PNFI; (4) menguasai metode dan instrumen kerja untuk melaksanakan tugas kepenilikan pada satuan PNFI dan (5) membina pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan PNFI.

Dimensi kompetensi supervisi akademik menuntut penilik memiliki kompetensi (1) menguasai konsep, prinsip dasar, dan teori perkembangan sesuai dengan satuan PNFI; (2) menguasai konsep, prinsip dasar, dan metode pengasuhan/pembelajaran satuan PNFI; (3) Membimbing pendidik dan tenaga kependidikan satuan PNFI dalam menyusun silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran; (4) Membimbing pendidik dan tenaga kependidikan satuan PNFI dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran; dan (5) Membimbing pendidik dan tenaga kependidikan satuan PNFI dalam menggunakan dan mengembangkan alat pembelajaran, media pembelajaran dan teknologi informasi untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran. Tugas kompetensi supervisi akademik ini hanya akan bisa dilakukan secara optimal jika penilik pernah mengalami sebagai seorang pendidik, karena ia pernah melakukan kegiatan penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran serta melaksanakan kegiatan pembelajaran sehingga pengalaman yang dimiliki akan mempermudah tugas pembimbingan pada pendidik dan tenaga kependidikan satuan PNFI.

Dimensi kompetensi inilah yang analog dengan tugas pengawas sekolah. Ketika penilik menuntut diperlakukan sama hak batas usia pensiunnya dengan pengawas, barangkali saatnya pengguna jasa penilik saat ini akan menuntut kewajiban yang sama yang dilakukan oleh pengawas sekolah dalam rangka melakukan penjaminan mutu satuan PNFI. Artinya tuntutan kesetaraan perlakuan dengan pengawas sekolah juga harus diikui kesetaraan unjuk kerja yang dibuktikan oleh penilik itu sendiri.

Berdasarkan dimensi kompetensi supervisi akademik diharapkan penilik PAUD datang ke Kelompok Bermain, dari aspek pembelajaran ia akan melihat bagaimana silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang disusun pendidik serta akan menilai dan membimbing pendidik PAUD dalam melakukan stimulasi tumbuh kembang anak. Penilik kesetaraan akan melakukan pembimbingan penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran serta membimbing tutor dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran berbentuk tatap muka, tutorial dan atau mandiri. Penilik kursus datang ke sebuah lembaga kursus akan membimbing intruktur dalam menyusun silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran, membimbing intruktur dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran tatap muka maupun praktek dalam mengembangkan kompetensi warga belajar.

Pertanyaannya adalah bagaimana peta kompetensi yang dimiliki penilik pada saat ini? Bagaimana kesiapan teman-teman penilik dalam mengembang tugas dimensi kompetensi supervisi akademik ini? Jawaban ini hanya bisa dijawab oleh para penilik sendiri. Walaupun masih ada sementara pihak yang melihat dengan gamang memperhatikan latar belakang pengalaman yang dimiliki penilik saat ini, terkecuali bagi penilik yang memiliki latar belakang berasal dari guru atau pamong belajar yang memiliki pengalaman di bidang kegiatan belajar mengajar.

Tuntutan kompetensi penilik akan lebih berat manakala kita perhatikan dimensi kompetensi evaluasi pendidikan dan dimensi kompetensi penelitian pengembangan. Maka wajarlah bila jabatan fungsional penilik adalah jabatan karier bagi pamong belajar dan guru karena ia memiliki tugas dan tuntutan kompetensi yang lebih berat. Saatnya penilik sekarang untuk menata diri menyongsong pemberlakuan batas usia pensiun dengan menunjukkan kinerja yang memiliki fungsi melakukan pengawasan pada satuan pendidikan nonformal. Jangan sampai gelora tuntutan perpanjangan batas usia pensiun akan menjadi pukulan balik bagi penilik karena tidak dapat memenuhi tuntutan kompetensi yang diharapkan. Amin.

Oleh : Bukhori,S.Pd (Ketua Ikatan Penilik Kabupaten Kutai Kartanegara)
sumber :luarsekolah.com

PENDIDIKAN ANAK USIA DINI BELAJAR MELALUI BERMAIN

Masa kanak kanak dan masa anak merupakan masa yang sangat penting khususnya dalam perkembangan kognitif, sosial, emosional, dan fisik. Secara alamiah perkembangan anak itu berbeda-beda baik dalam intelegensi, bakat, mnat, kreatifitas, kematangan emosi, kepribadian, perkembangan ini secarajelas dapat dilihat selama proses belajar mengajar atau proses pembelajaran di dalam kelas.
Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini
Bagi guru kelas satu, dua, tiga sekolah dasar yang berpengalaman, sudah tidak asing lagi adanya anak yang cepat mengerti pelajarandan ada yang lambat, ada yang lebih berminat pada satu atau beberapa pelajaran dari yang lain, bahkan ada yang cepat sekali mengerti suatu pelajaran tertentu dan ada yang bakatnya berbeda-beda. Bakat (aptittude) dapat dirumuskan sebagai potensi kemampuan yang dibawa sejak lahir 9inherent inner component of ability; semiawan, C: 1997). Banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan bakat ini dan banyak pula yang dapat dilakukan oleh lingkungan dalam rangka penembangan intelektual dan kreatifitas anak usia dini.
Pada waktu manusia lahir intelegensia yang bersumber dari otak, secara genetis (potensial) strukturnya telah ditentukan dan memiliki 100 sampai 200 milyard neuron sel otak. Neuron tersebut siap mengelola beberapa trilyun informasi. Namun bagaimana caranya otak itu berfungsi sangat ditentukan oleh cara lingkungan memperlakukan individu anak.
Selama pertumbuhannya, minat dan permainan anak selalu terkait denganp erkembangan kemampuannya. Setelah koordinasi dasar kaki, tangan, dan bagian badan yang t erkait sudah agak mantap, demikian pula perkembangan bahasanya maka anak sudah mulai mampu merancang berbagai alternatif perbuatan yang lain. Cakupan kemampuannya menjadi sangat luas dan juga menjadi semakin kompleks. Semakin waktu berlalu, penyaluran pilihan melatihkan kemampuannya juga dipengaruhi oleh kesempatan dan peluang yang diperolehnya dari lingkungannya, yang berpadu menjadi hasil penglamannya.
Oleh karena itu berbagai permainan sebenarnya bisa dirancang secara sengaja (intentionally) dengan maksud agar anak meningkatkan beberapa kemampuan tertentu berdasarkan pengalaman belajar tersebut.
Arti Bermain bagi Anak
- Bermain memiliki beberapa arti. Pada permulaan, setiap pengalaman bermain memiliki unsur resiko. Ada resiko bagi anak untuk belajar berjalan sendiri, atau naik sepeda sendiri, berenang, ataupun meloncat. Betapapun sederhana permainannya, unsur resiko itu selalu ada.
- Unsur lain adalah pengulangan. Dengan pengulangan anak memperoleh kesempatan mengkonsolidasikan keterampilannya yan harus diwujudkan dalam berbagai permainan dengan nuansa yang berbeda . Sesudah pengulangan itu berlangsung anak akan meningkatkan keterampilannya yang lebih kompleks. Melalui berbagai permainan yang diulang ia memperoleh kemampuan tambahan untuk melakuakn aktivitas lain.
- Fakta bahwa bahwa aktivitas permainan sederhana dapat menjadi kendaraan (vehicle) untuk menjadi hajat permainan yang kompleks, dapat dilihat dan terbukti pada kala mereka menjadi remaja
- Melalui bermain anak secara aman dapat menyatakan kebutuhannya tanpa dihukum atau terkena teguran. Umpama : ia bisa bermain peran sebagai ibu atau bapak yang galak, atau sebagai bayi atau anak yang mendambakan kasih sayang. Di dalam semua permainan itu ia dapat menyatakan rasa benci, takut, dan gangguan emosional lainnya.
Belajar sambil bermain
Dengan memahami arti bermain bagi anak, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bermain adalah suatu kebutuhan bagi anak. Dengan merancang pelajaran tertentu untuk dilakukan sambil bermain, maka anak belajar sesuai dengan tuntutan taraf perkembangannya. Bahkan kalau kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, ada satu tahap perkembangan yang befungsi kurang baik dan ini tidak akan terlihat secara nyata segera, melainkan baru kelak bila ia sudah menjadi remaja. Ada 2 hal yang terkait dengan masalah tersebut, yaitu :
1. Perkemangan kognitif adak pada umur ini menunjukkan bahwa ia berada pada taraf pra operasional sampai pada tahap operaso kongkrit. Ciri-ciri dari tahap perkembangan yang ditandai oleh childhood education, adalah perkembangan bahasa dan kemampuan berpikir memecahkan persoalan dengan menggunakan lambang tertentu. Makin ia memasuki tahap perkembangan operasi kongkrit, maka makin mampu ia berpikir logis, meskipun segala macam pelajaran yang bersifat formal nelum menjadi suasana yang diakrabi secara alamiah. Makin lama maka usia fase operasional kongkrit, secara bertahap ia memasuki fase operasional formal.
2. Hal kedua terkait dengan yang dikatakan di depan, berkaitan dengan fungsi otak kita. Sperti diketahui, kedua belahan otak kita, kiri dan kanan, memiliki fungsi yang berbeda. Belahan otak kiri memiliki fungsi, ciri dan respons untuk berfikir logis, teratur dan linear. Sedangkan fungsi otak akanan terutama dikembangkan untuk berfikir holistik, imaginatif dan kreatif. Bila anak belajar formal (seperti hafal menghafal) pada umur muda, maka belahan otak kiri yang berfungsi linear, logis dan teratur amat dipentingkan dalam perkembangannya dan ini sering berakibat bahwa fungsi belahan otak kanan yang banyak digunakan dalam berbagai permainan terabaikan. Akibatnya mnurut penelitian (Clark, 1986), maka anak yang diperlakukan seperti itu, kelak akan tumbuh dengan memiliki sikap yang cenderung bermusuhan (hostile attitude, Clark, 1986), terhadap sesama teman atau orang lain. Hal tersebt menunjuk pada suatu pertumbuhan mental yang kurng sehat.
Jadi belajar sambil bermain bagi anak umur kurang lebih 4 – 7 tahun adalah suatu conditio sine qua non, bila mau tumbuh secara sehat mental dan bahkan sampai dengan umur 13 – 14 tahun bermain adalah penting bagi anak

Penuhi Kebutuhan Bermain Anak
Sering sekali cara belajar formal seperti diuraikan di atas dilakukan demi kebanggaan orang tua. Orang tua bangga bila anaknya disebut juara di kelas, anak dipacu untuk belajar, belajar dan belajar supaya menjadi pintar dan menjadi juara. Selain itu guru hendak “menghabiskan” kurikulum cepat. Tetapi dampak yang diperolehnya dari cara belajar seperti ini tidak menguntungkan. Dalam arti dampak yang paling ringan adalah bahwa anak-anak pintar di TK, mungkin pintar di kelas 1, 2 ataupun 3, tetapi ternyata menurut penelitian oleh Universitas Indonesia (1981), makin lama menjadi tidak pintar dikelas yang lebih tinggi.
Sedaangkan mereka yang kebutuhan permainannya trpenuhi, makin tumbuh dengan memiliki keterampilan mental yang lebih tinggi, untuk menjelajahi dunianya lebih lanjut, dan menjadi manusia yang memiliki kebebasan mental untuk tumbuh kembang seuai potensi yang dimilikinya, sehingga menjadi manusia yang manusia yang bermartabat dan mandiri, Lebih dari itu, ia terlatih untuk terus menerus meningkatkan diri mencapai kemajuan.

Referensi :
1.Clark, B. 1986. Growing up Gifted, Columbia, USA; CE Merril Publishing Co.
2.Friedl, A.E. 1991. Teaching Science to Children, An Interated Approach,
second edition, USA Mc.Grawhill
3.Good, TL. Dan Brophy, JE. 1990, Educational Psychology, Fourth edition, New York,
USA; Longman
4.Semiawan. C. 1998. Sarasehan Pengembangan Konsep Learning By Playing dalam
Pendidikan Anak-anak. Diselenggarakan Oleh Gudwah Islamic Digital Edutanment,
tanggal 21 Maret 1998.
5.Universitas Indonesia, 1981. Penelitian Kemajuan Belajar Anak SD di DKI Jakarta.

Oleh : Prof. Dr. Conny R. Semiawan
Sumber : Bulettin PADU I tahun 2002

Thursday, December 1, 2011

Pamong Belajar dalam Permenpan RB 15

Terdapat perbedaan tugas pokok pamong belajar yang lama dan yang baru, salah satu perbedaannya adalah pada hilangnya tugas pokok penilaian dalam rangka pengendalian mutu dan evaluasi dampak program pada tugas pokok baru. Pada Kepmenkowasbangpan nomor 25/KEP/MK.WASPAN/6/1999 tugas pokok tersebut diatur sebagai tugas pokok pamong belajar disamping pengembangan model dan kegiatan belajar mengajar. Namun kini, pengendalian mutu dan evaluasi dampak program bukan lagi menjadi tugas pokok pamong belajar lagi.

Dalam rangka meneguhkan profesi pamong belajar, maka tugas pokok tersebut dihilangkan dan diganti dengan pengkajian program pendidikan nonformal dan informal. Pengendalian mutu dan evaluasi dampak program merupakan ranah aktivitas supervisor, sedangkan pamong belajar berstatus sebagai pendidik yang justru harus disupervisi oleh petugas supervisor. Tidaklah logis pamong belajar yang berstatus sebagai pendidik juga melakukan tugas pengendalian mutu dan evaluasi dampak program. Dalam hal ini pendidik sekaligus bertindak sebagai supervisor. Sementara itu tugas supervisi atau pengawasan pada satuan pendidikan nonformal dilakukan oleh penilik, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 pasal 40 ayat 1. Karenanya baik secara akademik maupun yuridis tugas pokok tersebut tidak tepat menjadi tugas pokok pamong belajar, melainkan menjadi ranah tugas pokok penilik satuan pendidikan nonformal. Hal ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) nomor 15 tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pamong Belajar dan Angka Kreditnya, sedang Permenpan dan RB nomor 14 mengatur Jabatan Fungsional Penilik dan Angka Kreditnya.

Sebagaimana saya tegaskan pada tulisan lain, bahwa pamong belajar telah ditegaskan sebagai pendidik hal mana merupakan jalan yang lempang menuju peneguhan pamong belajar sebagai profesi. Pamong belajar sebagai pendidik bisa saja bertindak sebagai pendidik pada Kelompok Bermain binaan Sanggar Kegiatan Belajar, maka dalam menjaga mutu pelaksanaan program ia akan disupervisi oleh penilik. Galibnya seorang guru disupervisi oleh pengawas. Dalam mana penilik akan menanyakan silabus atau menu acuan generik yang disusun oleh pamong belajar dalam melaksanakan kegiatan belajar, program bulanannya, mingguan sampai satuan kegiatan hariannya dan memberikan bimbingan jika dalam menyusun dokumen perencanaan kegiatan pembelajaran tersebut kurang benar. Demikian pula halnya ketika pamong belajar tersebut melakukan stimulasi tumbuh kembang anak atau kegiatan pembermainan, dalam hal ini penilik akan melakukan penilaian apakah sudah benar yang dilakukan oleh pendidik. Jika kurang betul berkewajiban untuk melakukan pembimbingan agar layanan pendidikan nonformal tetap berkualitas. Di sinilah subtansi ranah pengendalian mutu yang dilakukan oleh pamong belajar sebagaimana diatur dalam pasal 7 Permenpan RB nomor 15 tahun 2010.

Satuan pendidikan nonformal yang diawasi penilik sudah barang tentu tidak hanya satuan yang diampu oleh pamong belajar saja, namun demikian juga tidak ada alasan pula untuk tidak melakukan pengawasan pada satuan pendidikan nonformal yang diampu oleh pamong belajar. Karena hal itu merupakan bagian dari pengendalian mutu pendidikan nonformal, yang tidak boleh ditinggalkan satu satuan pun. Seharusnya pengawasan oleh penilik pada satuan pendidikan yang diampu oleh pamong belajar menjadi skala prioritas. Mengapa? Karena penyelenggaraan satuan pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh Sanggar Kegiatan Belajar dibiayai oleh anggaran pemerintah sehingga penilik harus melakukan pengawasan dari sisi subtansi layanan program, disamping pengawasan oleh inspektorat dari sisi penggunaan keuangan. Di sinilah tugas penilik untuk memastikan kualitas layanan program pendidikan nonformal yang dibiayai pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

Demikian pula sebaliknya, tidak boleh ada penolakan dari pamong belajar yang mengampu satuan pendidikan nonformal ketika penilik datang dan melaksanakan tugasnya dalam pengawasan satuan pendidikan. Landasan yuridis formal penilik sudah sangat kuat untuk melakukan hal itu, bahkan ditinjau dari akuntabilitas publik penilik harus menjadikan satuan pendidikan nonformal yang dikelola oleh Sanggar Kegiatan Belajar sebagai prioritas program karena menyangkut kualitas layanan kepada masyarakat terhadap program yang dibiayai oleh pemerintah. Bahkan penilik juga harus melakukan pengawasan pada satuan pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh Balai Pengembangan Kegiatan Belajar juga BPPNFI dan P2PNFI. Justru dari informasi ketika melakukan pengawasan pada satuan pendidikan nonformal yang dikelola oleh SKB, BPKB, BPPNFI dan P2PNFI dapat dijadikan rujukan dalam melakukan pembimbingan kepada pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan nonformal lainnya yang dikelola oleh masyarakat.

Untuk mewujudkan itu semua diperlukan pedoman berupa Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) yang dapat dijadikan landasan hukum dan acuan koordinasi oleh dinas pendidikan kabupaten/kota. Pedoman ini akan memberikan rambu-rambu kepada penilik dan dinas pendidikan dalam pelaksanaan tugas pokok penilik di wilayah kabupaten/kota, jika diperlukan disebutkan bahwa satuan pendidikan nonformal yang dikelola oleh Sanggar Kegiatan Belajar juga menjadi sasaran kegiatan kepenilikan. Semoga.

[Fauzi Eko Pranyono/PB BPKB DIY]

Saturday, November 26, 2011

Konsep Pendidikan Karakter

Sistem pendidikan di Indonesia secara umum masih dititikberatkan pada kecerdasan kognitif. Hal ini dapat dilihat dari orientasi sekolah sekolah yang ada masih disibukkan dengan ujian, mulai dari ujian mid, ujian akhir hingga ujian nasional. Ditambah latihan-latihan soal harian dan pekerjaan rumah untuk memecahkan pertanyaan di buku pelajaran yang biasanya tak relevan dengan kehidupan sehari hari para siswa.

Saatnya para pengambil kebijakan, para pendidik, orang tua dan masyarakat senantiasa memperkaya persepsi bahwa ukuran keberhasilan tak melulu dilihat dari prestasi angka angka. Hendaknya institusi sekolah menjadi tempat yang senantiasa menciptakan pengalaman pengalaman bagi siswa untuk membangun dan membentuk karakter unggul.

Pengertian Pendidikan Karakter
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.

Konsep Pendidikan Karakter
Karakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut. Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional, sosial, etika, dan perilaku).

Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan harus berkarakter.

Menurut David Elkind & Freddy Sweet Ph.D. (2004), pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya.

Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaann-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian, ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral kognitif, pendekatan analisis nilai, dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas (2010), secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development) yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.

Kofigurasi Karakter
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral. Menurut Hersh, et. al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan; yaitu: pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

sumber : http://kabar-pendidikan.blogspot.com

Thursday, November 24, 2011

Pentingnya PAUD

Pendahuluan

Pendidikan adalah merupakan aset penting bagi kemajuan sebuah bangsa.oleh karena itu setiap warga Negara harus dan wajib mengikuti jenjang pendidikan, baik jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah maupun tinggi.

Kebanyakan anak-anak Indonesia dalam memulai proses masuk ke lembaga pendidikan, mengabaikan pendidikan anak usia dini, padahal untuk membiasakan diri dan mengembangkan pola pikir anak pendidikan sejak usia dini mutlak diperlukan. Saat ini sudah ada kesadaran kearah sana, namun dengan luas dan jumlah penduduk Indonesia yang besar dan lembaga pendidikan anak usia dini masih bersifat seadanya dan banyak yang belum memenui keriteria pendidikan anak usia dini, apalagi pos PAUD yang merupakan perkembangan dari posyandu terintegrasi, dimana awalnya lembaga ini diarahkan untuk mengadakan timbangan badan dan memberikan makanan sehat, yang ahirnya difungsikan untuk memberi stimulasi pendidikan.

Peran ganda ini akan menjadi masalah karena para pengajar tidak dipersiapkan sebelumnya, dimana para kader di pos PAUD adalah berasal dari kader posyandu yang notabene tidak memiliki latar belakang pendidikan yang memadai, sehingga seiring dengan pesatnya perkembangan PAUD maka sudah menjadi tuntutan bagi kader untuk terus mengembangkan pendidikan masing-masing.

Secara krusial perhatian pemerintah adalah tercermin didalam undang-undang sistem pendidikan nasional khususnya yang tertera didalam UU no 20 tahun 2003. khususnya yang terdapat di dalam pasal 28. Dalam salah satu ayat dalam pasal 28 tersebut dikatakan bahwa pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan sebelum pendidikan dasar, dan dalam ayat yang lain dikatakan bahwa pendidikan anak usia dini bukan merupakan prasarat untuk masuk pendidikan dasar. Dan dalam pasal yang lain disebutkan bahwa pendidikan dimulai dari pendidikan dasar,menengah dan pendidikan tinggi.Dengan pasal ini jelas bahwa pendidikandikan di Indonesia tidak dimulai dari pendidikan anak usia dini(PAUD),sehingga banyak kebijakan pemerintah sampai dengan sekarang tidak menyentuh pada PAUD,misalnya tentang ketentuan tentang wajib belajar,dan bantuan yang sifatnya financial;padahal dari aspek lain kita mengakui tentang pentinya pendidikan anak usia dini yang disebut masa mas,bukan masa perak.

Dengan adanya beberapa pasal dan ayat didalam UU no 20 tahun 2003, maka perkembangan dari pendidikan anak usia dini baik dalam bentuk formal maupun non formal secara yuridis tidak mendukung perkembangan PAUD.Bahkan banyak pasal dalam undang undang No 20 tahun 2003 yang saling bertentangan terutama yang terkait dengan PAUD(yang masa terdahulu disebut dengan pendidikan pra sekolah)

Padahal masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pndidikan yang optimal

Masalah

Bagaimanakah pendidkan anak usia dini dalam konteks pendidkan nasional ?

Pembahasan

Periode emas bagi perkembangan anak adalah dimaksudkan untuk memperoleh proses pendidikan, dan periode ini adalah tahun-tahun yang sangat berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai macam fakta di lingkungannnya sebagai stimulus terhadap perkembangan kepribadian , psikomotor, kognitif maupun sosialnya.

Berdasarkan hasil penelitian sekitar 50% kapabilitaas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berumur 4 tahun,8 0% telah terjadi perkembangan yang pesat tentang jaringan otak ketika anak berumur 8 tahun dan mencapai puncaknya ketika anak berumur 18 tahun, dan setelah itu walaupun dilakukan perbaikan nutrisi tidak akan berpengaruh terhadap perkembangan kognitif.

Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Sehingga periode ini merupakan periode kritis bagi anak, dimana perkembangan yang diperoleh pada periode ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan periode berikutnya hingga masa dewasa. Sementara masa emas ini hanya datang sekali, sehingga apabila terlewatkan berarti habislah peluangnya.

Untuk itu pendidikan anak usia dini seharusnya memberikan rangsangan (stimulasi) dari lingkungan terdekat adalah sangat diperlukan untuk mengoptimalkan kemampuan anak.Pemerintah dalam hal jangan sekai-kali melakukan pendekatan yang sangat diskriminatif terutama dalam pengambilan kebijakan terhadap PAUD (baik paud forma,non formal mupun paud informal) terutama pada pos paud,karena UU No 20 tahun 2003 tidak mengenal istilah pos paud (secara tersurat),sekali lagi pemerintah tidak boleh berlaku deskriminatif.

Pemerintah Indonesia telah memperkenalkan panduan stimulasi dalam program

Bina Keluarga Balita (BKB) sjak tahun 1980, namun implementasinya belum memasyarakat. Hasil penelitian Herawati ( 2002) di Bogor menemukan bahwa dari 265 keluarga yang diteliti hanya 15% yang mengetahui program BKB, factor lain adalah rendahnya partisipasi orang tua dalam program BKB.

Berbagai satuan pendidikan anak usia dini yang merupakan pendidikan PAUD yang memberikan layanan pendidikan bagi anak usia lahir sampai dengan 6 tahun, terdapat berbagai lembaga PAUD yang selama ini telah dikenal oleh masyarakat luas :

1. TAMAN KANAK- KANAK DAN RAUDATUL ATFAL (RA)

Pengerian : TK / RA adalah asalah satu bentuk satuan pendidikan bagi anak usia dini pada jalur pendidikan fprmal yng menyeleggelarakan program pendidikan bagi anak usia 4 tahun sampai 6 tahun .

Sasaran, pendidikan TK adalah anak usia 4-6 tahun ,yang dibagi kedalam dua kelompok belajar berdasarkan usia yaitu kelompok A untuk anak usia 4-5 tahun dan kelompok B untuk anak didik usia 5-6 tahun .

Layanan program : TK minimal dilaksanakan 6 hari dalam seminggu dengan jam layanan minimal 2,5 jam per hari.jumlah layanan dalam satu tahun mnimal 160 hari atau 34 minggu

Tenaga pendidik : guru

Persyaratan tenaga pendidik di TK sebagi berikut :

- Memiliki tenaga pendidik dengan kualifikasi akademik sekurang-kurangnya D-IV atau sarjana (S-1) di bidang Pendidikan Anak Usia Dini, Kependidikan lain atau psikologi dan memiliki sertifikasi profesi guru PAUD.

- Memiliki tenaga kependidikan meliputi sekurang-kurangnya minimal satu kepala Taman kanak-kanak, tenaga administrasi dan tenaga kebersihan.

- Menyediakan tenaga kesehatan dan atau psikolog yang telah memiliki izin praktek.

Rasio, antara pendidik dan anak dalam standar pelayanan minimal (SPM) adalah 1:25, sedangkan rasio ideal satu orang pendidik melayani 10/12 anak.

Persyaratan administrasi :
Memiliki lembaga yang berbadan hukum dan terdaftar di Dinas Sosial
Memiliki izin penyelenggaraan dari Suku Dinas Kotamadya
Memiliki kurikulum TK dan perangkatnya
Memiliki sarana bermain, meliputi Outdoor dan Indoor.
Memiliki prasarana dan sarana sesuai dengan SPM dan SK Gubernur tentang penyelenggaraan PAUD
Memiliki sumber pembiayaan sekurang-kurangnya untuk jangka waktu lima tahun.

Struktur Kurikulum, TK dan RA memiliki dua bidang pengembangan, yaitu

1. Pembiasaan (pengembangan diri), yang terdiri : moral dan nilai-nilai agama, sosial emosional dan kemandirian

2. Pengembangan kemampuan dasar, yang terdiri dari bidang pengembangan berbahasa, kognitif, fisik/motorik dan seni.

2. KELOMPOK BERMAIN

Pengertian, kelompok Bermain (KB) adalah salah satu bentuk PAUD pada jalur pendidikan non formal yang menyelenggarakan program pendidikan sekaligus program kesejahteraan bagi anak usia 2 sampai dengan 4 tahun.

Tujuan, penyelenggaraan KB bertujuan untuk menyediakan pelayanan pendidikan, gizi dan kesehatan anak secara holistic dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak sesuai dengan potensi anak yang dilaksanakan sambil bermain.

Peserta didik, di KB diprioritaskan bagi anak usia 2 s.d 4 tahun dengan jumlah anak sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) anak. Selain itu anak usia 5 s.d 6 tahun yang karena sesuatu hal (terpaksa) tidak mendapat kesempatan terlayani di lembaga PAUD formal dapat dilayani di Kelompok Bermain dengan jumlah minimal 10 anak.

Tenaga pendidik, KB dipersyaratkan memenuhi kualifikasi, yaitu : berpendidikan minimal SLTA/ sederajat, sehat jasmani dan rohani, mendapatkan pelatihan PAUD, memiliki kemampuan mengelola kegiatan / proses pembelajaran PAUD, memahami dan menyayangi anak, memahami tahapan tumbuh kembang anak, memahami prinsip-prinsip PAUD dan diangkat secara sah oleh Pengelola Kelompok Bermain.

Hak dan kewajiban, Hak : Pendidik KB berhak mendapat insentif baik dalam bentuk materi, penghargaan maupun peningkatan kinerja sesuai dengan kemampuan dan kondisi setempat (baik melalui APBN, APBD I dan II serta melalui masyarakat ; Kewajiban : pendidik KB berkewajiban untuk membimbing anak, menyiapkan lingkungan belajar yang mendukung pengembangan semua potensi anak dan pembentukan sikap serta perilaku anak.

Tenaga Pengelola, KB hendaknya memiliki kualifikasi sebagai berikut : pendidikan minimal SLTA/sederajat, memiliki kemampuan dalam mengelola dalam mengelola program KB secara professional, memiliki kemampuan dalam melakukan koordinasi dengan tenaga pendidik, instansi terkait dan masyarakat, memiliki kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat dan anak didik serta orang tuanya, memiliki tanggung jawab moral untuk mempertahankan dan meningkatkan keberlangsungan KB yang dikelolanya.

Hak dan Kewajiban, Hak : mendapat pengakuan tentang pengelolaan KB dari Pemerintah Daerah setempat, mendapat kesempatan untuk meningkatkan mutu Pengelola kelompok bermain, mendapat insentif baik dalam bentuk materi, penghargaan maupun peningkatan kinerja sesuai dengan kemampuan dan kondisi setempat, Kewajiban : melakukan pendataan, mengajukan perizinan, menyiapkan sarana dan prasarana, melakukan koordinasi dengan lintas sector terkait, melakukan fungsi manajemen terkait.

Teknis Penyelenggaraan, secara umum dapat diselenggarakan tanpa terkait waktu, tempat, sarana dan prasarana dengan mengutamakan potensi yang ada di lingkungan AUD serta adanya kepedulian lingkungan terhadap pendidikan anak usia 2-6 tahun, khususnya anak usia 2-4 tahun.

Persyaratan Pendirian, setiap pendirian/penyelenggaraan baik perorangan, lembaga maupun organisasi ataupun lembaga swadaya masyarakat harus memenuhi syarat penyelenggaraan sebagai berikut :

Memiliki temapat yang layak untuk menyelengarakan kegiatan KB
Memiliki anak didik
Memiliki tenaga pendidik
Memiliki tenaga pengelola
Memiliki sarana dan prasarana
Memiliki sarana dan prasarana
Memilki alat permainan Edukatif (APE)
Memiliki program pembelajaran

Prosedur Perizinan, setiap pendiri/penyelenggaraan program KB baik perorangan, lembaga, maupun organisasi ataupun lembaga swadaya masyarakat mengajukan permohonan izin penyelenggaraan ke Dinas Pendidikan kabupaten/Kota yang membidangi PAUD dijalur pendidikan nonformal.

- Prosedur, setelah 6 (enam) bulan kegiatan KB berjalan, penyelenggara/pengelola mendaftar untuk minta izin operasional KB ke Dinas Pendidikan Kabupaten /Kota dengan membawa laporan tertulis yang berisi tentang gambaran KB dalam memenuhi syarat minimal penyelengggaraan.

- Penetapan, paling lambat 3 (tiga) bulan setelah laporan diterima, Dinas Pendidikan setempat menilai kelayakan penyelenggaraan program KB, dan apabila dinilai telah layak menyelenggarakan program maka KB dimaksud berhak mendapt izin pendirian. Apabila dinilai belum layak, maka harus diadakan perbaikan-perbaikan terlebih dahulu sampai dinilai layak mendapat izin pendirian.

3. TAMAN PENITIPAN ANAK

Pengertian, TPA adlah salah satu bentuk PAUD ini jalur pendidikan non-formal yang menyelenggaran program pendidikan sekaligus pengasuhan dan kesejahteraan anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun. Atau dengan perkataan lain, TPA adalah wahana pendidikan dan pembinaan kesejahteraan anak yang berfungsi sebagai pengganti keluarga untuk jangka waktu tertentu selama orang tuanya berhalangan atau tidak memiliki waktu yang cukup dalam mengasuh anaknya karena bekerja atau sebab lain, (Depdiknas, Program Belajar TPA, Depdiknas, Jakarta 2001).

Bentuk TPA, beragam kondisi masyarakat dengan cirri khas masing-masing di daerah, menjadikan bentuk TPA bervariasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat, ada 5 pengelompkkan TPA, yaitu TPA Perkantoran, TPA Pasar, TPA Lingkungan (perumahan), TPA perkebunan dan TPA rumah sakit.

Peserta didik, adalah :

anak usia 0-4 tahun yang orang tuanya bekerja (prioritas)
anak usia 0-6 tahun yang tidak mendaptkan layanan pendidikan AUD
peserta didik yang sekurang-kurangnya berusia 3 bln-6 th dan berjumlah 5 orang atau lebih (kecuali anak yang berkebutuhan khusus).

Pendidik, dengan kualifikasi-kualifikasi dasar sebagai berikut :

memiliki kualifikasi akademik minimal SLTA sederajat
mendapat pelatihan PAUD
memahami dan menyayangi anak
memahami tahapan tumbuh kembang anak
memahami prinsip-prinsip PAUD
memiliki kemampuan mengelola (merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, membuat laporan ) kegiatan / proses pembelajaran pendidikan AUD.
Diangkat secara sah oleh pengelola TPA.
Sehat jasmani dan rohani

Hak dan kewajiban pendidik, kewajiban : pendidik di TPA berkewajiban untuk membimbing anak dan menyiapkan lingkungan belajar yang mendukung pengembangan semua potensi anak dan pembentukan sikap serta perilaku anak yang :

Sesuai dengan nilai agama dan budaya setempat
Berdisiplin mematuhi aturan yang berlaku
Bertanggung jawab dalam memelihara lingkungan san sarana bermain
Saling mneghirmati antar teman dan kepada orang yang lebih tua
Saling menyayangi teman, keluarga dan masyarakat
Mencintai dan memelihara lingkungan
Membuat laporan berkala tentang tumbuh-kembang anak.

Hak, pendidik TPA berhak mendapat :

1. Insentif, baik dalam bentuk materi maupun penghargaan

2. Pelatihan untuk peningkatan kinerja sesuai dengan kemampuan dan kondisi setempat.

3. Magang untuk meningkatkan wawasan dan pengalaman dalam mengasuh dan membelajarkan anak-anak yang tergabung dalam TPA.

4. Workshop, semiloka atau kegiatan sejenis untuk menambah pengetahuan yang berhubungan dengan kemajuan PAUD di bidang IPTEK.

Pengelola, dengan kualifikasi dasar sebagai berikut : Lulusan SLTA dan atau sederajat, sehat jasmani dan rohani, memiliki ketrampilan tentang dasar-dasar manajemen, memiliki wawasan tentang pendidikan anak usia dini, memiliki pengalaman dalam mengelola suatu lembaga, diangkat secara sah oleh pengurus Yayasan dan atau Pemilik TPA.

Hak dan kewajiban Pengelola TPA, kewajiban : pengelola berkewajiban mendukung kegiatan proses pembelajaran dengan memfasilitasi sarana dan prasarana di TPA dalam meletakkan dasar-dasar kepribadian, kecerdasan, lingkungan sosial anak dan menjaga kesehatan, serta memberikan rasa aman agar anak mampu mengikuti pendidikan labih lanjut ; Hak : pengelola TPA berhak mendapat insentif baik dalam bentuk materi, penghargaan maupun peningkatan kinerja sesuai dengan kemapuan dan kondisi setempat.

Pengasuh / perawat, dengan kualitas dasar sebagai berikut : lulusan SLTA sederajat yang telah mendapat pelatihan PAUD, sehat jasmani dan rohani, memiliki ketrampilan di bidang perawatan dan pengasuhan anak (pramubalita), diangkat secara sah oleh pengelola TPA.

Hak dan Kewajiban Pengasuh TPA, kewajiban : pengasuh berkewajiban mendukung kegiatan proses pembelajaran di TPA dalam meletakkan dasar-dasar kepribadian, kecerdasan, lingkungan sosial anak dan menjaga kesehatan, serta memberikan rasa aman agar anak mampu mengikuti pendidikan lebih lanjut ; hak : pengasuh di TPA berhak mendapat insentif baim dalam bnetuk materi, penghargaan maupun peningkatan kinerja sesuai dengan kemampuan dan kondisi setempat.

Rasio pendidik/ pengasuh : peserta didik, yang tergabung dalam TPA dibagi menurut usia :

0-12 bulan = 1 orang : 2 bayi
13-36 bulan = 1 orang : 4 anak
37-60 bulan = 1 orang : 8 anak
61-72 bulan =1 0rang : 10 anak

Teknis penyelenggaraan, persyaratan :

Lingkungan TPA
Tempat Belajar
Ruangan
Perabot
Sarana belajar.

Perizinan TPA, merupakan suatu ketetapan pemerintah yang diberikan kepada setiap TPA, setelah memenuhi persyaratan administrasi dan dinilai kelayakannya untuk menyelenggarakan program pembelajaran bagi anak usia dini yang dititipkan pada TPA tersebut. Izin ini berlaku pada kurun waktu tertentu dan dapat diperpanjang kembali. Izin ini dikeluarkan oleh Dinas yang ditunjuk oleh pemerintah Daerah (PEMDA) setempat dalam hal ini Dinas Pendidikan (bidang pendidikan non formal dan informal/subdin PNFI) dan atau Dinas Sosial di tingkat kabupaten / kota dan atau lembaga lain yang ditunjuk pemerintah kabupaten / kota.

Pembiayaan, yayasan /badan/perorangan penyelenggara TPA bertanggung jawab atas pembiayaan yang diperlukan bagi pengelolaan program di TPA bersangkutan; Pemerintah Daerah /Pusat agar member bantuan kepada TPA yang diselenggrakan oleh yayasan/ perorangan dalam bentuk dana dan atau sarana pendidikan. Pendidik dan bantuan lain disesuaikan dengan anggran yang diperuntukkan bagi pengembangan PAUD.

POS PAUD

Peserta didik, di pos PAUD adalah anak usia 0-6 tahun yang tidak terlayani PAUD lainnya. Orang tua wajib memperhatikan kegiatan anak selama di pos PAUD agar dapat melanjutkan di rumah.

Pendidik pos PAUD, dapat disebut kader atau sebutan lain yang sesuai dengan kebiasaan setempat ; jumlah kader paud sesuai dengan jumlah usia anak yang terlayani.

Persyaratan kader pos PAUD ; latar belakang pendidikan SLTA atau sederajat, menyayangi anak kecil, bersedia berkerja secara sukarela, memilki waktu untuk melaksanakan tugasnya, dapat bekerja sama dengan sesame kader.

Tugas kader kelopok anak usia 0-2 tahun :

- Menyiapkan administrasi kelompok, yaitu : daftar Hadir, buku Rencana kegiatan anak, buku catatan perkembangan anak, dan kartu deteksi dini tumbuh kembang anak (DDTK).

Menyiapkan kegiatan anak sesuai dengan rencana hari ini.
Menyiapkan tempat dan APE untuk pengasuhan bersama.
Menyambut kedatangan anak dan orang tua.
Mengisi daftar hadir
Mendampingi orang tua dalam pengasuhan bersama.
Mencatat perkembangan anak yang terjadi hari itu (bila ada).
Melakukan deteksi dini dengan menggunakan kartu DDTK kepada anak yang saatnya dideteksi.

Tugas kader kelompok anak usia 2-6 tahun :
Menyiapkan adminstrasi kelompok : Daftar hadir anak, buku rencana kegiatan anak, buku catatan perkembangan anak, buku-buku panduan pos PAUD, dan kartu deteksi dini tumbuh kembang anak (DDTK).
Menyiapkan kegiatan anak sesuai rencanan hari itu.
Menata kegiatan untuk main bebas sebelum kegiatan dimulai.
Menyambut kedatangan anak.
Bersama kader lain memandu anak-anak dalam kegiatan pembukaan (main gerakan kasar) di halaman.
Mengisi daftar hadir anak.
Memandu kegiatan anak di kelompok yang dibinanya.
Mencatat perkembangan anak.
Melakukan deteksi dini dengan menggunakan kartu DDTK kepada anak yang saatnya dideteksi)

KEBIJAKAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)

Berbagai kebijakan terkait dengan keberadaan PAUD di Indonesia telah ditetapkan dalam dokumen resmi Negara, seperti :

Dalam pembukan UUD 1945 khususnya dalam alenia ke-4, …… kemudian dari pada kitu untuk membentuk suatu persatuan Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat, mencerdaskan kehidupan banbsa,dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial ….”

Dari bunyi alinea ke 4 ini jelaslah bahwa mencerdaskan anak berarti membangun kwalitas SDM , yang berarti membangun kualitas SDM Negara.

Amandemen UUD 1945 khususnya pada pasal 28 C ayat 2 bahwa setiap anak berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Sedangkan menurut UU perlindungan anak Nomor 23 tahun 2002, setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta dapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 4); setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai minat dan bakatnya (pasal 9 ayat 1) dan selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Khususnya bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan anak yang memiliki keunggulan juga mendapatkan pendidikan khusus (pasal 9 ayat 2). (Departemen Sosial RI, 2005 : 5).

Selanjutnya dalam Undang-undang no 20 tahun 2003 dikatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya yang dituukan bagi anak sejak lahir samapi dengan usia 6 tahun yang dialukan melalui pemberian rangsangan pendidikan membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani & rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Beberapa komitmen lain dari pemerintah Indonesia terhadap pengembangan anak usia dini dengan dikeluarkannya keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.051/0/2001 tentang didirikannya Direktorat PADU (Pandidikan Anak Dini Usia) di lingkungan Departemen Nasional yang selanjutnya direktorat ini berubah menjadi Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (Direktorat PAUD).

Selanjutnya Presiden mengeluarkan peraturan presiden No.14 th 2010 dimana dengan peraturan presiden ini Direktorat PAUD yang awalnya mngurusi PAUD non formal berubah menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal (dimana salah satu fungsinya menyelenggarakan pendidikan anak usia dini formal, non formal, dan informal).

Demikianlah berbagai ketentuan konstitusi negara republic Indonesia yang dimulai dari ketentuan UUD 1945, sampai dengan peraturan presiden,masihkah kita tidak mau untuk melaksanakan ketentun tersebut dengan murni dan konsekwen?kalau demikian berarti kita telah melakukan pelanggaran terhdap konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

sumber : http://posyandu.org/

Wednesday, November 23, 2011

PENDIDIKAN TOLERANSI

Ditengah kemajemukan kehidupan berbangsa, paham toleransi dengan sikap saling menghargai dan menghomati merupakan paham yang harus selalu diinjeksikan dalam tubuh dan pikiran masyarakat. Paham dan sikap toleransi yang terus dihidupkan akan dapat mengurai berbagai sekat dan petak-petak perbedaan suku, agama, ras, ataupun kepentingan kelompok yang melingkari. Kesadaran toleransi yang terbangun akan dapat membangkitkan semangat gotong royong, kekeluargaan, dan membangkitkan bangsa dari keterpurukan.
Toleransi sendiri berasal dari bahasa latin, yaitu tolerantia yang memiliki arti kelonggaran, kelembutn hati, keringanan, dan kesabaran. Yang artinya kemampuan dari kita untuk bisa menerma apa adanya setiap perbedaan yang terjadi sehingga melahirkan kehidupan yang damai.
Dalam konteks berbangsa dan beregara, pendidikan yang mengajarkan semangat toleransi memiliki peranan yang penting dalam membentuk dan membangun paradigma dalam masyarakat yang plural. Pembentuka nalar dan karakter toleran akan dapat membuka wawasan peserta didik tentang realitas sosial bangsa yang majemuk dan berbeda. Dengan demikian akan melahirkan masyarakat yang tulus dan ikhlas untuk hidup dalam keragaman.
Peserta didik yang dapat mengimplemantasikan kebinekaan dalam keekaan. Peserta didik yang memiliki pola pikir, pola sikap, dan pola laku yang tidak terjebak dalam kotak sempit keentingan sektoral. Karena itu, jangkar toleransi mesti ditanam dalam kerangka berpikir para peserta didik sejak dini.
Penanaman pendidikan otleransi sangat urgen untuk Indonesia yang memiliki beraneka ragam suku, adat, bahasa, aliran kepercayaan, kontur daerah hingga tekstur budaya. Keanekaragaman mestinya dapat dijadikan aset sosial politik untuk kebajikan dan kemaslahatan umat dan bangsa. Namun dalam kenyaaannya perbedaan tersebut seringkali menjadi malapetaka yang emyeret bangsa dalam jurang perpecahan.
Disinlah peran pendidikan yang harus digali dengan akar nilai bangsanya. Akar nilai tentang persaudaraan, kekeluargaan, dan gotong royong akan dapat mendorong terjadinya pembebasan manusia dari belenggu-belenggu ego sektoral.
Berkaitan dengan penanaman pendidikan toleransi, sekolah mempunyai peran strategis untuk keanekaragaman. Kesadaran yang akan melahirkan sikap untuk saling menghargai dan menghormati segala bentuk perbedaan.
Sekolah merupakan embrio bagi penyemaian ide-ide tentang toleransi. Dalam konteks inilah implementasi pedidikan toleransi membutuhkan pendidik yang bisa dijadikan role model sebagai contoh bagi siswa untuk bisa menerapkan sikap toleran, cinta damai, solutif, dan anti kekerasan.
Dalam aplikasinya pun penanaman pendidikan toleransi tidak bisa dibebankan pada satu ataupun dua mata pelajaran, seperti pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn) ataupun mata pelajaran agama. Seluruh pendidik berkewajiban untuk menerangka pentingnya toleransi dalan kehidupan, baik saat bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa. Sebab perbedaan adalah keniscayaan yang tidak bisa kita pungkiri.
Selain, itu penanaman sel pendidikan tidak bisa dilepaskan dari peranan keluarga, sebab dalam keluargalah penanaman nilai, moral dan akhlak untuk pertama kali dikenalkan. Dalam keluarga pendidikan akan tumbuh dari sikap saling asuh dan kasih sayang yang ditunjukkan orangtua pada anak. Oleh karena itu tidak salah bila menyebut keluarga merupakan lahan subur pengembangan mental anak dalam membangun pribadi yang utuh.
Dalam keluarga pendidikan akan dimulai dari pengetahuan instingtif dengan kasih sayang dan pelindungan yang diberikan oleh orang tua. Lalu, orangua akan memberikan pengetahuan kepada anak tentang empirik yang diperagakan dengan bimbingan. Percontohan dan arahan. Kemudian, orangtua akan memberikan pengetahuan pada anak dengan pengetahuan rasional, seperti mengatur kegiatan, menentukan pilihan, dan membentuk sikap percaya diri.
Dalam kaitan inilah keluarga mempunyai peran sangat menentukan dalam membangun kerakter anak. Dalam keluarga yang demokratis, yang memberi keleluasaan bagi anak untuk memilih dan menentukan, anak akan bertanggungjawab yang lebih tinggi dari pada keluarga yang memanjakan anaknya dengan fasilitas yang membuatnya tidak berfikir dan mengambil tanggung jawab.

Lapis Pertama
Peran sentral keluarga dalam pendidikan lepis pertama biasanya akan sangat mempengaruhi jalan kehidupan sang anak . Anak yang hidup dalan keluarga yang broken home, dimana si anak tidak mendapat sentuhan kasih sayang yang melimpah, perhatian yang penuh dari orang tua, serta situasi keluarga yang kacau dan tidak kondusif, senderung memiliki pribadi yang akan tidak terkendali, nakal, tidak bisa di atur, dan mencontoh berbagai tindak kekerasan yang ada dirumah.
Sebagai pendidikan lapis pertama, kondisi eluarga secara signifikan akan memperkenalkan stigma tentang kehidupan bagi si anak. Anak akan cenderung meniru dan menjiplak apa yang mereka lihat dilingkungan terdekatnya. Bila aneka kekerasan yang seringkali muncul, maka kecenderungan si anak untuk meniru perilaku lingkungan juga akan sangat besar. Demikian pula, bila situasi keluarga kndusif, memberikan ruang bagi anak untuk belajar, memompa dan memberikan motivasi, anak juga akan terdorong untuk meniru aktivitas lingkungannya.
Artinya, keluarga memiliki peran yang besar dalam memperkenalkan kehidupan nyata bagi sang anak.. Oleh karena itu, orang tua sudah seharusnya tahu bahwa keluarga memiliki peran dalam menentukan fondasi dasar pembentukan kepribadian anak. Karena pendidikan sejatinya berawal dari keluarga.
Kehidupan keluarga adalah tempat yang paling tepat bagi tumbuhnya kesadaran akan tujuan dan eksistensikehidupan. Urgen sekali bila pendidikan keluarga mampu membangun pencerdasan mentaldan spiritual sang anak, bukan sekedar mencerdaskan secara kognisi, melainkan juga sisi afeksi dan psikomotorik anak.
Melihat begitu besar perannya, keluarga sebagai lembaga pendidikan mula, mestinya mendapat perhatian yang lebih. Sebab, belum tentu semua orangtua tahu tentang begitu besarnya peran mereka dalam membentuk kepribadian sang anak hingga membangun mentalitas yang tangguh.
Utamanya dalam membangun karakter yang jujur, sopan, berakhlak, anti korupsi, ikhlas, sabar, dan selalu bisa mensyukuri setiap keadaan. Hingga, sang anak juga memiliki mimpi-mimpinya dan menggapainya dengan proses bukan menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuannya.
Pembangunan watak yang demikian tentunya akan sangat memerlukan peran keluarga sehat dan kondusif. Menurut Komarudin Hdayat, buah akan mencerminkan pohonnya. Hanya, akar dan pohon yang sehat yang akan melahirkan dedaunan yang rimbun dan buah sehat sehingga memberi berkah bagi lingkungannya. Keberhasilan orangtua akan dinilai dari bagaimana mereka mendidik putra-putrinya. Keluarga adalah school of love.

Oleh : Erna Trigayanti (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang)
Sumber : Harian Republika

Tuesday, November 22, 2011

Pendidikan Keluarga; Pendidik & Alat Pendidikan

Pendidikan menurut Langeveld adalah setiap usaha, bantuan, pengaruh, sarana dan perlindungan yang diberikan kepada anak untuk tujuan mendewasakan anak itu sendiri, atau lebih tepatnya adalah untuk memberikan bekal atau kecakapan kepada anak dalam menjalankan tugas hidupnya itu sendiri. Menurut Ki Hajar Dewantara Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Satu lagi pengertian menurut J.J. Rousseau Pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa.

Dari semua pengertian pendidikan diatas bertujuan utama adalah perbekalan anak pada masa yang akan datang untuk menjalani tugas hidup baik bermasyarakat dan bersosial. Satu kata yang tepat pada pendidikan adalah memberikan kecakapan, ini menunjukkan bahwa pendidikan bukan membuat seseorang harus menjadi pintar tetapi memberikan kecakapan. Setiap pendidikan dimulai dengan tahapan dan proses memberikan pengaruh dan bantuan serta perlindungan. Yang paling pertama memberikannya adalah keluarga, karena itulah menurut Blog Keluarga dan yang namanya Pendidikan Keluarga.

Untuk bisa melaksanakan pendidikan keluarga diperlukan alat pendidikan dan pendidik untuk bisa memberikan yang namanya usaha, pengaruh, bantuan, perlindungan dan sarana yang diperlukan anak dalam pendidikan guna mendapatkan kecakapan yang sesuai dimasa mendatang.

Pendidik
Pendidik adalah orang yang memikul pertanggungjawaban untuk mendidik. Menurut Dwi Nugroho Hidayanto, menginventarisasi bahwa pengertian pendidik meliputi: Orang Dewasa, Orang Tua, Guru, Pemimpin Masyarakat, Pemimpin Agama. Maka bisa di kelompokkan dalam pendidikan keluarga pendidik meliputi orang yang lebih tua seperti ayah, ibu, dan kakak serta orang tua yang ada di rumah. Pendidik yang baik paling tidak memiliki karakteristik seperti kematangan diri yang stabil dan kematangan sosial yang stabil. Kematangan diri bertujuan memberikan contoh kemandirian sedangkan kemandirian sosial memberikan contoh dan sikap kepada orang lain. Kematangan mendidik dalam hal hubungannya dengan anak, cinta kasih dan membuat nyaman anak dalam menerima pendidikan. Kematangan utama adalah untuk memberikan teladan dan contoh yang baik.

Alat Pendidikan
Pada dasarnya alat pendidikan aspeknya sangat luas, tidak hanya merujuk pada alat yang berbentuk fisik saja, namun juga alat yang tidak berbentuk fisik sangat memberikan dampak yang lebih pada anak.

Alat Pendidikan Non Fisik
Alat disini tidak memiliki bentuk fisik yang terlihat tetapi dapat dirasakan. Berikut alat pendidikan non fisik yang didapat dalam keluarga:
Sebuah sikap dan aturan yang dibuat dalam keluarga, dalam aturan dan sikap ini bisa diberikan seperti hukuman, pujian, contoh bersikap, nasihat, teladan, larangan dan perintah.
Lingkungan dimana diberikan pendidikan, membuat lingkungan keluarga menjadi nyaman maka diharapkan pendidikan yang baik bisa dijalankan dengan nyaman juga.

Alat Pendidikan Fisik
Alat pendidikan fisik dalam keluarga adalah bentuk-bentuk benda fisik yang ada dirumah untuk dijadikan alat pendidikan. Misalkan pemotong kuku untuk mengajarkan kepada anak memotong kuku, sapu untuk mengajarkan anak membersihkan lantai dan alat alat yang lain.

sumber : http://henny-fmh.blogspot.com

Sunday, October 23, 2011

Cara Jitu Berkomuniasi dengan Anak

Berkomunikasi dengan anak itu susah-susah gambang. Banyak keinginan mereka yang tak diketahui oleh orang dewasa. Mereka memiliki kepribadian dan perasaan yang berbeda dengan orang dewasa.

Oleh karena itu, perlu adanya teknik untuk bisa memahami apa yang dirasakan dan keinginan anak. Ada tiga tips sederhana yang mungkin bisa dilakukan untuk bisa memahami bagaimana dunia anak:

Pertama, definisikan dunia mereka

Penting sekali untuk mengetahui dunia anak dari sudut pandang anak, bukan orang tua. Orang tua perlu berbicara dengan bahasa yang paling sederhana dengan anak-anak. Dari pada memulai pembicaraan dengan bahasa yang rumit dan seolah ‘menggurui’, akan lebih baik untuk bertanya dengan bahasa mereka.

Sebagai contoh, jika melihat seorang anak yang murung karena orang tuanya bercerai, jangan mengatakan "aku tahu kamu sedih atas apa yang menimpa orang tuamu". Cobalah bertanya hal yang sederhana "Arya, menurutmu apa yang kau lakukan jika kau seorang ayah?”

Mengajukan pertanyaan itu, selain bisa mengetahui pendapat sang anak, juga bisa menguak apa yang tersembunyi di benaknya. Jika orang tua membangun situasi yang bisa meluapkan emosi mereka, anak akan menjadi nyaman. Ia akan bersikap lebih terbuka dan bisa menceritakan lebih dalam situasi pribadinya.

Kedua, berbagi dengan dunia mereka

Bermain adalah teknik paling kenvensional namun jitu untuk mengungkapkan emosi anak. Sesuaikan dengan usia anak. Bermain ‘ibu-ibuan’ mungkin ide yang cukup bagus untuk bisa memahaminya. Anak memainkan peran orang tua, sementara orang tua memainkan peran lain. Amati setiap eskpresi dan emosi yang diberikan. Dengan begitu, orang tua bisa melihat bagaimana pandangan anak terhadap orang tua.

Ketiga, masuki dunia mereka

Seni menjadi suatu metode efektif untuk berkomunikasi dengan anak. Kebanyakan anak akan menggambar ketika mereka tidak nyaman berbahasa verbal. Mulailah meminta anak menggambar yang menunjukkan kesehariannya. Jika anak merasanya nyaman, mungkin Anda juga perlu untuk menunjukan gambar Anda padanya. Saling berbagi gambar, saling berbagi emosi.

sumber : www.republika.co.id

Sunday, October 16, 2011

Anak Usia 4 dan 7 Tahun Punya Kecepatan Belajar Baca yang Sama

Kapan anak sebaiknya mulai belajar membaca? Ada yang mengatakan saat akan masuk Sekolah Dasar (SD) atau saat di Taman Kanak-kanak. Tapi sebuah penelitian menemukan anak yang diajarkan membaca saat berusia 7 tahun memiliki kecepatan belajar yang sama seperti anak berusia 4 tahun.

Temuan tersebut berdasarkan riset yang dilakukan University of Warwick yang diterbitkan dalam British Journal of Educational Psychology. Riset tersebut diawali keinginan Dr Julia Carroll dan Anna Cunningham dari Departemen Psikologi University of Warwick, yang ingin mencari tahu apakah anak-anak yang lebih tua lebih cepat belajar membaca.

Keduanya lalu mengetes keterampilan baca anak-anak yang bersekolah di sekolah negeri sejak berusia 4 tahun. Kemudian membandingkan hasilnya dengan anak-anak yang diajarkan di sekolah Steiner, di mana pengajaran membaca secara formal hanya diberikan ketika anak-anak berusia 7 tahun.

Tim peneliti menguji 30 anak-anak sekolah Steiner yang berusia dari 7-9 tahun kemudian membandingkan hasilnya dengan kelompok kontrol yang terdiri dari 31 anak berusia 4-6 tahun yang bersekolah di sekolah negeri.

Di sekolah Steiner, murid sekolah tidak diajari membaca sebelum berusia 7 tahun dengan pertimbangan bahwa anak-anak akan lebih efektif mempelajari berbagai keterampilan jika memiliki lebih banyak waktu untuk berkembang secara emosi dan sosial.

Namun menurut Dr Carroll, perkembangan emosi dan sosial tampaknya sesuai dengan keterampilan membaca. Dalam studinya kedua kelompok anak-anak menunjukkan kemajuan yang sama dalam membaca selama tahun pertama mereka bersekolah.

"Di Inggris, kami mulai bersekolah pada usia yang relatif muda dan seringkali orang berpendapat bahwa akan lebih baik bagi anak-anak jika mulai belajar membaca pada usia yang lebih tua. Namun, pendapat ini biasanya didasarkan pada perkiraan saja. Sekolah Steiner memberikan contoh alami karena murid-muridnya baru mulai belajar membaca setelah berusia 7 tahun," kata Dr. Carroll seperti dikutip dari Medicalxpress, Sabtu (15/10/2011).

Saat ini ada sekitar 25 sekolah Steiner di Inggris yang menawarkan alternatif baru yang berbeda dengan kurikulum nasional. Sekolah-sekolah baru ini menerapkan konsep Sekolah Gratis sesuai inisiatif pemerintah Inggris.

"Berlawanan dengan harapan kami, kedua kelompok anak-anak memiliki kemajuan yang sama pada kecepatan membaca. Bahkan, anak-anak yang lebih muda sedikit lebih baik dalam mengeja daripada anak-anak yang lebih tua. Ini menunjukkan bahwa anak-anak yang lebih tua tidak selalu lebih cepat belajar membaca dan pembelajaran yang diberikan pada sekolah negeri sejak anak berusia 4 tahun usia cukup efektif," pungkasnya.

sumber : detikhealth.com

Thursday, October 13, 2011

Peran Bahasa Ibu Memberantas Buta Aksara

Model saling menjemput antar warga belajar pendidikan keaksaraan bisa dilakukan untuk menumbuhkan semangat belajar antar anggota, alasan keamanan juga menjadi dasar karena kegiatan belajar mengajar umumnya dilakukan pada malam hari setelah kegiatan rutin rumah tangga selesai selain itu juga karena sebagian besar warga belajra adalah ibu-ibu rumah tangga. Bila pagi mereka mengurus rumah dan membantu pekerjaan di ladang sehingga waktu belajar hanya tersedia setelah shalat magrib.
Sistem pembelajaran dilakukan dengan diskusi, membaca, menulis, berhitung yang diberikan oleh para tutor dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa ibu. Pembelajaran dengan menggunakan bahasa ibu ini, sangat membantu warga belajar untuk menyesuaikan diri saat mengawali pembelajaran, sebab warga belajar yang mengikuti kelas baru biasanya tidak percaya diri karena menilai belajar baca tulis itu sulit dan menakutkan. Proses diskusi dan pembelajaran juga diharapkan bertumpu pada konteks lokal baik dalam penggunaan bahasa pengantar, contoh permasalahan seluruhnya yang terjadi dalam keseharian warga belajar, misalnya persoalan kesulitan mendapat air, mahalnya harga minyak tanah dan sebagainya, sehingga lebih ,mudah dan cepat dipahami dibandingkan dengan bahasa yang belum begitu familiar bagi para peserta belajar.
Pemahaman pengelola lembaga dan para tutor tentang karakteristik warga belajar sangat membantu mempercepat pembelajaran kekasaraan karena sebagian besar masyarakat pedesaan hanya mengenal bahasa ibu dan tidak mampu menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar
Karena itu, pemberantas buta aksara menjadi tidak efektif bila awal pembelajaran menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa ibu bisa menjadi jembatan sebelum warga belajar memahami baca, tulis dan berhitung dalam bahasa Indonesia, katanya.
Selanjutnya untuk merangsang semangat belajar, diberikan tambahan ketrampilan, seperti kerajinan tangan, kesenian dengan memanfaatkan potensi lokal yang dapat memberikan penghasilan bagi warga belajar antara lain, kerajinan rotan tudung saji, keranjang, kotak tisu, hingga mebel, mainan yang melibatkan partisi dari bambu

Anak Bisa Membedakan Benar Salah Sejak Usia 15 Bulan

Banyak yang berpikir seorang bayi belum mengerti apa-apa. Tapi studi menunjukkan bahwa kemampuan untuk membedakan yang benar dan salah sudah dimiliki sejak usia 15 bulan.

Para peneliti menuturkan dalam penelitian ini bayi memiliki pemahaman yang baik tentang apa yang adil dan tidak adil seperti dalam pembagian makanan dengan orang lain. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran awal mengenai keadilan sehingga bisa membedakan mana yang benar dan salah.

"Temuan kami menunjukkan bahwa norma-norma seperti keadilan lebih cepat diperoleh dari yang kita duga, seperti bayi yang lebih sensitif terhadap pembagian makanan atau mainan yang tidak adil," ujar Jessica Sommerville, profesor psikologi dari University of Washington, seperti dikutip dari Dailymail, Sabtu (8/10/2011).

Studi yang hasilnya diterbitkan dalam jurnal PLoS ONE ini memperlihatkan 2 video singkat bayi berusia 15 bulan. Diketahui bayi menghabiskan banyak waktu untuk melihat bagaimana distribusi suatu makann dan melihat apakah ada seseorang yang mendapatkan lebih banyak dibanding orang lain.

"Bayi mengharapkan adanya distribusi yang sama dan adil dari makanan tersebut, dan mereka akan terkejut jika melihat satu orang mendapatkan biskuit atau susu lebih banyak dibanding yang lain," ujar Sommerville.

Sommerville mengungkapkan bayi cenderung melihat adanya keadilan dan ketidakadilan dengan cara mengamati bagaimana seseorang memperlakukan satu sama lain. Bayi akan terkejut jika ia melihat adanya perbedaan distribusi.

"Hasil percobaan menunjukkan pemahaman mengenai keadilan dan salah benar sudah ada sejak dini. Mereka bersedia berbagi dengan yang lain dan akan benar-benar sensitif terhadap adanya pelanggaran keadilan tersebut," ungkapnya.

sumber :detikhealth.com

Sunday, October 9, 2011

Orang Tua Jadi 'Kompas' Bagi Anak-Anaknya

Penulis buku "Cinta Kasih Jurus Jitu Mendidik Anak: Pengalaman 36 Tahun", Prof dr Hardi Darmawan, MPH dan dr Indrawati Hardi, sepakat menegaskan bahwa para orang tua menjadi "kompas" atau penentu arah bagi anak-anak mereka.

"Mendidik anak bukan suatu hal yang berat. Itu dapat dilakukan oleh para orang tua dengan cinta kasih," kata Prof Hardi.

Idealnya anak harus dibekali dengan lima kecerdasan, yaitu kecerdasan spiritual, intelektual, relasi, emosional dan komunikasi. Lima kecerdasan tersebut akan menjadi bekal hidup anak sampai dewasa. Sehingga, mereka bisa berhasil dan menjadi kebanggaan orang tua.

Hardi menyatakan bahwa pendidikan yang bermula dari keluarga dengan cinta kasih mampu menjadi landasan bagi anak sampai dewasa. Pendidikan cinta kasih bisa menentukan perkembangan positif ke depan.

''Anak akan mendapatkan manfaat yang luar biasa untuk bekalnya. Tetapi, hal ini memang harus dipantau oleh orang tua sejak dini hingga dewasa, kata dia. ''Orang tua berperan menjadi "kompas" sebagai penentu arah untuk membentuk anak yang positif.''

sumber : www.republika.co.id

Saturday, October 8, 2011

Urgensi Pendidikan Anak Usia Dini

TANTANGAN pendidikan di era modern semakin berat, karena persoalan di dalam masyarakat semakin kompleks. Kompleksitas persoalan ini tentunya perlu diselesaikan dengan bijak.

Artinya, pendidikan mempunyai andil yang cukup signifikan dalam melakukan transformasi sosial.

Ketika pendidikan hanya duduk termangu di tengah rusaknya moral dan semakin terpuruknya bangsa Indonesia, maka ia akan mendapatkan dosa sejarah yang akan selalu dikenang dan dicatat.

Pendidikan dewasa ini disadari atau tidak mengalami distorsi yang sangat mengkhawatirkan. Di satu sisi pemerintah telah membuat kurikulum yang menurut pemikiran sangat diharapkan memiliki keandalan dalam peningkatan mutu intelektualitas dan kapasitas (keahlian). Namun, di sisi lain, terjadi degradasi moral peserta didik.

Realitas yang seringkali tersaji adalah banyak tindakan kriminalitas seperti penyalahgunaan obat-obat terlarang, kejahatan seksual, pencurian, maraknya geng-geng, bahkan terorisme, justru dilakukan oleh mereka yang berstatus sebagai pelajar.

Sebelum memasuki masa remaja, seseorang terlebih dahulu menikmati masa anak-anak. Pada masa inilah mereka mendapat rangsangan dan pendidikan dari luar, sehingga ia akan tumbuh menjadi pribadi yang bermoral.

Pembentukan moral seseorang biasanya dimulai pada masa usia dini, yaitu umur 0-8 tahun. Pada usia ini adalah awal bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Dengan demikian, pendidikan pada masa ini akan sangat berpengaruh terhadap masa depan atau kehidupan selanjutnya sang anak.
Fondasi Tumbuh Kembang Hibana S Rahman (2002) menyatakan, pendidikan anak usia dini memegang peranan yang sangat penting dan menentukan sejarah perkembangan anak selanjutnya. Sebab, pendidikan anak usia dini merupakan fondasi bagi dasar kepribadian anak.

Anak yang mendapatkan pembinaan sejak dini akan dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan fisik dan mental, yang itu akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar, etos kerja, dan produktivitas. Dengan bekal ini anak akan lebih mampu untuk mandiri dan mengoptimalkan potensi yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya.

Maka, pendidikan anak usia dini adalah fondasi atau peletak dasar bagi tumbuh kembang anak. Ketika pendidikan anak usia dini tidak mendapat porsi dan perhatian lebih, maka akan mengancam keberlangsungan pendidikan pada tingkatan selanjutnya.
Lebih dari itu, ketika peserta didik mengalami trauma di masa pendidikan anak usia dini, akan berakibat fatal. Ia akan terganggu tumbuh kembangnya dan akan mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat.

Oleh karena itu, dibutuhkan suasana belajar yang menyenangkan dan dasar pendidikan yang cukup baik dalam melaksanakan pendidikan pada masa ini. Pendek kata, diagnosis yang salah dalam pendidikan ini akan mengakibatkan penyakit kronis yang lebih parah. (37)

— Nurul Maghfiroh, pendidik di home schooling di Desa Ponowaren Tawangsari, Sukoharjo.

sumber : Suara Merdeka