Saturday, April 30, 2011

Mengapa Pendidikan Anak Usia Dini Penting?

Pendidikan anak usia dini (PAUD) yang baik dan tepat dibutuhkan anak untuk menghadapi masa depan, begitulah pesan yang disampaikan Profesor Sandralyn Byrnes, Australia's & International Teacher of the Year saat seminar kecil di acara Giggle Playgroup Day 2011, gelaran Miniapolis & Giggle Management, Jumat, 11 Februari 2011 lalu.

Menurut Byrnes, PAUD akan memberikan persiapan anak menghadapi masa-masa ke depannya, yang paling dekat adalah menghadapi masa sekolah. "Saat ini, beberapa taman kanak-kanak sudah meminta anak murid yang mau mendaftar di sana sudah bisa membaca dan berhitung. Di masa TK pun sudah mulai diajarkan kemampuan bersosialisasi dan problem solving. Karena kemampuan-kemampuan itu sudah bisa dibentuk sejak usia dini," jelas Byrnes.

Di lembaga pendidikan anak usia dini, anak-anak sudah diajarkan dasar-dasar cara belajar. "Tentunya di usia dini, mereka akan belajar pondasi-pondasinya. Mereka diajarkan dengan cara yang mereka ketahui, yakni lewat bermain. Tetapi bukan sekadar bermain, tetapi bermain yang diarahkan. Lewat bermain yang diarahkan, mereka bisa belajar banyak; cara bersosialisasi, problem solving, negosiasi, manajemen waktu, resolusi konflik, berada dalam grup besar/kecil, kewajiban sosial, serta 1-3 bahasa."

Karena lewat bermain, anak tidak merasa dipaksa untuk belajar. Saat bermain, otak anak berada dalam keadaan yang tenang. Saat tenang itu, pendidikan pun bisa masuk dan tertanam. "Tentunya cara bermain pun tidak bisa asal, harus yang diarahkan dan ini butuh tenaga yang memiliki kemampuan dan cara mengajarkan yang tepat. Kelas harusnya berisi kesenangan, antusiasme, dan rasa penasaran. Bukan menjadi ajang tarik-ulur kekuatan antara murid-guru. Seharusnya terbangun sikap anak yang semangat untuk belajar," jelas Byrnes.

Contoh, bermain peran sebagai pemadam kebakaran, anak tidak akan mendapat apa-apa jika ia hanya disuruh mengenakan busana dan berlarian membawa selang. Tetapi, guru yang mengerti harus bisa mengajak anak menggunakan otaknya saat si anak berperan sebagai pemadam kebakaran, "Apa yang digunakan oleh pemadam kebakaran, Nak? Bagaimana suara truk pemadam kebakaran yang benar? Apa yang dilakukan pemadam kebakaran? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan ditanyakan untuk memancing daya pikir si anak," contoh Byrnes.

Selama 7 tahun meneliti pendidikan anak usia dini di Indonesia, Byrnes juga menemukan sebagian orangtua memiliki konsep bahwa anak-anak di usia itu sudah bisa berpikir. "Anak-anak usia dini belum bisa berpikir dengan sempurna seperti orang dewasa. Anak-anak usia tersebut harus dipandu cara berpikir secara besar, cara mencerna, dan berdaya nalar. Sayangnya, beberapa lembaga pendidikan anak usia dini di Indonesia belum mengajarkan mengenai multiple intelligences. Ini kembali ke perkembangan latar belakang ahli didiknya," ungkap Byrnes.

Apa perbedaan anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan usia dini berkualitas dengan anak-anak yang tidak belajar? "Di lembaga pendidikan anak usia dini yang bagus, anak-anak akan belajar menjadi pribadi yang mandiri, kuat bersosialisasi, percaya diri, punya rasa ingin tahu yang besar, bisa mengambil ide, mengembangkan ide, pergi ke sekolah lain dan siap belajar, cepat beradaptasi, dan semangat untuk belajar. Sementara, anak yang tidak mendapat pendidikan cukup di usia dini, akan lamban menerima sesuatu," terang Byrnes yang pernah mendapat gelar Woman of the Year dari Vitasoy di Australia. "Anak yang tidak mendapat pendidikan usia dini yang tepat, akan seperti mobil yang tidak bensinnya tiris. Anak-anak yang berpendidikan usia dini tepat memiliki bensin penuh, mesinnya akan langsung jalan begitu ia ada di tempat baru. Sementara anak yang tidak berpendidikan usia dini akan kesulitan memulai mesinnya, jadi lamban. Menurut saya, pendidikan anak sudah bisa dimulai sejak ia 18 bulan," tutup Byrnes.

Sumber: edukasi.kompas.com

Thursday, April 28, 2011

Hadirnya Lembaga Pendidikan Non Formal, Suatu Upaya Membuka Ruang Kesadaran Baru

Carut-marut dunia pendidikan Indonesia, sungguh tampil sebagai suatu realitas yang sangat memprihatinkan. Mahalnya biaya pendidikan yang tidak serta merta dibarengi dengan peningkatan kualitas secara signifikan, tentu menimbulkan tanda tanya besar mengenai orientasi pendidikan yang sebenarnya sedang ingin dicapai.
Ironisnya, disaat beberapa negara tetangga terus berupaya keras melakukan peningkatan kualitas pada sektor pendidikan, banyak pihak di negara ini justru menempatkan pendidikan sebagai suatu komoditas yang memiliki nilai jual yang tinggi. Tak mengherankan bahwa ketika banyak pihak mengejar pendidikan dari sisi kuantitas, tentu menimbulkan berbagai macam konsekuensi logis seperti terabaikannya faktor kualitas pendidikan.
Parahnya lagi, belakangan kita juga telah disadarkan bahwa banyak lulusan pendidikan formal tidak memiliki spesifikasi keahlian yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Menanggapi kondisi yang seperti ini, Paulus Wisnu Anggoro, Direktur UAJY-Delcam Traning Center, menuturkan bahwa banyak dari kalangan industri yang menjadi kliennya mengeluhkan keterbatasan skill yang dimiliki oleh para lulusan perguruan tinggi, sehingga mau tidak mau seorang fresh graduate harus dilatih dari awal lagi. Ini pemborosan untuk pihak perusahaan sebagai user lulusan perguruan tinggi.
Dihadapkan pada kompleksnya situasi seperti yang dijabarkan diatas, kini banyak lembaga pendidikan non formal berupaya menempatkan diri sebagai alternatif solusi permasalahan diatas. Dengan tawaran sifat aplikatif dan biaya yang relatif lebih murah, banyak lembaga pendidikan non formal terbukti mampu menghasilkan lulusan yang sama kualitasnya bahkan lebih handal dari pada lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan formal dalam menghadapi persaingan.
Dalam situasi demikian, makna dibalik fenomena bermunculannya lembaga pendidikan non formal sebenarnya lebih ingin memberikan ruang kesadaran baru pada masyarakat, bahwa upaya pendidikan bukan sekedar kegiatan untuk meraih sertifikasi atau legalitas semata. Lebih daripada itu, upaya pendidikan sejatinya merupakan kegiatan penyerapan dan internalisasi ilmu, yang pada akhirnya diharapkan mampu membawa peningkatan taraf kehidupan bagi individu maupun masyarakat dalam berbagai aspek.
Fleksibilitas waktu
Keunggulan lain yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal sebenarnya ada pada fleksibilitas waktu yang dimiliki. Selain bisa dijalankan secara manunggal, pendidikan non formal bisa dijalankan pula secara berdampingan dengan pendidikan formal. Tak mengherankan apabila belakangan lembaga pendidikan non formal tumbuh dengan pesat, berbanding lurus dengan tingginya minat masyarakat terhadap jenis pendidikan tersebut.
Tidak hanya itu, lembaga pendidikan non formal juga berpeluang untuk menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Hal ini terbukti dari banyaknya lembaga pendidikan non formal seperti ADTC dan Macell Education Center (MEC) yang siap menyalurkan lulusan terbaiknya ke berbagai perusahaan rekanan. Ini merupakan tawaran yang patut dipertimbangkan ditengah sulitnya mencari lapangan pekerjaan seperti sekarang ini.
Antonius Sumarno selaku Branch Manager English Language Training International (ELTI) Yogyakarta, juga menuturkan bahwa kemunculan lembaga pendidikan non formal seperti lembaga pelatihan bahasa misalnya, sebenarnya tidak hanya berfungsi untuk menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. Setidaknya dengan penguasaan bahasa asing, individu akan dimudahkan dalam melakukan penyerapan berbagai ilmu pengetahuan yang saat ini hampir semua referensi terbarunya hanya tersedia dalam bahasa asing. Selanjutnya keunggulan tersebut dapat pula memperluas peluang individu dalam menangkap berbagai kesempatan.
Hebatnya lagi, tersedia pula lembaga pendidikan non formal yang tidak hanya membekali lulusannya dengan ilmu, namun juga membekali sikap kemandirian yang mendorong terciptanya kesempatan untuk berwirausaha. Ini merupakan bukti nyata upaya memperkuat struktur riil perekonomian masyarakat yang belakangan makin terpuruk. Disaat banyak orang kebingungan mencari pekerjaan, banyak lulusan lembaga pendidikan non formal yang menciptakan lapangan pekerjaan.
Namun dibalik semua keunggulan dan variasi lembaga pendidikan non formal yang tersedia, kejelian masyarakat dalam memilih lembaga pendidikan non formal sebagai wahana untuk mengasah keterampilan dan menyiapkan diri dalam menghadapi persaingan penting untuk dipertahankan. Indikator yang paling sederhana adalah seberapa besar kesesuian bidang pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga pendidikan non formal dengan minat maupun bidang yang saat ini kita geluti.
Tujuannya, tentu tidak lain supaya keahlian yang didapatkan dari pelatihan lembaga pendidikan non formal dapat berjalan beriringan dan saling melengkapi minat dan dunia yang kita geluti, serta meningkatkan keunggulan kompetitif yang kita miliki. Lebih lanjut, kejelian dalam memilih juga berfungsi pula agar investasi finansial yang telah ditanamkan tidak terbuang percuma karena program yang sedang dijalani "terhenti di tengah jalan".

Sumber: www.paudni.kemdiknas.go.id/p2pnfi1/

Sunday, April 24, 2011

PENGARUH KOMUNIKASI INTERPERSONAL TUTOR TERHADAP MOTIVASI PESERTA DIDIK DI KELOMPOK BELAJAR KEAKSARAAN FUNGSIONAL (KEJAR KF)

Keaksaraan fungsional (KF) menitikberatkan pada peningkatan kualitas hidup dan pemberdayaan masyarakat. Jadi persoalannya tidak hanya sekedar membaca, menulis dan berhitung (ca-lis-tung) saja. Masyarakat yang belum dan ingin memiliki kemampuan ca-lis-tung, mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya, sehingga mereka dapat survive dalam kehidupannya dan menjadi manusia yang berdaya guna. Data dari Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Timur untuk tahun 2004, yang perlu dilayani dalam program keaksaraan fungsional untuk Wilayah Propinsi Jawa Timur sejumlah 413.888 orang dan usulan garapan untuk 2005 sejumlah 196.818 orang. Untuk wilayah kota Surabaya sendiri garapan tahun 2004 sejumlah 23.421 orang dan usulan tahun 2005 sejumlah 1.976 orang. 1.100 orang digarap melalui dana APBN tahun 2005 dan 250 orang melalui dana APBD I tahun 2005 dan sisanya digarap melui dana APBD II. Kelompok belajar keaksaraan fungsional (kejar KF) yang berada di wilayah Kelurahan Keputih Kecamatan Sukolilo berjumlah tiga (3) kelompok dipilih, yang terdiri dari Kelompok Belajar Keaksaraan Fungsional (kejar KF) Maju Sejahtera, Tanjung dan Kreatif dan panti belajarnya (tempat belajarnya) saling berdekatan sehingga memudahkan peneliti. Selain itu peserta didiknya juga sudah disentuh dengan Kelompok Belajar Usaha (KBU) dan peserta didik mengusulkan usaha “Bandeng Presto” karena lahan disekitar rumah mereka banyak tambak bandeng serta kalau musim panen bandeng harganya relatif murah. Kemudian pengelola bekerja sama dengan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Penanaman Modal untuk dijadikan Nara Sumber Teknis (NST). Setelah peserta didik dilatih, mereka mengembangkan usahanya dalam Kelompok Belajar Usaha Bandeng Presto. Untuk Kelompok Belajar Keaksaraan Fungsional (Kejar KF) Tanjung dan Kreatif baru saja disentuh Kelompok Belajar Usaha (KBU). Kelompok Belajar Keaksaraan Fungsional (Kejar KF) Tanjung dalam bentuk usaha simpan pinjam, kemudian dikembangkan dalam bentuk usaha sembako, krupuk dan kacang tanah yang sudah digoreng kemudian dimasukkan pulastik dan dititipkan di warung-warung. Sedangkan Kelompok Belajar Keaksaraan Fungsional (Kejar KF) Kreatif mengembangkan usaha emping melinjo yang sudah digoreng kemudian dimasukkan pulastik dan dititipkan di warung-warung. Kondisi ini merupakan tantangan yang perlu mendapat perhatian guna memperbaiki pelaksanaan komunikasi interpersonal oleh berbagai pihak, utamanya oleh tutor kelompok belajar keaksaraan fungsional (kejar KF) Maju Sejahtera, Tanjung dan Kreatif dalam memberikan motivasi kepada peserta didik. Sasaran utama dalam hal ini adalah peserta didik kelompok belajar keaksaraan fungsional (kejar KF) Maju Sejahtera, Tanjung dan Kreatif. Keberhasilan program ini pada dasarnya tidak luput dari peran serta partisipasi aktif dari para tutor di lapangan, konsistensi tutor dalam memberikan informasi pembelajaran kepada para peserta didik memang merupakan salah satu faktor krusial dari keberhasilan pemahaman proses pembelajaran dari para peserta didik. Terlebih lagi keberadaan tutor yang memiliki kemampuan komunikasi interpesonal yang baik dan mampu membangkitkan motivasi belajar dari para peserta didik yang mengikuti program kelompok belajar keaksaraan fungsional (kejar KF) Maju Sejahtera, Tanjung dan Kreatif. Keberadaan motivasi belajar bagi warga belajar di KF tersebut haruslah selalu dimunculkan dan dipertahankan, karena seperti diketahui bahwa motivasi adalah drive bagi seseorang dalam melakukan suatu aktivitas tertentu, sehingga bila motivasi dapat ditingkatkan, maka diharapkan kemampuan peserta didik dalam mengikuti program kelompok belajar juga dapat meningkat.
Berbagai faktor yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab terjadinya kegagalan, diantaranya berasal dari komunikator (tutor) dalam memberikan motivasi, isi pesan yang kurang menarik, media (saluran) yang digunakan dan ataupun dari komunikannya (responden) sendiri. Menurut Rahmat (dalam Yusuf, 2005) menyebutkan banyak faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal, antara lain: 1. Karakteristik komunikator, 2. Daya tarik pesan dan 3. Karakteristik pesan. Berdasarkan hal tersebut diatas, peneliti yang dekat dengan lokasi daerah tersebut memiliki rasa tanggung jawab dan berempati untuk memberikan layanan program Keksaraan Fungsional kepada masyarakat tersebut. Harapannya program tersebut dapat mengentaskan mereka dari ketertinggalan di bidang pendidikan, sehingga menjadi masyarakat yang berdaya guna. Untuk mendalami permasalahan tersebut maka peneliti tertarik mengambil judul Pengaruh komunikasi interpersonal tutor terhadap motivasi peserta didik di kelompok belajar keaksaraan fungsional (Kejar KF) binaan Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP) Regional IV.

Komunikasi Interpersonal

Komunikasi interpersonal yang efektif telah lama dikenal sebagai salah satu dasar untuk berhasilnya suatu organisasi. Karena itu adalah perlu bagi sorang pemimpin untuk mengetahui konsep-konsep dasar dari komunikasi agar dapat membantu dalam mengelola organisasi dengan efektif. Pada bagian ini akan dibicarakan mengenai pengertian, klasifikasi, tujuan, aksioma interpersonal, kebutuhan komunikasi interpersonal dalam organisasi, kepercayaan interpersonal dan keterbukaan, hubungan interpersonal yang efektif dan hubungan power dengan komunikasi interpersonal.

Sebelum membicarakan apa yang dimaksud dengan komunikasi interpersonal, adalah penting untuk memahami lebih dulu apa yang dimaksud dengan komunikasi interpersonal dan perannya terhadap komunikasi yang lain. Sesungguhnya komunikasi interpersonal adalah komunikasi dalam diri sendiri. Dalam diri kita masing-masing terdapat komponen-komponen komunikasi seperti sumber, pesan, saluran, penerima dan balikan. Dalam komunikasi interpersonal hanya seorang yang terlibat. Pesan mulai dan berakhir dalam diri individu masing-masing. Komunikasi interpersonal mempengaruhi komunikasi dan hubungan dengan orang lain. Wenburg dan Wimat (1973) menyatakan bahwa persepsi individu tidak dapat dicek oleh orang lain tetapi semua arti atribut pesan ditentukan oleh masing-masing individu. Persepsi seseorang memainkan peranan penting dalam menginterpretasikan pesan.

Semua pesan diciptakan bermula dalam diri kita. Kita bereaksi menurut perbedaan personal kita terhadap pesan disekeliling kita. Inilah yang membuat komunikasi kejadian yang bersifat personal, karena tidak dapat pernah dipisahkan dari interaksi kita dengan orang yang lain. Komunikasi interpersonal adalah proses pertukaran informasi di antara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau biasanya di antara dua orang yang dapat langsung diketahui balikannya. Dengan bertambahnya orang yang terlibat dalam komunikasi, menjadi bertambahlah persepsi orang dalam kejadian komunikasi sehingga bertambah komplekslah komunikasi tersebut. Komunikasi interpersonal adalah membentuk hubungan dengan orang lain.

Adalah bermacam-macam nama dalam komunikasi interpersonal antaranya komunikasi diadik, dialog, wawancara, percakapan, dan komunikasi tatap muka. Redding mengembangkan klasifikasi komunikasi interpersonal menjadi interaksi intim, percakapan sosial, interogasi atau pemeriksaan dan wawancara.

Dalam diri tiap-tiap orang ada kebutuhan yang berbeda-beda, yang bersifat fisik atau biologis. Diantara kebutuhan itu adalah kebutuhan makan, minum, dan udara. Selain dari kebutuhan itu individu juga mempunyai kebutuhan interpersonal atau kebutuhan sosial yang dipenuhinya melalui komunikasi interpersonal atau kebutuhan sosial yang dipenuhinya melaui komunikasi interpersonal.. Schutz (1966) mengidentifikasi tiga macam kebutuhan dasar ini, yaitu kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan diikutsertakan dan kebutuhan akan kekuasaan atau kontrol. Karena kebanyakan komunikasi dalam organisasi terjadi dalam tingkatan interpersonal, adalah penting untuk mengenal kebutuhan interpersonal yang kita punya semua. Meskipun tiap-tiap kebutuhan itu berbeda-beda pada tiap orang atau dari satu situasi kepada situasi yang lain, pemahaman tentang kebutuhan ini akan dapat membantu dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Komunikasi interpersonal mungkin mempunyai beberapa tujuan. Tetapi disini hanya akan dibicarakan 6 di antaranya yang dianggap penting. Tujuan komunikasi ini tidak perlu disadari pada saat terjadinya pertemuan dan juga tidak perlui dinyatakan. Tujuan itu boleh disadari dan boleh tidak disadari dan boleh disengaja atau tidak disengaja. Di antara tujuan-tujuan itu adalah sebagai berikut: (1) menemukan diri sendiri; (2) menemukan dunia luar; (3) membentuk dan menjaga hubungan yang penuh arti; (4) berubah sikap dan tingkah laku; (5) untuk bermain dan kesenangan; (6) untuk membantu.

Kita juga telah melihat tujuan–tujuan komunikasi interpersonal dari dua perspektif yang lain. Pertama, tujuan ini boleh dilihat sebagai faktor yang memotivasi atau alasan mengapa kita terlibat dalam komunikasi interpersonal. Berdasarkan hal itu kita dapat mengatakan bahwa kita terlibat komunikasi interpersonal untuk mendapatkan kesenangan, untuk membantu, dan mengubah tingkah laku seseorang. Kedua, tujuan ini boleh dipandang sebagai hasil atau efek umum dari komunikasi interpersonal yang berasal dari pertemuan interpersonal. Berdasarkan itu kita dapat mengemukakan tujuan komunikasi interpersonal adalah untuk mendapatkan pengetahuan tentang diri, membentuk hubungan yang lebih berarti dan memperoleh tambahan pengetahuan dunia luar.

Komunikasi interpersonal adalah proses komunikasi yang amat khusus. Komunikasi ini pada hakikatnya adalah komunikasi yang bersifat transaksi. Ada enam enam aksioma yang bersifat transaksi dari komunikasi interpersonal. Aksioma ini menjadi prinsip umum dari komunikasi interpersonal. Masing-masing aksioma tersebut adalah sebagai berikut: (1) komunikasi tidak dapat dielakkan; (2) komunikasi tidak dapat dibalikkan (3) komunikasi mempunyai isi dan dimensi; (4) komunikasi meliputi proses penyesuaian; (5) hubungan ditentukan oleh pemberian tanda; (6) nteraksi mungkin dipandang sebagai sesuatu yang simetris.

Pergaulan manusia merupakan salah satu bentuk peristiwa komunikasi dalam masyarakat. Menurut Schramm (1974) di antara manusia yang saling bergaul, ada yang saling membagi informasi, namun ada pula yang membagi gagasan dan sikap. Demikian pula menurut Errill dan Lownstein (1971), bahwa dalam pergaulan antar manusia selalu terjadi proses penyesuaian pikiran, penciptaan simbol yang mengandung suatu pengertian bersama. Theodorson (1969) selanjutnya mengemukakan pula bahwa, komunikasi adalah proses pengalihan informasi daru satu orang atau sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol tertentu kepada satu orang atau satu kelompok lain. Proses pengalihan informasi tersebut selalu mengandung pengaruh tertentu. Proses pengaruh tersebut merupakan suatu proses yang bersifat psikologis yang pada gilirannya membentuk proses sosial. Di sini komunikasi antar pribadi itu mempunyai keunikan karena selalu dimulai dari proses hubungan yang bersifat psikologis, dan proses psikologis selalu mengakibatkan keterpengaruhan. Benar seperti diungkapkan Devito (1976) bahwa, komunikasi antar pribadi merupakan pengiriman pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain dengan efek dan umpan balik yang langsung.

Effendy (1986) mengemukakan juga bahwa, pada hakikatnya komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antara seorang komunikator dengan seorang komunikan. Jenis komunikasi tersebut dianggap paling efektif untuk mengubah sikap, pendapat, atau perilaku manusia berhubung prosesnya yang dialogis. Sifat dialogis itu ditunjukkan melalui komunikasi lisan dalam percakapan yang menampilkan arus balik yang langsung. Jadi komunikator mengetahui tanggapan komunikasi pada saat itu juga, komunikator mengetahui dengan pasti apakah pesan-pesan yang dia kirimkan itu diterima atau ditolak, berdampak positif atau negatif. Jika tidak diterima maka komunikator akan memberi kesempatan seluas-luasnya kepada komunikasi untuk bertanya.

Sementara itu Dean C. Barnlund (1968) mengemukakan, komunikasi antar pribadi selalu dihubungkan dengan pertemuan antara dua, tiga atau mungkin empatorang yang terjadi secara spontan dan tidak berstruktur. Rogers dalam Depari (1988) mengemukakan pula, komunikasi antara pribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi dalam interaksi tatap muka antara dua atau lebih orang. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas maka kita dapat menyimpulkan beberapa ciri khas komunikasi antar pribadi yang membedakan dia dengan komunikasi massa dan komunikasi kelompok. Menurut Barnlund (1968) ada beberapa ciri komunikasi antar pribadi, yaitu komunikasi antar pribadi selalu: (a) terjadi secara spontan, (b) tidak mempunyai struktur yang teratur atau diatur, (c) terjadi secara kebetulan, (d) tidak mengejar tujuan yang telah direncanakan terlebih dahulu, (e) dilakukan oleh orang-orang yang identitas keanggotaan yang kadang- kadang kurang jelas, (f) bisa terjadi sambil lalu.

Reardon (1987) mengemukakan juga bahwa komunikasi antar pribadi mempunyai enam ciri, yaitu komunikasi antar pribadi: (a) dilaksanakan atas dorongan berbagai faktor, (b) mengakibatkan dampak yang disengaja dan yang tidak disengaja, (c) kerap kali berbalas-balasan, (d) mengisyaratkan hubungan antar pribadi antara paling sedikit dua orang, (e) berlangsung dalam suasana bebas, bervariasi dan berpengaruh, (f) menggunakan pelbagai lambang yang bermakna.

De vito (1976) mengemukakan bahwa komunikasi antar pribadi mengandung lima ciri sebagai berikut: a) keterbukaan atau (openness), (b) empati (empathy), (c) dukungan (suportiveness), (d) perasaan positif (positiveness), dan (e) kesamaan (equality).

Evert M. Rogers dalam Depari (1988) menyebutkan antar pribadi yaitu: (a) arus pesan cenderung dua arah, (b) konteks komunikasi adalah tatap muka, (c) tingkat umpan balik yang tinggi, (d) kemampuan untuk mengatasi tingkat selektivitas (terutama “selective expossure”) sangat tinggi, (e) kecepatan untuk menjangkau sasaran yang besar sangat lamban, dan (f) efek yang terjadi antara lain perubahan sikap.

Berdasarkan pelbagai pendapat tersebut di atas maka kita dapat merumuskan beberapa ciri komunikasi antar pribadi, yaitu ciri: (a) spontanitas, terjadi sambil lalu dengan media utama adalah tatap muka, (b) tidak mempunyai tujuan yang ditetapkan terlebih dahulu, (c) terjadi secara kebetulan di antara peserta yang identitasnya kurang jelas, (d) mengakibatkan dampak yang disengaja dan tidak disengaja, (e) kerap kali berbalas-balasan, (f) mempersyaratkan hubungan paling sedikit dua orang dengan hubungan yang bebas, (g) harus membuahkan hasil, dan (h) menggunakan lambang-lambang yang bermakna.

Konsep Komunikasi Interpersonal

Manusia merupakan makhluk sosial, karena itu kehidupan manusia selalu ditandai dengan pergaulan antar manusia. Misalnya pergaulan dalam keluarga, kelompok pergaulan, tetangga, sekolah, tempat bekerja, organisasi sosial dan lain-lain. Hakekat pergaulan itu ditunjukkan antara lain oleh derajat keintiman, frekuensi pertemuan, jenis relasi, mutu interaksi diantara manusia, terutama faktor sejauh mana keterkaitan dan saling mempengaruhi. Pergaulan manusia merupakan salah satu bentuk peristiwa komunikasi dalam masyarakat. Menurut Schramm (1974) diantara manusia yang saling bergaul, ada yang saling membagi informasi, namun ada pula yang membagi bahasan dan sikap. Demikian menurut Materil dan Lownstein (1971), bahwa dalam pergaulan antar manusia selalu terjadi proses penyesuaian pikiran, penciptaan symbol yang mengandung suatu pengertian bersama. Theodorson (1969) selanjutnya mengemukakan pula bahwa komunikasi adalah proses pengalihan informasi dari satu orang atau sekelompok orang dengan menggunakan symbol-symbol tertentu kepada satu atau kelompok lain. Proses pengalihan tersebut selalu menganmdung pengaruh. Proses pengaruh tersebut merupakan suatu proses yang bersifat psikologis yang pada gilirannya membentuk proses sosial. Disini komunikasi antar pribadi itu mempunyai suatu keunikan karena selalu dimulai dari proses hubungan yang bersifat psikologis dan proses psikologis selalu mengakibatkan keterpengaruhan. Devito (1976) mengungkapkan bahwa komunikasi antar pribadi merupakan pengiriman pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain dengan efek dan umpan balik yang langsung (Liliweri, 1996: 11-12).

Menurut Effendy (1986: 8) mengemukakan juga bahwa pada hakekatnya komunikasi antar pribadi adalah komunikasi antara seseorang komunikator dengan seorang komunikan. Jenis komunikasi tersebut dianggap paling efektif untuk mengubah sifat pendapat atau perilaku manusia berhubungan proses yang bersifat dialogis. Artinya difokuskan pula bahwa komunikasi diartikan pula tatap muka karena ketika komunikasi berlangsung, komunikator dan komunikan saling berhadapan sambil saling melihat. Dalam situasi komunikasi seperti ini komunikator dapat melihat dan mengkaji komunikan secara langsung.

Sementara itu Dean C. Barnluci (1968) mengemukakan, komunikasi antar pribadi selalu berhubungan dengan pertemuan antar dua, tiga atau mungkin empat orang yang terjadi secara spontan dan tidak berstruktur. Rogers dalam Depari (1988) mengemukakan pula komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi dari mulut ke mulut yang terjadi dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi. Ton (1981) mengemukakan bahwa komunikasi antar pribadi adalah komunikasi tatap muka antara dua atau lebihorang (Liliweri, 1991: 12). Saluran komunikasi antar pribadi ini sangat efektif dalam menghadapi atau mengatasi penelaahan atau sifat apatis yang diberikan leh komunikan sebagai anggota dalam system sosial termasuk dalam komunikasi keluarga dan kelompok pergaulan.

Reardon, (1987: 10) mengemukakan ada tujuh ciri komunikasi interpersonal antara lain: (1) interpersonal communication involves verbal and non verbal behaviors; (2) interpersonal communication involves spontaneous, scripted or contrived behaviour or some combination of them; (3) interpersonal communication is not static but developmental; (4) interpersonal communication involves personal feedback, interaction and coherence; (5) interpersonal communication is guided by intrinsic and extrinsic rules; (6) nterpersonal communication is an activity; dan (7) interpersonal comunication involves persuasion.

Untuk membedakan komunikasi interpersonal dengan bentuk komunikasi lain Weaver mengemukakan ada delapan karateristik, yaitu meliputi: (1) komunikasi interpersonal terbatas antara dua atau tiga orang, (2) komunikasi interpersonal menghasilkan umpan balik secara langsung, (3) komunikasi interpersonal tidak harus bersifat tatap muka akan tetapi harus terhubung, (4) komunikasi interpersonal menghasilkan efek, (5) komunikasi interpersonal tidak harus menggunakan kata-kata, yakni pesan verbal atau non verbal adalah sama kuat pengaruhnya, (6) komunikasi interpersonal adalah proses transaksional, (7) komunikasi interpersonal dipengaruhi oleh suasana atau keadaan, dan (8) komunikasi interpersonal juga dipengaruhi oleh gangguan, bisa berupa suasana lingkungan fisik yang mengganggu ataupun gangguan yang ditimbulkan oleh kondisi kejiwaan.

Pentingnya saluran komunikasi antar personal seperti itu bagi komunikator adalah karena ia dapat mengetahui diri komunikan selengkap-lengkapnya. Komunikator dapat mengetahui secara psikologis komunikan yang sedang dihadapinya. Ayah, remaja dan anak dalam satu keluarga maupun dalam kelompok pergaulan antar anak. Dengan demikian dalam komunikasi antar personal itu memiliki arti yang sangat penting untuk dapat mengubah sikap, pendapat dan tingkah laku.
Komponen Komunikasi

Gambaran kegiatan komunikasi dasar Lasswellian adalah dengan menjawab suatu pertanyaan “who says what in which channel to whom with what effect?” atau “Siapa, mengatakan apa, dengan saluran apa, kepada siapa, dengan pengaruh bagaimana?”, maka komponen komunikasi dasar yang harus ada meliputi:

1. Komunikator
Yang dimaksud dengan komunikator dalam penelitian ini adalah petugas pengajar di lapangan sesuai pembagian tugas pembinaan wilayah kerja yang ditentukan di tingkat Kecamatan. Untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan baik tutor diharuskan mempunyai etos kerja yang tinggi, demikian halnya dengan sebagian fungsinya sebagai komunikator dalam proses pembelajaran juga dibutuhkan etos agar kegiatan komunikasinya efektif. Arisoteles (Rakhmat, 2000: 255) menyebutkan etos terdiri dari pikiran yang baik, akhlak yang baik, dan maksud yang baik (good sense, good moral character, good will). Hovland dan Weiss (dalam Rakhmat, 2000: 256) menyebut etos ini credibility yang terdiri dari dua unsur :expertise (keahlian) dan trustworthiness (dapat dipercaya).
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikator tidak cukup hanya kredibilitas, akan tetapi terdapat dua unsur lainnya yang melengkapi yaitu : atraksi komunikator (source attractiveness) dan kekuasaan (source power). Semua faktor tersebut diatas sebagai etos (sebagai penghormatan kepada Aristoteles).
Atraksi fisik menyebabkan komunikator menarik, dan karena menarik ia memiliki daya persuasif. Ketertarikan kepada seseorang dapat pula disebabkan adanya beberapa kesamaan diantara keduanya. Adanya beberapa kesamaan tersebut menjadikan komunikan mudah menerima pesan komunikator.
Kekuasaan menurut teori Kelman adalah kemampuan untuk menimbulkan ketundukkan yang diperoleh dari interaksi komunikator dengan komunikan, sehingga dapat memaksakan kehendaknya. Raven menyempurnakannya dengan menyebutkan jenis-jenis kekuasaan, meliputi :
☻ Koersif dengan menunjukkan kemampuan komunikator mendatangkan ganjaran atau memberikan hukuman
☻ Keahlian yang berasal dari pengetahuan, pengalaman, dan ketrampilan atau kemampuan komunikator
☻ Informasional yang berasal dari penguasaan isi pesan baru oleh komunikator
☻ Rujukan yang melekat pada diri komunikator
☻ Legal yang berasal dari seperangkat peraturan atau noema yang menjadikan komunikator berwenang untuk melakukan suatu tindakan (Rakhmat, 2000: 264-265).

2. Pesan
Komunikasi pada dasarnya dilakukan untuk dapat menyampaikan pesan-pesan komunikasi dan menghasilkan efek seperti yang diharapkan. Menilik beberapa pengertian komunikasi yang dikemukakan dapat diketahui, bahwa kesamaan makna, kebersamaan dalam pemahaman makna, kesamaan interpretasi tentang pesan antara komunikator dan komunikan menunjukkan bahwa komunikasi efektif telah terjadi.
Untuk menciptakan kebersamaan dalam makna (Commonness in meaning”) tersebut pesan komunikasi diperlakukan sedemikian rupa agar mempunyai daya tarik kepada komunikan, dapat dipahami dengan makna yang sama seperti dimaksudkan oleh komunikator. Brodbeck mengemukakan bahwa makna tidak terletak pada kata-kata, tetapi pada pikiran orang dan pada persepsinya. Makna terbentuk karena pengalaman individu (pelaziman klasik), diperoleh karena asosiasi antara stimuli asal dengan stimuli yang terkondisikan. Berlo mengungkapkan bahwa orang-orang memiliki makna yang sama bila mereka mempunyai pengalaman yang sama atau dapat mengantisipasi pengalaman yang sama. Kesamaan makna karena kesaamaan pengalaman masa atau kesamaan struktur kognitif disebut Isomorfisme yang terjadi bila komunikan-komunkan berasal dari budaya yang sama, ideologi yang sama bayak kesamaan penglaman lainnya yang pada kenyataannya tidak terdapat isomorfisme total, selalu tersisaa ada makna perseorangan (Rakhmat, 2000 : 278-280).
Untuk memperkuat daya persuasi dalam pelaksanaankomunikasi interpersonal dapat digunakan pesan-pesan non verbal yang berfungsi sebagai:
☻ Repetisi, mengulang kembali pesan verbal
☻ Substitusi, menggantikan lambang-lambang verbal
☻ Kontradiksi, menolak pesan verbal atau memberi makna lain pesan verbal
☻ Komplemen, melengkapi dan memperkaya makna pesan non verbal
☻ Aksentuasi, menegaskan atau menggarisbawahi pesan verbal.

3. Media /saluran
Media atau saluran merupakan sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan. Media dapat berupa pengeras suara, telepon, gambar (gerak-statis), kode-kode gerak, dan lain-lain.

4. Komunikan/komunikate
Daya persuasi berhubungan dengan sasaran penerima pesan menurut Smith (dalam Harun, 2000: 12) adalah terkait dengan aspek psikologis yang berhubungan dengan personality traits, keterlibatan komunikan komunikan dengan masalah komunikasi, dan sikap awalnya sehubungan topik pesan. Faktor-faktor tersebut adalah berhubungan dengan kondisi psikologis seseorng. Disamping itu kondisi lain yang juga mempengaruhi tingkat penerimaan pesan adalah pendidikan, kondisi sosial ekonomi, dan kedudukan, serta kondisi lingkungannya. Terkait dengan kondisi psikologis komunikan, disebutkan bahwa audiens yang mempunyai keyakinan rendah (self esteem atau self confidence) lebih mudah dipengaruhi daripada sebaliknya. Cox dan Bauer dalam penelitiannya menemukan bahwa pola esteem dan self confidence yang tinggi menghasilkan konfirmasi terhadap rekomendasi pesan persuasif, sebaliknya yang rendah cenderung menerima pesan persuasif (Harun, 2000: 12). Bila seseorang komunikan terlibat dalam suatu masalah komunikasi, dimana masalah tersebut sesuai dengan sikap dasarnya, maka mereka cenderung lebih cepat membangkitkan dukungan kognitif, atau dengan kata lain lebih mudah dipersuasi.

5. Efek
Untuk mengetahui efek komunikasi persuasi yang menghasilkan penerimaan, pemahaman, persetujuan dan tindakan dalam penelitian ini dapat dikemukakan model yang dikemukakan oleh Cartwright (dalam Hanafi, 1984 : 146-148) dengan mengembangkan seperangkat prinsip untuk mencoba menjelaskan tingkatan efek yang berbeda, meliputi: (1) efek perhatian dan penerimaan, yaitu pesan (berupa informasi, gagasan, fakta dsbnya) dapat menarik perhatian, dan telah mencapai organ dria dari seseorang yang dipengaruhi, (2) efek pokok dengan perubahan atau pembentukan kognisi baru ,yakni setelah pesan mencapai organ-organ dria mestinya diterima sebagai bagian dari struktur kognitif seseorang, (3) efek persetujuan, konfirmasi dan dukungan, yakni untuk mengajak seseorang melakukan suatu tindakan dengan menggunakan persuasi massa, maka tindakan yang ditawarkan itu harus tampak sebagai jalan untuk mencapai tujuan seseorang yang diajak tersebut, (4) efek munculnya tindakan dan perubahan perilaku, yakni untuk mengajak pada suatu tindakan tertentu, perilaku seseorang harus dikendalikan oleh sistem kognitif dan motivasional yang tepat pada hal tertentu dan waktu tertentu pula.
Berbagai faktor yang dapat diidentifikasi sebagai penyebab terjadinya kegagalan KF diantaranya disebabkan oleh faktor yang berasal dari komunikator (Tutor KF), isi pesan yang kurang menarik media (saluran) yang digunakan dan ataupun dari komunikanya (responden) sendiri. Menurut Jalaludin Rahmat (dalam Harun, 2000) menyebutkan banyak faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal, antara lain: (a) persepsi interpersonal, (b) konsep diri, (c) atraksi interpersonal, dan (d) hubungan interpersonal
Kekurangan-kekurangan yang terjadi pada faktor-faktor tersebut yang berasal dari unsur komunikasi dapat mengakibatkan kegagalan komunikasi. Kekurangan dari segi komunikator, dalam hal ini Tutor KF dalam melakukan aktivitasnya yaitu menyampaikan pesan-pesan melalui komunikasi interpersonal, disebabkan oleh etos kerja atau karateristik komunikator yang kurang berkenan, seperti tidak memiliki kredibilitas lahir dan daya tarik yang tinggi terhadap komunikanya.
Ditinjau dari isi pesan, kegagalan kegiatan komunikasi dalam proses belajar KF dapat terjadi apabila isi pesan yang disampaikan kurang menarik perhatian, kurang berbobot, atau yang lainnya, sehingga minat atau daya beli masyarakat terhadap informasi yang disampaikan menjadi rendah. Penggunaan media atau cara penyampaian juga dapat dipakai sebagai alasan untuk kegagalan berkomunikasi, artinya pelaksanaan komunikasi interpersonal kurang memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku dalam melaksanakan komunikasi yang baik sesuai dengan maksud dan tujuan yang diharapkan. Dari segi komunikasi dapat terjadi kegagalan apabila karateristik komunikasi yang kurang mendukung terlaksananya komunikasi interpersonal dengan baik, hal-hal tersebut terlepas dari perhatian komunikator. Komunikator kurang memperhatikan situasi dan kondisi wilayah, tingkat pendidikan, latar belakang budayanya dan lainnya pada komunikan. Komunikator menganggap komunikan sebagai obyek yang pasif, yang dapat dibentuk dan dipengaruhi sesuka hatinya melalui informasi yang disampaikan, sedangkan kenyataannya semua informasi yang diterima akan diseleksi sesuai tidaknya dengan dunia kognisinya. Hanafi (1984 :185) mengemukakan bahwa perilaku komunikasi dipengaruhi oleh bagaimana sikap komunikator, karateristik penerimanya, cara memproduksi atau menggunakan pesan, dan bentuk-bentuk salauran atau pelaksanaan komunikasi yang akan dipilihnya.
Menurut Kusnadi dalam bukunya Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar Keaksaraan Fungsional di Indonesia - Konsep, Strategi dan Implementasi (2003), hasil dari Deklarasi Dakkar mewajibkan bagi semua pemerintah untuk: (1) mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi orang dewasa, (2) Memperbaiki semua aspek kualitas pendidikan dan menjamin keunggulannya, sehingga hasil-hasil belajar diakui dan terukur dapat diraih oleh semua, terutama dalam keaksaraan, angka dan kecakapan hidup (life skills) yang penting. Sampai sejauh ini, banyak sekali program-program pendidikan luar sekolah yang dilaksanakan dalam rangka turut mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Berbagai program tersebut diselenggarakan dengan sasaran utama masyarakat yang termarginalkan oleh sistem, baik oleh sistem pendidikan maupun sistem ekonomi.
Model komunikasi yang efektif telah banyak diteliti oleh para ahli. Pada dasarnya, keefektifan komunikasi sebuah organisasi atau kelompok melibatkan empat (4) faktor, yaitu: (a) penyampai pesan, (b) penerima pesan, (c) pesan yang dikirimkan, termasuk didalamnya sifat dan jenis pesan, dan (d) media yang digunakan untuk menyampaikan pesan. Keempat hal diatas sangat berpengaruh bagi lancar atau tidaknya suatu proses komunikasi di dalam organisasi atau kelompok. Terlebih lagi, komunikasi memegang peranan yang sangat penting bagi keefektifan sebuah kelompok atau organisasi. Dalam sebuah kelompok atau organisasi, komunikasi menjalankan empat (4) fungsi penting, yaitu: (a) kendali, (b) motivasi, (c) pengungkapan emosi, dan (d) informasi
Menurut Sardiman A.M dalam bukunya Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (1992), pendidikan dan pengajaran adalah suatu proses yang sadar tujuan, maksudnya bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan suatu peristiwa yang terikat, terarah pada tujuan dan dilaksanakan untk mencapai tujuan.Dalam pendidikan dan pengajaran, tujuan dapat diartikan sebagai usaha untuk memberikan hasil yang diharapkan. Winarno Surakhmad memberikan keterangan bahwa rumusan dan taraf pencapaian tujuan pengajaran adalah merupakan petunjuk tentang sejauhmana interaksi educatif itu harus dibawa untuk mencapai tujuan akhir.

Motivasi
Motivasi berasal dari kata “movere” = to move = memindahkan, artinya pindah dari suatu kondisi tertentu ke kondisi yang lain (Islamy, 1995:21). Berelson dan Steiner (dalam Islamy 1995: 39) mengartikan “motif” sebagai sesuatu yang ada dalam manusia untuk membangkitkan, memindahkan, mengarahkan dan menyalurkan perilakunya menuju terciptanya tujuan tertentu. Dengan demikian motivasi terjadi melalui suatu proses. Motivasi didefinisikan (Robbins, 1996 : 198) sebagai kesediaan untuk melakukan upaya yang lebih tinggi ke arah tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk memenuhi suatu kebutuhan individu. Jadi motivasi adalah sesuatu yang ada dalam diri manusia untuk membangkitkan serta menyalurkan perilakunya untuk memenuhi kebutuhan individu.
Motivasi secara umum didefinisikan sebagai kebutuhan yang mendorong perbuatan ke arah suatu tujuan tertentu. (Anoraga, 1998). Selain itu dikatakan pula batasan mengenai motivasi sebagai the process by which behaviour is energized and directed (suatu proses, dimana tingkah laku tersebut dipupuk dan diarahkan). Para ahli psikologi memberikan kesamaan antara motif dan needs (dorongan dan kebutuhan).
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa motif adalah melatar belakangi individu untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan pengertian mengenai motivasi adalah pemberian atau penimbulan motif, atau dapat pula diartikan hal atau keadaan menjadi motif (Anoraga, 1998). Motivasi merupakan proses keterkaitan antara usaha dan pemuasan kebutuhan tertentu. Dengan perkataan lain, motivasi merupakan kesediaan untuk mengerahkan usaha tingkat tinggi untuk mencapai tujuan organisasi. Akan tetapi kesediaan mengerahkan usaha itu sangat tergantung pada kemampuan seseorang untuk memuaskan berbagai kebutuhannya. Usaha merupakan ukuran intensitasnya kemauan seseorang. Apabila seseorang termotivasikan, yang bersangkutan akan berusaha keras untuk melakukan sesuatu.
Dari batasan pengertian di atas terlihat pula bahwa motivasi dapat bersumber dari dalam diri seseorang yang sering dikenal dengan istilah motivasi internal atau motivasi intrinsik, akan tetapi dapat pula negatif. Kunci keberhasilan seorang manajer dalam menggerakkan para bawahannya terletak pada kemampuannya untuk memahami faktor-faktor motivasi tersebut sedemikian rupa sehingga menjadi daya pendorong yang efektif.
Dalam belajar sangat diperlukan adanya motivasi. Motivation is an essential condition of learning. Hasil belajar akan menjadi optimal kalau ada motivasi. Makin tepat motivasi yang diberikan akan makin berhasil pula pelajaran itu. Sehubungan dengan hal di atas menurut Sardiman (2004), ada 2 fungsi motivasi yaitu: (a) mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi dan (b) menentukan arah perbuatan yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Menyeleksi perbuatan yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat tersebut (Sardiman, 2004)

Belajar
Belajar merupakan kegiatan yang dilakukan oleh setiap orang. Belajar merupakan aktivitas yang amat kompleks yang melibatkan faktor kejiwaan secara aktif. Pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, kegemaran, dan sikap seseorang terbentuk dan berkembang disebabkan kegiatan belajar. Seseorang dikatakan telah mengalami belajar jika dia mengalami perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari cara sikapnya memandang suatu masalah yang berbeda yang “mengalami peningkatan kualitas” dari cara sebelum dia belajar.
Berhasil tidaknya tujuan pendidikan banyak tergantung kepada proses belajar yang dialami peserta didik. Sehubungan dengan itu Hudoyo (1988:1) menyatakan bahwa seseorang dikatakan belajar apabila dapat diasumsikan dalam diri orang itu terjadi suatu proses kegiatan yang mengakibatkan suatu perubahn tingkah laku. Perubahan yang relative lama itu disertai usaha orang tersebut sehingga orang itu mengalami perubahan dari tidak mampu mengerjakan sesuatu menjadi mampu mengerjakannya. Usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku merupakan proses belajar sedangkan perubahan tingkah laku merupakan hasil belajar.
Banyak sekali definisi pengertian belajar yang dikemukakan para ahli, sebagai landasan mengenai apa yang dimaksud dengan belajar. Dari beberapa pendapat mengenai definisi belajar penulis dapat menyimpulkan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku yang disebabkan adanya interaksi dengan lingkungan. Lingkungan yang dimaksud amat luas, bukan semata-mata berupa buku pelajaran, melainkan juga sekolah, antar individu, orang tua, masyarakat, alam, kebudayaan, dan sebagainya. Dapat pula dikatakan bahwa dalam proses belajar, faktor perubahan tingkah laku harus ada, dan tidak dikatakan belajar apabila di dalamnya tidak ada perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku tersebut akan menghasilkan suatu kecakapan baru karena adanya usaha yang disengaja.
Perubahan tidak hanya berkaitan dengan penambahan ilmu pengetahuan, tetapi juga berbentuk kecakapan, keterampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, watak, penyesuaian diri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa belajar adalah rangkaian kegiatan jiwa raga, (psikofisik) untuk menuju ke perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Selanjutnya menurut Suryabrata (2004) dinyatakan bahwa dari kegiatan belajar akan didapatkan hal-hal pokok sebagai berikut: (1) bahwa belajar itu membawa perubahan (dalam arti behavioral changes aktual maupun potensial), (2) bahwa perubahan pada pokoknya adalah didapatkan kecakapan baru, dan (3) bahwa perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja)
Menurut Purwanto (2000:85), belajar mempunyai beberapa elemen penting antara lain: (1) belajar merupakan perubahan tingkah laku, perubahan itu dapat mengarah kepada tingkah laku yang lebih baik tetapi ada juga yang mengarah kepada tingkah laku yang lebih buruk, (2) belajar adalah suatu perubahan yang terjadi melalui latihan atau pengalaman dalam arti perubahan yang disebabkn oleh pertumbuhan atau kematangan yang dianggap hasil belajar, (3) dapat dikatakan belajar jika perubahan yang terjadi harus relative mantap, harus merupakan akhir daripada suatu periode waktu yang cukup panjang, berarti yang disebabkan motivasi, kelelahan, adaptasi, ketajaman perhatian atau kepekaan seseorang, yang biasanya hanya berlangsung sementara harus dikesampingkan, dan (4) tingkah laku mengalami perubahan karena belajar menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis misalnya perubahan dalam pengertian, pemecahan suatu masalah atau berpikir, ketrampilan kecakapan, kebiasaan ataupun sikap.
Pencapaian hasil belajar yang, sangat dipengaruhi oleh proses belajarnya. Pada pelajaran geografi, proses belajar yang baik benar-benar ditekankan karena akan mempengaruhi hasil belajarnya nanti. Pencapaian hasil belajar seseorang, dipengaruhi oleh interaksi berbagai faktor, baik faktor dalam diri peserta didik (faktor internal—fisiologis dan psikologis) maupun faktor dari luar diri peserta didik (faktor eksternal—sosial dan alam).
Motivasi menurut Mc. Donald adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya suatu tujuan. Motivasi menurut Mc. Donald tersebut mengandung tiga (3) elemen penting, yaitu: (1) bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan energi dalam sistem “neurophysiological” yang ada pada organisme manusia karena menyangkut perubahan energi manusia (walaupun motivasi itu muncul dari dalam diri manusia), penampakannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia, (2) motivasi ditandai dengan munculnya rasa/felling seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia, dan (3) motivasi akan dirangsang dengan adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respon dari suatu aksi, yakni tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena terangsang/terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan. Tujuan ini akan menyangkut soal kebutuhan.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur Variabel komunikasi interpersonal berpengaruh terhadap motivasi peserta didik kelompok belajar keaksaraan fungsional (kejar KF) serta data dikumpulkan dahulu baru kemudian di analisis, serta datanya memungkinkan untuk diwakilkan (Sularso, 2006;7) maka bentuk penelitian ini adalah penelitian kuantitatif.
Menurut Singarimbun dan Effendi (1989:152) populasi ialah jumlah keseluruhan dari unit analisis yang ciri-cirinya akan diduga. Penelitian ini dilakukan terhadap para peserta didik kelompok belajar keaksaraan fungsional (kejar KF). Jumlah siswa di klas tersebut sebanyak 30 orang. Setiap peserta didik memiliki peluang yang sama untuk diambil sebagai sample. Merupakan bagian atau sejumlah cuplikan tertentu yang diambil dari suatu populasi dan diteliti secara rinci (Tjiptono, & Santoso, 2002;76). Jumlah sample yang diambil harus dapat mewakili populasi. Pengambilan sample pada penelitian ini menggunakan metode survei karena jumlah populasi hanya 30 sehingga seluruh populasi dijadikan sampel. Dalam penelitian ini digunakan dua sumber pengambilan data, antara lain: (1) data primer yakni data yang diperoleh peneliti melalui pengumpulan data terlebih dahulu agar dapat dianalisis lebih lanjut, dan (2) data sekunder yang merupakan data yang diambil langsung oleh peneliti melalui instansi yang terkait, dalam arti data tersebut sudah dalam bentuk jadi atau laporan. Data sekunder yang digunakan adalah data jumlah peserta didik

Analisis Data
1. Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas dan reliabilitas digunakan untuk mengetahui apakah pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner sudah dapat memenuhi apa yang ingin diukur dan memberikan hasil pengukuran yang konsistensi internal (internal consistency), yaitu apakah pertanyaan-pertanyaan yang ada mengukur aspek yang sama. Uji validitas yang digunakan adalah validitas konstrak (construct validity) dengan hipotesa sebagai berikut (Sugiyono,2002;58):
H0 : Pertanyaan tidak dapat mengukur aspek yang sama
H1 : Pertanyaan mengukur aspek yang sama
Cara mengukur validitas konstrak yaitu dengan mencari korelasi antara masing-masing pertanyaan dengan skor total. Rumus yang digunakan adalah rumus teknik korelasi momen produk (product moment), dimana rumus tersebut adalah sebagai berikut :

keterangan :
Xi = skor untuk tiap pertanyaan
Yi = skor total
XiYi = skor tiap pertanyaan dikali dengan skor total
rxy = koefisien korelasi product moment
n = jumlah responden
Setelah semua nilai korelasi untuk tiap-tiap pertanyaan dengan skor total diperoleh, nilai-nilai tersebut dibandingkan dengan nilai kritis yang ada pada tabel nilai kritis dengan n (jumlah responden) dan pada α (taraf signifikansi) tertentu. Selanjutnya jika nilai koefisien korelasi product moment dari suatu prtanyaan tersebut berada diatas nilai tabel kritis, maka pertanyaan tersebut signifikan. Hal ini berlaku bagi tiap-tiap pertanyaan yang diukur validitasnya. Sedangkan untuk melakukan uji reliabilitas digunakan hipotesa sebagai berikut :

H0 : Hasil pengukuran tidak konsisten
H1 : Hasil pengukuran konsisten
Langkah-langkah untuk menguji reliabilitas (Sugiyono,2002;64):
1. Mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan yang sudah valid dan membagi menjadi dua bagian (belahan).
2. Menjumlahkan skor jawaban responden pada tiap belahan, sehingga dihasilkan skor total belahan pertama dan skor total belahan kedua.
3. Mengkorelasikan skor total belahan pertama dengan skor total belahan kedua dengan teknik korelasi product moment.
4. Menghitung reliabilitas keseluruhan pertanyaan dengan menggunakan pengukuran reliabilitas koefisien alpha berikut :

Keterangan :
k = banyaknya butir pertanyaan
rtt­ = reliabilitas kuesioner
∑σb2 = jumlah varians butir
σt2 = varians total
5. Membandingkan nilai reliabilitas total dengan nilai kritis.
Jika nilai reliabilitas keseluruhan pertanyaan (rtt) mempunyai nilai alpha cronbach yang berada diatas nilai tabel kritis, maka pertanyaan tersebut reliable dan dapat dipercaya, karena pengukuran terhadap belahan pertama dan belahan kedua relative konstan.

2. Analisis Deskripsi
Analisis deskripsi sering disebut sebagai Statistik Deskriptif atau Statistika Deduktif, yaitu ilmu statistika yang mempelajari metode merangkum (meringkas) dan menggambarkan segi-segi yang sangat penting dari data sehingga data tersebut dapat memberikan informasi. Pendeskripsian tersebut bisa dalam bentuk tabel, gambar maupun nilai numerik.
Bentuk pendeksripsian tersebut Beberapa cara penyajian data dengan statistika deskriptif adalah tabel frekwensi, histogram, diagram titik, diagram batang dan diagram lingkaran (pie chart). Penyajian data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabel frekwensi.

3. Analisis Regresi Linear Berganda
Analisis regresi linear berganda merupakan analisis statistik yang digunakan untuk mengetahui pengaruh suatu variabel terhadap variabel yang lain. Variabel yang mempengaruhi variabel lain dinamakan variabel bebas (independent variable) dan sering dilambangkan dengan X. Sedangkan variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain dinamakan variabel tak bebas (dependent variable) dan sering dilambangkan dengan Y. Pada regresi linear berganda, variabel bebas yang digunakan minimal dua variabel. Data yang digunakan minimal data berskala interval, yaitu data yang memiliki tingkatan dan selang (interval) yang sama.
Model yang dihasilkan dari regresi linear berganda adalah sebagai berikut :
Y = a + b1X1 + b2X2 + … +bixi + e ; i = 1, 2, ….
Keterangan :
Y = variabel tak bebas
Xi = variabel bebas ke-i
a = konstanta
b = koefisien variabel
e = variabel pengganggu (error)

4. Uji F
Uji F digunakan untuk mengetahui pengaruh signifikan secara simultan dalam uji regresi linier ini maka digunakan uji F test yaitu dengan rumus :
Fhitung =
Keterangan :
R2 = Koefisien regresi di kuadratkan
k = Jumlah variabel independent
n = Jumlah pengamatan
F = F hitung yang selanjutnya di bandingkan dengan F tabel
Dalam hal ini digunakan uji dua sisi :
H0 : βi = 0 : Tidak adanya pengaruh yang berarti diantara variabel bebas terhadap variabel terikat.
H0 : βi ≠ 0 : Ada pengaruh yang berarti diantara variabel bebas terhadap variabel terikat
Kriteria pengujian yang digunakan adalah sebagai berikut :
H0 diterima dan Hi ditolak, apabila Fhitung < Ftest.
H0 ditolak dan Hi diterima, apabila Fhitung >Ftest.

5. Uji t
Uji t digunakan untuk menguji tingkat signifikansi atau tingkat kepercayaan dari nilai thitung dalam keterangan diatas, digunakan uji t dengan rumus sebagai berikut :

t hitung =
Keterangan:
thitung = Nilai uji t
bi = koefiesien variabel ke-i
SE (bI) = Standard Error variabel ke-i
Dalam uji t digunakan level of significant sebesar (α) 5% atau α = 0,05 dimana untuk menilai apakah Ho yang diterima atau H1 yang diterima, mempunyai kriteria sebagai berikut :

a. Hipotesa Ho diterima dan Hi ditolak, apabila t hitung < t test
b. Hipotesa Ho ditolak dan Hi diterima, apabila t hitung > t test

Analisis Kuantitatif
1. UjiValiditas
Pengujian validitas dilakukan terhadap variabel-variabel komunikasi interpersonal yang terdiri dari, Karakteristik komunikator (X1), Daya tarik pesan (X2) dan Karakterisitik pesan (X3). Suatu atribut dikatakan valid jika nilai r-hitung > r-tabel dan bernilai positif. Nilai hitung ini dapat dilihat dari nilai yang terdapat pada kolom corrected item total corelation (Santoso,2001) Sedangkan suatu varibel dikatakan reliabel jika nilai Alpha cronbach lebih besar dari r tabel
Cronbach > r tabel. Untuk menentukan nilai rtabel dilihat dari nilai signifikansi sebesar 0,05 (a = 0,05) dengan derajat bebas = df = jumlah responden n – 2 = 30 – 2 = 28, sehingga nilai rtabel sebesar 0.2407.

a. Pengujian Validitas Variabel Karakteristik Komunikator (X1)
Variabel karakteristik komunikator terdiri dari dua atribut, antara lain atribut kemampuan tutor dalam menerangkan materi dan tutor yang memiliki perhatian kepada peserta didik

Hasil uji validitas pada variabel karakteristik komunikator didapatkan nilai r-hitung untuk atribut kemampuan tutor dalam menerangkan materi sebesar 0,570 dan. Atribut tutor yang memiliki perhatian kepada peserta didik sebesar 0,632. Kedua nilai rhitung tersebut lebih besar dari nilai rtabel (r-hitung > r-tabel), sehingga ke dua atribut tersebut dikatakan valid.

b. Pengujian Validitas Variabel Daya Tarik Pesan (X2)
Variabel karakteristik komunikator terdiri dari dua atribut, antara lain atribut pelajaran yang disampaikan Tutor pada saat mengajar di KF tempat anda belajar, selalu berisi materi yang baru dan pelajaran yang disampaikan Tutor pada saat mengajar di KF tempat anda belajar, selalu berisi materi yang tidak membosankan. Hasil uji validitas pada variabel daya tarik pesan didapatkan nilai r hitung untuk atribut Pelajaran yang disampaikan Tutor pada saat mengajar di KF tempat anda belajar sebesar 0,590 dan atribut Pelajaran yang disampaikan Tutor pada saat mengajar di KF tempat anda belajar, selalu berisi materi yang tidak membosankan. Nilai r hitungnya 0,415. Kedua nilai r-hitung tersebut lebih besar dari nilai r-tabel (rhitung > rtabel), sehingga kedua atribut tersebut dikatakan valid.

c. Pengujian Validitas Variabel Karakteristik Pesan (X3)
Variabel karakteristik pesan terdiri dari dua atribut, antara lain atribut pelajaran yang disampaikan di KF tempat anda belajar pelajarannya mudah dimengerti dan pelajaran yang disampaikan di KF tempat anda belajar pelajarannya selalu berkesinambungan. Hasil uji validitas pada variabel daya tarik pesan didapatkan nilai r hitung untuk atribut pelajaran yang disampaikan di KF tempat anda belajar pelajarannya mudah dimengerti sebesar 0,777 dan atribut pelajaran yang disampaikan di KF tempat anda belajar pelajarannya selalu berkesinambungan sebesar 0,686. Kedua nilai rhitung tersebut lebih besar dari nilai rtabel (r-hitung > r-tabel), sehingga kedua atribut tersebut dikatakan valid.

d. Pengujian Validitas Variabel Motivasi Belajar (Y)
Variabel motivasi belajar terdiri dari dua atribut, antara lain atribut motivasi dalam diri anda untuk memahami pelajaran dan belajar di KF cukup tinggi dan Pelajaran yang diberikan dam penjelasan tutor mampu meningkatkan motivasi diri anda dalam memahami pelajaran dan belajar di KF. Hasil uji validitas pada variabel daya tarik pesan ditampilkan didapatkan nilai r hitung untuk atribut Motivasi dalam diri anda untuk memahami pelajaran dan belajar di KF cukup tinggi sebesar 0,515 dan atribut pelajaran yang diberikan dan penjelasan tutor mampu meningkatkan motivasi diri anda dalam memahami pelajaran dan belajar di KF sebesar 0,806 Kedua nilai rhitung tersebut lebih besar dari nilai rtabel (rhitung > rtabel), sehingga kedua atribut tersebut dikatakan valid.

2. Uji Reliabilitas
Pengujian reliabilitas dilakukan terhadap variabel karakteristik komunikator, daya tarik pesan, karakteristik pesan dan variabel Motivasi belajar. Variabel dikatakan reliabel jika nilai Alpha Cronbach > rtabel, dimana nilai r-tabel yang digunakan sama dengan nilai r-tabel yang digunakan untuk uji validitas. Hasil dari pengujian reliabilitas didapatkan nilai Alpha Crobach untuk variabel karakteristik komunikator sebesar 0.830, variabel daya tarik pesan sebesar 0.832, variabel karakteristik pesan sebesar 0.830, dan variabel motivasi belajar sebesar 0.830 Keempat nilai Alpha Crobach dari masing-masing variabel tersebut lebih besar dari nilai r-tabel (Alpha Crobach > rtabel), sehingga keempat variabel tersebut dikatakan reliabel.

3. Deskripsi Jawaban Responden

1) Atribut kemampuan tutor
Hasil deskriptif dari atribut Kemampuan tutor dalam menerangkan materi mudah dipahami dikemukakanmenunjukkan bahwa dari 30 responden didapatkan peserta didik yang menyatakan Tidak setuju kemampuan tutor mudah dipahami sebesar 1 peserta didik atau 3,3%, menyatakan Cukup Setuju sebesar 9 peserta didik atau 30%, yang menyatakan setuju sebesar 13 peserta didik atau 43,3% dan sangat setuju sebesar 7 peserta didik atau 23,3%.

2) Atribut tutor memiliki perhatian:
a) Hasil deskriptif dari atribut tutor menunjukkan bahwa dari 30 responden didapatkan peserta didik yang menyatakan cukup setuju sebesar 6 peserta didik atau 20%, yang menyatakan setuju sebesar 15 peserta didik atau 50% dan sangat setuju sebesar 9 peserta didik atau 30%.

b) Hasil deskriptif dari atribut materi pelajaran menarik dikemukakan menunjukkan bahwa dari 30 responden didapatkan peserta didik yang menyatakan Cukup setuju sebesar 6 peserta didik atau 20%, yang menyatakan Setuju sebesar 15 peserta didik atau 50% dan Sangat setuju 9 peserta atau 30%. materi pelajaran tidak membosankan

c) Hasil deskriptif dari atribut materi pelajaran tidak menunjukkan bahwa dari 30 responden didapatkan peserta didik yang menyatakan Cukup setuju sebesar 8 peserta didik atau 26,7%, yang menyatakan setuju sebesar 16 peserta atau 53,3% dan Sangat setuju 6 peserta atau 20%. dimengerti

d) Hasil deskriptif dari atribut materi pelajarannya mudah dimengerti menunjukkan bahwa dari 30 responden didapatkan peserta didik yang menyatakan Tidak setuju sebesar 1 peserta didik atau 3,3%, yang menyatakan Cukup setuju sebesar 6 peserta atau 20%, Setuju sebesar 16 peserta atau 53,3% dan Sangat setuju 7 peserta atau 23,3%.

e) Hasil deskriptif dari atribut materi pelajarannya Berkesinambungan menunjukkan bahwa dari 36 responden didapatkan peserta didik yang menyatakan Tidak setuju sebesar 1 peserta didik atau 3,3%, Cukup setuju sebesar 5 peserta atau 16,7%, yang Setuju sebesar 15 peserta atau 50% dan Sangat setuju sebesar 9 peserta didik atau 30%.

f) Hasil deskriptif dari atribut materi Motivasi belajar dalam diri menunjukkan bahwa dari 30 responden didapatkan peserta didik yang menyatakan mempunyai motivasi belajar dalam diri Cukup setuju sebesar 6 peserta didik atau 20%, yang Setuju sebesar 13 peserta atau 43,3% dan Sangat setuju 11 peserta didik atau 36.7%.

Hasil deskriptif dari atribut materi Motivasi belajar dari pelajaran yang diberikan menunjukkan bahwa dari 30 responden didapatkan peserta didik yang menyatakan Tidak setuju sebesar 1 peserta didik atau 3,3%, yang menyatakan Cukup setuju sebesar 6 peserta atau 20%, yang menyatakan Setuju 16 peserta atau 53,3% dan Sangat setuju sebesar 7 peserta didik atau 23,3%. Pengujian Hipotesa

Regresi Linier Berganda
Untuk menganalisis hubungan yang diajukan dalam hipotesis, yakni pengaruh dari variabel komunikasi interpersonal terhadap motivasi belajar peserta didik di Kelompok Belajar Keaksaraan Fungsional (kejar KF) yang berada di wilayah Kelurahan Keputih Kecamatan Sukolilo, Surabaya, peneliti menggunakan teknis analisis regresi berganda (Multiple regression). Sesuai dengan tujuan dan hipotesis penelitian yang diajukan, maka kaitan antara variabel penelitian dapat ditabulasikan secara spesifik ke dalam model analisis regresi linier berganda, maka dapat penulis intepretasikan bahwa Rhitung yang menunjukkan korelasi/ hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat adalah sebesar 0,856, yang artinya bahwa korelasi/ tingkat keeratan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dapat dinilai kuat . Penilaian kuat lemahnya nilai korelasi ini pada dasarnya mengguakan parameter nilai korelasi yang dapat dikatakan kuat apabila nilai Rxy > 0,5 . Kemudian untuk mengetahui pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat dapat diketahui melalui nilai R_Square = 0,733. Di mana masing-masing variabel bebas yakni Karakteristik Komunikator, Tutor, Daya Tarik Pesan dan Karakteristik Pesan dapat memprediksi atau menjelaskan variabel respon motivasi belajar peserta didik sebesar nilai 73,3%, yang artinya ketiga variabel bebas komunikasi interpersonal dapat berpengaruh terhadap motivasi belajar yakni 73,3 %. Interprestasi dari model regresi diatas adalah sebagai berikut :

a. Konstanta (β0) = -0,422 menunjukan besarnya pengaruh semua variabel bebas terhadap variabel terikat, apabila variabel bebas = 0 maka nilai motivasi belajar sebesar –0,422 .

b. Koefisien regresi untuk X1 = 0,304 menunjukan bahwa apabila karakteristik komunikator ini ditambah satu kali maka motivasi belajar peserta didik akan meningkat sebesar 0,304 satuan dengan asumsi variabel lain konstan.

c. Koefisien regresi untuk X2 = 0,484 menunjukan bahwa apabila daya tarik pesan ditambah satu kali maka motivasi belajar peserta didik akan meningkat sebesar 0,484 satuan dengan asumsi variabel lain konstan.

d. Koefisien regresi untuk X2 = 0,340 menunjukan bahwa apabila Karakteristik pesan ditambah satu kali maka motivasi belajar peserta didik akan meningkat sebesar 0,340 satuan dengan asumsi variabel lain konstan.

Karena Fhitung =23,826 > F­tabel (2,98) maka Ho diterima pada tingkat signifikansi 5% dengan df pembilang 3 dan df penyebut 26 yang berarti secara bersama-sama karakteristik komunikator, daya tarik pesan dan karakteristik pesan signifikan berpengaruh terhadap motivasi belajar peserta didik Kejar KF. Uji parsial antara Variabel karakteristik komunikator terhadap motivasi belajar, maka dapat diputuskan H0 diterima pada tingkat signifikansi 5 % sehingga kesimpulannya secara parsial variabel X1 tidak berpengaruh terhadap Motivasi belajar, artinya timbulnya motivasi belajar bukan karena karakteristik komunikator (X1). .

Dari perhitungan dimana diperoleh thitung sebesar 4,210 > dari ttabel sebesar 1,7011 maka dapat diputuskan H0 ditolak pada tingkat signifikansi 5 % sehingga kesimpulannya secara parsial Variabel daya tarik pesan berpengaruh terhadap Motivasi belajar, artinya timbulnya motivasi belajar karena adanya daya tarikpesan yang menarik. Dari perhitungan dimana diperoleh thitung sebesar 2,119 > dari ttabel sebesar 1,7011 maka dapat diputuskan H0 ditolak pada tingkat signifikansi 5 % sehingga kesimpulannya secara parsial Variabel Karakteristik Pesan berpengaruh terhadap Motivasi belajar, artinya timbulnya motivasi belajar karena adanya Karakteristik Pesan yang memiliki karakter membantu dalam belajar

PENUTUP

Kesimpulan
Setelah mengetahui dan membahas permasalahan yang dihadapi dalam penelitian ini, maka selanjutya dapat dikemukakan kesimpulan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut:
1. Sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui tingkat pengaruh komunikasi interpersonal tutor terhadap motivasi peserta didik di kelompok belajar keaksaraan fungsional (kejar KF) binaan Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP) Regional IV, berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa Rhitung yang menunjukkan korelasi/ hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat adalah sebesar 0,856, yang artinya bahwa korelasi/ tingkat keeratan hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat dapat dinilai kuat . Penilaian kuat lemahnya nilai korelasi ini pada dasarnya mengguakan parameter nilai korelasi yang dapat dikatakan kuat apabila nilai Rxy > 0,5 . Kemudian untuk mengetahui pengaruh dari variabel bebas terhadap variabel terikat dapat diketahui melalui nilai R_Square = 0,733. Di mana masing-masing variabel bebas yakni Karakteristik Komunikator, Tutor, Daya Tarik Pesan dan Karakteristik Pesan dapat memprediksi atau menjelaskan variabel respon motivasi belajar peserta didik sebesar nilai 73,3%, yang artinya ketiga variabel bebas komunikasi interpersonal dapat berpengaruh terhadap motivasi belajar yakni 73,3 %.

2. Sedangkan pengujian hipotesis yang dilakukan diketahui Karena Fhitung =23,826 > F­tabel (2,98) maka Ho diterima pada tingkat signifikansi 5% dengan df pembilang 3 dan df penyebut 26 yang berarti secara bersama-sama karakteristik komunikator, daya tarik pesan dan karakteristik pesan secara signifikan berpengaruh terhadap motivasi belajar peserta didik Kejar KF.

3. Sedangkan pengujian hipotesis secara parsial diketahui bahwa variabel X2 dan X3 mempengaruhi variabel terikat, sedangkan variabel X1 secara parsial tidak mempengaruhi variabel terikat, dalam hal ini motivasi belajar.

Saran

Setelah mengetahui kesimpulan dari hasil penelitian maka dapat dikemukakan saran-saran yang sekiranya berguna bagi pengembangan upaya pemberantasan buta huruf, dengan berdasarkan kajian ilmu komunikasi adalah sebagai berikut:

1. Bagi pihak konseptor dan pelaksana lapangan program Kelompok Belajar Keaksaraan Fungsional (Kejar KF) sebaiknya memfokuskan kepada peningkatan kualitas kemampuanomunikasi interpersonal dari para tutor, di segi karakteristik turor, karena dari hasil penelitian diketahui bahwa menurut persepsi responden tutor yang mengajar belum dapat menunjukkan karakteristik yang bermakna, sehingga ke depan perlu dilakukan pelatihan tutor secara lebih intensif.

2. Untuk meningkatkan kualitas pemahaman dan motivasi belajar, maka keseluruhan variabe dalam komunikasi interpersonal, sebaiknya perlu diperhatikan lebih detail karena akan secara signifikan terbukti mampu mempengaruhi motivasi belajar peserta didik Kejar Keaksaraan Fugsional. Peningkatan ini juga harus merupakan tindak lanjut dari pelaksanaan evaluasi proses belajar yang dilakukan secara berkesinambungan, sehingga upaya memberantas buta huruf pada sektor informal dapat ditingkatkan melalui sektor pemberian motivasi belajar yang efektif pada peserta didik di Kejar KF binaan Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BPPLSP) Regional IV


DAFTAR PUSTAKA
Anonim Depdikbud.1991, Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah, Jakarta
A.M Sardiman, 1992, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Rajawali Pers Jakarta
Anonim, (1999). Keputusan Menteri Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: 25/KEP/MK.WASPAN/6/1999 tentang Jabatan Fungsional Pamong Belajar dan Angka Kreditnya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta
Anonim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Pemuda dan Olahraga Direktorat Pendidikan Masyarakat, 1999, Diklat Keaksaraan Fungsional, Tawangmangu – Yogyakarta
Anonim Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No; 038/U/2000 Tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pamong Belajar dan Angka Kreditnya, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga Direktorat Tenaga Tknis, Jakarta
Anonim Depdiknas, 2000, Mengenal Program Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga, Dirjen PLSPO, Jakarta
Anonim, 2001 Pendidikan dalam perspektif tantangan bangsa: Kajian pendidikan sepanjang hidup. Teks Pidato pada Dies Natalis ke 37 Universitas Negeri Yogyakarta, tanggal 21 Mei 2001 di Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta. Universitas Negeri Yogyakara, 2001
Anonim Depdiknas. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas); Beserta Penjelasannya. 2003.:Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta
Anonim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Pemuda dan Olahraga Direktorat Pendidikan Masyarakat, 2003, Hasil Workshop Pedoman Keaksaraan Fungsional, Ujung Pandang – Kalimantan Timur
Anonim Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Pemuda dan Olahraga Direktorat Pendidikan Masyarakat, 2004, Hasil Workshop Keaksaraan Fungsional, Ungaran – Semarang
Anonim Data Keaksaraan Fungsional Propinsi Jawa Timur Tahun 2004 –2005, Depdiknas, Surabaya
Cohen, J. 1977. Statistical power analysis for the behavioral sciences. (Rev. ed.). New York: Academic Press.
Denny Richard,1997, Sukses Memotivasi Jurus Jitu Meningkatkan Prestasi, Gramedia Pustaka Utama Jakarta
H. Manser Chief, 1991, Kamus Oxford Learners Pocket Dictionary New Edition, Oxford University Press
Koeswara, E, 1986, Motivasi Teori dan Penelitiannya, Angkasa Bandung
Kusnadi, dkk, 2003, Keaksaraan Fungsional di Indonesia Konsep, Strategi dan Implementasi, Mustika Aksara, Jakarta
Kusnadi, dkk, 2005, Pendidikan Keaksaraan Filosofi, Strategi, Implementasi, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Direktorat Pendidikan Masyarakat, Jakarta
Liliweri Alo, 1994, Komunikasi Verbal dan Non Verbal, Citra Aditya Bakti, Bandung
Liliweri Alo, 1997, Komunikasi Antarpribadi, Citra Aditya Bakti, Bandung
W. P. Napitupulu, 1984. Belajar dan Bekerja Keras Sepanjang Hayat, Jakarta: Proyek Pembinaan Ketenagaan dan Pengembangan Unit Pelaksana Teknis PLSPO (Diklusepora), Jakarta
Tjiptono, Fandi& Santoso, 2003, Metode Penelitian Perilaku Konsumen, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. 1989. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta.
Sugiyono, 2002. Metode Riset Pemasaran, Edisi Revisi,Cetakan Ke lima, Alpabeta, Bandung.
Sularso, 2006, Metode Riset Penyusunan Karya Ilmiah, cetakan Pertama, , BP Universitas Lambungmangkurat, Banjarmasin.
Yusuf, Moh, 2005, Pengaruh Komunikasi Interpersonal Penyuluhan KB Terhadap Pemahaman Usia Kawin Dewasa, Program Pascasarjana Universitas DR. Soetomo, Surabaya

oleh :Hermien Sri Handarini
sumber :paudni.kemdiknas.go.id/bppnfi4/

Wednesday, April 20, 2011

STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENDIDIKAN DAN PENGEMBANGAN USAHA KECIL DAN MENENGAH (Kajian hasil kunjungan belajar dari program OTOP di

Perlu diakui bahwa perkembangan yang signifikan dalam berbagai sektor telah ditunjukan oleh Negara tetangga kita, Thailand. Perkembangan ini bisa dilihat dari pertumbuhan Pendapatan Asli Daerah yang rata-rata diatas 6% per tahun (sebagai contoh 6,9% pada 2003, dan 6,1% pada 2004). Pertumbuhan ekonomi memang menurun pada 2005 (4,6%), itu dikarenakan oleh tiga faktor: peningkatan harga minyak dunia, berkurangnya pendapatan dari sektor pariwisata akibat tsunami, dan situasi yang tidak menentu di beberapa bagian Negara Thailand. Dalam hal ini, Thailand menggunakan fleksibilitasnya untuk merevisi rencana pembangunan nasional dengan manuver-manuver strategik yang berpihak kepada rakyat. Hasilnya sangat memuaskan yang ditunjukan oleh peningkatan tren pendapatan nasional pada akhir 2005 pasca penandatanganan perjanjian perdagangan bebas (misalnya dengan Amerika, China, dan New Zealand). Memasuki 2006, kondisi ekonomi Thailand terus meningkat sejalan dengan peningkatan iklim bisnis domestik, pertumbuhan investasi lokal dan asing melalui proyek-proyek raksasa dalam bidang sosial dan infrastruktur, serta penciptaan kondisi yang mendorong ekspor komoditas manufakturBentuk ancaman yang muncul saat itu adalah pandemic flu burung dan separatisme di daerah selatan. Untuk itu, upaya untuk menanggulangi ancaman ini disusun secara sistematis untuk mempersempit dampaknya terhadap pembangunan ekonomi secara nasional.

Salah satu program pembangunan yang berhasil di Thailand adalah OTOP, yakni kependekan dari One Tambon One Product (setiap satu kecamatan harus memiliki minimal satu komoditas ekonomi unggulan). OTOP diluncurkan oleh pemerintah Thailand pada tahun 2001 dan diterapkan secara penuh pada tahun 2002. Pada dasarnya, keberhasilan OTOP dikarenakan adanya kesamaan kebutuhan di berbagai tingkatan masyarakat untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam mengembangkan komoditas unggulan lokal untuk kepentingan bersama (Departemen Pengembangan Masyarakat, 2004). Meskipun diungkapkan bahwa dalam penerapannya tidak selancar seperti yang diharapkan.

Perlu diketahui bahwa OTOP telah banyak membantu sebagian besar warga Thailand dalam meningkatkan pendapatnnya, membuka kesempatan kerja baru, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerah pedesaan. Pada gilirannya, hal ini memberikan kesempatan bagi dunia usaha untuk berkembang karena sektor usaha kecil dan menengah berkesempatan untuk memperoleh keuntungan dari kerjasama dan kemitraan dengan masyarakat/organisasi setempat. Intervensi individu (planners/perencana) dan ketangguhan manajemen lembaga (pemerintah) bersama-sama dengan prosedur implementasi (metode, aturan dan perundang-undangan) dan pemahaman tentang batasan kewenangan masing-masing pihak, merupakan elemen-elemen penting yang berperan dalam proses pembangunan.

Sebenarnya, program OTOP bukanlah asli dari Thailand, melainkan berasal dari semacam program pengembangan daerah pedesaan di Oita-Jepang. Program The One Village, One Product (OVOP/satu desa satu produk) memberikan inspirasi bagi pengembangan program OTOP. OVOP memanfaatkan sumber daya lokal yang tersedia dan memperkuat kearifan lokal (local wisdom) untuk meraih kualitas standar internasional. Dengan gagasan yang sama, OTOP dikembangkan melalui asistensi lembaga Jepang. Pada tahun 2002 selama satu tahun penuh, JETRO (Japan External Trade Organization) memulai OTOP dan mulai mempromosikan produk Thailand di jepang. JETRO menjalin kerja sama dengan DEP (Department of Export Promotion, kementrian perdaganagn Thailand) dan lembaga jepang lainnya di Thailand. Pemerintah jepang juga mendukung program ini terutama dalam teknik pengepakan/packaging techniques.

Program OTOP diluncurkan untuk menggali keuntungan dari sumberdaya lokal. Misi ini dikembangkan berdasarkan tiga landasan filosofis: (a) produk lokal yang bertarap global, (b) membuat produk khas menggunakan sumberdaya lokal dan kreatifitas setempat, dan (c) meningkatkan keterampilan sumber daya manusia. Perlahan tapi pasti, upaya ini menciptakan kondisi produktif yang menghasilkan berbagai produk lokal. Satu tambon, kenyataannya, mampu memproduksi lebih dari satu produk. Perbaikan produk dan peningkatan kualitas merupakan perhatian utama dalam program ini.

Program ini berdampak luas. Produsen, distributor, sales, merupakan beberapa lapangan kerja yang tercipta bagi warga masyarakat stempat. Beberapa produk utama bersaing dengan produk serupa di pasaran, dan promosi eksport berkembang sejalan dengan terbukanya peluang internasional. Produk-produk OTOP memiliki identitas, nama, dan merk pasar masing-masing sesuai permintaan. Pengelolaan pemasaran berkembang sejalan dengan komunikasi dan koordinasi yang erat dengan pemerintah daerah. Ekspor merupakan tujuan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan warga. Pameran tingkat regional dan nasional dilaksanakan untuk mempromosikan produk, menjalin kemitraan, serta peningkatan nilai transaksi.

Tegasnya dapatlah dikatakan bahwa penyelenggaraan OTOP di Thailand berhasil dengan baik. Berikut ini adalah beberapa faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan OTOP:

1.Terdapat konsistensi dalam hal perencanaan pembangunan sejak tahap pertama perencanaan sekitar 40 tahun yang lalu sampai terjadinya krisis ekonomi pada 1997 dimana pemerintah dipaksa untuk bekerja lebih keras agar mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Pembangunan ekonomi yang berbasis masyarakat menjadi bagian utama dalam perencanaan pemulihan ekonomi terutama yang berkenaan dengan pengentasan kemiskinan.

2.Kesadaran akan peran UKM sebagai tulang pungung perekonomian yang ditunjukan pada saat krisis ekonomi dimana perusahaan-perusahaan besar ambruk sementara UKM bisa bertahan. Program dan proyek yang mendorong perkembangan UKM diintensifkan lalu rencana pembangunan pedesaan juga dianalisis secara menyeluruh melalui koordinasi tiga jalur, dimana pemerintah, sektor swasta dan kelompok masyarakat memainkan perannya masing-masing. Hubungan diantara ketiga unsur tersebut menjadi semakin erat dalam pengembangan kerjasam berbasis masyarakat (cluster development). Dengan dukungan terhadap UKM serta fasilitas dan layanan pemerintah, upaya-upaya sinergis menghasilkan keuntungan yang memuaskan. OTOP terlahir dalam strategi dan kebijakan dimana perkembangannya terus dipantau, dievaluasi dan di-update melalui berbagai instrument kebijkan.

3.Koordinasi yang baik diantara stakeholders. Kata kuncinya adalah koordinasi yang terkait pada kepemimpinan. Kepemimpina dari tingkat pusat sampai tingkat daerah berjalan secara harmonis. Hubungan yang erat antara pimpinan dan yang dipimpinnya dipercaya sebagai kunci keberhasilan pembangunan. Kontrol masyarakat terhadap berbagai program dan integritas komisi pembangunan tetap terjaga melalui komunikasi, kerjasama dan koordinasi yang baik di antara para stkaholders ini. Dengan demikian, koordinasi merupakan kekuatan utama dalam keberhaslan pembangunan yang berkelanjutan.

4.Thailand memiliki patron yang mungkin tidak dimiliki oleh negara lain, yaitu faktor raja. Raja adalah figur rakayat dari berbagai tingkatan dan kelompok di masyarakat. Faktor ini merupakan anugrah bagi warga Thailand. Masyarakat sangat mencintai rajanya, dan raja mencurahkan segalanya bagi rakyatnya, dan keduanya menjadi sinergi ketika diterjemahkan ke dalam pembangunan. Berbagai inisiatif berawal dari istana, dan raja memimpin Negara dalam implementasinya dengan apa yang disebut konsep “ekonomi yang berkecukupan” (sufficiency economyconcept). Konsep ini kemudian dielaborasikan dalam perencanaan pembangunan nasional terutama dalam tujuannya menciptakan aktivitas ekonomi yang praktis dan bermanfaat bagi masyarakat.

5.Dalam era informasi sekarang ini, penggunaan sumber teknologi informasi hendaknya bukan merupakan barang mewah yang sulit dipahami, melainkan teknologi informasi telah merupakan suatu kebutuhan. Pemerintah mengambil keputusan untuk memfasilitasi masyarakat dengan teknologi semacam ini dan mendukung penggunan TI bagi kepentingan masyarakat. Sebagai contoh, dukungan layanan website dan transaksi komersial melalui e-comerce bagi masyarakat dalam mengembangkan usaha mereka. Pemerintah mendukung penuh pemasaran produk OTOP melalui berbagai cara termasuk dengan penggunan TI berbasi computer dan mendidik masyarakat untuk menyadari tren ekonomi global melalui persaingan usaha dan kesempatan.

Program OTOP bagi Indonesia merupakan tantangan untuk mempromosikan berbagai produk unggulan Indonesia. Waktunya telah tiba untuk membangun kembali “Made in Indonesia” dengan semangat baru yang fleksibel sekaligus menyeluruh serta perencanaan program yang sinergis antara lembaga pemerintah, pengusaha (UKM) dan kelompok masyarakat, serta NGO. Kesemua pihak ini saling terkait satu sama lain dan terjalin dalam koordinasi tiga jalur untuk meraih tujuan yang sama, yaitu menstimulasi dan mendorong perekonomian masyarakat serta mempersiapkan dampak positif pembangunan daerah untuk mengurangi angka kemiskinan.

Persiapan awal adalah pemahaman yang mendalam harus menjadi prioritas untuk memformulasikan langkah-langkah implementasi dengan dasar yang kokoh. Sementara itu, konstruksi data dasar yang mencakup data daerah sampai tingkat rumah tangga harus selalu du-update dan disesuaikan dengan kebutuhan program pembangunan daerah.. strategi untuk menerapkan program OTOP disarankan untuk diformulasikan oleh orang yang memiliki kompetensi dan kapabilitas dalam menyusun perencanaan. Dalam konteks ini, pembentukan komite independent yang mewakili berbagai kementrian terkait sangat diperlukan. Komite ini harus difasilitasi dan diberi kesempatan untuk menjalankan tugasnya secara independent dengan kewenangan yang diberikan, namun demikian komite ini tidak terlepas dari pengawasan dan evaluasi. Semua hal yang berkenaan dengan implementasi program harus dipersiapkan jauh hari sebelumnya, termasuk aspek hokum, peraturan dan perundang-undangan, serta batasan kewenangan. Sekali program ini diluncurkan, harus ditekankan bahwa implementasinya harus berpihak untuk kepentingan masyarakat miskin pedesaan. Hal penting lainnya adalah untuk memastikan partisipasi seluruh stakeholders terutama masyarakat, guna menjamin keberhasilan program ini.

Tiga tahap kebijakan perlu dipertimbangkan dalam implementasi program, yaitu: pra-program, pelaksanaan-program, dan pasca program. Pada tahap pra-rpogram, perencanaan yang cermat dan menyeluruh sangatlah penting. Pendekatan yang komprehensif diharapkan dapat mengantisipasi kegagalan program. Perencanaan yang kuat akan menekan munculnya permasalahan dan memberikan landasan yang mulus bagi kelancaran implementasi program. Pda tahap pelaksanaan program, proses implementasi berlangsung dan orang yang berwenang ditugaskan untuk mengendalikan program secara keseluruhan. Pengetahuan dan pemahaman tentang kapasitas dan ketersediaan sumber daya (dukungan dana, teknik produksi, input dan bahan baku, manajemen usaha, dll) sangat penting bagi pengembangan program. Pada tahap pasca program, kebijakan yang mencakup evaluasi, tolok ukur keberhasilan dan kegagalan, dan keterkaitan dengan program lain sangat bermanfaat bagi tahap tindak lanjut.

Kita perlu menangkap kesempatan untuk mempromosikan produk kita di tingkat nasional. Kegagalan program lain harus menjadi cerminan dalam pelaksanaan program yang sekarang. Kesempatan yang ada harus bisa menarik partisipasi masyarakat. Dalam hal ini, formulasi kebijakan harus mampu merefleksiakn keberlangsungan program. Dengan kata lain, master plan pembangunan daerah pedesaan harus menjadi focus perhatian, dan segala upaya harus dibuat sebagai respon terhadap pencapaian tujuan master plan tersebut. Para pelaku di tingkat pusat dan daerah mungkin saja berubah, namun master plan program harus tetap ajeg meskipun dengan beberapa penyesuaian secara fleksibel sesuai dengan kondisi yang ada. Evaluasi untuk memperbaiki perencanaan di masa yang akan datang harus menjadi barisan paling depan untuk tetap menjaga kepentingan program dalam meraih tujuan yang diharapkan. Kelemahan dalam pengembangan program dan kegagalan dalam tahap implementasi akan selalu menjadi pembelajaran yang bermakna, namun demikian janganlah sekali-kali meninggalkan komitmen untuk meraih pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam berbagai aspek, Indonesia dan Thailand memiliki kesmaan, namun Indonesia mungkin memeiliki lebih banyak keunggulan, terutama berkenaan dengan berlimpahnya sumber daya alam dan kreatifitas etnik. Pelajaran dari pengalaman OTOP Thailand selalu bisa menjadi bahan kajian evaluasi dan penyesuaian bagi kondisi Indonesia. Langkah inisiatif harus muncul dari pemerintah baik pusat maupun daerah, dana pendekatan bottom up tidak untuk dihindari. Lebih jauh lagi, patron kepemimpinan sangat penting sebagai prasyarat program pembangunan pedesaaan dan pengentasan kemiskinan, termasuk program OTOP Indionesia, atau apapun namanya.

Kemudian dari pada itu di Thailand, sinkronisasi dan Koordinasi program PNF dilaksanakan dengan mengusung kerjasama dengan instansi lintas departemen. OTOP sebagai duplikasi program OVOP - Jepang, tidak akan berdampak positif tanpa kerjasama lintas departemen. Kemitraan antar departemen dalam OTOP diperankan secara proporsional oleh Departemen Pendidikan, Departemen Tenaga Kerja, Departemen Perhubungan dan Departemen Pariwisata.

Adapun dalam hal ini yang sangat spesifik di Thailand adalah peran tokoh dan figur nasional seperti Raja Thailand menjadi kunci penentu keberhasilan pelaksanaan program PNF. Peran ini diwujudkan dalam berbagai bentuk proyek program PNF, seperti pembangunan SICED dan proyek pengadaan taman bacaan masyarakat. Dua contoh proyek ini diprakarsai oleh Ratu Sirindhorn.

Oleh: Hidayat, M.Pd
Sumber: www.paudni.kemdiknas.go.id/p2pnfi1/

Tuesday, April 19, 2011

MENGASAH KECERDASAN LINGUSTIK

Salahsatu peran pendidik adalah mengasah mental dan menstimulasi kecerdasan serta memberikan lingkungan yang kondusif untuk mengembangkan seluruh potensi anak. Kualitas lingkungan memberi peran besar untuk mengasah kecerdasan anak.

Apabila pendidik memberikan rangsangan pembelajaran yang tepat, hasilnya akan baik puladan potensi anak akan berkembang dengan optimal. Sebaliknya apabila rangsangan pembelajaran yang diberikan kurang tepat, hasilnya kurang memuaskan.

Yang harus disadari ukuran keberhasilan pendidikan bukan hanya dilihat dari nilai akademis. Nilai akademis tidak dapat dijadikan patokan kesuksesan anak dimasa depan.

Lantas apa yang harus dilakukan agar anak memeiliki persiapan yang cukup untuk masa depannya? Membiasakan anak menulis diary bisa mengembangkan kecerdasan linguistik. Ketika menulis mereka beajar menyampaikan informasi yang ada dalam pikirannya, yang diubah menjadi kekuatan kata. Urut Sebagai orang tua atau pendidik, kita harus memberikan wadah bagi anak-anak yang suka menulis. Menulis diary tidak hanya bisa dilakukan dirumah, tetapi pendidik bisa mengagendakannya menjadi salah satu kegiatan belajar mengajar atau kegiatan ekstra kurikuler di sekolah.

Manfaat dari menulis diary ini bisa mengasah keterampilan dan sebagai ajang letihan bagi mereka untuk menulis. Siswa bisa mengungkapkan perasaan saat itu dan bisa mengomunikasikannya dalam bentuk tulisan. Manfaat kegiatan ini tentu tidak hanya bisa dirasakan oleh anak didik, tetapi pendidik juga akan cukup terbantu untuk bisa lebih mengenal anak didik mereka lebih dekat. Bisa mengetahui karakternya, suasana hatinya saat itu, bisa lebih mengenal background keluarganya, bisa tahu ide-ide yang telah mereka pikirkan. Bisa jadi masih banyak hal baru yang kita dapatkan yang kadang itu diluar dugaan.

Banyak penulis cilik yang memulai karya-karya besarnya kerena hoby menulis diary. Seperti kisah Sarah Amany Wisista, Sarah hoby membaca, suka menulis puisi dan sering menuliskan pengalamannya sehari-hari. Padahal sewaktu usia enam bulan sarah terkena virus Toksoplasma yang menyerang jaringan otaknya.

Menurut dokter, virus ini bisa mempengaruhi mental dan otaknya, besar kemungkinan ia akan tumbuh menjadi anak yang idiot. Tapi, orang tua sarah selalu berikhtiar dan berdoa. Akhirnya Sarah dinyatakan sembuh saat berusia 3,5 tahun. Sarah kecil bisa menunjukkan kecerdasannya berkat peran orangtua yang memahami potensi anaknya.

Jadi selama orang tua dan pendidik mau berusaha mengembangkan kecerdasan anak, harapan dan kesuksesan tentu akan terwujud. Itu karena kecerdasan bukan warisan.

Penelitian menunjukkan faktor genetik saja tidak cukup untuk mengembangkan kecerdasan secara maksimal. Peran orangtua dan pendidik dalam memberikan latihan dan lingkungan yang kondusif jauh lebih penting dalam menentukan kecerdasan seorang anak.


Oleh: Rafiatul Khoiriyah, S.Si (Guru KBTKIT Mutiara Hati, Klaten)
Sumber: Harian Republika 20 April 2011

Monday, April 18, 2011

MENDONGKRAK HUMAN DEVELOPMENT INDONESIA (HDI) atau INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) MELALUI PROGRAM PENDIDIKAN KEAKSARAAN

Awalnya memang hanya sebatas keaksaraan, hanya masalah a, b, c ,d dan seterusnya. Memang kedengarannya bagi sebahagian orang dianggap sebagai hal yang sepele bahkan bisa diabaikan. Tetapi dari masalah yang kedengarannya sepele ini Indonesia telah ditempatkan menjadi Negara yang terpuruk di dunia Internasional. Suara Merdeka, Jumat 27 Juli 2007 menyebutkan bahwa sampai dengan pertengahan 2007 ini Human Development Index (HDI) atau disebut juga dengan Indeks Pembangunan Manusia berada pada posisi 108 dari 177 negara, dan hal itu secara faktual disebabkan oleh karena masih banyaknya penduduk yang menyandang buta aksara.

Paradigma untuk pendidikan keaksaraan secara global saat ini mengalami perluasan makna. Pendidikan keaksaraan saat ini bukan hanya berkutat pada masalah kesenjangan kecakapan membaca, menulis dan berhitung, tetapi hal itu juga menyangkut kecakapan-kecakapan tertentu dan penguasaann keterampilan praktis yang kontekstual dan selaras dengan perubahan peradaban manusia yang melahirkan konsekuensi logis tentang adanya tuntutan-tuntutan baru terhadap setiap individu. Problem seperti ini akan menciptakan kesenjangan yang hanya bisa dijembatani oleh pendidikan, khususnya pendidikan non formal. Pendidikan keaksaraan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam dunia pendidikan nonformal ini pun tidak terlepas dari tugas dan fungsinya yaitu sebagi pelengkap (suplemen), penambah (komplemen), dan pengganti (subtitusi) yang tercipta dari suatu system pendidikan secara menyeluruh.

Keterpurukan Negara Indonesia di dunia Internasional tentu saja membuat gerah kita semua, tak terkecuali Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) yang memang harus bertanggung jawab atas kondisi tersebut.
"Kalau program keaksaran fungsional (KF) diterapkan dengan baik, saya yakin itu cara paling mudah untuk meningkatkan IPM Indonesia," kata Mendiknas berkaitan dengan keterpurukan tersebut, saat membuka seminar dua hari bertema Pendidikan Serumpun Indonesia-Malaysia-Singapura, di Kota Batam, Kepulauan Riau, 17 Juni 2007(Waspada Online, 18 Juni 2007).
Dari pernyataan Mendiknas tersebut jelas bahwa untuk meningkatkan HDI caranya dengan memberantas buta aksara.
Hanya saja yang menjadi persoalan bagaimana mencari metode dan strategi yang tepat dan cepat untuk memperbaiki posisi HDI/IPM Indonesia itu.
Kita tahu bahwa buta aksara memang telah menyumbangkan angka yang tinggi bagi keterpurukan bangsa Indonesia di dunia Internasional. Masyarakat penyandang buta aksara cenderung memiliki tingkat produktivitas yang rendah karena kondisi buta aksara terkait erat dengan kebodohan, keterbelakangan, pengangguran dan ketidak berdayaan. Kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan yang di derita oleh penyandang buta aksara akan menyebabkan terbatasnya wawasan untuk berpartisipasi dalam dunia pendidikan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Kondisi kemiskinan itupun pada gilirannya melahirkan rasa tidak percaya diri sehingga apatis terhadap segala bentuk perubahan demi kemajuan dan menganggap hal itu sebagai ancaman. Hal ini kemudian memiliki kecenderungan menjadi beban orang lain dan masyarakat secara umum.
Melihat kondisi demikian maka mereka yang menyandang buta aksara harus segera di bebaskan dari jeratan problem yang melilitnya selama ini, yakni ketidak mampuan membaca, menulis dan berhitung (calistung).
Namun yang juga harus diperhatikan adalah model dan cara pendekatan yang bagaimana program pemberantasan buta aksara tersebut dapat efektif dilaksanakan? Pertanyaan tersebut patut diperhatikan karena pendidikan keaksaraan memiliki sistem dan metode pengajaran yang berbeda dari pendidikan formal yang kebanyakan orang tahu.
Pendidikan keaksaraan umumnya melibatkan orang-orang yang kurang mampu dari segi ekonomi dan usia yang telah matang dan kaya pengalaman. Berbeda dengan pendidikan formal yang umumnya dari ekonomi dapat dikatakan telah mampu dan usia yang relatif sama dalam suatu proses pembelajaran.
Fakta tersebut cukup membuat gerah kita bangsa Indonesia, tak terkecuali kita yang berada di pendidikan jalur non formal. Seperti diketahui bahwa program pemberantasan buta aksara ini bukanlah program baru kemarin, namun program ini telah ada sejak tahun 1948.
Menurut data, catatan pendidikan keaksraan dimulai pada tahun :
1. 1948 : Lahirlah sebuah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menyiratkan hak untuk melek aksara merupakan bagian integral dari hak untuk memperoleh pendidikan. Hak ini kemudian terus didengungkan pada konvensi dan deklarasi internasional yang lain.
2. Tahun 1950: Kiprah yang dilakukan oleh organisasi-organisasi internasional -– terutama UNESCO -- sangatlah berpengaruh terhadap penetapan kebijakan keaksaraan yang dilakukan oleh negara-negara di dunia, terutama negara-negara berkembang yang masih menghadapi persoalan keaksaraan. Kebijakan-kebijakan itu kemudian diterjemahkan dalam suatu rencana aksi yang pro aktif dan realistis serta aktivitas semacamnya dalam rangka terus mengembangkan dan meningkatkan pelayanan terhadap pendidikan keaksaraan. UNESCO terus mendukung perluasan keaksaraan orang dewasa sebagai bagian dari usaha bersama untuk memajukan pendidikan dasar.
3. Tahun 1957: Dilakukan survei global pertama tentang keaksaraan orang dewasa dan hasilnya langsung dipublikasikan. Pada saat yang sama, para pengambil kebijakan telah mempertimbangkan suatu strategi untuk menempatkan pendidikan dan keaksaraan sebagai media yang lebih baik dalam mengakomodir kepentingan setiap individu untuk berpartisipasi dan memanfaatkan suatu modernisasi ekonomi. Publikasi ini dan yang lainnya telah memberikan kontribusi pada standar definisi keaksaraan.
4. Tahun 1958: Konferensi UNESCO mengadopsi standar definisi keaksaraan berdasarkan publikasi hasil survei global tersebut.
5. Tahun 1960: Diadakan suatu konvesi dunia untuk melawan diskriminasi dalam bidang pendidikan, khususnya yang berkenaan dengan isu penjegalan terhadap siapa yang tidak menyelesaikan atau yang tidak dapat bersekolah di Sekolah Dasar. Pada tahun yang sama pula dan selama satu dekade berikutnya masyarakat internasional menetapkan suatu kebijakan untuk menekankan peran keaksaraan dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional, khususnya di negara-negara mandiri.
6. Tahun 1975: Deklarasi Persepolis menggambarkan keaksaraan sebagai ”fondasi hak asasi”.
7. Tahun 1978: Konferensi UNESCO merefleksikan munculnya pemahaman tentang peran keaksaraan dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional serta mengadopsi sebuah definisi Keaksaraan Fungsional yang kemudian digunakan hingga sekarang, yaitu: “Seseorang yang keaksaraannya fungsional adalah yang dapat menggunakan keaksaraan dalam seluruh aktivitasnya yang berfungsi secara efektif bagi kelompoknya dan masyarakat, juga memberikan kemungkinan baginya untuk menggunakannya dalam membaca, menulis dan berhitung bagi perkembangan dirinya sendiri maupun masyarakat.”
8. Tahun 1979: Diadakan konvensi tentang Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi Melawan Wanita. Hal ini merupakan rangkaian dari gerakan untuk melawan diskriminasi terhadap hak-hak individu terutama dalam memperoleh pelayanan pendidikan.
9. Tahun 1989: Diadakan konvensi mengenai Hak Anak Mengenali Keaksaraan. Pada konvensi ini kembali ditegaskan bahwa pendidikan adalah sebuah hak. Konvensi ini –- juga konvensi tahun 1979 tentang Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi Melawan Wanita -- berisi acuan eksplisit untuk mempromosikan keaksaraan. Pada tahun yang sama Konvensi ILO tentang Masyarakat Suku dan Orang Pribumi menyatakan bahwa dimanapun bisa dilaksanakan, anak-anak diajar untuk membaca dan menulis dalam bahasa asli mereka dan seharusnya diambil pengukuran yang cukup untuk memastikan bahwa mereka memiliki kesempatan untuk memperoleh kelancaran dalam bahasa yang resmi.
10. Tahun 1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua yang diadopsi di Jomtien Thailand, menempatkan keaksaraan dalam konteks lebih lebar untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dasar bagi setiap anak, pemuda dan orang dewasa.
11. Tahun 1993: Deklarasi Viena menyebutkan bahwa seharusnyalah suatu negara memiliki itikad dan tekad untuk menghilangkan jumlah penyandang buta aksara, bertindak sebagai pihak penghubung suatu usaha untuk mendapatkan rasa hormat yang lebih besar serta melakukan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan pribadi.
12. Tahun 1996: Ditandatangani sebuah Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politis. Garis besar isi perjanjian itu adalah menyangkut hak kaum minoritas untuk menggunakan bahasa mereka sendiri. Hal ini merupakan inspirasi dikembangkannya model pembelajaran keaksaraan melalui pendekatan bahasa ibu (mother tongue).
13. Tahun 1997: Deklarasi Hamburg kembali menekankan tentang paradigma keaksaraan sebagai ”fondasi hak asasi” sebagaimana yang telah digambarkan untuk pertama kalinya pada Deklarasi Persepolis tahun 1975. Beberapa instrumen dari Deklarasi itu menekankan pada bahasa sebagai media efektif bagi individu untuk memperoleh melek aksara.
14. Tahun 2002: Kerangka Kerja Dakkar untuk Aksi dan Resolusi General Assembly tentang Dekade Melek Aksara PBB 2003-2012, mengakui bahwa melek aksara adalah jantung pembelajaran sepanjang hayat. Resolusi tersebut juga menyatakan bahwa ”Keaksaraan adalah krusial untuk diperoleh oleh setiap anak, pemuda, dan orang dewasa, kecakapan hidup yang esensial yang memungkinkan mereka untuk menghadapi tantangan hidup dan menghadirkan sebuah langkah esensial dalam pendidikan dasar dimana ini harus ada atau sangat dibutuhkan bagi partisipasi efektif masyarakat dan perekonomian di abad 21”. Masyarakat internasional (lebih lanjut digarisbawahi dalam resolusi dimensi sosial keaksaraan) mengenali bahwa “Keaksaraan adalah jantung pendidikan dasar untuk semua dan menciptakan lingkungan dan masyarakat terpelajar adalah hal yang esensial untuk mencapai tujuan pembasmian kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, menahan laju pertumbuhan populasi, mencapai persamaan gender dan memastikan pembangunan yang berkelanjutan, kedamaian dan demokrasi.

Melihat catatan diatas jelaslah bahwa usaha pemberantasan buta aksara tersebut telah lama di lakukan, namun sejauh mana keberhasilan pemberantasn buta aksara tersebut dapat dicapai? Perlu kerjasama bagi kita semua.
"Kalau program keaksaran fungsional (KF) diterapkan dengan baik, saya yakin itu cara paling mudah untuk meningkatkan IPM Indonesia," kata Mendiknas berkaitan dengan keterpurukan tersebut, saat membuka seminar dua hari bertema Pendidikan Serumpun Indonesia-Malaysia-Singapura, di Kota Batam, Kepulauan Riau, 17 Juni 2007(Waspada Online, 18 Juni 2007).
Sistem jemput bola yang ditawarkan oleh Mendiknas memang patut diacungkan jempol, karena jika hanya mengandalkan warga belajar yang datang ke lokasi belajar, sepertinya hal itu hanya akan menjadi persoalan baru bagi dunia pendidikan keaksraan. Karena bukan tidak mungkin mereka yang penyandang buta aksara akan merasa lebih penting untuk berangkat kerja dan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari pada harus belajar dan tidak bisa secara langsung mengubah ekonomi mereka. Karena itu para penggiat pemberantasan buta aksara harus mengawali tugas mereka dengan mengubah paradigma dan cara berpikir para peserta didik yang terkesan pasrah akan kehidupan mereka.
Pendekatan secara kekeluargaan dan pendekatan sosial bisa dilakukan untuk mengubah paradigma mereka bahwa bagaimanpun kemampuan calistung akan sangat berguna dan membantu mengatasi persoalan-persoalan kehidupan, bahkan dapat mengangkat derajat dan taraf hidup penyandang buta aksara.

Sejak lama problem pemberantasan buta aksara selalu mewarnai pembangunan di Indonesia. Setiap tahun angka penyandang buta aksara dilaporkan semakin berkurang, namun pada kenyataannya HDI/IPM manusia tetap berada pada angka terendah, dengan 15 juta penduduk Indonesia masih berada pada keadaan buta huruf.
Melihat kondisi tersebut, Mendiknas juga tidak tinggal diam, melalui instruksinya seluruh Bupati, Camat dan Kepala Desa harus turut dalam pemberantasan buta aksara di daerahnya masing-masing dengan melibatkan pula organisasi kemasyarakatan (ormas) dan LSM seperti NU, Muhammaddiyah, Aisyiyah, PKK dan lainnya.
Persoalan penyandang buta aksara merupakan masalah klasik, berbagai program telah dilakukan di dalam pembenahan pendidikan luar sekolah, berbagai program telah pula dilakukan, namun masalah penyandang buta aksara masih saja menjadi batu sandungan bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.
Program pendidikan keaksaraan yang menerapkan pembelajaran membaca, menulis dan berhitung dan aksi untuk memecahkan masalah yang dihadapi warga belajar dalam kehidupan sehari-hari sampai saat ini dianggap adalh yang terbaik, pada program ini tak hanya bidang keaksaraan yang disentuh, tapi juga martabat dan harga diri peserta didik ikut di junjung.
Selain pendekatan sosial yang telah diterapkan akan lebih baik lagi jika dilakukan pendekatan kesejahteraan melalui berbagai program kegiatan pelatihan keterampilan yang sesuai dengan potensi local daerah masing-masing penyandang buta aksara. Selain itu untuk melestarikan program pembelajaran dan untuk mencegah terjadinya kembali buta aksara bagi warga belajar yang telah di belajarkan, program Taman Bacaan Masyarakat (TBM) juga patut untuk dilakukan. Tidak kalah penting, pemberian kepercayaan kepada ormas dan LSM sebagai pelaksana maupun pendamping pelaksanaan program pemberantasan buta aksara harus terus dipertahankan.

Jika semua itu bisa dilaksanakan, Insya Allah penyandang buta aksara di Indonesia dapat turun, dan tentu saja dengan turunnya angka buta aksara ini maka HDI?IPM Indonesia juga akan meningkat. Insya Allah.

Oleh: Fauziah Rahmah Lubis (Pamong Belajar pada BPPNFI Regional 1 Medan)
Sumber :www.paudni.kemdiknas.go.id/bppnfi1/