Ada hikmahnya ketika peringatan Hari Aksara Internasional setiap 8 September pada tahun ini diselenggarakan di Cilegon, Provinsi Banten. Provinsi Banten pernah mendapat predikat lumbung buta aksara karena jumlah orang yang buta aksara cukup tinggi, yaitu 500-an ribu orang. Jumlah itu sekarang menurun tajam menjadi 150-an ribu orang.
Namun, yang menarik dari Banten bukanlah angka statistik orang buta aksara yang menurun drastis, melainkan adanya kelompok masyarakat adat Badui. Seperti diketahui, sebagian komunitas adat tersebut hingga saat ini masih menolak belajar aksara, khususnya aksara Latin. Masyarakat ini terdiri atas Badui Dalam dan Badui Luar. Mereka tinggal di 59 desa di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Kini hanya tinggal tiga desa yang masih menganut tradisi secara ketat yang dianut kaum Badui Dalam.
Mengapa keaksaraan penting? Menurut frasa yang dirumuskan dalam pembukaan resolusi Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, "Keaksaraan penting bagi pemerolehan keterampilan hidup, baik bagi anak-anak, pemuda, maupun orang dewasa, sehingga mereka dapat mengatasi tantangan yang dihadapi dalam hidup mereka dan merupakan langkah pokok dalam pendidikan dasar, yang merupakan faktor yang sangat diperlukan untuk bisa berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat dan ekonomi abad ke-21." Dalam bahasa lain, menurut Ella Yulaelawati, Direktur Pendidikan Masyarakat Departemen Pendidikan Nasional, keaksaraan adalah prasyarat untuk memperoleh berbagai kemampuan dasar belajar agar siapa pun dapat mencari, memperoleh, menggunakan, dan mengelola informasi untuk meningkatkan mutu hidupnya.
Namun, dalam konteks masyarakat Badui, tampaknya keberaksaraan tak hanya menyangkut persoalan aksara sebagai alat, tapi juga aksara sebagai sebuah paradigma. Aksara Latin dalam hal ini dipandang mewakili paradigma ilmu pengetahuan modern. Sedangkan masyarakat adat Badui adalah komunitas adat yang percaya memiliki tradisi keilmuan tua yang mereka warisi secara turun-temurun secara lisan dari generasi ke generasi. Menurut Ayah Mursyid, salah satu tokoh masyarakat adat Badui Dalam, masyarakat Badui adalah keturunan Adam Tunggal, dan ada sejak permulaan bumi.
Cara pandang masyarakat Badui terhadap alam sama dengan masyarakat primitif yang menyatu dengan alam, dengan prinsip menjaga keseimbangan. Manusia adalah bagian dari alam, dan karena itu harus hidup harmonis dengan alam. Posisi ini berseberangan dengan pandangan masyarakat modern yang antroposentris, yang memandang manusia superior di hadapan alam dan karena itu berhak mengeksploitasinya. Pandangan masyarakat modern ini terbukti telah menghasilkan dampak peradaban modern yang mengakibatkan krisis lingkungan yang akut. Masyarakat bumi sekarang ini dihantui oleh bencana akibat krisis lingkungan yang disebut sebagai pemanasan global. Dalam konteks ini, pelajaran dari masyarakat Badui Banten menyangkut alam menemukan konteks dan momentumnya.
Secara ilmu lingkungan, sebetulnya masyarakat Badui tak hanya melek aksara, tapi juga memiliki ilmu tua yang sebetulnya bisa menjadi bahan pelajaran lingkungan oleh manusia modern. Dan beruntunglah masyarakat Badui di Indonesia ini masih ada dan tak tergusur oleh badai politik yang menguasai Jakarta. Bukan hanya masih ada, mereka juga berhasil mempertahankan kelestarian hutan di sekitarnya seperti hutan lindung di Gunung Salak, hingga kini. Jadi keberadaan budaya masyarakat Badui memang anomali di tengah budaya Indonesia yang memasuki masa industrialisasi. Namun, bukan berarti mereka tak berbudaya.
Untuk menghadapi masyarakat Badui, pemerintah harus menimbang-ulang positioning negara vis a vis masyarakat Badui. Pertama, bahwa masyarakat Badui memiliki budaya, dan bahkan peradaban sendiri, yang karena itu layak memperoleh apresiasi dari pemerintah Republik Indonesia. Kedua, bahwa program keaksaraan dari pemerintah itu sesuatu yang niscaya, dan karena itu masyarakat Badui sebaiknya juga belajar beraksara, seperti yang ditawarkan pemerintah.
Problemnya, sebagian masyarakat Badui menolak mempelajari aksara Latin, dengan berbagai alasannya. Jadi, bagaimana jalan keluarnya? Pertama, masyarakat Badui yang menolak belajar aksara hanya sebagian kecil. Masyarakat Badui Luar, yang diperkirakan berjumlah 500 lebih keluarga, bersikap terbuka, dan sekitar 40 persen dari mereka telah melek aksara. Jadi, mereka bisa dijadikan sasaran program ini.
Kedua, masyarakat Badui Dalam, yang hanya terdiri atas tiga desa, diberi transfer ilmu pengetahuan dengan cara lisan melalui guru pendamping. Ini sejalan dengan rencana Departemen Pendidikan Nasional yang akan mengadopsi Prakarsa Keaksaraan untuk Pemberdayaan (Literacy Initiative for Empowerment), yang dicanangkan UNESCO. Istilah ini akan diindonesiakan menjadi Aksara Agar Berdaya, disingkat Akrab. Pemerintah dalam hal ini akan membalik program pemberdayaan dahulu untuk kemudian masuk ke program keberaksaraan. Jadi, untuk menuju keberaksaraan, masyarakat Badui diberdayakan dulu.
Atau ketiga, masyarakat Badui Dalam dibuatkan program melek aksara Hanacaraka, sebagai upaya transfer ilmu pengetahuan melalui penerjemahan bahasa lokal.
Cara ini sebetulnya tak ubahnya pengajaran huruf Braille bagi kalangan tunanetra.
Positioning pemerintah itu sudah ditunjukkan dengan benar oleh Ella Yulaelawati, yang pada 17 Agustus 2009 mengunjungi masyarakat adat Badui, bahkan walau harus berjalan kaki selama empat jam ke desa Badui Dalam. Di depan Kepala Desa Djaro Daenah dan Ayah Mursyid, Ella Yulaelawati mengatakan bahwa pihaknya bersedia belajar soal lingkungan kepada masyarakat Badui dan bersedia bekerja sama untuk kemajuan masyarakat Badui.
Ini tentu sebuah langkah baru menuju saling belajar di antara kedua belah pihak.
sumber :http://epaper.korantempo.com
0 comments:
Post a Comment