Wednesday, October 31, 2012

BERMAIN TANPA ALAT, MUNGKINKAH?

Jawaban atas pertanyaan diatas, adalah “ya, mungkin” dan atau “tidak mungkin”. Kedua
jawaban ini dapat dipilih salah satu atau dua-duanya. Tidak ada yang salah, tergantung
dari sudut pandang mana kita melihatnya.
Pada saat anak masih telentang, kita sering melihat anak menggunakan jari-jari tangannya sebagai “alat” untuk bermain. Sebagian dari kita memandang jemari tangan anak bukan sebuah alat, karena bagian dari tubuh kita. Sebagian yang lain dari kita menyebutkan jemari tangan sebagai alat bermain,
karena anak menggunakan jemari tangannya sebagai obyek yang dijadikan mainan dan bukan subyek
yang melakukan kegiatan bermain.
Kita tidak akan memperdebatkan hal ini. Jean Peaget, psikolog Swiss, membagi cara anak memahami
dunianya menjadi empat skema, yakni periode sensori motor (0-2 tahun), periode praoperasional (2-7 tahun), periode operasional konkrit (7-11 tahun), dan periode operasional formal (11 tahun sampai dewasa).
Masih menurut Peaget, pada dua periode pertama, 0-7 tahun, logika anak belum berkembang dengan baik sehingga masih kesulitan untuk memikirkan hal-hal yang abstrak. Pada periode ini anak masih berpikir mengenai hal-hal yang nyata, yang dapat diraba, dilihat, didengar, dibaui, dan dirasakan. Jadi, bagaimana caranya anak dapat mempelajari sesuatu tanpa ada yang dapat diraba, dilihat, didengar, dibaui, dan dirasakan?
Sekali lagi kita tidak akan mempersoalkan perlu tidaknya alat dalam proses bermain sekaligus belajar
bagi anak-anak. Jawaban Jean Peaget cukup untuk menjawab pertanyaan diatas. Ada yang jauh lebih penting saat membicarakan alat permainan. Selama sepuluh tahun terakhir, pistol mainan dengan peluru kecil cukup banyak menelan korban. Tidak sedikit anak-anak yang menjadi buta karenanya. Ternyata, boneka pun berbahaya. Sebagian besar boneka yang beredar di Indonesia, terutama buatan rumahan menggunakan mata yang ditempel dengan lem, berbahaya bagi anak. Mata boneka yang ditempel dengan lem, akan dengan mudah ditarik anak dan kemudian dimasukkan ke mulut. Tidak perlu dibayangkan apa yang terjadi kemudian.
Itu bahaya yang terlihat mata. Masih banyak lagi bahaya yang tersembunyi, seperti penggunaan cat besi untuk mainan yang berbahan kayu. Belum lama, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) bersama-sama Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia menemukan 20 dari 21 alat permainan yang diteliti mengandung empat logam berat berupa timbal (Pb), merkuri (Hg), kadmium (Cd), dan kromium (Cr). Logam berat bisa merusak otak, menyebabkan kelumpuhan, mengurangi kecerdasan, merusak ginjal, serta kanker. Besarnya dampak logam berat pada anak tergantung dari jumlah logam berat yang masuk ke tubuh.
Sepertinya bermain tanpa alat permainan perlu dipertimbangkan. Namun, jangan lupa juga mempertimbangkan hasil penelitian Jean Peaget. Semuanya tergantung pada kita sebagai orang tua.

Oleh : Drs Eko Yunianto
Sumber : Warta PAUDNI Februari 2012

Belajar Sambil Bermain dengan Permainan Tradisional

Saat ini anak-anak tak akrab lagi bermain dengan penuh peluh.
Permainan anak-anak mulai didominasi dengan layar dan tombol. Komunitas Hong secara konsisten memperkenalkan permainan tradisional. Kang Zae, pendiri komunitas Hong mencoba mengingatkan bahwa bermain juga bisa sambil belajar. Bermain tidak hanya bermain, belajar pun tak sekedar belajar.

Tubuhnya yang mungil tengah asyik menikmati sore bersama sekelompok bocah dan beberapa kawan. Senyumnya yang ramah kemudian menyambut kedatangan saya. Percakapan kami kemudian dimulai di tengah hamparan padang rerumputan yang berada tepat di sebelah Taman Hutan Raya Juanda yang berada di kawasan Dago Pakar.
Bagi banyak pihak, nama Zaini Alif yang akrab dengan sapaan Kang Zae ini bukanlah sosok asing, apalagi jika dikaitkan dengan “mainan dan permainan” tradisional. Minat dan kecintaan terhadap budaya lokal ini telah pula mengantarkannya sampai ke mancanegara. Dari balik tangan dinginnya, lahirlah sebuah Komunitas yang dinamai Hong.
Hong memiliki arti pertemuan manusia dengan Tuhan. Selain itu, di dunia permainan tradisional, ada sebuah permainan yang sampai detik ini masih sangat populer dan dinamai Hong-hongan (petak umpet).
Komunitas Hong berada di Jalan Bukit Pakar Utara No. 35 Bandung. Hong memulai pergerakannya sejak tahun 1996. Kala itu, Kang Zae tengah asyik menyelesaikan tugas akhir kuliahnya yang mengangkat tema berkenaan dengan mainan dan permainan tradisional. “Ada dua pengertian, ‘mainan’ dan ‘permainan’. Mainan berorientasi pada ‘toys’, sesuatu yang biasa dikerjakan dan menyenangkan, sedangkan permainan orientasinya adalah menang-kalah, lazimnya disebut ‘games’.
Berbeda dengan pengertian kompetisi dalam permainan-permainan modern yang hanya menekankan dan menargetkan pada menang dan kalah, menangkalah dalam permainan tradisional memiliki sisi di mana anak-anak diajak bermain sambil mengeluarkan potensi diri yang dimilikinya, baik potensi motorik maupun potensi kreativitasnya,” papar lelaki yang sehari-harinya disibukkan pula dengan mengajar di Sekolah Tinggi Seni Bandung (STSI) dan menjadi dosen luar biasa di Institut Teknologi Nasional (ITENAS) ini.
Kang Zae berburu beragam mainan tersebut dengan berkeliling ke kampung- kampung adat dan  mewawancara pihak-pihak yang masih mengerti tentang hal itu. Adapun untuk mainan yang sudah punah, ia biasanya melakukan rekontruksi alias membuat ulang mainan mainan tersebut. Baginya, mainan dan permainan tradisional memiliki kelebihan dibandingkan dengan permainan modern meski masyarakat beranggapan bahwa permainan tradisional atau permainan rakyat dianggap kotor, rendah, kampungan, dan permainan dari luar itu yang terbaik. “Padahal, jika ditinjau dari sisi psikologis dan edukasi, permainan modern hanya menyajikan bentuk lahiriah semata, sedangkan permainan tradisional, selain mengetengahkan sesuatu yang lahiriah, ia juga mengolah rasa seperti empati dan mendekatkan diri dengan alam. Itu adalah keunggulan permainan tradisional,” ungkapnya sejurus kemudian.
Saat ini, sudah ada 250 jenis permainan yang terdata oleh Komunitas Hong. Semuanya mengandung unsur filosofis tinggi, tapi sangat disayangkan karena permainan tradisional mulai dilupakan. Beberapa jenis permainan tradisional itu adalah cinciripit, galah bandung dan bebentengan.
Kang Zae mengatakan, dengan permainan tradisional anak-anak bisa mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan sikap. “Selain itu, permainan tradisional bisa juga dapat mengembangkan aspek pengembangan moral, nilai agama, sosial, bahasa, dan fungsi motorik,” jelasnya.
Adapun mainan, berjumlah ribuan. Kang Zae menyatakan bahwa mainan tradisional dekat dengan alam dan berkontribusi bagi permbangan pribadi anak. Mainan itu dapat dibuat sendiri sehingga bisa melatih kreativitas dan tanggungjawab anak. Perihal mainan, Kang Zae punya citacita. Membuat museum mainan tradisional.
Kini mainan itu sedikit demi sedikit mulai diwujudkan dengan menjadikan rumah tinggalnya menjadi sebuah museum seperti yang diimpikannya. Tentu saja, apa yang dilakukan oleh Kang Zae dan Komunitas Hong bukanlah sekadar pengumpul semata, bukan sekadar membuat ulang mainan-mainan yang kian jarang ditemui di tengah kota. Sedikit serius, ini adalah percakapan singkat mengenai sebuah komunitas yang dengan tangan kecilnya berusaha memertahankan tradisi melalui mainan dan permainan tradisional.

Sumber : Warta PAUDNi Edisi Februari 2012

Monday, October 15, 2012

Main dengan APE, Yuk!

Anak usia dini belajar melalui bermain. Untuk itu mainan anak harus beredukasi, maka muncullah istilah alat permainan edukasi (APE). Manfaat apa saja yang didapatkan dari APE?

Bermain adalah unsur penting bagi perkembangan anak baik fisik, emosi, mental, intelektual, kreativitas, maupun sosial. Oleh karena itu, anak yang cukup mendapat kesempatan bermain akan menjadi orang dewasa yang mudah berteman, kreatif dan cerdas, bila dibandingkan dengan mereka yang masa kecilnya kurang mendapat kesempatan bermain.

“Melalui bermain, anak tidak hanya menstimulasi pertumbuhan otot ototnya, tetapi lebih dari itu. Anak tidak sekedar melompat, melempar atau berlari. Tetapi mereka bermain dengan menggunakan seluruh emosinya, perasaanya dan pikirannya,” papar Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Jakarta, Dr. Karnadi.

Untuk itulah alat bermain anak harus benar-benar menunjang perkembangan itu. Di sinilah, kata Karnadi, alat permainan edukatif (APE) memiliki peran yang penting. Dengan APE yang tepat maka perkembangan anak dapat optimal sesuai dengan usia dan tingkat perkembangannya. Karnadi menyatakan, ada banyak manfaat yang didapat dari APE, yaitu:
Pertama, melatih kemampuan motorik. Stimulasi untuk motorik halus diperoleh anak saat menjumput, meraba, memegang mainan dengan kelima jarinya. Sedangkan rangsangan motorik
kasar didapat anak saat menggerakgerakkan, melempar, dan mengangkat mainan.
Kedua, melatih konsentrasi. APE dirancang untuk menggali kemampuan anak, termasuk kemampuan berkonsentrasi. Saat menyusun mainan kayu puzzle, katakanlah, anak dituntut untuk fokus pada gambar yang ada di depannya. Ia tidak berlari-larian atau melakukan aktivitas fisik lain sehingga
konsentrasinya bisa lebih tergali. Tanpa konsentrasi, bisa jadi hasil menyusun gambar tidak memuaskan.
Ketiga, mengenalkan konsep sebab akibat. Contohnya, dengan memasukkan mainan kayu benda kecil ke dalam alat mainan yang besar. Anak akan memahami bahwa benda yang lebih kecil
bisa dimuat dalam benda yang lebih besar, sedangkan benda yang lebih besar tidak bisa masuk ke dalam benda yang lebih kecil. Ini adalah pemahaman konsep sebab akibat yang sangat mendasar.
Keempat, melatih bahasa dan wawasan. Permainan edukatif sangat baik bila dibarengi dengan penuturan cerita. Hal ini akan memberikan manfaat tambahan buat anak, yakni meningkatkan
kemampuan berbahasa juga perluasan wawasannya.
Kelima, mengenalkan warna dan bentuk. Dari alat permainan, anak dapat mengenal ragam bentuk dan warna. Ada benda berbentuk kotak, segi empat, bulat dengan berbagai warna; biru, merah,
hijau, dan lainnya. Menyambung pernyataan tersebut, Dosen Pendidikan Guru TK - Pendidikan
Guru PAUD Pendidikan Prasekolah dan Sekolah Dasar (PGTK-PGPAUD PPSD) Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Nelva Rohina, Msi mengemukakan bahwa APE yang baik dapat diintegrasikan dengan kegiatan pembelajaran yang sesuai yaitu dengan active learning, yaitu pembelajaran yang menuntut keaktivan anak; attractive learning, yaitu pembelajaran; joyful
learning, yaitu pembelajaran yang menyenangkan; dan multiple intelligences approach, yaitu pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kecerdasan majemuk. Degan pengintegrasian empat
pembelajaran tersebut, maka semua aspek anak dapat berkembang, baik aspek
pengembangan pembiasaan maupun
kemampuan dasar.


Sumber: Majalah Warta Plus Edisi Februari 2012

Wednesday, October 10, 2012

Ibu Depresi Bikin Kemampuan Linguistik Bayi Menurun

Setelah terlahir ke dunia, setiap bayi dianugrahi kemampuan untuk mempelajari bahasa apapun yang ada di dunia, bahkan konon mereka memiliki kemampuan super di bidang linguistik yang tak dimiliki orang dewasa.

Misalnya, seorang bayi berusia 6 bulan dapat membedakan suara-suara dari berbagai bahasa yang tak bisa dibedakan orang yang tak menggunakan dua bahasa (non-bilingual) seperti huruf 'd' dalam bahasa Inggris dengan 'd' dalam bahasa Hindi.

Bayi juga bisa menebak apakah seseorang berbicara dalam bahasa Inggris atau Perancis hanya dengan melihat bentuk bibir dan ritmenya. Padahal kemampuan ini biasanya hanya dimiliki oleh orang-orang yang berbicara dalam dua bahasa (bilingual).

Sayangnya, ketika mencapai usia 10 bulan, kemampuan ini tiba-tiba menghilang. "Ketika mereka mulai bisa menerima bahasa ibunya secara lebih baik, mereka jadi kurang sensitif terhadap suara-suara yang bukan berasal dari bahasa ibunya," kata Janet Werker, psikolog dari University of British Columbia, Vancouver seperti dilansir dari CNN, Selasa (9/10/2012).

Penasaran, Werker dan rekan-rekannya pun mencari tahu faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kondisi tersebut.

Dari studi tersebut diketahui bahwa 20 persen wanita mengalami gangguan mood atau mood yang berubah-ubah selama masa kehamilan dan lebih dari 13 persen mengonsumsi antidepresan ketika hamil. Dari situlah tampaknya ditemukan kaitan antara dampak depresi dan pengobatannya terhadap hilangnya sensitivitas bayi terhadap bahasa selain bahasa ibunya.

Untuk memperoleh kesimpulan itu, peneliti membagi partisipan ke dalam tiga kelompok; 32 bayi yang ibunya mengonsumsi antidepresan selama hamil, 21 bayi yang ibunya mengalami depresi selama hamil tapi tidak minum antidepresan dan 32 bayi yang ibunya tidak mengalami depresi.

Para bayi ini pun diminta menjalani tes yang melibatkan beberapa jenis suara (seperti membedakan huruf 'd' dalam bahasa Inggris versus 'd' dalam bahasa Hindi) dan menonton sejumlah orang berbicara dalam beberapa bahasa tanpa suara.

Lalu peneliti menemukan bahwa depresi dan konsumsi antidepresan tampaknya menyebabkan munculnya perbedaan sensitivitas para bayi ini terhadap beberapa bahasa yang berbeda.

Pasalnya, bayi yang ibunya tidak depresi dapat melakukan performa sesuai yang diharapkan, mereka cenderung berhasil melakukan tes dan dapat membedakan beberapa bahasa ketika berusia 6 bulan dan akhirnya gagal pada usia 10 bulan.

Sebaliknya, bayi yang ibunya terkena depresi (tapi tidak mengonsumsi antidepresan) gagal membedakan sejumlah bahasa pada usia 6 bulan namun berhasil melakukannya ketika mencapai usia 10 bulan. Kemudian bayi yang ibunya mengonsumsi antidepresan terlihat mengalami kegagalan dalam tes pada usia 6 bulan dan 10 bulan.

Namun peneliti mengaku tak yakin dengan alasan di balik kondisi ini, mereka juga tak tahu apakah kondisi ini berarti baik atau buruk bagi si bayi. Peneliti hanya menduga keterlambatan munculnya sensitivitas bahasa pada bayi yang ibunya depresi tapi tidak minum antidepresan dikarenakan si bayi tidak banyak terlibat dalam perbincangan karena ibunya tertekan selama hamil.

Dugaan lain, hal ini ada kaitannya dengan senyawa kimia dari dalam otak ibu dan pengaruh konsumsi antidepresan terhadap perkembangan otak si bayi, terutama bagi bayi yang ibunya mengonsumsi obat-obatan ini.

Studi ini telah dipublikasikan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.

sumber : http://health.detik.com