Sunday, January 9, 2011

Peran Homeschooling dalam Membangun Karakter Bangsa (Homeschooling Role in Nation Character Building)

Mengapa Harus Homeschooling?

Bangsa Indonesia telah menikmati kemerdekaan lebih dari setengah abad, namun sampai dengan saat ini masih banyak masyarakat yang mengalami korban penindasan dan penjajahan dari saudaranya sendiri yang mengakibatkan ketidakberdayaan baik itu secara intelektual maupun ekonomi, kemiskinan dan kebodohan menjadi fenomena biasa di negeri ini, korupsi kolusi dan nepotisme menjadi budaya yang telah mengakar dan melembaga di masyarakat. Pelembagaan praktek-praktek kecurangan ini telah menyebabkan kekalnya kegiatan ini di masyarakat, sehingga sangat sulit untuk diberantas, termasuk kecurangan yang sekarang marak terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan pada saat pelaksanaan Ujian Akhir Nasional. Sungguh mengecewakan mengingat seharusnya lembaga pendidikan berfungsi sebagai sebagai lembaga diseminasi nilai-nilai keunggulan bagi anak didiknya. Penegakkan hukum yang tidak berpihak pada masyarakat lemah menambah suramnya masa depan keadilan di negeri ini. Rendahnya sensitivitas sosial dan lingkungan, ditandai maraknya kegiatan pesta dan hura-hura kaum muda dan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan tanpa memperhatikan efek negatifnya, merupakan gejala dan fenomena yang ada di hadapan kita yang tentu saja tidak sesuai dengan cita-cita para pejuang dan pendiri bangsa ini.

Sangat nyata di mata kita, bahwa pendidikan sepertinya tidak memberikan efek positif terhadap perbaikan perilaku bangsa ini, west oriented pada dunia pendidikan membuat bangsa ini telah kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang kaya akan khasanah dan nilai-nilai luhur kemanusiaan. Pendidikan agama, pendidikan pancasila, bahkan P4 yang pada masa orde baru dipandang sebagai senjata ampuh tidak mampu membuat bangsa ini berbudi pekerti baik dan membawa bangsa ini kearah yang lebih baik terutama dalam pembentukan karakter.

Beberapa fenomena di atas dapat dijawab oleh rekonstruksi pendidikan dimulai dari pendidikan pra sekolah sampai pendidikan tinggi secara formal dan penguatan kapasitas pendidikan non formal dan informal di masyarakat. Dari banyak literature disebutkan bahwa perilaku masyarakat sangat ditentukan oleh tingkat pendidikannya, namun dibalik fenomena peristiwa yang diduga kuat merupakan rancangan dari aktor elit politik yang didukung dengan dana yang cukup, teori keterkaitan perilaku masyarakat dengan tingkat pendidikan menjadi tidak sepenuhnya berlaku. Yang bisa dijadikan instrument untuk menjelaskannya adalah peranan pendidikan dalam membangun karakter bangsa.

Saat ini orang mulai banyak melirik sekolah-sekolah alternatif terutama bagi anak-anak mereka dalam mengenyam pendidikan, salah satunya adalah Homeschooling. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa pendidikan saat ini sepertinya tidak mampu memberikan efek positif terhadap perbaikan perilaku bangsa, namun ternyata permasalahan tersebut tidak berhenti disitu saja, masih banyak permasalahan lain berkenaan dengan pelaksanaan pendidikan formal yang membuat orang tua merasa harus memberikan fasilitas pendidikan kepada anaknya melalui jalur homeschooling.

Saat ini anak-anak banyak yang terpaksa duduk di bangku sekolah formal dalam waktu tertentu hanya karena tuntutan kebutuhan, disamping itu kejenuhan juga banyak dialami oleh anak-anak ketika bersekolah karena tuntutan jam pelajaran yang cukup melimpah. UNESCO mensyaratkan 800 – 900 jam pelajaran per tahun untuk Sekolah Dasar, di Indonesia justru memberlakukan 1400 jam pelajaran per tahun, kondisi ini tentu saja membuat sekolah tidak lagi menyenangkan dan hanya menjadi sebuah siksaan saja.

Keberadaan homeschooling di negara-negara maju sudah mulai berkembang lama, bahkan pada tahun 2003, di Amerika ada sekitar 1,1 juta anak yang belajar di rumah, dan pada tahun 1999 sekitar 850 ribu anak yang bersekolah di rumah (data dari NHES (National Houshold Education Surveys Program) dikutip dari National Center for Education Statistics). NHES sendiri melakukan survey terhadap orang tua yang menyatakan 31% dari mereka khawatir terhadap lingkungan sekolah, 30% menyatakan alasan paling utama adalah memberikan pelajaran agama dan moral, sedangkan 16% lainnya menyatakan ketidakpuasan terhadap sistem akademis di sekolah.

Tidak berbeda halnya dengan di Indonesia, alasan kenapa orang tua lebih memilih homeschooling adalah karena orang tua tidak puas pada pendidikan di sekolah. Kurikulum selalu berubah, yang berakibat pada buku pelajaran yang selalu berubah dan beban mata pelajaran yang cukup berat, dan lainnya adalah pergaulan di sekolah yang memberi dampak buruk pada pada perilaku anak-anak sehingga membuat para orang tua semakin gelisah. Disamping karena ketidak percayaan terhadap lembaga pendidikan formal, para orang tua lebih melihat homeschooling memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pendidikan formal antara lain: Lebih memberikan kemandirian dan kreativitas individual bukan pembelajaran secara klasikal, Memberikan peluang untuk mencapai kompetensi individual semaksimal mungkin sehingga tidak selalu harus terbatasi untuk membandingkan dengan kemampuan tertinggi, rata-rata atau bahkan terendah, Terlindungi dari “tawuran”, kenakalan, NAPZA, pergaulan yang menyimpang, konsumerisme dan jajan makanan yang malnutrisi, Lebih bergaul dengan orang dewasa sebagai panutan, Lebih disiapkan untuk kehidupan nyata, Lebih didorong untuk melakukan kegiatan keagamaan, rekreasi/olahraga keluarga, Membantu anak lebih berkembang, memahami dirinya dan perannya dalam dunia nyata disertai kebebasan berpendapat, menolak atau menyepakati nilai-nlai tertentu tanpa harus merasa takut untuk mendapat celaan dari teman atau nilai kurang, Membelajarkan anak-anak dengan berbagai situasi, kondisi dan lingkungan sosial, Masih memberikan peluang berinteraksi dengan teman sebaya di luar jam belajarnya.

Pembangunan Karakter

Disiplin diri merupakan hal penting dalam setiap upaya membangun dan membentuk karakter seseorang, sebuah organisasi, dan sebuah masyarakat bangsa. Sebab dalam hubungannya dengan seseorang– karakter mengandung pengertian (1) suatu kualitas positif yang dimiliki seseorang, sehingga membuatnya menarik dan atraktif; (2) reputasi seseorang; dan (3) seseorang yang unusual atau memiliki kepribadian yang eksentrik.

Akar kata “karakter” dapat dilacak dari kata Latin “kharakter”, “kharassein”, dan “kharax”, yang maknanya “tools for marking”, “to engrave”, dan “pointed stake”. Kata ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa Prancis “caractere” pada abad ke-14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi “character”, sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia “karakter”. Dalam Kamus Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang daripada yang lain.

Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga “berbentuk” unik, menarik, dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum berkarakter atau “berkarakter” tercela).

Tentang proses pembentukkan karakter ini dapat disebutkan sebuah nama besar: Helen Keller (1880-1968). Wanita luar biasa ini –ia menjadi buta dan tuli di usia 19 bulan, namun berkat bantuan keluarganya dan bimbingan Annie Sullivan (yang juga buta dan setelah melewati serangkaian operasi akhirnya dapat melihat secara terbatas) kemudian menjadi manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904– pernah berkata, “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved.”

Kalimat itu boleh jadi merangkum sejarah hidupnya yang sangat inspirasional. Lewat perjuangan panjang dan ketekunan yang sulit dicari tandingannya, ia kemudian menjadi salah seorang pahlawan besar dalam sejarah Amerika yang mendapatkan berbagai penghargaan di tingkat nasional dan internasional atas prestasi dan pengabdiannya (lihat homepage www.hki.org). Helen Keller adalah model manusia berkarakter (terpuji). Dan sejarah hidupnya mendemonstrasikan bagaimana proses membangun karakter itu memerlukan disiplin tinggi karena tidak pernah mudah dan seketika atau instant. Diperlukan refleksi mendalam untuk membuat rentetan moral choice (keputusan moral) dan ditindaklanjuti dengan aksi nyata sehingga menjadi praksis, refleksi, dan praktik. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang (Andrias, 2006).

Dapatkah Karakter Bangsa Dibentuk Melaui Homeschooling?

Salah satu alasan orang tua lebih memilih home schooling adalah orang tua mampu memberikan pelajaran agama dan moral lebih intensif dari pada di sekolah formal. Kondisi seperti memberikan peluang bekembangnya model pembelajaran dalam pembangunan karakter bangsa. Seperti diketahui bersama saat ini pendidikan agama di sekolah formal hanya 2 jam pelajaran dalam satu minggu, demikian pula pendidikan budi pekerti atau pendidikan pancasila yang saat ini semakin terbelakang oleh mata pelajaran lainnya dan bahkan dituntut untuk dihilangkan dari kurikulum. Sungguh suatu pemandangan yang berkebalikan dengan tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Sekolah formal dan bahkan sekolah non formal ketika dihadapkan pada pertanyaan mengenai kapasitas mereka dalam membekali anak didik dengan pendidikan agama dan budi pekerti memiliki jawaban senada yaitu: “pendidikan agama dan budi pekerti adalah tanggung jawab orang tua”, sungguh sebuah jawaban yang menyakitkan kita sebagai orang yang bergelut dalam bidang pendidikan.

Fenomena terbalik juga banyak dijumpai di Indonesia, ketika negara-negara maju seperti Amerikan Serikat saat ini banyak mengembangkan model-model pembangunan karakter, di Indonesia malah sebaliknya, karakter bangsa yang sebenarnya banyak tertuang dalam Pancasila bahkan dituntut untuk dihilangkan dalam kurikulum dari tingkat SD sampai perguruan tinggi, bahkan saat ini sudah banyak perguruan tinggi yang tidak memasukkan pendidikan Pancasila dalam kurkulumnya. Yang menjadi pertanyaan adalah ada apa sebenarnya dengan Pancasila sehingga banyak pihak tidak menghendakinya, apakah murni karena Pancasila tidak memiliki signifikansi terhadap moral di Indonesia? Ataukah ada beberapa pihak eksternal maupun internal yang tidak menghendaki generasi muda Indonesia untuk mengenal Pancasila yang merupakan intisari dari nilai-nialai luhur bangsa Indonesia? Pertanyaan yang harus di jawab oleh kita sebagai warga negara Indonesia terkhusus mahasiswa dengan pandangan kritisnya.

Jika dilihat, apa bedanya antara karakter yang dikembangkan di luar negeri dengan Pancasila yang sudah ada di Indonesia? Jawabannya tidak ada bedanya, karena substansi dari karakter dalam pembangunan karakter sama dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Jika dirasa Pancasila tidak mampu berkontribusi positif terhadap perubahan moral di Indonesia sebenarnya kesalahannya tidaklah terletak pada Pancasila itu sendiri, tetapi terletak pada cara dan implementasinya di lapangan. Character building di negara-negara maju diterapkan dengan metode yang menyenangkan dan aplikatif, sedangkan di Indonesia penerapan pembelajaran Pancasila lebih pada pengetahuan daripada implementasi, murid-murid selalu dihadapkan pada pertanyaan dan hapalan kulit luar dari Pancasila, sedangkan substansinya hilang begitu saja seiring dengan bertumpuknya pengetahuan kognitif mata pelajaran yang ada di sekolah.

Peluang homeschooling untuk lebih aplikatif dalam pembelajaran Pancasila sebagai upaya pembangunan karakter bangsa bisa lebih terbuka dan lebih intensif demikian pula dengan pembelajaran agama yang juga melandasi seseorang dalam berperilaku disamping pendidikan karakter itu sendiri. Namun hal ini tidak lepas dari orangtua yang memfasilitasi pendidikan anaknya melalui homeschooling, karena sebenarnya ada dua motif dari pelaksanaan homeschooling itu sendiri yaitu: idealisme dan kapitalisme. Idealisme lebih kepada ketidak percayaan orang tua terhadap lembaga pendidikan formal, sedangkan kapitalisme lebih kepada ketidak sediaan waktu seseorang untuk menempuh pendidikan formal karena kepentingan finansial sehingga harus melalui proses pendidikannya melalui homeschooling, waktunya banyak dihabiskan untuk mencari uang dan tidak mau lepas dari sumber keuangan tersebut sehingga mengorbankan waktu sekolah. Dua latar belakang ini tentu saja memiliki orientasi yang berbeda terhadap homeschooling itu sendiri, terlebih untuk urusan pembentukan karakter, moral dan pendidikan agama.

Fleksibilitas yang terdapat dalam homeschooling memungkinkan mata pelajaran agama dan budi pekerti bisa memiliki porsi yang seimbang dengan mata pelajaran lainnya, bahkan pembelajaran tematik bermuatan agama dan budipekerti sangat memungkinkan untuk diterapkan, dapat dapat dilaksanakan dengan metode yang lebih menyenangkan jika dibandingkan dengan pembelajaran di sekolah formal yang selalu dihantui dengan nilai dan ujian-ujian. Kesimpulannya, character building sangat memungkinkan untuk dikembangkan melalui homeschooling karena karakteristik dan metode yang digunakan dalam proses pembelajarannya lebih komunikatif, serta tanggung jawab dari orang yang melaksanakan homeschooling itu sendiri, terutama jika orang tua terjun langsung dalam membelajarkan anak-anaknya.

0 comments: