Istilah “BalibolaE” diangkat dari akar budaya lokal Bugis, dengan mempertimbangkan karakteristik masyarakatnya yang religius, menjunjung tinggi nilai gotong royong, kekerabatan, loyalitas, dan menghormati budaya leluhur.
Secara morfologis, kata “BalibolaE” berasal dari bahasa Bugis “Bali bola”. Kata “bali” biasanya diartikan “berhadapan”, “berpasangan” sedangkan “bola” rumah atau tempat tinggal. Dalam penulisan ditulis secara terpisah, dan apabila ditambahkan huruf “E” di belakang, maka penulisannya bersambung. Fungsi kata “E” pada kata dalam bahasa bugis menunjuk kata sifat. “Bali bola” lazim diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan arti tetangga. Dalam ajaran Islam Nabi mengajarkan bahwa batasan tetangga adalah 40 rumah dari samping kiri dan kanan, muka dan belakang. Bahkan ada yang memberi batasan tetangga adalah sejauh mata memandang.
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, kata “balibolaE” semua merujuk pada hubungan kekeluargaan, kekerabatan dan keakraban. Pendekatan tutor “BalibolaE” diangkat sebagai salah satu pendekatan dalam pembelajaran pendidikan keaksaraan, karena salah satu ciri khas pembelajaran dalam pendidikan keaksaraan adalah diangkat dari konteks dan desain lokal.
Penyelenggaraan pendidikan keaksaraan melalui pendekatan tutor “balibolaE” adalah suatu model layanan pendidikan bagi warga masyarakat yang belum mampu menulis, membaca, dan berhitung dengan memanfaatkan potensi lokal ( tutor, budaya, sosial dan potensi sumber daya) yang ada di lingkungan warga belajar. Dalam konsep penerapannya tutor “balibolaE” bukan hanya orangnya (tutor) tetapi segala sesuatu yang mendukung proses pembelajaran di dalam/sekitar rumah dan di lingkungan di mana warga belajar itu berada. Ciri khas dari pendidikan keaksaraan melalui pendekatan tutor “balibolaE” adalah: (1) tutor direkrut dari tetangga warga belajar, (2) target yang dibelajarkan oleh setiap tutor tidak dipatok dengan sistem kelompok (10 orang), tergantung berapa orang tetangganya yang buta aksara dan kesanggupan tutor itu sendiri, (3) insentif tutor dihargai/dibayarkan sesuai dengan jumlah warga belajar yang dilayani, dan (4) tema-tema pembelajaran diangkat dari konteks dan desain lokal di mana warga belajar itu berada, dimulai dari lingkungan terkecil, rumah dan isinya, dan sekitar rumah dan tetangganya.
Oleh: Pokja Keaksaraan BPPNFI Regional V Makassar
0 comments:
Post a Comment