Pendidikan merupakan investasi terpenting yang dilakukan orang tua bagi masa depan anaknya. Sejak anak lahir ke dunia, ia memiliki banyak potensi dan harapan untuk berhasil di kemudian hari. Pendidikanlah yang menjadi jembatan penghubung anak dengan masa depannya itu. Dapat dikatakan, pendidikan merupakan salah satu pembentuk pondasi bagi tumbuh dan berkembangnya seorang anak untuk memperoleh masa depan yang lebih baik.
Sebagai “buah hati”, maka dengan penuh rasa kasih sayang para orang tua rela berkorban demi anaknya, karena masa depan anak juga merupakan masa depan orang tua. Keberhasilan ataupun kegagalan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya akan terlihat dari perasaan hatinya manakala menyaksikan kehidupan anaknya ketika dewasa.
Pada hakikatnya masa depan anak juga merupakan masa depan bangsa dan negara. Masa depan itu akan terlihat dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan, di saat mana jutaan anak yang ada sekarang ini memasuki usia remaja dan dewasa. Merekalah nantinya yang menjadi pelaku pembangunan di berbagai sektor kehidupan. Kelak diantara mereka ada yang berperan sebagai pemimpin-pemimpin bangsa yang kebijakannya akan turut menentukan arah perjalanan bangsa dan negara ini.
Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, kelak akan sangat berbeda dengan kondisi yang ada sekarang ini. Kehidupan mendatang adalah kehidupan modern yang sangat dipengaruhi globalisasi yang semakin masif, ekstensif, dan seolah tanpa batas. Hubungan antar bangsa diwarnai oleh hubungan yang semakin kompetitif, karena semua bangsa berpacu untuk mencapai kemajuan dalam berbagai bidang.
Untuk menghadapi persaingan global yang semakin ketat, maka generasi mendatang harus memiliki kecerdasan, keterampilan, produktivitas kerja yang tinggi, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, ahli dan profesional minimal di bidangnya masing-masing.
Dunia pendidikan memang sangat diperlukan untuk membentuk generasi seperti itu. Akan tetapi, pendidikan sebagai proses berkelanjutan tidak semata diarahkan kepada hal yang bersifat “reaktif” atau untuk kepentingan jangka pendek, ia juga harus bersifat “proaktif” yang artinya pendidikan juga harus berorientasi kepada kemampuan untuk mengantisipasi permasalahan yang lebih luas dan mampu menjawab tantangan yang lebih kompleks di masa yang akan datang.
Untuk membentuk generasi yang demikian itu, maka calon-calon generasi mendatang itu harus dipersiapkan pertumbuhan dan perkembangannya sedini mungkin, yakni sejak mereka lahir sampai berusia enam tahun, sehingga mereka memiliki akar yang kuat sebagai pondasi untuk memasuki pendidikan yang lebih tinggi.
Anak Usia Dini
Robert D. Ramsey, Ed.D, seorang pendidik, pernah menyarankan:“Berikanlah anak-anak kita akar yang kuat untuk tumbuh dan sayap yang kokoh untuk terbang di kemudian hari”. Apa maknanya?
Saran itu mempunyai makna bahwa masa depan anak memang harus dipersiapkan sejak dini. Anak-anak kita harus dibantu perkembangannya sedini mungkin agar mereka menjadi individu yang seimbang baik dari segi intelektual, emosi, spritual, maupun sosialnya sehingga mereka mampu meraih sukses di kemudian hari.
Para ahli perkembangan anak, baik psikolog, psikiater maupun dokter menyatakan bahwa pada usia dini yakni usia dari nol sampai enam tahun pertama dalam kehidupan seorang manusia merupakan masa dimana perkembangan fisik dan motorik, intelektual maupun sosial berlangsung dengan sangat pesatnya, sehingga seringkali disimpulkan bahwa keberhasilan pada masa ini menentukan seluruh masa depan seorang anak.
Sedemikian vitalnya anak usia dini, maka sangat dianjurkan kepada orang tua untuk memberikan vaksinasi dan selalu memberikan nutrisi lengkap dan seimbang kepada anaknya, agar anak mempunyai tubuh yang sehat, kuat dan otak yang cerdas. Orang tua juga harus memperlakukan anak secara hati-hati dan benar, agar anak memiliki karakter dan kepribadian yang tepat untuk perkembangannya lebih lanjut.
Anak usia dini dapat digolongkan ke dalam anak usia prasekolah yang pertumbuhannya terbagi dalam dua tahap, yakni: (1) Usia sejak lahir s.d. usia 2 tahun. Pada usia ini pertumbuhan anak lebih mengarah kepada fungsi-fungsi biologis. Ia menggunakan mulut sebagai sarana terpenting; (2) Usia antara 2-6 tahun. Pada usia ini perkembangan panca indera sangat menonjol, sehingga dalam proses belajarnya pun mereka menggunakan panca indera. Ada tiga macam perkembangan yang terjadi pada usia ini, yakni perkembangan motorik (fungsi gerak), perkembangan bahasa dan berpikir, dan perkembangan sosial.
Usia anak di bawah usia lima tahun (balita) merupakan masa kritis untuk pengembangan kecerdasan yang bersifat permanen, dimana pada usia itu bobot otak tumbuh dan kecerdasan semakin berkembang. Pada saat bayi lahir bobot otaknya sekitar 350 gram, tetapi ketika ia dewasa maka berat rata-ratanya ada kira-kira 1360 gram pada lelaki, dan 1250 gram pada perempuan. Berat rata-rata otak usia dewasa itu merupakan 1/40 dari bobot badannya atau rata-rata mencapai 1.400 mililiter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada usia 4 tahun kapasitas kecerdasan sudah mencapai 50 persen, dan pada usia 8 tahun sudah mencapai 80 persen.
Otak adalah yang terbesar dan paling kompleks diantara seluruh sistem saraf, dan ia bersama sumsum tulang belakang merupakan pembentuk sistem saraf pusat. Semua rangsangan yang datang ke reseptor dari permukaan atau dari bagian dalam tubuh tercatat di otak dan semua tanggapan yang menghasilkan gerakan atau sekresi berasal dari sini.
Pada dasarnya, kapasitas kecerdasan anak dapat ditingkatkan melalui dua hal, yakni pertama, dengan pemberian nutrisi lengkap dan seimbang yang diantaranya mengandung unsur-unsur yang berfungsi untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan otak. Dokter menganjurkan, usia anak sejak lahir sampai mereka berusia 4 bulan maka air susu ibu (ASI) adalah nutrisi terbaik bagi bayi. Akan tetapi, apabila produksi ASI tidak mencukupi kebutuhan bayi atau bila karena sesuatu hal ibu tidak dapat menyusui, atau ketika bayi telah berusia lebih dari 4 bulan, maka diperlukan susu formula bayi atau makanan tambahan pendamping ASI, sehingga asupan gizi anak tetap terjaga.
Dewasa ini, para orang tua dapat memilih produk minuman dan makanan tambahan untuk bayi, seperti susu formula yang telah dilengkapi dengan beberapa unsur gizi yang dapat membantu kapasitas kecerdasan anak, seperti Asam Linoleat (Omega 3), Asam Linolenat (Omega 6), Taurin, ARA (Asam Arakhidonat) dan DHA (Asam Dokosaheksaenoat).
Direktur Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI Prof Dr Azrul Azwar MPH, pernah mengatakan bahwa asupan gizi dapat mempengaruhi kecerdasan anak. Setiap anak dengan gizi buruk berisiko kehilangan IQ (Intellegence Quotion) hingga 10-13 poin. Jika misalnya terdapat 1,3 juta anak yang kekurangan gizi, maka itu berarti berpotensi kehilangan IQ sekitar 22 juta poin. Karena itulah, Azrul Azwar menyarankan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak sejak dini.
Kedua, kapasitas kecerdasan itu juga dapat distimulasi melalui perangsangan otak kiri dan kanan. Ilmu Neurologi memperlihatkan bahwa jaringan syaraf termasuk syaraf otak manusia pada usia dini berkembang dengan sangat cepat, akan tetapi perkembangan jaringan itu tidak dapat diwujudkan dengan sepenuhnya jika tidak dirangsang dengan reaksi-reaksi dari luar. Agar perangsangan itu berdampak positif terhadap kecerdasan, kepribadian, dan sikap sosial anak maka perangsaan itu harus dilakukan berdasarkan pengetahuan yang tepat, diantaranya adalah melalui satuan-satuan Pendidikan Anak Usia Dini.
Pendidikan Anak Usia Dini
Menurut Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai berusia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan Anak Usia Dini (selanjutnya, PAUD) merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual, sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama), bahasa, dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Seperti halnya jenjang pendidikan lainnya, jenjang PAUD merupakan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan orang tua. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, dikenal adanya tiga bentuk jalur pelaksanaan PAUD. Pertama adalah PAUD jalur pendidikan formal yakni pendidikan yang terstruktur untuk anak anak berusia empat tahun sampai enam tahun seperti Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), dan bentuk lain yang sederajat.
Kedua, PAUD jalur pendidikan nonformal, yakni pendidikan yang melaksanakan program pembelajaran secara fleksibel untuk anak sejak lahir (usia tiga bulan) sampai berusia enam tahun, seperti Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain (Play Group), dan bentuk lain yang sederajat.
Ketiga, PAUD jalur pendidikan informal sebagai bentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan untuk pembinaan dan pengembangan anak sejak lahir (usia tiga bulan) sampai berusia enam tahun.
Pendidikan bisa saja diberikan untuk bayi yang belum lahir seperti yang dilakukan para orang tua dengan cara memperdengarkan musik klasik kepada bayinya yang masih berada dalam kandungan. Secara garis besar, pendidikan biasanya berawal pada saat bayi dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Dalam agama Islam ada anjuran, “tuntutlah ilmu mulai dari buaian sampai liang lahat”, yang berarti bahwa pendidikan itu harus dilakukan sedini mungkin, dimana saja, kapan saja dan berlangsung seumur hidup (life-long education).
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 diamanatkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Masyarakat, dan Orang Tua. Dalam hal penyelenggaraan PAUD dewasa ini terlihat bahwa masyarakat yang lebih berperan, dimana institusi-institusi pendidikan yang dibangun dan dikelola oleh masyarakat lebih banyak dan beragam yakni mencapai sekitar 80 persen sedangkan yang dibangun oleh pemerintah hanya 10 persen dari lembaga yang ada.
Meski pengelolaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama, ternyata angka partisipasi pendidikan di Indonesia di berbagai jenjang pendidikan masih tergolong rendah, termasuk dalam hal ini rendahnya partisipasi anak balita untuk memasuki PAUD.
Minimnya pengetahuan orang tua tentang pentingnya PAUD, keterbatasan ekonomi keluarga, dan keterbatasan anggaran biaya pemerintah untuk alokasi penyelenggaraan PAUD merupakan faktor penyebab anak usia balita tidak tersentuh pendidikan. Berdasarkan hasil pendataan Depdiknas tahun 2004, baru sekitar 15,6 persen dari 11,5 juta anak usia 4-6 tahun yang bersekolah di TK, sedangkan untuk anak usia 0-3 tahun, hanya sekitar 15,8 persen yang tersentuh pelayanan anak usia dini.
Data itu menunjukkan, bahwa terjadi peningkatan angka partisipasi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2002, sebanyak 72 persen anak Indonesia usia nol sampai enam tahun di Indonesia, belum tersentuh pendidikan usia dini, karena pada tahun itu baru 7,34 juta atau 28 persen dari 26,1 juta anak usia 0-6 tahun yang mendapat pendidikan usia dini. Sebagian besar di antara mereka, yakni 2,6 juta, mendapatkan pendidikan dengan jalan masuk ke Sekolah Dasar pada usia lebih awal. Sebanyak 2,5 juta anak mendapat pendidikan di Bina Keluarga Balita (BKB), 2,1 juta anak bersekolah di TK atau Raudhatul Atfhal, dan sekitar 100.000 anak di Kelompok Bermain.
Berbeda dengan beberapa negara maju yang memandang pembinaan anak usia dini adalah suatu proses persiapan pemberdayaan sumber daya manusia yang sangat penting, sehingga Pendididikan Anak Usia Dini dilakukan secara sangat intensif dan mendapat perhatian yang sangat tinggi. Alasannya bukan karena orang tua mereka bekerja, tetapi justru karena pada orang tua sudah tertanam pemahaman bahwa pada usia dini anak-anak berada pada posisi paling ideal menerima dukungan untuk mengembangkan kepribadian dan jati dirinya. Dengan pemberdayaan yang baik pada usia dini, akan dihasilkan anak-anak yang masa depannya cerah karena mereka menjadi orang dewasa yang kreatif dan mempunyai rasa percaya diri yang kuat.
Kendalanya di Indonesia adalah bahwa tidak setiap orang tua punya pengetahuan dan kesiapan untuk mendidik anaknya secara betul. Seorang ibu memang telah memiliki “asam garam” dalam mengasuh anak-anak mereka, akan tetapi agar perkembangan potensi anak berjalan maksimal, maka diperlukan “kiat-kiat” tertentu, seperti pengetahuan tentang psikologi anak, aktivitas yang mereka sukai, dan cara terbaik dalam mendidik mereka.
Adakalanya karena faktor ketidaktahuan itulah, maka tidak jarang, dalam beberapa hal orang tua memperlakukan anaknya secara berlebihan atau dengan cara paksaan mengajarkan hal-hal yang sesungguhnya belum saatnya mereka terima sehingga justru menjerumuskan si anak itu sendiri.
Oleh karena itu, PAUD memegang peranan penting dalam pendidikan anak. Melalui PAUD anak dapat dididik oleh gurunya dengan metode dan kurikulum yang jelas. Melalui PAUD, mereka dapat bermain dan menyalurkan energinya melalui berbagai kegiatan fisik, musik, atau keterampilan tangan. Mereka juga dapat belajar berinteraksi secara interpersonal dan intrapersonal. Kepada mereka secara bertahap dapat dikenalkan huruf atau membaca, lingkungan hidup, pertanian, dan bahkan industri.
Pengenalan itu tidaklah berlebihan, karena dalam penyampaiannya disesuaikan dengan dunia anak, yakni dunia bermain sehingga proses belajarnya menyenangkan. Anak memang seringkali mengeskpresikan ide dan perasaannya melalui permainan, sehingga ketika mereka merasa menikmati dan senang dengan apa yang diajarkan itu, maka dengan sendirinya akan bermanfaat bagi perkembangannya.
Satuan PAUD seperti Kelompok Bermain merupakan media bagi anak untuk bersosialisasi dalam masyarakat kecil. Kelompok Bermain merupakan kegiatan bermain yang teratur pada jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan dan program kesejahteraan bagi anak berusia dua tahun sampai enam tahun.
Dalam kelompok itu, mereka akan menyesuaikan diri dalam lingkungan yang lebih luas, selangkah lebih mandiri, memiliki kebanggaan menjadi anggota kelompok bermain di luar anggota keluarganya, dan sejumlah manfaat lainnya yang pada gilirannya secara tidak sadar mendorong minat dan potensi anak untuk belajar.
Peranan Orang Tua
Di samping guru di sekolah, orang tua memegang peranan sentral dalam PAUD. Meski berjalan tidak resmi, pendidikan dalam keluarga yang disampaikan orang tua sering kali lebih mendalam. Pada saat anak baru dilahirkan dan ketika mereka berada di rumah, orang tualah yang berperan penting dalam pendidikan.
Dalam hal ini, penting bagi orang tua untuk tetap memperhatikan perkembangan anaknya, meski anaknya telah memasuki lembaga PAUD. Banyak orang tua setelah anaknya memasuki Taman Kanak-Kanak, mengendurkan upayanya dalam mendidik anaknya, karena adanya anggapan bahwa tugasnya telah dilimpahkan kepada para guru. Padahal untuk membentuk anak yang cerdas dan tangguh di masa depan, diperlukan pendidikan ganda, yakni dari orang tua dan sekolah.
Banyak yang dapat dilakukan orang tua ketika anaknya telah memasuki PAUD, misalnya dengan menyelaraskan suasana dan alat permainan yang ada di rumah dengan yang ada di sekolah. Keuntungannya adalah orang tua akan mendapatkan mainan anak di rumah yang sesuai dengan kondisi dan kurikulum yang mereka temui di sekolah, seperti alat peraga atau alat bantu pendidikan.
Para ahli psikologi berpendapat, bahwa para orang tua perlu memiliki sikap “self-esteem” yang positif dalam mendidik anaknya. Secara sederhana “self-esteem” diartikan sebagai penghargaan diri, rasa harga diri, atau kesan seseorang mengenai dirinya yang dianggap baik, seperti antara lain rasa percaya diri, menghormati diri sendiri, kebanggaan diri dan sikap mandiri.
Anak-anak yang memiliki orang tua dengan “self-esteem” yang positif, maka kemungkinan besar anak akan memiliki self-esteem yang positif pula. Hal itu terjadi, karena orang tua merupakan “role-model” bagi sang anak. Anak-anak seringkali berperilaku mengikuti perilaku orang tuanya, sehingga kepribadian orang tua sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian mereka.
Untuk menjadi “role-model” yang positif bagi anak, maka seyogyanya orang tua harus punya pengetahuan dan kemampuan bersikap yang betul ketika berinteraksi dengan anaknya, seperti bagaimana seharusnya sikap dan tindakan orang tua ketika anaknya melawan, bandel, tidak mau makan, tidak mau mandi, atau sebaliknya ketika anak menurut, belajar, bermain, dan sebagainya.
Dalam dunia psikologi anak terkenal adanya sebuah puisi, yang meski anonim, akan tetapi puisi itu dapat dijadikan inspirasi bagi setiap orang tua dalam mendidik anaknya, sehingga anak memiliki “self-esteem” yang positif. Puisi itu berbunyi: Jika Anak Hidup Dengan Kritikan Ia Akan Belajar Untuk Mengutuk, Jika Anak Hidup Dengan Kekerasan Ia Akan Belajar Untuk Melawan, Jika Anak Hidup Dengan Ejekan-Ejekan Ia Akan Belajar Menjadi Pemalu, Jika Anak Hidup Dengan Dipermalukan Ia Akan Belajar Merasa Bersalah, Jika Anak Hidup Dengan Toleransi Ia Akan Belajar Bersabar, Jika Anak Hidup Dengan Dorongan Ia Akan Percaya Diri, Jika Anak Hidup Dengan Pujian Ia Akan Belajar Menghargai, Jika Anak Hidup Dengan Tindakan Yang Jujur Ia Akan Belajar Akan Keadilan, Jika Anak Hidup Dengan Rasa Aman Ia Akan Belajar Untuk Mempercayai, Jika Anak Hidup Dengan Persetujuan Ia Akan Belajar Untuk Menghargai Dirinya, Jika Anak Hidup Dengan Penerimaan Dan Persahabatan Ia Akan Belajar Untuk Menemukan Cinta Di Muka Bumi Ini.
oleh: wajidi
http://bubuhanbanjar.wordpress.com