Sunday, July 3, 2011

Mendidik Jiwa Wirausaha Anak Sejak Dini

Kebanyakan orangtua sering memaknai dan menyikapi kebiasaan konsumtif anak-anak secara negatif. Padahal, apa yang didengar, dilihat, dan dirasakan anak merupakan pendidikan yang membentuk jiwa dan kepribadiannya kelak.

Jajan memang sangat identik dengan dunia anak. Ada yang merengek-rengek minta jajan, karena anak tetangga atau teman sekolahnya lagi jajan. Ada juga yang sering jajan, karena mendapat uang saku ekstra dari sang eyang. Tidak hanya itu, anak-anak juga biasanya minta dibelikan mainan ini dan itu.

Secara psikologis, kebiasaan ini bisa dimaklumi, karena dunia anak memang dunia bermain, ceria, dan bergembira ria. Yang bisa dilakukan oleh orangtua dan para pengasuh adalah, mengarahkan kebiasaan itu agar bernilai edukasi. Seperti, menanamkan jiwa wirausaha kepada anak sejak usia dini. Sehingga, budaya konsumtif itu bisa berubah menjadi budaya produktif.

Menurut Psikolog Anak, Rina Mutaqinah Taufik, pendidikan wirausaha untuk anak sejak dini ini sangat baik. Namun sebelumnya, si anak harus dibekali tentang nilai tanggung jawab, cara mengelola uang secara sederhana, dan mengelola waktu untuk belajar dan berwirausaha.

Misalnya, mengajarkan anak tanggung jawab ketika buang air kecil ke toilet, dan mengelola uang jajan yang diberikan—sebagian untuk jajan makanan yang sehat, sebagian untuk menabung, dan sebagian lagi untuk sedekah.

Latihan seperti ini sudah bisa dilakukan sejak anak berusia dua tahun. Karena, sejak kecil pun anak sudah mampu berkomunikasi. “Jangan anggap anak tidak mengerti apa-apa dengan mengatakan, ‘Ah, masih anak kecil,’” ujarnya.

Sementara itu, menurut Zainun Mu’tadin, M.Psi, Dosen Psikologi UPI YAI, orangtua harus menanyakan anaknya hal-hal yang memancing kreativitas. Misalnya, jangan bertanya 5 x 5 berapa. Tapi, tanyalah berapa kali berapa saja sama dengan 25. Anak akan dilatih untuk memiliki beberapa alternatif jawaban dan solusi. Dengan alternatif tersebut, anak mampu mengambil keputusan yang tepat dari berbagai pilihan yang ada.

Tentu saja jiwa wirausaha pada diri anak tidak serta-merta ada, tapi memerlukan latihan bertahap. Bisa dimulai dari hal-hal kecil dalam aktivitas keseharian anak. Misalnya, membereskan mainan selesai bermain, rajin sikat gigi sebelum tidur, dan membereskan tempat tidur. Ini merupakan latihan untuk berdisiplin, bertanggung jawab, dan awal pengajaran tentang kepemilikan.

Latihan selanjutnya, mengajarkan anak untuk mampu mengelola uang dengan baik. Latihan yang perlu diajarkan bukan hanya cara membelanjakan, tapi juga menabung, sedekah, dan mencari uang. Tentu saja cara ini memerlukan konsistensi orangtua terhadap aturan.

Tahap selanjutnya, si anak mulai diajarkan berbisnis kecil-kecilan. Misalnya, menjual makanan ringan ke teman-teman sekolahnya. Dengan syarat, orangtua harus benar-benar melihat kemampuan si anak, agar tidak membebani ketika belajar di sekolah. “Kalau kita tahu anak bermasalah dalam konsentrasi belajar, sebaiknya jangan dulu diizinkan,” tegas Zainun.

Dengan demikian, anak akan memiliki keahlian mendasar untuk menjadi seorang pengusaha. Ia akan belajar mengetahui modal awal, harga jual, dan laba dari penjualan. Secara mental, akan merangsang kreativitas anak dan membentuk kesadaran bahwa mencari uang itu tidak mudah. Dan secara tidak langsung, ia juga belajar matematika, marketing, komunikasi, dan lain sebagainya.

sumber: http://www.majalahgontor.co.id

0 comments: