Friday, July 8, 2011

Anak Investasi Masa Depan

Anak adalah amanah/titipan Tuhan kepada orang tua untuk diasuh, dibimbing dan dididik agar menjadi orang yang kelak berguna bagi orangtua, agama, nusa dan bangsa.
Anak adalah pelipur lara, dikala kita lelah, jenuh, mendengar canda anak-anak kita semua jadi gembira.
Anak sebagai pengikat bahtera rumah tangga, banyak orang berpikir kalau tidak punya anak, bahtera rumah tangga lebih mudah untuk berakhir ketika terjadi konflik dan ketidakharmonisan antara pasangan suami dan istri
Anak adalah generasi bangsa, maju mundurnya sebuah bangsa tergantung dari kualitas generasinya.
Anak sebagai penjaga dinasty dari semua keluarga, menjunjung tinggi martabat keluarga (mendem jero mikul duwur) dalam bahasa Jawa.
Anak juga masih diartikan sebagai sebuah aset dan atau investasi keluarga, anak harus bisa berkontribusi secara ekonomi
Begitu arti anak bagi orang tua, keluarga, masyarakat dan negara, baik secara ekonomi, politik, sosial budaya. Apa yang diharapkan oleh berbagai pihak, ternyata tanpa disadari telah melahirkan sebuah ”beban” bagi anak, agar apa yang sudah dilabelkan orang dewasa kepada anak bisa terpenuhi. Orang dewasa seringkali hanya meminta/menuntut agar anaknya bisa seperti yang mereka harapkan, tanpa melihat apakah kewajiban kepada anaknya sudah dipenuhi, demikian juga anak, walaupun jenjang pemikiran anak juga sangat bertingkat ketika mereka menunut apa yang menjadi haknya. Seringkali anak tidak pernah tahu sama sekali akan hak-haknya. Pola asuh, doktrin, pendidikan yang mereka terima tidak mampu menyadarkan kepada anak bahwa mereka sebagai anak, mereka mempunyai hak dan kewajiban. Tentunya selalu bahwa kewajiban anak, adalah haknya orang dewasa (orang tua-keluarga, masyarakat dan negara), haknya anak adalah kewajiban orang dewasa.
Untuk bisa melihat keseimbangan antara hak dan kewajiban tersebut perlu juga kita lihat kembali, bahwa anak (referensinya anak adalah manusia yang berusia dibawah 18 tahun : sumber Undang-undang no 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak /UUPA). Secara umum merujuk pada Konvensi Hak Anak, ketika keberadaannya ada (sejak bertemunya sperma dan sel telur dalam kandungan) ada 4 hak dasar, antara lain : hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dan hak untuk berpartisipasi. Sehingga ketika seorang ibu ingin menggugurkan janin dalam kandungannya, maka saat itu juga telah terjadi pelanggaran hak anak. Anak mempunyai hak untuk tumbuh dan berkembang, tumbuh berarti secara fisik (tinggi dan berat badannya) sedangkan berkembang, kejiwaannya, dari tidak bisa berbicara menjadi bisa berbicara, anak-anak berhak untuk mendapat asupan makanan yang bergizi untuk pertumbuhannya, perlu belajar – sekolah, bermain, mendapatkan kasih sayang dll. Anak berhak mendapatkan perlindungan dari berbagai tindakan kejahatan, eksploitasi dan kekerasan oleh siapapun. Hak untuk berpartisipasi, hak untuk berpendapat bukan hanya untuk orang dewasa, anak-anakpun berhak untuk menyampaikan pendapatnya, gagasan dan ketidaksetujuan. Dan keputusan yang diambil oleh anak belum bisa diakui sebagai sebuah keputusan , karena anak belum mempunyai informconsern. Selain hak, anak juga mempunyai kewajiban, kewajiban anak secara umum adalah menghormati orang dewasa dan sesamanya, belajar dengan giat.
Melihat hak dasar yang secara jelas tercantum dalam undang-undang yang ada, ada kewajiban kita sebagai orang tua, anggota masyarakat dan sebagai aparatur negara memenuhi hak anak-anak kita. Pertanyaan nya apakah kita semua telah memenuhi hak dasar anak, agar anak-anak kita menjadi generasi yang berkualitas, dan berbagai harapan orang dewasa lainnya.
Kalau kita lihat perkembangan kasus perkasus setiap hari, yang kita lihat secara nyata dilapangan, melihat berita di berbagai media cetak dan elektronik, nampaknya jawaban yang tepat adalah sesungguhnya kita belum sepenuhnya mampu memenuhi hak dasar anak-anak kita. Kita melihat dengan mata kepala, anak-anak kecil ditepi jalan tanpa alas kaki, tutup kepala, diterik matahari harus bergelut dengan asap kendaraan baik sendiri maupun bersama orangtuanya untuk mengkais rejeki (mengemis, mengamen), bangun jam 2 malam bersama orang tuanya harus menyadap getah karet, bergulat dengan sampah dengan segala resikonya menjadi pemulung, melakukan pekerjaan rumah tangga sebelum majikan bangun dan tidur setelah majikan tidur dan yang lebih ironis lagi demi mendapatkan uang pada usia anak-anak mereka harus menjadi pelayan seks dengan segala resiko, terkena stigma (perempuan nakal dan penggoda istri orang), terkena Infeksi Menular Seksual (IMS) bahkan HIV-AIDS. Belum lagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan oleh orang tua/dewasa (meninggal, cacat permanen, trauma), anak-anak menjadi korban eksploitasi seksual, perkosaan oleh orang dewasa termasuk orangtua/keluarganya (inses). Anak-anak yang mengalami masalah hukum, karena dilibatkan oleh orang dewasa dalam kasus pembunuhan, narkoba, judi dll. Ditambah lagi karena kelalaian dan ketidakmampuan orang tua anak menjadi korban gizi buruk, sakit yang diturunkan olah orangtuanya (HIV), dsb. Kondisi tersebut adalah realitas yang setiap hari kita lihat, dengar dan mungkin kita tangani. Pertanyaan kemudian dengan gambaran tersebut apakah kita masih optimis bahwa generasi kita 10-15 tahun kedepan betul-betul menjadi generasi yang berkualitas dan mampu bersaing di era globalisasi seperti yang sudah mulai kita hadapi saat ini. Mungkin ada beberapa anak yang beruntung terlahir dan berada dilingkungan keluarga/orangtua dan masyarakat yang sangat peduli terhadap keberadaan mereka, tetapi masih banyak anak-anak yang hidup pada situasi yang serba terbatas dan membuat mereka tidak mempunyai pilihan lain dan pada akhirnya mereka melakukan apa saja, termasuk pekerjaan dengan konsekwensi yang cukup berat, hanya untuk sekedar bertahan hidup.
Sementara pemerintah belum bisa berbuat banyak untuk membuat anak-anak yang kurang beruntung tadi bisa menikmati masa tumbuh kembangnya secara wajar sehingga siap menjadi generasi yang mampu bersaing dengan generasi bangsa lain.
Beberapa hasil pengamatan dilapangan, secara kasat mata saja, anak-anak yang tumbuh berkembang dengan berbagai problematikanya, antara lain yang mengalami kekerasan fisik, psycis, eksploitasi seksual dan ekonomi, menjadi pekerja anak, harus berkonflik dengan hukum sesungguhnya bukanlah sesuatu yang mereka cita-citakan, tetapi karena keterpaksaan yang diasebabkan oleh sistem sosial-budaya, ekonomi, politik yang tidak memasukkan prespektif anak dalam berbagai aktifitas dan kebijakannya. Ada berbagai faktor yang menyebabkan anak-anak terpaksa harus menjalani hidup yang tidak sesuai dengan dunianya ( belajar, bermain, mendapatkan kasih sayang dll). Beberapa faktor tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Kemiskinan,
Kemiskinan selalu menjadi alasan klasik, yang kemudian menjadi setengah pembenaran ketika anak-anak harus menjadi korban ekslpoitasi ekonomi, menjadi pekerja anak dengan alasan membantu ekonomi orang tua. Di banyak kasus upaya untuk mengentas pekerja anak khususnya di sektor pekerjaan yang cukup membahayakan jiwa dan tumbuh kembang anak ( anak yang bekerja dibawah usia 18 tahun yang kemudian berakibat kehilangan masa sekolah, bermain dan tumbuh kembangnya) selalu terkendala dipersoalan siapa yang kemudian akan membantu menopang kebutuhan ekonomi anak dan orang tuanya. Karena paradigma orang tua melihat bahwa anak ini adalah aset ekonomi bagi keluarga. Kondisi ekonomi keluarga betul-betul miskin, untuk kebutuhan dasar saja ( makan, kesehatan, tempat tinggal) sangat tidak layak. Sementara negara dengan berbagai alasannya belum mampu menjawab kebutuhan mereka minimal sesuai standart normatif. Yang kemudian pada akhirnya upaya membantu mengentas mereka hanya berhenti sebatas program/proyek berjalan, setelah itu mereka akan kembali lagi menjadi pekerja anak dengan berbagai bentuk eksploitasi dan resiko yang akan dialami, dan orang tua maupun anak tidak sampai berpikir untuk masa depannya, dengan berbagai aktifitas belajar, bermain dengan penuh sukacita sesuai dengan jenjang usianya. Andai saja kemiskinan masyarakat kita tidak separah ini, mungkin anak-anak tidak ”dikorbankan” untuk tidak terpenuhi hak-haknya, dengan alasan ekonomi. Dan andai saja tidak ada korupsi maka uang negara akan cukup untuk bisa mensejahterakan anak-anak kita.
1. Pendidikan
Idealnya masa anak-anak adalah masa emas untuk belajar dalam rangka mempersiapkan diri menjadi generasi yang siap bersaing dimasa mendatang. Karakter-budi pekerti- sikap yang baik sesuai dengan norma yang berkembang sesuai jamannya, nasionalisme yang kuat serta pengetahuan dan ketrampilan yang dapat menjadi bekal untuk hidup sebagai individu, anggota masyarakat dan sebagai warga negara. Akan tetapi cita-cita itu jauh dari ketercapaiannya ketika pada masa dimana anak harus belajar, tetapi mengalami problemetika sosial-budaya, ekonomi yang kemudian membuat mereka tidak bisa belajar. Kemiskinan yang dialami keluarga membuat anak-anak terpaksa tidak bisa sekolah atau putus sekolah walaupun wajar 9 tahun sudah menjadi program nasional, SPP memang gratis, tetapi biaya pendidikan yang lain seringkali masih dirasakan berat bagi keluarga dengan kondisi ekonomi miskin, kesadaran orang tua dan motivasi anak untuk belajar yang relatif rendah, sistem pembelajaran di lembaga pendidikan yang belum ramah anak, membuat anak merasa tidak nyaman di sekolah, walaupun tenaga pendidiknya sudah tersertifikasi dengan konsekweksi hak yang cukup memadai, namun belum signifikan dengan tingkat kualitas proses dan hasil pembelajaran, (hal ini sangat perlu untuk direfleksikan dan dievaluasi oleh multistakeholder yang terkait dengan pelayanan pendidikan). Sekolah dengan kualitas bagus identik dengan sekolah mahal, sehingga tidak mungkin anak-anak dengan motivasi terbatas, kemampuan ekonomi orang tua yang terbatas tidak mampu menembus prosedur untuk bisa masuk sekolah bagus dan berkualitas.
Data di lapangan menunjukan tingginya angka DO, partisipasi belajar rendah, tingginya angka transisi selalu berbanding lurus dengan persoalan pekerja anak, anak jalanan, pernikahan dini, eksploitasi seksual anak, pembantu rumah tangga anak, anak yang berkonflik hukum, termasuk anak-anak yang menjadi korban trafiking.
Kalau saja semua anak pada usianya mereka semua bisa belajar dengan baik, paling tidak berbagai problematika pada anak-anak kita bisa diminimalisir, dan mereka akan betul-betul menjadi generasi yang berkualitas dan mampu bersaing dimasa depan.
1. Politik- sosial- budaya
Perubahan rezim otoriter menjadi rezim yang lebih demokratis, ternyata juga belum berbanding lurus dengan berkurangnya problematika pemenuhan hak anak. Para elit politik (diberbagai level) yang selalu berjanji akan mensejahterakan masyarakat termasuk anak-anak belum banyak bukti yang kemudian berdampak terhadap penyelesaian kesejahteraan anak. Banyak uang negara yang justru habis untuk mewujudkan idealisme demokratisasi yang ternyata belum signifikan dengan kesejahteraan masyarakat. Banyak kebijakan yang dihasilkan akan tetapi penegakannya masih jauh dari harapan untuk bisa memenuhi hak anak, sebagai calon penerus perjuangan bangsa.
Persoalan relasi gender, juga menjadi pemicu bahwa anak-anak, khususnya anak perempuan mendapatkan perlakuan diskriminasi ( terutama pada keluarga-masyarakat miskin) eksploitasi seksual pada anak-anak perempuan. Bahkan di beberapa wilayah masih berkembang pandangan bahwa melahirkan anak perempuan adalah aset yang sangat berharga, mereka bisa bekerja tanpa sekolah tinggi dan mendapatkan uang cukup banyak.
Budaya patriartki yang masih kental membuat disharmonisasi keluarga (egoisme orang tua) banyak memberikan kontribusi terhadap persoalan anak. Hampir 80 % anak-anak yang bermasalah adalah produk keluarga yang bermasalah. Andai saja para orang tua yang telah bersepakat untuk mempunyai anak kemudian memahami hak-hak anak, mempunyai komitmen, melakukan pola asuh yang baik mungkin anak-anak kita tidak akan mencari figur tauladan, kasih sayang dan kepuasan lainnya diluar yang seringkali menghacurkan hidup mereka sendiri.
Budaya balas budi dan memandang anak adalah aset keluarga seringkali yang justru mengaksploitasi anak ( dengan dalih anak harus menghidupi orang tua) anak diperalat untuk medapatkan belas kasihan. Dan anak sendiri ketika sudah didoktrin oleh orang tua mereka tidak merasa bahwa mereka punya hak, dan pada akhirnya karena tidak disadari oleh anak mereka menikmati dunia yang sebetulnya bukan dunia anak..
Melihat fakta persoalan dan berbagai penyebabnya, ada beberapa usulan yang perlu menjadi pemikiran bersama baik oleh orang tua, masyarakat maupun negara. Beberapa usulan tersebut antara lain :
1. Apapun kondisi kita (ekonomi, politik, sosial budaya) untuk kepentingan yang terbaik anak harus di nomersatukan, kalau orang tua tidak mampu memenuhi hak anaknya karena keterbatasan, masyarakat dan negara harus mengambil peran, agar yang namanya kemiskinan struktural (turun temurun) tidak terjadi. Apa yang dilakukan oleh anak tidak jauh dari apa yang dilakukan oleh orang tua/pengasuhnya.
2. Pendidikan (pola asuh) dikeluarga itu adalah basic pendidikan, sehingga sangat penting bagi para orang tua untuk bisa memberikan pemahaman, pembentukan sikap-perilaku dan karakter pada anak agar anak-anak mempunyai filter terhadap pengaruh pendidikan dan pola pergaulan diluar rumah.
3. Pemerintah telah berkomitment untuk menaikkan jumlah alokasi anggaran pendidikan, wajar 9 tahun dengan berbagai support pendukungnya. Kalau bisa dikelola dengan baik, tidak disalah gunakan oleh para oknum2nya kita pasti yakin tidak ada lagi anak-anak yang tidak bersekolah karena tidak bisa membayar biaya pendidikan atau tidak merasa nyaman disekolah karena sistem balajar yang tidak ramah anak.
4. Aturan hukum yang ada (terutama yang terkait dengan pemenuhan hak dan perlindungan anak) kita tegakkan dengan satu komitmen yang sama, bahwa ini semua demi yang terbaik untuk generasi bangsa.
Inilah refleksi singkat menyambut hari anak nasional, semoga yang sedikit ini bisa memberikan pencerahan kepada para calon orang tua, orang tua, masyarakat dan aparatur pemerintah yang berkewajiban memenuhi hak anak. .

Oleh : Abdoel Muntholib
Sumber: paudni.kemdiknas.go.id/bppnfi4/

0 comments: