Tulisan ini sengaja dibuat untuk menggambarkan sisi lain dari apa yang ditulis oleh Junaidi Abdul Munif, peneliti el-Wahid Center dari Universitas Wahid Hasyim Semarang dengan judul tulisannya PAUD dan Hancurnya Simpul Keluarga (Media Indonesia, Senin, 20 Juni 2011). Ada suatu kekhawatiran saya jika tulisan tersebut dibaca oleh masyarakat luas akan banyak menimbulkan keresahan dan ketidakpercayaan lagi terhadap lembaga-lembaga PAUD yang saat ini memang tengah berkembang sangat pesat.
Keresahan dan ketidakpercayaan itu akan menjadi suatu kebimbangan yang mungkin pada akhirnya ada keengganan masyarakat untuk “menyekolahkan” putra-putri mereka di lembaga-lembaga PAUD yang ada. Singkatnya, tulisan ini memiliki tujuan bukan untuk menanggapi atau menyanggah apa yang ditulis oleh Bapak Junaidi Abdul Munif, akan tetapi lebih kepada memberikan pandangan yang objektif bahwa Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (LPAUD) masih menjadi tempat yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi anak usia dini untuk bermain dan belajar.
Lembaga PAUD
Masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir atau ragu dengan keberadaan LPAUD, baik jalur formal seperti Taman Kanak-kanak atau Raudatul Athfal (TK/RA) atau bentuk lain yang sederajat (Pasal 28 Ayat [3], UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), maupun nonformal yaitu Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), dan bentuk lain yang sejenis (Pasal 28 Ayat [4], UU No. 20/2003). Jadi, negara dengan berbagai kepentingan, fungsi, dan tujuannya akan menjamin bahwa putra-putri kita yang masih usia dini itu tepat berada di LPAUD.
Memang, dengan keterbatasan anggaran menyebabkan negara tidak mampu menyediakan berbagai bentuk fasilitas untuk LPAUD sesuai dengan kebutuhan. Namun, kebebasan masyarakat yang mampu secara finansial dan peduli akan masa depan anak-anak Indonesia diberikan keleluasaan untuk mendirikan berbagai bentuk LPAUD dengan tetap mengacu pada aturan. Artinya, walaupun LPAUD itu dimiliki dan dikelola oleh masyarakat, kontrolnya tetap dipegang oleh pemerintah yang dalam hal ini adalah Kementerian Pendidikan Nasional di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal (Dirjen PAUDNI) yang secara teknis ditangani langsung oleh Direktorat Pembinaan PAUD.
Oleh karena itu, saya secara pribadi mengimbau kepada seluruh penyelenggara LPAUD baik jalur formal maupun nonformal untuk tetap terus fokus mengembangkan berbagai program pengasuhan, pembimbingan dan pembelajaran anak usia dini kita dalam rangka menumbuh-kembangkan berbagai potensinya. Jangan pernah berhenti untuk belajar ilmu-ilmu ke-PAUD-an yang terkini, dan bahwa setiap program pengasuhan, pembimbingan dan pembelajaran yang diberikan pada anak tetap berangkat dari akar budaya bangsa Indonesia yang penuh dengan kesantunan dan keragaman.
Semua program pengasuhan, pembimbingan dan pembelajaran di LPAUD tidak pernah akan menjauhkan, memisahkan apalagi menghancurkan tali kasih antara anak dan keluarga, sesuai semboyan PAUD Indonesia yaitu membentuk “anak yang sehat, cerdas, ceria, dan berakhlak mulia”.
Peran Masyarakat
PAUD merupakan satu tahap pendidikan yang tidak dapat diabaikan karena merupakan fondasi yang ikut menentukan perkembangan dan keberhasilan anak di masa datang. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya PAUD, kesibukan orang tua, dan banyaknya sekolah dasar yang mempersyaratkan calon siswanya telah menyelesaikan pendidikan di TK telah mendorong munculnya LPAUD baru hampir di berbagai pelosok Tanah Air. Dilihat dari Penyelenggaraan PAUD di Indonesia sampai saat ini, masyarakat telah menunjukkan perannya yang sangat besar. Lebih dari 85% PAUD yang ada di seluruh pelosok Indonesia dimiliki dan dikelola oleh masyarakat.
Oleh sebab itu, semua pihak semestinya memberikan apresiasi yang tinggi pada masyarakat yang karena kemampuan finansial dan kepeduliannya pada masa depan bangsa Indonesia telah berkontribusi dalam penyelenggaraan PAUD. Perlu kita ketahui bersama bahwa kehadiran LPAUD yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat sampai saat ini telah banyak mengurangi jumlah anak usia dini yang tidak tersentuh oleh program pembelajaran di LPAUD karena berbagai alasan. Akan tetapi, jumlah LPAUD masih jauh dari yang dibutuhkan. Sampai akhir tahun 2009 saja, jumlah anak Indonesia yang berada pada rentang usia lahir-6 tahun berjumlah sekitar 28,8 juta anak, dan yang terlayani oleh program pembelajaran di LPAUD hanya sekitar 53,7%. Artinya, Indonesia ini masih sangat banyak memerlukan partisipasi dan peran masyarakat untuk mendirikan LPAUD baru guna ikut mengurangi jumlah anak yang ada pada rentang usia tersebut.
LPAUD, Keluarga, dan Masyarakat
Keberhasilan menumbuh-kembangkan berbagai potensi anak melalui proses pengasuhan, pembimbingn dan pembelajaran di LPAUD tidak hanya ditentukan oleh pihak LPAUD, melainkan juga ditentukan melalui bentuk perpaduan dan kerja sama antara LPAUD, orang tua, dan masyarakat. Jika dilihat dari jumlah jam yang diikuti oleh anak di LPAUD hanya berkisar antara 3-4 jam, sedangkan sisanya lebih banyak bersama lingkungan keluarga dan masyarakat.
Jika dilihat dari kondisi ini, penulis kurang yakin jika LPAUD dianggap sebagai penyebab terbentuknya perilaku yang kurang baik pada anak-anak kita. Apalagi dengan adanya program PAUD berbasis keluarga (parenting) yang merupakan kemitraan antara LPAUD dan orang tua yang tetap menjaga kesinambungan hubungan antara anak, keluarga dan LPAUD. Fakta yang ada, justru lingkungan keluarga dan masyarakatlah yang banyak memengaruhi terbentuknya perilaku yang kurang baik bagi anak.
Adanya perkelahian pelajar, perilaku anak yang durhaka pada orang tua, bentrok antarkelompok, terorisme, korupsi dan perbuatan amoral yang dilakukan oleh orang-orang dewasa bahkan orang-orang terhormat bukanlah bentukan LPAUD, melainkan banyak dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat. Kesimpulannya, dengan berbagai uraian yang telah dikemukakan di atas, sepertinya sangatlah tidak bijaksana bila kita hanya memvonis LPAUD sebagai sesuatu yang menyebabkan “hancurnya simpul keluarga”.
Imperialisme
Jika dilihat dari sisi banyaknya LPAUD yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat di mana hampir seluruhnya berbasis pada keagamaan, maka rasanya tidaklah beralasan bila kita ketakutan akan adanya penyusupan paham aliran-aliran tertentu di LPAUD. Banyak sekali simpul yang akan menjadi filter dan benteng terhadap penyusupan dalam bentuk apapun dan dari negara manapun seperti halnya berbagai undang-undang, peraturan pemerintah, kebijakan-kebijakan yang harus diikuti oleh seluruh LPAUD di samping penyertaan tatanan budaya Indonesia, norma sosial dan keagamaan dalam penyusunan kurikulum PAUD.
Bentuk-bentuk penyusupan paham imperialisme yang terang-terangan maupun yang terselubung sangatlah mengada-ada, oleh karena semua LPAUD yang ada di seluruh pelosok negeri tercinta ini semuanya dijalankan dengan nuansa keindonesiaan yang kental, dikelola oleh sumber daya manusia (SDM) yang berkarakter dan berbudaya Indonesia sehingga jika ada paham-paham di luar karakter dan budaya Indonesia menyusup dalam bentuk pengasuhan, pembimbingan dan pembelajaran di LPAUD akan segera diketahui dan ditangkal.
Di sisi lain, sebagai referensi, sebagai bahan acuan, semua kemajuan Iptek dan ilmu pengetahuan dari negara manapun dapat tetap diakomodasi sepanjang tidak akan menghilangkan karakter dan budaya Indonesia. Bukankah kita juga harus mengembangkan cara pikir dan cara pandang anak-anak kita terhadap isu globalisasi agar generasi yang akan datang dapat bersaing dengan SDM dari berbagai belahan dunia, yang tentunya dengan tetap berperilaku, berkarater dan berbudaya keindonesiaan (think globally, acts locally).
Oleh Bambang Sujiono
Dosen, peneliti, pemerhati dan praktisi PAUD, Universitas Negeri Jakarta
sumber : media indonesia
0 comments:
Post a Comment