Tuesday, July 26, 2011

Pendidikan Karakter Wirausaha dalam Program Pendidikan Nonformal

Abstract

Character education is an effort that must involve all parties, such as households, family schools, school environment, and society at large.Non-formal education programs occur in society as an attempt to address the problem of laziness characters that have an impact on unemployment. Current educational programs in general pay less attention to the transformation of values/character in its implementation. Indifference towards value creation to this character causes the program to be ineffective, since it does not provide any impact on learners. The essence of true education as a tool to internalize the values of less well-facilitated, even the longer values education, is increasingly marginalized by a number of reasons. Practically, educationt recognizes man simply as a physical instrument to defend the ideology that is currently embraced by the western world, i.e., capitalism. Hence, to create character with entrepreneurial capability requires values—such as, responsibility, respect, fairness, courage, honesty, citizenship, self-discipline, caring, and perseverance—to be transformed into nonformal education. . These values are necessary to maintain and develop the culture of community. To implement it, entrepreneurial character education should pay attention to the elements or standard educational program and start the component input, process and output that consist of 10 elements.

Keyword: character building, Entrepreneurship, nonformal education.

PENDAHULUAN

Dalam acara peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei 2010 yang lalu, Menteri Pendidikan Nasional menentukan tema “Pendidikan Karakter untuk Keberadaban Bangsa”. Sungguh menjadi satu kejutan tersendiri bagi banyak orang yang sudah lama melupakan konsep Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang saat ini sudah tidak lagi diajarkan kepada siswa dan hanya tinggal menjadi sebuah nama dalam perjalanan sejarah masa lalu. Tema tersebut juga mendapat sambutan yang luar biasa karena dianggap sebagai satu kebangkitan pendidikan karakter di negeri ini, ketika negeri ini makin dipenuhi oleh banyak pelaku korupsi, makelar kasus, dan video mesum. Korupsi, makelar kasus dan video mesum telah menjadi isu keseharian yang ramai dibahas dalam acara televisi. Sungguh tema Hardiknas itu mengingatkan kita bahwa bangsa ini sudah menjadi bangsa yang tidak civilized lagi. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya membangun bangsa yang beradab melalui proses pendidikan.

PENDIDIKAN KARAKTER

Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak, baik rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, serta masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan dan educational networks yang mulai terputus tersebut. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan berhasil selama antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.

Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips, 2000) atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah). Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya. Pemberian penghargaan (reward) kepada yang berprestasi, dan hukuman (punishment) kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discouraging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya perlu dilakukan penerapan pendidikan berdasarkan karakter (character-based education) melalui setiap pelajaran yang ada di samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter, seperti; pelajaran Agama, Sejarah, Moral Pancasila dan sebagainya.

Di samping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat berpengaruh terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan di sini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.

Apabila kita cermati bersama, desain pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran dan kreativitas sesungguhnya sejak masa kemerdekaan sudah digagas oleh para pendidik kita, seperti Ki Hajar Dewantara, KH. Ahmad Dahlan, Prof. HA. Mukti Ali, Ki Hajar Dewantara. Pola pendidikan seperti ini mengajarkan praktek pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan perintah paksaan, tetapi dengan "tuntunan" dan bukan "tontonan". Sangat jelas cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan "among"' yang lebih menyentuh langsung pada tataran etika, perilaku yang tidak terlepas dengan karakter atau watak seseorang. KH. Ahmad Dahlan berusaha "mengadaptasi" pendidikan modern Barat sejauh untuk kemajuan umat Islam, sedangkan Mukti Ali mendesain integrasi kurikulum dengan penambahan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Namun mengapa dunia pendidikan kita hingga saat ini masih berkutat dengan problem internalnya, seperti penyakit dikotomi, profesionalitas pendidiknya, sistem pendidikan yang masih lemah, perilaku pendidiknya dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, membangun karakter dan watak bangsa melalui pendidikan mutlak diperlukan, bahkan tidak bisa ditunda, mulai dari lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat dengan meneladani para tokoh yang memang patut untuk dicontoh.

Mengapa Melalui Pendidikan?

“Education is not a preparation of life, but it’s life itself”. Demikianlah pendapat John Dewey ketika beliau berusaha menjelaskan tentang ranah pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan adalah kehidupan. Oleh karena itu, benar kata WD Rendra dalam salah satu puisinya telah mempertanyakan tentang adanya “papan tulis-papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan”. Mengapa? Proses pendidikan di sekolah ternyata masih lebih mengutamakan aspek kognitifnya ketimbang afektif dan psikomotoriknya. Bahkan konon Ujian Nasional pun lebih mementingkan aspek intelektualnya ketimbang aspek kejujurannya. Konon tingkat kejujuran Ujian Nasional itu hanyalah 20%, karena masih banyak peserta didik yang menyontek dalam pelbagai cara dalam mengerjakan Ujian Nasional itu.

Dalam bukunya tentang Kecerdasan Ganda (Multiple Intelligences), Daniel Goleman mengingatkan kepada kita bahwa kecerdasan emosional dan sosial dalam kehidupan diperlukan 80%, sementara kecerdasan intelektual hanyalah 20% saja. Dalam hal inilah maka pendidikan karakter diperlukan untuk membangun kehidupan yang lebih beradab, bukan kehidupan yang justru dipenuhi dengan perilaku biadab. Maka terpikirlah oleh para cerdik pandai tentang apa yang dikenal dengan pendidikan karakter (character education).

Hal di atas tentu bertentangan dengan esensi pendidikan yang dikemukakan oleh Jonh Dewey yang menyebutkan bahwa: “Anak didik tidak hanya disiapkan agar siap bekerja, tapi juga bisa menjalani hidupnya secara nyata sampai mati. Anak didik haruslah berpikir dan pikirannya itu dapat berfungsi dalam hidup sehari-hari. Kebenaran adalah gagasan yang harus dapat berfungsi nyata dalam pengalaman praktis.” John Dewey (1859 – 1952) dalam (Syohih, 2008).

Kelemahan lain yang masih terasa dalam beberapa program pendidikan kecakapan hidup yang terjadi saat ini adalah pengelolaan lingkungan yang kurang baik. Hakikat pendidikan sebenarnya sebagai alat untuk menginternalisasikan nilai-nilai yang kurang terfasilitasi dengan baik, terutama dalam program pendidikan nonformal. Instrumental input maupun enviornmental input pendidikan dalam program PNF kurang mendapat perhatian sebagai bagian yang penting dalam iklim pembelajaran. Jarang sekali ditemui media yang dapat memperkuat internalisasi nilai, seperti contoh tidak ada satupun slogan yang dipasang dalam ruang belajar yang berisi penguatan nilai seperti: “kejujuran adalah kunci kesuksesan” atau yang lainnya. Disamping itu penyelenggara juga tidak memberikan tauladan sebagai hidden curriculum yang mampu memperkuat internalisasi nilai-nilai tersebut, antara lain menyelenggarakan program tidak sesuai dengan pedoman, manipulasi data kegiatan, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya yang menyebabkan tujuan program itu sendiri tidak dapat terlaksana karena kelalaian pengelola program.

Tidak kalah penting adalah peran fasilitator dan tutor (guru) sebagai orang yang berhadapan langsung dengan peserta didik, dimana tutor dan fasilitator tidak dipersiapkan untuk mendidik dan membelajarkan peserta didik dengan nilai-nilai keagamaan maupun nilai-nilai pendidikan lainnya yang justru merupakan modal utama dari program pendidikan kecakapan hidup. Pertimbangan menjadi tutor lebih kepada kemampuan seseorang dalam memahami dan menguasai suatu materi tertentu, tanpa dipertimbangkan mengenai bagaimana seharusnya tutor disamping menyampaikan materi juga mampu menyisipkan nilai-nilai kewirausahaan berdasar keagamaan agar peserta didik dapat menjiwai apa yang mereka lakukan sebagai bagian dari ibadah dan pengabdian terhadap Tuhan.

Makna Pendidikan

Banyak kalangan memberikan makna tentang pendidikan sangat beragam, bahkan sesuai dengan pandangannya masing-masing. Azyumardi Azra dalam buku "Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi", memberikan pengertian tentang "pendidikan" adalah merupakan suatu proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Bahkan ia menegaskan, bahwa pendidikan lebih sekedar pengajaran, artinya, bahwa pendidikan adalah suatu proses dimana suatu bangsa atau negara membina dan mengembangkan kesadaran diri diantara individu-individu.

Di samping itu, pendidikan adalah suatu hal yang benar-benar ditanamkan selain menempa fisik, mental dan moral bagi individu-individu, agar mereka menjadi manusia yang berbudaya. Dengan pendidikan mereka diharapkan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan Allah Tuhan Semesta Alam sebagai makhluk yang sempurna dan terpilih sebagai khalifahNya di muka bumi ini yang sekaligus menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu negara.

APA ITU KARAKTER?

Para pegiat pendidikan karakter mencoba melukiskan pilar-pilar penting dalam pendidikan karakter dalam gambar berikut.

Dari gambar tersebut jelas bahwa pendidikan karakter meliputi 9 (sembilan) pilar yang saling kait-mengait, yaitu:

* responsibility (tanggung jawab);
* respect (rasa hormat);
* fairness (keadilan);
* courage (keberanian);
* honesty (kejujuran);
* citizenship (kewarganegaraan);
* self-discipline (disiplin diri);
* caring (peduli), dan
* perseverance (ketekunan).

Dalam gambar tersebut, dijelaskan bahwa nilai-nilai dasar kemanusian yang harus dikembangkan melalui pendidikan bervariasi antara lima sampai sembilan aspek. Di samping itu, pendidikan karakter memang harus mulai dibangun di rumah (home), dan dikembangkan di lembaga pendidikan sekolah (school), bahkan diterapkan secara nyata di dalam masyarakat (community) dan bahkan termasuk di dalamnya adalah dunia usaha dan dunia industri (bussiness).

Berkenaan dengan pengertian karakter, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Suyanto, PhD menjelaskan sebagai berikut. Karakter adalah “cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara”.

Lebih lanjut, Prof. Suyanto, PhD juga menyebutkan sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal manusia, yang kelihatan sedikit berbeda dengan sembilan pilar yang telah disebutkan di atas. Sembilan pilar karakter itu adalah:

1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
2. Kemandirian dan tanggungjawab
3. Kejujuran/amanah
4. Hormat dan santun
5. Dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama
6. Percaya diri dan pekerja keras
7. Kepemimpinan dan keadilan
8. Baik dan rendah hati
9. Toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Pendidikan Karakter yang Efektif

Menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik; (2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku; (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter; (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian; (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral; (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil; (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa; (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa; (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter; (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter; dan, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.

Dalam pendidikan karakter penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan--sebagai basis karakter yang baik. Sekolah harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai dimaksud, mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari, mencontohkan nilai-nilai itu, mengkaji dan mendiskusikannya, menggunakannya sebagai dasar dalam hubungan antarmanusia, dan mengapresiasi manifestasi nilai-nilai tersebut di sekolah dan masyarakat. Yang terpenting, semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti.

Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika inti. Karenanya, pendekatan holistik dalam pendidikan karakter berupaya untuk mengembangkan keseluruhan aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Siswa memahami nilai-nilai inti dengan mempelajari dan mendiskusikannya, mengamati perilaku model, dan mempraktekkan pemecahan masalah yang melibatkan nilai-nilai. Siswa belajar peduli terhadap nilai-nilai inti dengan mengembangkan keterampilan empati, membentuk hubungan yang penuh perhatian, membantu menciptakan komunitas bermoral, mendengar cerita ilustratif dan inspiratif, dan merefleksikan pengalaman hidup.

Sekolah yang telah berkomitmen untuk mengembangkan karakter melihat diri mereka sendiri melalui lensa moral, untuk menilai apakah segala sesuatu yang berlangsung di sekolah mempengaruhi perkembangan karakter siswa. Pendekatan yang komprehensif menggunakan semua aspek persekolahan sebagai peluang untuk pengembangan karakter. Ini mencakup apa yang sering disebut dengan istilah kurikulum tersembunyi, hidden curriculum (upacara dan prosedur sekolah; keteladanan guru; hubungan siswa dengan guru, staf sekolah lainnya, dan sesama mereka sendiri; proses pengajaran; keanekaragaman siswa; penilaian pembelajaran; pengelolaan lingkungan sekolah; kebijakan disiplin); kurikulum akademik, academic curriculum (mata pelajaran inti, termasuk kurikulum kesehatan jasmani), dan program-program ekstrakurikuler, extracurricular programs (tim olahraga, klub, proyek pelayanan, dan kegiatan-kegiatan setelah jam sekolah).

Di samping itu, sekolah dan keluarga perlu meningkatkan efektivitas kemitraan dengan merekrut bantuan dari komunitas yang lebih luas (bisnis, organisasi pemuda, lembaga keagamaan, pemerintah, dan media) dalam mempromosikan pembangunan karakter. Kemitraan sekolah-orang tua ini dalam banyak hal sering kali tidak dapat berjalan dengan baik karena terlalu banyak menekankan pada penggalangan dukungan finansial, bukan pada dukungan program. Berbagai pertemuan yang dilakukan tidak jarang terjebak kepada sekadar tawar-menawar sumbangan, bukan bagaimana sebaiknya pendidikan karakter dilakukan bersama antara keluarga dan sekolah.

Pendidikan karakter yang efektif harus menyertakan usaha untuk menilai kemajuan. Terdapat tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian: (1) Karakter sekolah: sampai sejauh mana sekolah menjadi komunitas yang lebih peduli dan saling menghargai? (2) Pertumbuhan staf sekolah sebagai pendidik karakter: sampai sejauh mana staf sekolah mengembangkan pemahaman tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk mendorong pengembangan karakter? (3) Karakter siswa: sejauh mana siswa memanifestasikan pemahaman, komitmen, dan tindakan atas nilai-nilai etis inti? Hal seperti itu dapat dilakukan di awal pelaksanaan pendidikan karakter untuk mendapatkan baseline dan diulang lagi di kemudian hari untuk menilai kemajuan.

Secara historis, pendidikan (membangun karakter) dalam arti luas telah mulai dilaksanakan sejak manusia berada di muka bumi ini. George F. Kneller menyebutkan bahwa pendidikan dapat dipandang dalam arti luas dan dalam arti teknis, atau dalam arti hasil dan dalam arti proses. Secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh yang berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan jiwa (mind), watak (character), atau kemampuan fisik (physical ability) individu. Pendidikan dalam artian ini berlangsung terus (seumur hidup). Kita sesungguhnya belajar dari pengalaman seluruh kehidupan kita (Kneller, 1967:63 dalam Siswoyo, 2007:18). Dalam arti teknis, pendidikan adalah proses dimana masyarakat, melalui lembaga-lembangan pendidikan (sekolah), dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi (Siswoyo, 2007:19).

Menurut Ki Hadjar Dewantara, yang dimaksud dengan pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu, menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Siswoyo, 2007:20). Sedangkan menurut Driyarkara, intisari atau eidos dan pendidikan ialah pemanusiaan manusia-muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf insani, itulah yang menjelma dalam semua perbuatan mendidik, yang jumlah dan macamnya tak terhitung (Siswoyo,2007:20).

Selanjutnya menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No. 20 Tahun 2003).

Dari uraian pengertian pendidikan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara implisit terkandung nilai-nilai pendidikan bagi individu, masyarakat dan bangsa. Adapun nilai-nilai tersebut antara lain:

· Membentuk pribadi yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki kepercayaan diri, disiplin dan tanggung jawab, mampu mengungkapkan dirinya melalui media yang ada, mampu melakukan hubungan manusiawi, dan menjadi warga negara yang baik;

·Membentuk tenaga pembangunan yang ahli dan terampil serta dapat meningkatkan produktivitas, kualitas, dan efisiensi kerja;

·Melestarikan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, bangsa dan negara;

·Mengembangkan nilai-nilai baru yang dipandang serasi oleh masyarakat dalam menghadapi tantangan ilmu, teknologi dan dunia modern;

·Merupakan jembatan masa lampau kini dan masa depan.

Secara garis besar, “nilai” dibagi kedalam dua kelompok yaitu nilai-nilai nurani (values of being) dan nilai-nilai memberi (values of giving). Nilai-nilai nurani adalah nilai yang ada dalam diri manusia kemudian berkembang menjadi perilaku serta cara kita memperlakukan orang lain. Yang termasuk dalam nilai-nilai nurani adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri, potensi, disiplin, tahu batas, kemurnian, dan kesesuaian. Nilai-nilai memberi adalah nilai yang perlu dipraktikkan atau diberikan yang kemudian akan diterima sebanyak yang diberikan. Yang termasuk pada kelompok nilai-nilai memberi adalah setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil dan murah hati (Linda, 1995 dalam Kneller, 1971 dalam Elmubarok, 2008:7).

Pendidikan mencakup kegiatan mendidik, mengajar, dan melatih. Dalam kegiatan tersebut terjadi usaha untuk mentransformasikan nilai-nilai dalam kehidupan manusia. Nilai tersebut antara lain nilai- nilai religi, kebudayaan, sains dan teknologi, seni, dan keterampilan. Nilai-nilai tersebut dapat mempertahankan, mengembangkan bahkan merubah kebudayaan yang dimiliki masyarakat. Di sini akan berlangsung pendidikan dalam kehidupan manusia.

Nilai sendiri berarti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan (Purwadarminta, 1999:677). Nilai juga dimaknai sebagai kualitas yang memang membangkitkan respon penghargaan (Titus, 1993:112). Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan melembaga secara obyektif di dalam masyarakat (Muhaimin dan Mujib, 1993: 110).

KEWIRAUSAHAAN

Pengertian Kewirausahaan

Kewirausahaan pada hakikatnya adalah sifat, ciri dan watak seseorang yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif (Suryana, 2000). Istilah kewirausahaan berasal dari terjemahan “Entrepreneurship” yang dapat diartikan sebagai “the backbone of economy”atau tulang punggung perekonomian atau pengendali perekonomian suatu bangsa (Soeharto Wirakusumo, 1997:1). Secara epistimologi, kewirausahaan merupakan suatu nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha atau suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru dan berbeda. Menurut Thomas W Zimmerer, kewirausahaan merupakan penerapan kreativitas dan keinovasian untuk memecahkan permasalahan dan upaya untuk memanfaatkan peluang yang dihadapi sehari-hari. Kewirausahaan merupakan gabungan dari kreativitas, keinovasian dan keberanian menghadapi risiko yang dilakukan dengan cara kerja keras untuk membentuk dan memelihara usaha baru.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan adalah suatu kemampuan dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya, tenaga penggerak, tujuan siasat, kiat dan proses dalam menghadapi tantangan hidup.

Perkembangan Kewirausahaan

Dahulu ada pendapat bahwa kewirausahaan merupakan bakat bawaan sejak lahir, bahwa entrepreneurship is born not made, sehingga kewirausahaan dipandang bukan hal yang penting untuk dipelajari dan diajarkan. Namun dalam perkembangannya, nyata bahwa kewirausahaan ternyata bukan hanya bakat bawaan sejak lahir, atau bersifat praktek lapangan saja. Kewirausahaan merupakan suatu disiplin ilmu yang perlu dipelajari. Kemampuan seseorang dalam berwirausaha dapat dimatangkan melalui proses pendidikan. Seseorang yang menjadi wirausahawan adalah mereka yang mengenal potensi dirinya dan belajar mengembangkan potensinya untuk menangkap peluang serta mengorganisir usahanya dalam mewujudkan cita-citanya.

Dan menurut Suryana, sejalan dengan tuntutan perubahan yang cepat pada paradigma pertumbuhan yang wajar dan perubahan ke arah globalisasi yang menuntut adanya keunggulan, pemerataan, dan persaingan, maka dewasa ini terjadi perubahan paradigma pendidikan. Pendidikan kewirausahaan telah diajarkan sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang independen, yang menurut Soeharto Prawirokusumo adalah dikarenakan oleh:

·Kewirausahaan berisi “body of knowledge” yang utuh dan nyata (distinctive), yaitu ada teori, konsep, dan metode ilmiah yang lengkap;

·Kewirausahaan memiliki dua konsep, yaitu posisi “venture start up” dan “venture growth”. Hal ini jelas tidak masuk dalam “frame work general management courses” yang memisahkan antara “management” dengan “business ownership”;

·Kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang memiliki objek tersendiri, yaitu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda;

·Kewirausahaan merupakan alat untuk menciptakan pemerataan berusaha dan pemerataan pendapatan atau kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur.

Seperti halnya ilmu manajemen yang pada awalnya berkembang pada lapangan industri, kemudian berkembang dan diterapkan di berbagai lapangan lainnya, maka disiplin ilmu kewirausahaan dalam perkembangannya mengalami evolusi yang pesat, yaitu berkembang bukan pada dunia usaha semata, tetapi juga pada berbagai bidang, seperti bidang industri, perdagangan, pendidikan, kesehatan dan institusi-institusi lainnya.

Dengan memiliki jiwa/corak kewirausahaan, maka birokrasi dan institusi akan memiliki motivasi, optimisme dan berlomba untuk menciptakan cara-cara baru yang lebih efisien, efektif, inovatif, fleksibel, dan adaptif.

Pendidikan Karakter Kewirausahaan dalam Program Pendidikan Nonformal

Sebenarnya tidak ada makna pendidikan yang terbebas dari penanaman karakter (nilai), karena setiap kegiatan pendidikan haruslah bermuatan transformasi nilai/karakter untuk peserta didik sebagai subjek dari pendidikan itu sendiri. Namun menyikapi permasalahan pendidikan yang banyak terjadi saat ini istilah pendidikan karakter sepertinya layak untuk kedepankan mengingat pendidikan saat ini lebih banyak mengarah pada pengajaran, berfungsi sebagai lembaga transformasi pengetahuan dan keterampilan bagi warga belajar dengan mengesampingkan eksistensi nilai yang seharusnya menjadi landasan awal pendidikan itu sendiri.

Tanpa dilandasi nilai, sebuah upaya pendidikan yang terselubung dalam kegiatan pengajaran akan menjadi bumerang bagi pendidikan itu sendiri. Dengan netralitas yang disandang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan dampak pembelajaran di masyarakat bisa menjadi apa saja, baik positif maupun negatif tergantung dari orang yang telah mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Tanpa dilandasi nilai hasil pengajaran menjadi tidak bermanfaat untuk semua orang, melainkan hanya untuk segelintir orang yang berhasil menyelesaikan program pengajaran yang telah dirancang sebelumnya. Oleh sebab itu penekanan terhadap nilai terutama dalam program pendidikan nonformal harus menjadi prioritas, mengingat hasil pendidikan akan langsung diimplementasikan oleh warga belajar di masyarakat.

Untuk mengimplementasikan pendidikan karakter dalam program pendidikan nonformal, perlu diperhatikan 10 unsur/patokan yang selalu ada dalam setiap kegiatan pendidikan nonformal seperti diungkapkan oleh Sihombing, antara lain: (1) warga belajar; (2) sumberbelajar; (3) pamong belajar; (4) sarana belajar; (5) tempat belajar; (6) dana belajar; (7) ragi belajar; (8) kelompok belajar; (9) program belajar; dan, (10) hasil belajar. Setiap unsur tersebut harus dirancang sedemikian rupa agar trasnformasi karakter/nilai dapat berjalan dengan baik, disamping transformasi materi program pendidikan. Artinya hasil pelatihan tidak hanya berorientasi pada penguasaan materi, namun juga pada penguasaan dan penghayatan nilai-nilai kewirausahaan itu sendiri.

Warga belajar merupakan individu yang terlibat secara aktif dalam menentukan kegiatan pendidikan yang dilaksanakan. Terkait dengan kewirausahaan, maka warga belajar adalah orang dewasa yang menganggur atau putus sekolah yang memerlukan keterampilan untuk menunjang kehidupannya melalui kegiatan wirausaha. Warga belajar harus dirorong untuk benar-benar mau berwirausaha, hasil pembelajaran harus mendidik warga belajar untuk mandiri, tidak sekedar terampil untuk bekerja pada orang lain.

Sumber belajar merupakan anggota masyarakat yang memiliki kelebihan dalam bidang pengetahuan maupun keterampilan tertentu. Dalam pendidikan berbasis nilai, rekrutmen sumber belajar mempertimbangkan tidak saja pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki, melainkan sikap dan perilakunya di masyarakat, apakah dapat dijadikan figur tauladan masyarakat atau tidak, agar transformasi nilai tidak hanya berlangsung ketika kegiatan pembelajaran terjadi, namun ketika di masyarakat sosok sumber belajar dapat dijadikan contoh bagi warga belajar. Di samping itu sumber belajar juga harus memiliki kemampuan dalam praktik pembelajaran khususnya pembelajaran orang dewasa agar proses pembelajaran berjalan lebih demokratis.

Pamong belajar adalah tokoh masyarakat yang mampu dan mau membina, membimbing, mengarahkan dan mengorganisir program pembelajaran masyarakat disekitarnya (Sihombing, 2001). Pamong belajar memiliki fungsi yang cukup banyak terkait dengan penyelenggaraan program, khususnya pendidikan nonformal yang berbasis nilai. Pamong belajar harus dapat memastikan bahwa proses pembelajaran penuh dengan nuansa transfer of value, membimbing warga belajar ataupun sumber belajar dan meyakinkan warga belajar mengenai nilai-nilai yang ditransformasikan oleh sumber belajar. Pamong belajar dapat pula seorang tokoh agama di masyarakat, sehingga nilai-nilai yang ada dalam proses pembelajaran juga dapat di tindak lanjuti dalam kegiatan keagamaan di masyarakat, misalnya dalam pengajian rutin atau saat khutbah. Proses berkelanjutan ini akan menghasilkan keterpaduan antara kegiatan di tempat belajar dengan di masyarakat, sehingga internalisasi nilai-nilai dapat berlangsung terus menerus.

Sarana belajar merupakan bahan atau alat yang ada di lingkungan masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembelajaran, dalam pendidikan berbasis nilai, alat-alat yang dipergunakan dalam kegiatan pembelajaran harus dapat menunjang transfer nilai pada warga belajar. Sarana belajar dirancang dan dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menggambarkan nilai-nilai yang harus dimiliki oleh warga belajar. Sarana tersebut dapat berupa gambar-gambar atau slogan-slogan berbentuk tulisan yang merujuk pada nilai yang dituju, atau dapat juga berupa media audio visual seperti video atau film pendek yang menggambarkan eksistensi nilai di masyarakat dan dampaknya terhadap wirausaha yang dilakukan. Film dokumenter biografi pengusaha sukses juga dimungkinkan, terutama pengusaha-pengusaha yang menjunjung tinggi nilai-nilai dalam usahanya.

Yang dimaksud dengan tempat belajar adalah tempat di mana dimungkinkan terjadinya proses pembelajaran, yang dapat berwujud rumah, tempat pertemuan, tempat ibadah, balai desa, atau bangunan yang tidak digunakan lagi namun masih memungkinkan untuk dimanfaatkan kembali (Sihombing, 2001). Tempat belajar juga sangat menunjang efektivitas dari proses pembelajaran berbasis nilai. Ruang belajar di desain sedemikian rupa agar kegiatan belajar berlangsung dengan tertib dan demokratis, kental dengan nuansa nilai-nilai yang akan di transformasikan.

Dana belajar merupakan faktor penting namun bukan yang utama. Unsur ini juga berlaku tidak hanya bagi warga belajar, namun bagi program itu sendiri. Pelaksanaan kegiatan pendidikan yang tidak mengedepankan dana sebagai faktor utama dapat membelajarkan warga belajar bahwa dalam berwirausaha pun dana bukanlah faktor utama, namun faktor tekad dan kemauan yang lebih dominan. Akan lebih baik jika program dilaksanakan dengan dana yang seminimal mungkin dengan melibatkan warga belajar dalam proses perencanaannya.

Ragi belajardapat diartikan sebagai rangsangan yang mampu membangkitkan semangat belajar warga belajar, sehingga proses pembelajaran terjadi tanpa paksaaan, gertakan tetapi karena kesadaran warga belajar serta kekuatan yang ada pada ragi belajar itu sendiri (Sihombing, 2001). Ragi belajar cukup penting dalam kegiatan pembelajaran, salah satunya adalah dengan melakukan penguatan-penguatan nilai-nilai yang dituju. Penguatan ini dapat dilakukan dengan menghadirkan seorang pengusaha sukses, yang menjalankan usahanya dengan etika dan nilai yang baik.

Kelompok belajar adalah sejumlah warga belajar yang terdiri dari 5-10 orang, yang berkumpul dalam satu kelompok, memiliki tujuan dan kebutuhan belajar dan bersepakat untuk saling membelajarkan (Sihombing, 2001). Kelompok belajar ini harus dibentuk agar terbina kerja sama antar warga belajar dan membiasakan diri untuk bekerja sama dalam kegiatan usaha. Mengingat kegiatan wirausaha tidak dapat berdiri sendiri menlainkan perlu adanya kerja sama dengan pihak lain, termasuk dalam hal ini adalah kompetitor. Studi kasus maupun praktik lapangan harus dilakukan secara berkelompk, agar warga belajar dapat belajar bersama dan sharing pengalaman maupun memberikan masukan bagi warga belajar yang lain.

Program belajar merupakan serangkaian kegiatan yang mencerminkan tujuan, isi pembelajaran, cara pembelajaran, waktu pembelajaran, atau sering disebut dengan garis besar kegiatan belajar (Sihombing, 2001). Kurikulum pembelajaran harus memiliki keseimbangan antara muatan materi kewirausahaan dengan nilai-nilai yang melandasi kewirausahaan. Perbandingan diantara keduanya adalah 50:50 sehingga terjadi keseimbangan antara muatan materi dan muatan nilai, demikian pula dengan proses pembelajarannya, substansi nilai tidak diberikan secara khusus, melainkan tematik dan harus ada dalam setiap pertemuan pembelajaran dalam materi apapun. Studi kasus perlu dipersiapkan dengan matang sebagai bahan diskusi bagi warga belajar, disamping itu penggunaan media audio visual juga perlu dioptimalkan.

Selanjutnya, hasil belajar merupakan serangkaian pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dikuasai warga belajar setelah proses pembelajaran tertentu dilalui dalam kurun waktu tertentu (Sihombing, 2001). Kebermaknaan hasil belajar bagi peningkatan mutu hidup dan kehidupan warga belajar menjadi patokan keberhasilan. Hasil belajar utama dalam pendidikan berbasis nilai adalah seorang wirausahawan yang berkarakter dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama maupun nilai kebudayaan yang mendukung proses usaha. Instrumen pengukuran yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotor terkait materi dan nilai perlu dirumuskan secara komprehensif sehingga diperoleh alat ukur yang valid dan reliabel sehingga ukuran-ukuran keberhasilan pendidikan berbasis nilai dapat tercermin dari hasil evaluasi tersebut.

PENUTUP

Pendidikan karakter kewirausahaan baik melalui program pendidikan kecakapan hidup atau program pemberdayaan lainnya yang melibatkan masyarakat harus secara serius dilaksanakan oleh pemerintah atau pun lembaga mitra pemerintah seperti yayasan atau lembaga swadaya masyarakat. Program-program tersebut harus benar-benar berorientasi pada hasil belajar untuk menciptakan generasi yang memiliki karakter wirausahawan. Tujuan seperti ini tentu tidak bisa dilakukan dengan model program yang banyak terjadi saat ini, yang hanya berorientasi pada penguatan materi dan keterampilan, namun tanpa ada dukungan penguatan karakter kewirausahaan dalam diri peserta didik. Oleh karena itu, pendidikan karakter wirausaha dalam program pendidikan nonformal harus mulai dikembangkan baik saat ini maupun di masa yang akan datang, mengingat pendidikan karakter kewirausahaan tersebut saat ini sangat dibutuhkan dalam pemberdayaan masyarakat yang sudah mulai kehilangan semangat dalam mengembangankan potensi dirinya dikarenakan berkembangnya kemajuan teknologi dan akulturasi kebudayaan asing yang masuk ke negeri ini.

DAFTAR RUJUKAN

Elmubarok, Z. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai, Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus dan Menyatukan yang Tercerai. Editor: Dudung R.H. Bandung: Alfabeta.

Iis Prasetyo. (2009). Membangun Karakter Wirausaha melalui Pendidikan Berbasi Nilai dalam Program Pendidikan Nonformal. (online) tersedia di (http://blog.uny.ac.id/iisprasetyo/prass/)

Kneller, G.F. (1971). Introduction to The Philosophy of Education. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Maryadi. (2005). Pemberdayaan Potensi Masyarakat Melalui Pendidikan Kecakapan Hidup. Diklus: Jurnal Pendidikan Luar Sekolah, Edisi 6, Th X, September 2005. Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.

Muhaimin dan Mujib, A. (1993). Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Trigenda Karya.

Tim Redaksi Fokusmedia. (2003). Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (No. 20 Tahun 2003). Bandung: Fokusmedia.

Sadulloh, U. (2007). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Siswoyo, D. Dkk. (2007). Ilmu Pendidikan. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta: UNY Press.

Sihombing, U. (2001). Pendidikan Luar Sekolah: masalah, tantangan dan peluang. Jakarta: Wirakarsa.

Syohih, U. (2008). Lingkungan dan Pendidikan Indonesia. [online] tersedia di [http://nerri-unindra-bio2a.blogspot.com/2008/07/nilai-nilai-pendidikan-di-indonesia.html,].

oleh: Santoso, S.Pd, M.Si
sumber : paudni.kemdiknas.go.id/bppnfi4/

0 comments: