Wednesday, May 2, 2012

“RUMAH BELAJAR” Konsep Baru Satuan PAUDNI Sejenis*

Dunia persekolahan (pendidikan formal) akhir-akhir ini cenderung digugat eksistensinya oleh masyarakat.Sekolah seolah tidak lagi bisa memberikan pemenuhan harapan bagi sebagian orang. Sekolah selalu identik dengan aturan-aturan formal, baku, dan cenderung kaku, bahkan

beberapa diantaranya cenderung memperlihatkan wajak “sekolah” yang seram, tempat tumbuhnya prilaku preman dan anarki.
Fenomena yang akhir-akhir ini muncul mendeligitimasi kepercayaan masyarakat pada institusi “sekolah”. Pada sisi lain, penyempitan makna “belajar” hanya pada institusi formal “persekolahan” membuat peran lingkungan masyarakat dan lingkungan keluarga (rumah tangga) sebagai bahagian dari bangunan institusi sosial tidak bisa berperan secara maksimal dan fungsinya hilang secara perlahan-lahan.
Gugatan terhadap rezim “persekolahan”: sebenarnya bukan hal baru dalam diskursus pendidikan. Tahun 1993, Robert T. Kiyosaki telah menyampaikan kritiknya terhadap praktek dunia pendidikan formal melalui bukunya yang berjudul “If you want to be richandhappy, don’t go to school”bahkan jauh sebelumnya, Soichiro Honda, pendiri perusahaan Honda Motor dalam bahasa yang berbeda menyampaikan pandangan yang serupa tentang sekolah Dalam satu wawancara Sochiro pernah berkata; “ Sekolah terlalu banyak memberi apa yang saya tidak ingin ketahui, tapi justru sangat sedikit memberikan apa yang sungguh-sungguh saya ingin ketahui. Oleh karena itu saya hanya pergi kesekolah apa bila saya merasa ingin mengetahui sesuatu yang tidak saya temukan diluar sekolah."
Bob Sadino seorang pengusaha nyentrik memberikan nasihat kepada anaknya “Nak kamu boleh sekolah sejauh yang kamu mau, tapi jika kamu sudah tidak mau sekolah ya keluar saja; biar Papalah yang akan menjadi gurumu"Perkataan ini juga merupakan sebuah kritikan terhadap “dunia persekolahan formal” bahwa dengan kondisi seperti saat ini, kita tidak bisa terlalu berharap banyak terhadap “dunia persekolahan formal”. Membangun karakter bangsa (nation caracter building) tidak bisa hanya diserahkan ke institusi “persekolahan formal”, lingkungan
masyarakat dan keluarga (rumah tangga) sebagai bahagian dari institusi sosial harus diberikan peran yang seimbang.

Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) Sebagai Solusi?
Ditengah berbagai sorotan terhadap dunia persekolahan, masyarakat mulai melirik layanan pendidikan alternative selain sekolah formal.Salah satu yang mendapat perhatian adalah “Pendidikan Nonformal dan Informal”.Berbagai instrument yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui undang-undang dan peraturan pemerintah memberikan peluang besar terhadap bidang pendidikan nonformal dan informal untuk berperan secara lebih nyata dan strategis dalam pembangunan bangsa sebagai solusi terhadap mandegnya institusi “sekolah”.Lantas mampukah PNFI menjadi solusi dan muncul sebagai “jalan baru” untuk mencerdaskan dan membangun karekater bangsa?
Kalau kita melihat kebelakang, sejarah pendidikan nonformal dan informal setua dengan sejarah peradaban manusia.Bahkan dalam konteks ke Indonesia-an, bidang pendidikan nonformal dan informal telah memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam meletakkan karakter kebangsaan dan ke indonesiaan kita. Jauh sebelumnya, ketika kosa kata“Indonesia” masih belum menemukan pijakannya, dan nusantara masih dalam bentuk serpihan-serpihan kerajaan, pendidikan nonformal telah muncul sebagai pelaku utama di bidang pendidikan. Meskipun pendidikan nonformal dan informal telah dikuatkan dengan berbagai instrument perundang-undangan, citranya sebagai “tukang sapu” dengan posisi sebagai “pelengkap, penambah”pendidikan formal (persekolahan) masih belum bisa dihilangkan, meskipun pemerintah dalam kebijakan pembangunan pendidikan telah menempatkan pendidikan nonformal dan informal pada posisi yang “setara” dengan pendidikan formal (persekolahan). UU Sisdiknas nomor 20 tahun 2003 memberikan penegasan secara jelas bahwa penyelenggaraan pendidikan nonformal dan informal sebagai upaya untuk mendukung fungsi pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam rangka untuk menjadikan pendidikan nonformal dan informal sebagai solusi dan “jalan baru” pendidikan nasional, layanan pendidikan nonformal dan informal semakin bervariasi. Pendidikan nonformal dan informal (dulu PLS) tidak lagi hanya terbatas pada layanan pendidikan seperti: layanan pendidikan keaksaraan, layanan pendidikan anak usia dini nonformal, layanan pendidikan kesetaraan (paket A, paketB, dan paket C), serta layanan pendidikan kecakapan hidup. Memasuki akhir tahun 2000-an, layanan pendidikan nonformal dan informal (sekarang dengan sebutan pendidikan anak usia dini, nonformal dan informal/PAUDNI) mencakup spekrum yang lebih luas, seperti tema pengarus utamaan gender (mainstreamin gender), parenthing, dan pengembangan kelembagaan satuan PNF menjadi kajian di bidang pendidikan masyarakat (Dikmas).Bidang pendidikan anak usia dini sekarang sudah mencakup bidang pendidikan anak usia dini formal seperti TK/RA. Pendidikan kecakapan hidup tidak lagi hanya berbicara sebatas penguasaan keterampilan tertentu, tetapi juga telah mencakup tentang aspek kewirausahaan, penataan kelembagaan, partisipasi masyarakat, dan sinergitas antar komponen kepublikan.
Dengan semakin luasnya spectrum layanan pendidikan nonformal dan informal (baca: PAUDNI), lembaga penyelenggara program dalam bentuk satuan pendidikan juga semakin bervariasi. Melengkapi satuan pendidikan yang telah ada sebelumnya seperti, PKBM, TBM, dan satuan pendidikan lainnya, saat ini juga telah ada layanan satuan PAUDNI sejenis seperti : Balai Belajar Bersama, Mobil Pintar, Rumah Pintar, dan lainnya. Lembaga satuan PAUDNI ini lahir untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan pengguna lainnya akan layanan pendidikan nonformal dan informal yang bermutu.Kehadiran berbagai layanan Satuan PAUDNI sejenis ini dengan berbagai variasi layanannya merupakan jawaban atas harapan terhadap PNFI untuk jadi solusi dan jalan baru bagi dunia pendidikan yang mencerdaskan, mencerahkan, inklusif dan berkeadilan serta efektif membangun karakter masyarakat dan bangsa.

“RUMAH BELAJAR” sebagai Konsep Baru Satuan PAUDNI Sejenis
Salah satu varian baru layanan satuan PAUDNI sejenis adalah “Rumah Belajar” yang dirintis oleh Seksi Fasilitasi Sumberdaya BPPNFI Regional V Makassar dalam bentuk rintisan sebagai percontohan pemberdayaan satuan PAUDNI.Mengapa “Rumah Belajar?” Konsep ini
berangkat dari filosofi “Rumah” serta fungsi dan kedudukannya dalam masyarakat, khususnya masyaralat Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar.Secara sosio budaya, “Rumah” tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, tetapi juga merupakan focus spiritual dan fisik bagi penghuninya, dengan assosiasi metafisik yang mencari vitalitas, perlindungan dan harmoni (Farid Makkulau – Kompasiana, 2011). Bahkan dalam kepercayaan orang Bugis (dan mungkin juga masyarakat lainnya), membangun “Rumah” disamakan dengan menciptakan hidup baru.
Demikian juga pada etnis Mandar, secara filosofis rumah dibangun di atas dasar aspek hukum dan demokrasi sebagai dua hal yang tak terpisahkan, serta aspek ekonomi, keadilan dan persatuan sebagai tiga aspek yang saling membutuhkan. Simbol-simbol, pemilihan bentuk dan bahan, serta pemilihan waktu dalam konsep pendirian “Rumah” selalu didasarkan pada hal-hal
yang positif seperti nilai-nilai spiritual, harmoni, penciptaan kehidupan baru, makna hukum dan demokrasi, aspek ekonomi, keadilan dan persatuan. Inilah yang secara filosofis mendasari konsep pelembagaan “Rumah Belajar” untuk dijadikan rintisan program percontohan pelembagaan satuan PAUDNI, selain tentunya bahwa rumah juga memiliki fungsi-fungsi seperti: sebagai tempat tinggal yang nyaman, sebagai sumber ibadah, sebagai sumber ilmu, dan sebagai sumber pendapatan. Melalui program-program yang dikembangkan di “Rumah Belajar”, masyarakat secara bersama-sama, saling membelajarkan, mengembangkan pendidikan yang berkarakter, dengan prinsip-prinsip demokrasi, hukum, persatuan, kemanusian dan keadilan sebagai pilarnya. Penciptaan Learning Community menuju terbentuknya Learning society melalui pelembagaan “Rumah Belajar” akan merupakan investasi besar untuk menumbuhkan kembali modal sosial (social capital) masyarakat yang sudah mulai tergerus. Modal sosial yang dimaksud seperti: nilai-nilai kegotong royongan, empati, saling menghargai, nilai-nilai kejujuran, kemanuasian, dan modal sosial lainnya merupakan karakter dan ciri khas masyarakat kita pada masa lalu. Lalu apa yang menjadi keunggulan yang sekaligus sebagai pembeda antara antara “Rumah Belajar” dengan konsep satuan PAUDNI sejenis yang telah ada? Ini dapat dijelaskan dari dua aspek yaitu :

1. Dasar filosofi pembentukannya

Dari satuan PAUDNI sejenis yang telah ada, tidak satu pun yang memiliki dasar filosofi sebagai latar belakang pembentukannya, sehingga secara organisasi kelembagaan tidak memiliki keterikatan filosofis dengan masyarakat sebagai basisnya.“Rumah Belajar” dengan mengambil filosofi “rumah” sebagai dasar pijakan filosofis pembentukannya diharapkan dapat menjadi episentrum perubahan untuk membangun kapasitas sosial masyarakat menuju masyarakat yang berkarakter, berbudaya dan bermartabat.

2. Penekanan pada aspek percontohannya

Sebagai sebuah program rintisan yang diorientasikan untuk dijadikan percontohan, maka salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah adanya unsur atau aspek yang akan dijadikan percontohan yang dapat menjadi solusi terhadap berbagai permasalahan pelembagaan satuan PAUDNI. Konsep “Rumah Belajar” dalam pelembagaannya menawarkan gagasan implementatif untuk menjawab “bagaimana suatu lembaga satuan PAUDNI dilembagakan dan diberdayakan”. Aspek percontohan yang dimaksud adalah :

a. Metode pelembagaan “Rumah Belajar”
Dalam pelembagaannya, “Rumah Belajar” mensyaratkan dukungan dan partisipasi masyarakat, swasta, serta pemerintah pada setiap tahapannya.Prinsip “dari, oleh, dan untuk” semua tidak boleh hanya menjadi gagasan, tapi harus membumi, inilah yang menjadi prinsip berjalannya “Rumah Belajar”. Oleh karena itu, dalam proses pelembagaannya, minimal harus melalui tahapan sebagai berikut; 1) Sosialisasi; 2) Rembug Kesiapan Warga; 3) Pemilihan dan pembentukan pengurus; 4) Penyusunan Rencana Kerja; dan 5) Pelaksanaan Rencana Kerja. Keseluruhan tahapan tersebut harus dilaksanakan secara terbuka, demokratis, dengan
keterlibatan unsur masyarakat sebanyak-banyaknya.
b. Mekanisme Sinergitas
Dalam pelembagaan “Rumah Belajar” ini, aspek sinergitas menjadi sesuatu yang sangat penting, unsur-unsur yang harus diajak bersinergi adalah; unsur pemerintah, unsur swasta, dan
unsur masyarakat. Sinergi ketiga komponen ini akan melahirkan lembaga satuan PAUDNIyang referesentatif dan akuntabel. Oleh karena itu, lembaga penyelenggara program harus menyusun
mekanisme sinergitas pada setiap tahapan pelaksanaan kegiatan.Rumusan mekanisme sinergitas disusun bersama antar masyarakat, pemerintah, penyelelenggara program, dan unsur
lainnya yang memiliki potensi untuk terlibat dalam penyelenggaraan kegiatan.

Beberapa Kelemahan
Sebagai sebuah konsep baru, efektifitas implementasi “Rumah Belajar” akan sangat ditentukan oleh banyak factor. Interpretasi terhadap konsep dan petunjuk teknis akan sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan “Rumah Belajar”. Selain itu, beberapa kelemahan yang juga akan mempengaruhi tingkat keberhasilan implementasi “Rumah Belajar” antara lain:
1. Waktu Pelaksanaan yang singkat
Waktu pelaksanaan yang singkat menyebabkan kajian terhadap desain dan petunjuk teknis tidak bisa dilakukan secara optimal.Begitu juga pada sisi implementasinya, dengan durasi waktu sekitar 3-4 bulan, setiap tahapan pelembagaan “Rumah Belajar” kemungkinan tidak bisa dilakukan sesuai petunjuk teknis. Kondisi ini dapat melahirkan “Rumah Belajar” tidak dibangun di atas prinsip “dari, oleh, dan untuk semua”, dengan partisipasi masyarakat dan pemerintah yang minim.
2. Petunjuk Teknis masih sangat bersifat umum
Dengan singkatnya waktu, juga berdampak pada petunjuk teknis yang memuat konsep dan tata cara melembagaan “Rumah Belajar” yang disusun masih sangat umum. Ini akan berdampak pada adanya kemungkinan interpretasi yang berbeda-beda terhadap konsep “Rumah Belajar”. Petunjuk teknis kemungkinan tidak memuat hal-hal subtansi lainnya yang dibutuhkan.
3. Sosialisasi yang tidak maksimal
Agar implementasi konsep “Rumah Belajar” lebih efektif, pemahaman terhadap konsep yang tertuang dalam petunjuk teknis merupakan sesuatu yang penting. Membangun pemahaman konsep ini dapat dilakukan melalui sosialisasi konsep.Kelemahan ketiga dari pelaksanaan program ini ada pada aspek sosialisasi yang tidak maksimal dilakukan oleh Tim BPPNFI Regional V Makassar sebagai penggagas program.Tidak maksimalnya sosialisasi ini disebakan oleh durasi pelaksanaan kegiatan yang juga singkat.
Meskipun demikian, dengan berbagai kelemahan yang ada, kehadiran “Rumah Belajar” ini diharapkan dapat menjadi pilihan pengembangan satuan PAUDNI sejenis, sebagai ikon episentrum perubahan yang berbasis komunitas atau wilayah tertentu.

oleh : Asmuddin (Pegawai pada BPPNFI Regional V Makassar)
sumber: bppnfi-reg5.go.id

0 comments: