Konsep One Village One Product (OVOP) sebenarnya bukan kosa kata baru di bidang pemberdayaan masyarakat. Sejarah OVOP bermula dari sebuah kota kecil di Jepang yang bernama Oita sekitar tahun 2001, yang diterjemahkan sebagai “paling sedikit satu kecamatan menghasilkan satu produk unggulan”.
Konsep ini menyebar ke Thailand dengan istilah One Tambon, One Product (OTOP) yang oleh pemerintah Thailand dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan. Selain Thailand, China juga mengadopsi konsep ini dengan nama lain yaitu One Factory One Product, di Philipina dikenal dengan istilah One Barangay One Product, di Malaysia di kenal dengan nama Satu Kampung Satu Product Movement.
Di Indonesia sendiri, program pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah dengan pendekatan OVOP baru dimulai sejak keluarnya Inpres Nomor 6 Tahun 2007, yang menugaskan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk mengembangan sector ini melalui pendekatan OVOP. Bahkan pada tanggal 14 November 2009 bertempat di Nusa Dua Bali, Wakil Presiden Budiono, mencanangkan OVOP sebagai gerakan nasional. Konsep One Village One Product atau satu desa satu produk merupakan
pendekatan pengembangan potensi daerah di satu wilayah untuk menghasilkan satu produk kelas global yang unik khas daerah dengan memanfaatkan sumberdaya lokal, atau dengan kata lain, konsep OVOP ini merupakan salah satu pendekatan menuju klusterisasi produk-produk unggulan yang berskala mikro, kecil, dan menengah agar dapat berkembang dan mengakses pasar secara lebih luas, baik local, domestic, dan luar negeri.
Meskipun kampanye dan gerakan OVOP lebih banyak dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM, di bidang pendidikan khususnya pendidikan non formal dan informal, gagasan ini juga sudah mulai diadopsi untuk dijadikan sebuah model inovatif yang dapat dijadikan kerangka konsep dan rujukan untuk menjadikan OVOP sebagai pendekatan baru pemberdayaan masyarakat melalui program-program PNFI, khususnya jenis-jenis program seperti pendidikan kecakapan hidup (PKH atau life skills). Salah satunya adalah yang dilakukan oleh Pusat Kegiatan Belajar Pendidikan Nonformal (PKB-PNF) Provinsi Sulawesi
Tengah, melalui suatu kegiatan “Penyelenggaraan Pendidikan Vokasi untuk Mendorong Usaha Keluarga menuju One Village One Product”
Apa yang dilakukan oleh PKB-PNFI Provinsi Sulawesi Tengah adalah hal yang menarik untuk dicermati, selain karena gagasan ini merupakan pendekatan baru di bidang PNFI, yang mencoba untuk mendesain pembelajaran vokasional melalui pedekatan keunggulan potensi local wilayah dengan “sapuijuk” sebagai pilihan produk unggulannya, juga menarik untuk dilihat seberapa jauh pendekatan ini memberikan manfaat terhadap masyarakat terkait dengan peningkatan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan/tarafhidup, yang pada akhirnya akan melahirkan konsep baku memberdayakan masyarakat melalui
program PNFI dengan pendekatan OVOP.
Sebagai sebuah model yang diharapkan mengandung gagasan yang inovatif, penyelenggaraan pendidikan vokasi dengan basis rumah tangga dalam suatu kawasan ikatan kekerabatan keluarga dengan pendekatan OVOP. Keberhasilannya akan sangat ditentukan oleh bagaimana desain awal model itu dibangun, kerangka konsepnya seperti apa, serta model ini dibuat untuk menjawab apa.
Meskipun tidak diuraikan dengan jelas, secara garis besar model yang dikembangan oleh PKB PNFI Sulawesi Tengah berangkat dari kenyataan bahwa pelaksanaan pendidikan vokasional oleh lembaga PNF masih belum mengedepankan potensi sumberdaya lokal suatu daerah (desa), baik dari sisi sumberdaya manusianya, kelembagaannya, maupun sumberdaya alamnya, sehingga sebagian besar program-program pendidikan vokasional berujung pada kegagalan, tidak kontinyu, yang pada akhirnya tidak mampu meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sebagai outcome dan impact yang diharapkan dari penyelenggaraan program. Tidak dapat dipungkiri, bahwa program-program seperti KWK, KWD, KPP, KBU, dan program lainnya yang selama ini dilaksanakan, belum mampu menyelesaikan persoalan-persoalan pengangguran, kemiskinan, dan peningkatan kesejaheraan masyarakat. Hal-hal seperti inilah yang berusaha untuk diselesaikan melalui model ini.
Kritik terhadap Model
One Village One Product (OVOP) sebagaimana yang dikemukakan oleh Andi S. Budiman (2011) merupakan salah satu langkah menuju klusterisasi industri di sektor industri kecil dan menengah bertujuan untuk mengangkat produk-produk unggulan daerah agar dapat berkembang dan masuk ke pasar yang lebih luas. OVOP yang secara sederhana diartikan satu desa satu produk mengandung semangat pemberdayaan masyarakat desa, atau dalam bahasa Dirjen IKM Kementerian Perindustrian, OVOP ini adalah momentum “Revitalisasi
Pedesaan”. Jadi model ini juga sekaligus dapat digunakan sebagai panduan melakukan “RevitalisasiPedesaan”oleh lembaga penyelenggara program vokasi. Namun apakah model ini memenuhi kriteria untuk dijadikan rujukan pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan OVOP? Dalam penerapan konsep One Village One Product, pemilihan jenis produk yang akan dijadikan produk unggulan merupakan salah satu tahapan yang menentukan. Jenis produk yang akan ditetapkan sebagai produk unggulan harus terlebih dahulu melalui kajian dari berbagai aspek, karena produk yang dikategorikan unggul saja belum tentu sukses mengakses pasar secara lebih luas.
Pemilihan “SapuIjuk” sebagai produk unggulan di desa Maranatha meskipun telah memenuhi beberapa kriteria penetapan produk unggulan, merupakan titik lemah dari pengembangan model yang dilakukan. Ini sekaligus kritik terhadap pengembangan model yang dilakukan oleh PKB PNFI Sulawesi Tengah. Pendekatan OVOP mengharuskan untuk memilih produk unggulan yang berdaya saing tinggi dengan aspek-aspek; 1) nilai produktivitas; dan 2) potensi pasar yang berkaitan dengan nilai dan harga jual. Keunggulan nilai produktivitas meliputi kuantitas dan kualitas produk (LPPcom, 2009). Pada sisi lain, studi eksplorasi pengembangan model yang dilakukan merekomendasikan beberapa
produk unggulan yang potensial dikembangkan di Desa Maranatha seperti; komoditas bawang, cabe, dan peternakan babi. Potensi pasar (local dan domestic), mutu dan penampilan produk, serta kontinyuitas dan konsistensi produksi akan sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan program One Village One Product (OVOP) di Desa Maranatha
dengan “SapuIjuk” sebagai pilihan produk unggulannya. Pernyataan ini didukung oleh fakta bahwa:
1. Bahan baku utama (ijuk dan gagang sapu) didatangkan dari luar Desa Maranatha, bukan merupakan sumberdaya alam lokal. Ini berakibat pada tidak terjaminnya pasokan serta menyumbang pada bertambahnya biaya produksi.
2. Pengembang model tidak menguraikan hasil analisis potensi pasar, termasuk analisis pesaing, padahal di pasaran banyak produk yang sejenis dengan mutu dan penampilan produk yang lebih baik.
Dua fakta di atas akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan tujuan pendekatan OVOP yang menjadi tema dan gagasan inovatif dari model yang dikembangkan, khususnya pada hal-hal yang terkait dengan 1) pengembangan produk unggualan daerah yang memiliki potensi pemasaran local, nasional, dan internasional; 2) pengembangan dan peningkatan kualitas produk agar dapat bersaing dengan produk lainnya; serta 3) peningkatan pendapatan masyarakat setempat.
Kritikkedua, dari aspek pelembagaan dan penguatan kelompok. Dalam laporan draf model, ruang lingkup model tidak mencakup pelembagaan dan penguatan kelompok. Dengan konsep satu desa satu produk, dalam ide besar “revitalisasi pedesaan” OVOP sangat mengandalkan usaha mikro, kecil dan menengah serta koperasi sebagai ujung tombak yang bisa dilahirkan dari pelembagaan dan penguatan kelompok. Padahal pelembagaan dan penguatan kelompok (misalnya koperasi pengrajin sapu ijuk) akan dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan di sector usaha kecil dan menengah, seperti akses pasar, pembiayaan, dan posisi tawar.
Kritikketiga, dari aspek kemitraan. Meskipun mitra kerja telah dijadikan bahagian dari ruang lingkup pengembangan model, pengembang model masih belum maksimal menyusun lembaga-lembaga mitra yang akan dilibatkan beserta peran masing-masing. Hasil pengamatan dan wawancara di lapangan juga menunjukan bahwa meskipun telah ada lembaga-lembaga mitra yang ditetapkan, tetapi bentuk nyata keterlibatannya masih belum jelas.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk masuk secara teknis dalam tahapan pengembangan model yang dilakukan, tetapi dengan dukungan dana yang relatif besar (Rp. 150.000.000), PKB PNFI Sulawesi Tengah seharusnya bisa menghasilkan model final (master model) yang benar-benar aplikatif, layak terap, dibutuhkan oleh stakeholders, serta berangkat dari kajian lapangan dan dasar pemikiran untuk memberikan solusi permasalahan-permasalahanpenyelengaraan program vokasional.
*): Tulisan ini merupakan catatan atas kunjungan ke lokasi pengembangan model Di Desa Marathana Kab. Sigi biromaru Sulteng
Oleh: Asmuddin Staf Seksi Fasilitasi Sumberdaya BPPNFI Reg. V Makassar
0 comments:
Post a Comment