Tuesday, April 17, 2012

Privatisasi Pendidikan Nonformal

Secara terminologi privatisasi adalah pengalihan pengalihan kepemilikan dari milik umum (publik atau negara) menjadi milik pribadi. Terminologi privatisasi ini sering dikaitkan dengan kepemilikan aset perusahaan yang berorientasi jasa atau industri. Namun demikian privatisasi kini secara tidak disadari sudah merambah dunia pendidikan nonformal, dan sudah menjadi ideologi yang bisa jadi mengurangi tanggung jawab pemerintah dalam menyelenggarakan satuan pendidikan nonformal.

Simak saja pasal 102 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, yang berbunyi “Pendidikan nonformal diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat”. Apa makna dari ayat tersebut? Artinya penyelenggaraan pendidikan nonformal menganut asas dari-oleh-untuk masyarakat. Pemerintah atau negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator, bukan penyelenggara. Perlu diingat pasal tersebut tidak merujuk hanya pada satu jenis satuan pendidikan, namun merujuk pada jalur pendidikan nonformal secara keseluruhan.

Adanya pasal ini pemerintah tidak bisa dituntut untuk menyelenggarakan satuan pendidikan nonformal melalui unit pelaksana teknisnya. Artinya, ketika UPTD Sanggar Kegiatan Belajar sebagai satu-satunya instansi pemerintah di kabupaten/kota yang menyelenggarakan satuan pendidikan nonformal secara hukum tidak bisa menuntut pemerintah untuk mengalokasikan anggarannya guna penyelenggaraan pendidikan nonformal di SKB.

Namun terkadang logika hukum bertentangan dengan nilai yang dianut. Privatisasi berasal dari nilai-nilai kapitalis. Karena secara teori, privatisasi membantu terbentuknya pasar bebas, mengembangnya kompetisi kapitalis, yang oleh para pendukungnya dianggap akan memberikan harga yang lebih kompetitif kepada publik. Sementara nilai Pancasila mengajarkan harus ada keseimbangan antara kepentingan publik dan kepentingan individu. Ketika privatisasi diaplikasi pada pendidikan nonformal, maka masyarakat miskin akan semakin sulit untuk mendapatkan layanan pendidikan nonformal yang berkualitas dan murah.

Pada suatu kesempatan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) diperbandingkan dengan lembaga kursus dan pelatihan (LKP), hal ini dapat dipahami membandingkan lembaga publik dan lembaga privat yang memang iklim kerja, kultur, dan organisasinya berbeda. Apalagi di era otonomi daerah SKB ibaratnya berjuang untuk hidup saja susah karena asupan gizinya yang kurang. Kecuali jika SKB diperbolehkan untuk bergerak layaknya sebuah lembaga privat, saya pikir banyak pamong belajar yang kreatif bisa mengembangkan layanan pendidikan nonformal kepada masyarakat secara berkualitas.

Saya pikir ketiadaan SKB dalam peraturan perundangan secara nasional merupakan salah satu bentuk pengalihan tanggung jawab negara kepada masyarakat. Memang benar banyak alokasi anggaran bantuan sosial untuk masyarakat yang dapat diakses oleh lembaga penyelenggara pendidikan nonformal yang diselenggarakan masyarakat. Namun bentuknya adalah bantuan dana untuk kegiatan, pemerintah sama sekali tidak memberikan dana untuk belanja modal dan belanja pegawai. Belanja modal dan belanja pegawai itu tetap saja dibebankan kepada lembaga. Dalam hal inilah ada upaya pengalihan tanggungjawab negara, ada beban belanja modal yang harus dipikul oleh lembaga penerima bantuan.

Berbeda jika satuan pendidikan nonformal diselenggarakan oleh pemerintah, misalnya SKB, semua komponen anggaran belanja ditanggung oleh pemerintah kabupaten/kota. Dengan demikian SKB bisa menyelenggarakan satuan pendidikan nonformal lebih murah sehingga bisa diakses oleh masyarakat marjinal.

Karena itulah harus ada upaya untuk mengembalikan kedaulatan pendidikan nonformal, yaitu pemerintah harus ikut berperan dalam menyelenggarakan pendidikan nonformal. Tidak sekedar pada tataran pengelolaan saja, yaitu regulator dan fasilitator. Langkah itu dapat dilakukan dengan memberdayakan Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Pemerintah harus menerbitkan payung hukum bagi SKB yang berlaku secara nasional. Jika belum diatur dalam Undang-Undang atau pun Peraturan Pemerintah, bisa diatur paling tidak dalam aturan setingkat menteri (Permendikbud).

Hal tersebut tidak akan bertentangan dengan pasal 102 ayat (3) sebagaimana dikutip di awal tulisan, karena pasal 16 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan jaminan bahwa “Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat”. Artinya pendidikan nonformal sebagai jalur pendidikan dapat diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah. Sebagaimana pada jalur pendidikan formal ada sekolah negeri dan sekolah swasta, sedangkan di jalur pendidikan nonformal ada lembaga pemerintah yaitu SKB dan satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat yaitu PKBM, LKP, satuan PAUD dan satuan pendidikan nonformal lainnya.

Jika benar upaya tersebut tidak diakomodasi maka sama halnya pendidikan nonformal dibawa ke arah privatisasi, dan itu sama saja ke arah liberalisasi. Dan sekali lagi, jika benar terjadi, saya yakin para pendiri republik ini akan menangis melihat nasib dunia pendidikan nonformal yang sudah terkapitalisasi. Sudah menjauh dari nilai Pancasila itu sendiri.

sumber : http://fauziep.blogdetik.com/

0 comments: