Sebagian besar kaum perempuan di negeri ini adalah penderita buta aksara/buta huruf. Dari tahun ke tahun jumlah mereka belum mengalami penurunan secara signifikan. Pada tahun 2007, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data yang menunjukkkan bahwa perempuan penderita buta aksara sebanyak 12,3% dari 211.063.000 jiwa. Pada 2010, Ditjen Pendidikan Nonformal dan informal (PNFI) Kemdiknas (2010) menyebutkan jumlah perempuan buta aksara sekitar 65% atau 5,46% dari jumlah total 8,4 juta jiwa. Adapun dari data mutakhir yang dirilis Kemdiknas (2011) diketahui jumlah perempuan buta aksara masih sekitar 5,3 juta jiwa dengan usia 15 tahun ke atas
Fenomena sebagaimana disebutkan mengindikasikan bahwa upaya pengentasan perempuan dari buta aksara masih terseok dalam jalan yang terjal. Dengan kata lain upaya itu belum efektif dan memerlukan perhatian yang serius dari pemerintah, khususnya stakeholder pendidikan juga dari masyarakat secara umum.
Diskriminasi Pendidikan
Buta aksara merupakan sumber kebodohan, Mengapa? Sebab penderitanya tidak mampu membaca. Membaca merupakan sarana untuk mengakses informasi. Sebagian besar sumber informasi itu berujud tulisan atau aksara. Mereka juga gagap teknologi dan informasi terkini mengenai kemajuan zaman. Mereka ibarat terkungkung dalam sebuah tempurung. Hal ini membuat wawasan mereka sempit, kerdil, dan picik.
Tentu sangat menyedihkan jika penyakit buta aksara itu diderita oleh sebagian besar kaum perempuan negeri ini. Bagaimana tidak, mereka juga soko guru atau pilar utama penyangga bangsa ini. Jika kaum perempuan sudah bodoh dan terbelakang, nasib generasi mendatang dikhawatirkan akan terbengkalai.
Apa yang memicu masih tingginya jumlah kaum perempuan yang menderita buta aksara? Menurut Bambang Sudibyo (2008), setidaknya ada tiga hal yang memicu tingginya angka itu. Pertama faktor kemiskinan. Memang kemiskinan tidak hanya menyebabkan buta aksara pada kaum perempuan, tetapi juga pada kaum laki-laki. Itu karena kemiskinan menghambat orang untuk mengembangkan bakat dan potensinya. Logika sederhananya, misalnya orang miskin, setiap hari ia tak lepas dari persoalan makan atau bertahan hidup. Maka, Jangankan untuk mengenyam pendidikan atau setidaknya belajar baca tulis, untuk makan saja mereka susah.
Benar ada sebagian orang miskin yang sukses. Namun jumlahnya sangat sedikit. Mereka hanya orang-orang miskin yang memeiliki tekad, kemauan, cita-cita, dan semangat besar untuk maju. Mereka tidak menjadikan kemiskinan sebagai penghalang, sebaliknya, kemiskinan dijadikan sebagai pelecut semangat sekaligus peluang untuk menggapai keberhasilan. Tidak mengherankan bila orang-orang seperti itu sukses, entah menjadi pengusaha,kaum intelektual, pengajar, politikus, dan sebagainya. Oleh karena itu strategi pemberantasn buta aksara dengan target orang-orang miskin, harus lebih banyak ditekankan pada upaya-upaya penyadaran eksistensi, pemupukan motivasi, dan disertai pen=mberdayaan potensi.
Kedua, faktor diskriminasi pendidikan. Tidak dipungkiri sejak berabad-abad lalu perempuan yang mengenyam pendidikan dianggap tabu. Selain itu menurut asumsi masyarakat kita tugas perempuan itu hanya di dapur, kasur, dan sumur. Jadi tidak perlu sekolah. Bahkan budaya feodal dan patriarkis itu menempatkan perempuan sebagai objek pelengkap atau orang kedua. (the second people) setelah kaum laki-laki.
Itulah sebabnya perempuan sering mendapat pendidikan lebih rendah ketimbang laki-laki. Akibatnya perempuan menjadi kurang mahir baca tulis dan tidak bisa mengoptimalkan potensi yang mereka miliki. Padahal, baca-tulis merupakan fundamental sekaligus jendela untuk melihat dunia. Perempuan yang buta aksara akan melihat dunia dengan sempit karena informasi yang diterimanya sangat sedikit.
Karena akses untuk emngenyam pendidikan terbatas, wajar jika kaum perempuan tidak benyak memiliki keahlian yang bisa dijadikan nilai tawar guna memasuki dunia kerja. Dengan keahlian minim itu pula tidak ada lapangan kerja yang bisa mereka masuki. Selain menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) pemantu rumah tangga, buruh pabrik, buruh toko, dan pekerjaan rendah lainnya. Keteika bekerja di Luar negeripara TKW yang buta aksara itu sering mendapatkan perlakuan kurang manusiawi tanpa bisa berbuat apa-apa.
Ketiga, faktor diskriminasi gender. Diskriminasi itu menyebabkan perempuan sulit mengakses pendidikan, mendapat fasilitas kesehatan dan perlindungan dalam hukum, serta terlibat dalam pembuatan kebijakan. Oleh karena itu, UNICEF (2007) menyeru anggotanya untuk menaruh perhatian pada keadilan gender sebagai agenda utama abad ini. Keadilan ini dimaksudkan untuk menciptakan dunia yang adil dan toleran, kala tanggungjawab diemban bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan.
Selain itu, dengan ditegakkannya keadilan gender, diharapkan tidak akan terjadi lagi pembatasan akses pendidikan dan informasi terhadap kaum perempuan.
Melek Aksara
Kita tentu tidak ingin generasi yang akan datang menjadi terbelakang lantara para ibu mereka masih menderita buta aksara. Maka sudah saatnya pemerintah, masyarakat, dan stakeholder di tingkat pusat maupun lokal mengoptimalkan kerja pemberantasan buta aksara. Salah satunya dengan mengoptimalkan program belajar melek akasara berbasis bahasa daerah ataupun bahasa ibu. Sebagai contoh, diwilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta bahasa Jawa- yang merupakan Bahasa Ibu-dijadikan sebagai dasar guna mempelajari bahasa nasional. Artinya ketika penderita buta aksara sudah menguasai bahasa Jawa, mereka lantas diperkenalkan dan diajarkan untuk menguasai bahasa Indonesia. Mengapa harus melalui bahasa ibu lebih dahulu ? Sebab itu sesuai dengan asumsi bahasa ibu merupakan sosok paling dekat dan familier dengan penderita buta aksara. Sejak tahun 2010 lalau, Pemerintah sebenarnya telah menerapkan satu skema bersama UNESCO yang disebut life iteracy initiative for empowerment (LLIFE). Menurut Hamid Muhammad (2010) arah program LLIFE itu bukan sekedar me-melek-huruf-kan saja, melainkan juga memberdayakan perempuan baiks ecara ekonomi, sosio kultural, maupun lingkungan hidup. Dengan begitu, mereka baru akan belajar buta aksara ketika kecakapan hidup sudah dikuasai.
Selain itu, gerakan pembebasan buta aksara, sebagaimana tertuang dalam instruksi presiden No. 5 tahun 2006, harus dilakukan dengan mengerahkan seluruh kekuatan, mulai presiden, menteri terkait, gubernur, walikota/bupati, camat, samapi kepala desa.
Adapaun pendekatan horizontal menurut Agus Wibowo (2008) dilakukan dengan melibatkan berbagai ormas, seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan lain-lain. Itu artinya segenap pihak harus bekerjasama menyatukan komitmen, dan menjadikan buta aksara sebagai musuh bersama (common enemy)
Sudah saatnya kaum perempuan mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan seluas-luasnya. Pemerintah bersama para stake holder harus bahu membahu menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan mereka. Pendonor dan penyandang dana pun harus mengubah orientasi beasiswa.
Jika semula kesempatan mendapatkan beasiswa lebih banyak untuk kaum laki-laki, saat ini harus adil, artinya laki-laki dan perempuan punya hak yang sama dalam memperoleh beasiswa. Selain itu, penyediaan beasiswa sendiri dilakukan secara proporsional, artinya berdasarkan kuantitas dan kualitas perempuan.
Ormas dan organisasi keagamaan harus menjadi ujung tombak pemberantasan buta aksara bagi kader mereka. Melalui majelis pendidikan yang ada disetiap cabang, kedua organisasi massa tersebut bisa bekerjasama dengan pemerintah untuk melakukan sosialisasi tentang pentingnya pendidikan kepada masyarakat.
Selain melalui majelis pendidikan, kedua ormas tersebut bisa memberdayakan organisasi otonomnya. Misalnya NU, melalui gerakan Fathayatnya, atau Muhammadiyah melalui Nasyiyatul Asyiyah, harus menjadikan forum-forum pengajian keagamaan menjadi media pembelajaran yang efektif, artinya forum-forum itu tidak hanya menyuguhkan wacana-wacana dalam hal amaliyah keagamaan, tetapi juga menyuguhkan aspek-aspek yang mendukung program pengentasan Buta aksara.
Melalui kegiatan tersebut, kaumperempuan harus disadarkan akan pentingnya arti pendidikan dan melek huruf bagi mereka. Kesadaran semacam itu akan mendorong mereka untuk terus berusaha mendapatkan pelatihan, pendidikan dan pengajaran.
Institusi dan lembaga pendidikan harus menjadi media transformatif bagi pemberantasan buta aksara. Artinya model pembelajaran selalu melibatkan siswa pada kesadaran, kehidupan nyata, atau hubungannya dengan orang lain. Singkatnya peserta didik dilatih menekuni pekerjaannya sebagai sarana menemukan makna baru, sekaligus memahami karya itu sebagai objek budaya
Oleh : Siti Fathimatuz Zahroh (pemerhati pendidikan)
Sumber : Media Indonesia 12 September 2011
Sunday, September 18, 2011
PENDIDIKAN BAGI KAUM PEREMPUAN BUTA AKSARA
Posted by dwee pasmah on 3:17 AM
0 comments:
Post a Comment