Monday, September 19, 2011

ALFABETISASI DAN LITERASI

Ada kegamangan dalam kebijakan pendidikan kita ketika dihadapkan dengan fakta dan anagka. Kebijakan pendidikan terutama dalam hal angka, akan dengan cepat menghitung skala prioritas secara alfabetis dan bahasa anggaran selalu longgar. Namun jika berkaitan dengan fakta, kenijakan tersebut selalu menghindar dan selalu mengatakan keterbatasan. Inilah yang kita lihat dalam kebijakan tentang melek aksara ditengah-tengah masyarakat kita, yaitu meningkatnya jumlah angka buta huruf, tetapi tidak ada data dan definisi pasti tentang melek budaya dan sejenisnya.
Masalah melek aksara atau literasi merupakan bagian terpenting dalam proses humanisasi disetiap negara manapun. Karena begitu pentingnya melek aksara ini, Los Angeles Times (2009) pernah memuat laporan khusus tentang hal itu dengan menyebut melek akasara sebagai sebuah keterampilan yang dapat mendorong tercapainya cita-cita negara dalam berdemokrasi.
‘No skill is more crucial to the future of a child, or to e democratic and prosperous society, than literacy.’ Melek aksara dengan demikian merupakan tumpuan masa depan anak-anak sekaligus tumpuan kehidupan demokrasi di seluruh dunia. Tidak ada satupun negara didunia ini, baik penganut sistem demokrasi terbuka maupun tetutup, yang tak menyebutkan soal melek akasar sebagai isu politik dan kemanusiaan.
Abdul Qadeer Khan, saintis dan ahli nuklir kontroversial asal pakistan, bahkan banyak menginisiasi program-program buta aksara dalam kampanye program-program nuklirnya. Baginya, program nuklir bisa menjelma menjadi lapangan pekerjaan masif yang dapat menyejahterakan rakyat banyak. Dengan meyakini hadis nabi bahwa kemiskinan merupakan pangkal kekafiran dan kebodohan, Khan percaya akar kemiskinan, sikap tidak toleran, kebendian, dan kekerasan adalah kebodohan. “Hatred, intolerance, poor hygienic conditions and violence all have roots in literacy,’ tegas Khan. Karena itu merupakan tugas untuk semua orang, pemerintah dan masyarakat
Jika melek aksara identik dengankecerdasan dan buta aksara (illiteracy) adalah kebodohan, dalam dunia pendidikan kedua terminologi ini harus dikaji dengan serius, baik secara budaya maupun secara sosial. Sebab jika kondisi ini hanya dimaknai dengan ketidakmampuan baca tulis, idiom tentang ragam kecerdasan (multiple intelligence) ala Gardner (2006) pastilah tak mendapat rujukan. Karena itu ada baiknya juga jika terminologi buta aksara diimbangi dengan melihat sisi lain dari ragam bakat dan minat masyarakat, terutama dalam berkomunikasi antar sesama mereka.
Kesadaran tentang hal itu menjadi penting, terutama jika dikaitkan dengan kebijakan pendidikan dalam sebuah negara. Dalam konteks buta aksara ada baiknya bila adaptasi Paulo Fraire tentang pengaksaraan dan keterbacaan (alfabetisasi dan literasi ) ditelaah. Dalam pandangan Fraire, pendidikan harus memberi keleluasaan kepada setiap orang untuk mengungkapkan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata orang lain. Maka itu peserta didik harus di beri kesempatan untuk menyampaikan dengan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata sang pendidik. Atas dasar itula Fraire mengatakan bahwa proses pengaksaraan dan keterbacaan (alfabetisasi dan literasi pada tingkat paling awal sekali dalam proses pendidikan haruslah benar-benar merupakan suatu proses yang fungsional, bukan sekedar kegiatan teknis yang mengajarkan huruf-huruf dan angka-angka serta merangkainya menjadi kata-kata dalam kalimat-kalimat yang sudah tersusun secara mekanis.
Pengalaman Fraire di Brasil dan Cile dalam dialognya dengan kaum petani miskin dan buta huruf menunjukkan bahwa pengaksaraan dan keterbacaan akan lebih mudah dipahami jika menggunakan perbendaharaan kata-kata yang digali dari berbagai ‘tema pokok’ (generative themes) pembicaraan sehari-hari masyarakat petani itu. Sebab itu pelaksanaan konsep pendidikan melek huruf fungsional ala Fraire ini dekenal dengan tiga tahapan utama.
Pertama, tahap kodifikasi dan dekodifikasi melalui serangkaian tahap pendidikan melek huruf elementer, seperti gambar-gambar dan cerita rakyat.
Kedua, tahap diskusi kultural, sebagai tahap lanjutan dalam suatu kelompok-kelompok kerja kecil yang sifatnya problematis dan menggunakan ‘kata kunci’.
Ketiga, tahap aksi kultural, tahap praksis yang sesungguhnya tindakan setiap orang atau kelompok menjadi bagian langsung dari realitas.
Meskipun pernyataan-pernyataan Fraire sering kontroversial, meletup-letup, dan memancing banyak pertanyaan bahkan juga kritik, fakta yang diajukannya merupakan realitas tak terbantahkan dihampir semua negara dunia ketiga. Atas dasar itulah konsep pendidikan Fraire sampai sekarang tetap bernisbah untuk dikaji , dikembangkan dan dipertimbangkan terus oleh setiap pemangku kebijakn bidang pendidikan. Apalagi mengingat anak-anak disekolah merupakan para pemakai bahasa ibu yang secara budaya sengat dekat dengan lingkungan sekitar mereka.
Yvonne S Freeman dan David. E dalam Whole Language for second Language leaners (1992), menyebutkan signifikansi penggunaan bahasa ibu sebagai pengantar disekolah sebelum bahasa kedua dikuasai anaka akan mampu menghasilkan prestasi yang lebih baik bagi anak-anak dimasa datang. Harus ada cara yang secara pedagogis mempu membuat anak nyaman ketika mereka mengalami peralihan dari bahasa ibu ke bahasa indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah. Itu artinya proses pengaksaraan dan keterbacaan jelas harus meninmbang unsur budaya dan konteks lokal secara luas dan tajam

oleh :Ahmad Baedowi
sumber : Media Indonesia september 2011

0 comments: