Wednesday, March 23, 2011

MEMBANGUN INSAN CERDAS MELALUI PERCEPATAN PEMBERANTASAN BUTA AKSARA

Membaca merupakan kunci memasuki dunia pengetahuan yang maha luas. Membaca adalah jembatan untuk menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan ke dalam kehidupan sampai tercapai tatanan yang lebih baik dan sejahtera. Membaca juga merupakan proses awal dalam sebuah perubahan menuju masyarakat bangsa yang maju dan madani.

Dalam “EFA Global Monitoring Report, Literacy for Life (2006), UNESCO menyimpulkan terdapat korelasi yang kuat antara kemampuan membaca dengan investasi dan kinerja seseorang. Membaca (keaksaraan) akan mempermudah seseorang untuk memahami informasi terkait bidang kerja dan berbagai aspek lain menyangkut peningkatan kualitas hidup. Laporan tersebut menilai bahwa masalah buta aksara merupakan masalah yang dimiliki oleh sebagian besar negara-negara dunia yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Kebutaaksaraan sangat terkait dengan kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan serta ketidakberdayan suatu masyarakat. Hal ini sangat berkaitan dengan sejarah suatu bangsa dimana umumnya negara-negara miskin dan korban jajahan memiliki penduduk dengan tingkat buta aksara yang tinggi.

Namun demikian, buta aksara sesungguhnya tidak hanya ada di negara-negara berkembang dan berpenduduk besar tetapi juga di negara-negara maju termasuk Inggris dan Amerika Serikat. Bedanya, saat ini mereka sudah terbebas, sementara negara-negara bekas jajahan mereka masih menjadi penyandang buta aksara yang besar. Demikian pula dengan Amerika Serikat dimana tingkat buta aksara yang dialaminya dipengaruhi oleh dua masalah utama yaitu tingkat kelahiran dan komposisi etnis.

Laporan Antara tanggal 2 Mei 2008, menyebutkan bahwa pada tahun 1990, tiga orang ahli dengan berbagai spesialisasi yaitu Amartya Sen, Mahbud ul Haq serta Gustav Ranis mengembangkan suatu ukuran komperatif. Ukuran ini mengadopsi tiga hal utama yang diyakini paling mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia, yaitu umur harapan hidup (life expectancy), tingkat melek aksara (literacy), kombinasi tingkat siswa yang mendaftar di sekolah dasar, menengah dan tinggi (gross enrollment ratio), serta tingkat kesejahteraan (product domestic bruto). Ukuran itu dinamakan Human Development Index (HDI). Dan Indonesia ditempatkan pada posisi 108 dari 177 negara.

Sementara itu, tingginya tingkat buta aksara di Indonesia disebabkan oleh lima penyebab utama, yakni tingginya angka putus Sekolah Dasar (SD), beratnya kondisi geografis Indonesia, munculnya penyandang buta aksara baru, pengaruh faktor sosiologis masyarakat, serta kembalinya seseorang menjadi penderita buta aksara.

Pemberantasan buta aksara merupakan pekerjaan yang tidak mudah, namun juga tidak mustahil uuntuk dilakukan. Upaya pemberantasan buta aksara saat ini dilakukan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.

Pengalaman pemerintah Indonesia sejak tahun 1970-an menunjukkan tingkat pemberantasan buta aksara tidak terlalu stabil, namun dari tahun ke tahun menunjukkan perkembangan yang semakin baik. Pada tahun 2006, penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang buta aksara menurun 8,07 persen atau 12.881.080 orang. Dari jumlah tersebut, 68,5 persennya adalah perempuan (Depdiknas, 2006). Penduduk Indonesia yang masih buta aksara umumnya berdomisili di pelosok pedesaan maupun di daerah-daerah terpencil. Pemerintah bertekad untuk menurunkannya hingga lima persen pada tahun 2009. Ini berarti pada tahun 2009 mendatang sekitar 7,5 juta pnduduk harus sudah melek aksara. Data BPS menunjukkan, setiap tahunnya pemerintah hanya mampu memberantas buta aksara antara 150.000-200.000 orang. Apabila tidak dilakukan suatu terobosan dalam pelaksanaan pemberantasan buta aksara, maka dibutuhkan sekitar 12,5 tahun untuk mencapai angka buta aksara 5 persen.

Dengan target penurunan angka buta aksara menjadi 7,7 juta orang pada akhir tahun 2009 berarti tingkat pemberantasan buta aksara selama periode tahun 2007-2009 harus mencapai 13,4 persen per tahun. Suatu angka yang tidak kecil dan menuntut kerja keras semua pihak, baik dari birokrasi, dalam hal ini Depdiknas dan Dinas Pendidikan di Provinsi, kabupaten/kota serta mitra dari LSM. Masalah pendanaan bukan lagi kendala setelah pemerintah berkomitmen mengalokasikan dana yang cukup besar bagi pemberantasan buta aksara (PBA), misalnya tahun 2007 dalam APBD setiap daerah disiapkan Rp. 247,4 miliar. Persoalan justeru muncul pada ketersediaan sumber daya manusia (SDM) pelaksana di lapangan.

Pemberantasan buta aksara di Indonesia memasuki babak baru. Seperti yang di kutip dari Antara News 2 Mei 2008, Ibu Negara RI Ani Bambang Yudhoyono, memimpikan pada suatu hari nanti semua rumah di Indonesia akan menjadi rumah pintar, dan setiap anak Indonesia menjadi pintar. "Indonesia menjadi negara paling makmur di dunia," kata Ibu Ani pada presentasi di Sidang UNESCO bertajuk "UNESCO Regional Conferences In Support of Global Literacy", yang berlangsung di Beijing, China, akhir Juli 2007. Dalam dialog dengan para ibu negara dari sembilan negara, yaitu Amerika Serikat, Australia, Jepang, Korea Selatan, Thailand, dan Brunei Darussalam, Ibu Ani memperkenalkan tiga program yang berasal dari buah pemikirannya sendiri, yaitu Mobil Pintar, Motor Pintar, dan Rumah Pintar. Ketiga program ini sebenarnya telah digagas sejak tahun 2005 bekerjasama dengan Universitas Negeri Jakarta dan Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB). Pertimbangan yang paling mendasari gagasan ketiga program ini adalah sangat sulitnya masyarakat menjangkau perpustakaan. Dengan program Mobil dan Motor Pintar, masyarakat akan didatangi. Oleh karena itu, diharapkan program ini dapat meningkatkan minat baca masyarakat dan semakin mempercepat pemberantasan buta aksara.

Pendirian Taman Bacan Masyarakat (TBM) merupakan sarana yang cukup efektif dalam upaya pemberantasan buta aksara. Taman Bacaan Masyarakat merupakan bagian dari perpustakaan yang secara umum dapat memberikan pelayanan kebutuhan membaca di kalangan masyarakat. Pendirian TBM dapat mempercepat pemberantasan buta aksara, juga dapat menciptakan masyarakat gemar membaca (socity reading). Dengan semakin tinggi intensitas membaca seseorang, akan semakin banyak informasi dan pengetahuan yang diserap. Dampaknya memperkuat basis kecakapan hidup dan kompetensi yang dimiliki seseorang yang berujung pada meningkatnya kualitas kerja.

Selanjutnya kesuksesan pelaksanaan program pemberantasan buta aksara di berbagai pelosok tanah air diharapkan akan memperbaiki Human Developmen Indeks (HDI) yang saat ini berada di rating 108 dari 177 negara di dunia. Tapi di balik itu semua yang terpenting adalah lahirnya insan Indonesia yang cerdas, kreatif dan mandiri berkat membaca. Dan setelah itu tentu saja baru kita bisa dengan lantang mengatakan Bangkit Indnesia, Merdeka !

Oleh : Fauziah Rahmah Lubis (Pamong Belajar BPPNFI Regional 1 Medan)
sumber : www.bppnfi-reg-1.go.id

0 comments: