Tuesday, October 4, 2011

PANDANGAN HOLISTIK (PENDIDIKAN ANAK SEUTUHNYA)

Menghadapi tantangan abad ke 21 ini pendidikan mesti mampu mengubah paradigmanya dari yang fragmented menjadi pendekatan holistik yang menempatkan pendidikan dalam sebuah konteks lingkungan yang saling terkait (Holistic approach).
Kata HOLISTIC memiliki arti menyeluruh yang terdiri dari kata HOLY and HEALTHY. Pandangan holistik bermakna membangun manusia yang utuh dan sehat, dan seimbang terkait dengan seluruh aspek dalam pembelajaran; seperti spiritual, moral, imajinasi, intelektuan, budaya, estetika, emosi, dan fisik.
Terjadinya berbagai bencana kerusakan di lingkungan semesta diakibatkan ulah-ulah manusia, menyadarkan kita bahwa pendidikan kita kurang mampu mewujudkan keseimbangan antara kehidupan manusia di alam semesta. Memberikan kesadaran kepada para siswa akan kehidupan di abad ke 21 yang diwarnai oleh kehidupan masyarakat yang sangat heterogen dan permasalahan yang luar biasa terkait dengan lingkungan hidup yang semakin tercemar, konflik, peperangan, dan kemiskinan merupakan sebuah kemestian.
Sebuah kesepakatan global yang disebut GATE (Global Alliance for Transforming Education) mencanangkan perlunya transformasi pendidikan dari yang terkotak-kotak menjadi sebuah konsep yang utuh. Tujuan pendidikan menurut konsep yang utuh ini adalah untuk membangun manusia seutuhnya. Hal ini seperti yang juga termaktub dalam tujuan pendidikan nasional kita. Seluruh aspek yang dimiliki anak melalui pandangan holistik ini (The whole child education) akan berkembang dengan patut termasuk kesadaran bahwa ia adalah bagian dari anggota keluarganya, sekolah, lingkungan, masyarakat, dan komunitas global.
Krishnamurti mengatakan bahwa kegagalan sistem pendidikan untuk menjadikan manusia berwawasan holistik disebabkan pendidikan modern lebih bertumpu pada dunia sekuler, terlepas dari makna spiritual. Bagi Krishnamurti kesatuan integral adalah sakral dan segala sesuatu adalah bagian dari kesatuan integral. Oleh sebab itu segala sesuatu mesti memiliki makna yang sakral. Manusia perlu diberikan perangkat untuk mencapai pemahaman makna spiritual. Masalahnya sistem pendidikan modern sangat terspesialisasi dan telah memecahbelah keseluruhan menjadi bagian-bagian yang terpisah yang tidak lagi saling bermakna. Dalam kegiatan pendidikan konvensional seluruh potensi manusia yang dilibatkan hanya sebatas pada kognitif dan pisik semata, tanpa melibatkan aspek emosi dan spiritual.
Hakikat dari pendidikan menurut Krishnamurti ini dikemas Scott Forbes dalam tujuan pendidikan untuk mendidikan seluruh aspek yang dimiliki manusia (All part of the person), mendidikan manusia sebagai kesatuan yang utuh (The person as the whole), mendidikan manusia sebagai bagian dari keseluruhan (The person within the whole), yaitu sebagai bagian dari masyarakat, komunitas manusia, dan alam semesta.
Carol Flake mengatakan bahwa dalam menghadapi tantangan global di abad 21 ini, maka pelayanan pendidikan mesti mampu mengubah paradigma dari yang terkotak-kotak (fragmented) menjadi pendekatan ekologis. Melihat anak hanya dalam aspek kognitis semata yang diselesaikan dengan tugas-tugas akademik yang steril dan memberikan mereka mata pelajaran yang tidak saling berhubungan dengan relevan dalam konteks kehidupan nyata tidak akan mampu menumbuhkan transformasi kesadaran (consciousness). Transformasi kesadaran ini merupakan bagian dari proses pendidikan yang akan mampu meredam segala carut-marut kondisi yang terjadi dalam peradaban modern, seperti kerusakan lingkungan semesta, konflik antaretnis, dan sebagainya.
Fitjrof Capra mengungkapkan bahwa betapa pengetahuan manusia tentang sains, masyarakat, dan kebudayaan, telah terkotak-kotak sehingga manusia tidak mampu lagi melihat gambar keseluruhan dari sebuah fenomena. Akibatnya banyak solusi dilakukan manusia didekati secara terpisah sehingga membuat masalah semakin terpuruk. Inti pemikiran dari Fitjrof adalah bagaimana upaya melihat segala sesuatu secara utuh dan menyeluruh yang diistilahkannya dengan ”Multidisciplinary, Holistic Approach to reality”. Kondisi ini diperkuat dengan pernyataan David Orr bahwa akar permasalahan yang ada saat sekarang dikarenakan pemikiran manusia dididik dengan sistem pendidikan yang terkotak-kotak yang kemudian membuat manusia berfikir secara parsial.
Berdasarkan kajian di tas maka jelas bahwa pendidikan bukan semata-mata menyiapkan manusia agar dapat berperan dalam salah satu dimensi kehidupan saja, melainkan agar siap menjalani seluruh dimensi kehidupan. Untuk itu potensi anak usia dini yang perlu dikembangkan dalam proses pendidikannya sesuai dengan prinsip holistik hendaknya terkait dengan:

1. Aspek Fisik
Terkait dengan perkembangan motorik halus, motorik kasar, termasuk menjaga stamina, gizi dan kesehatan.

2. Aspek Emosi
Terkait dengan aspek kesehatan jiwa, mampu mengendalikan tekanan/stress, mampu mengontrol diri dari perbuatan negatif, memiliki rasa percaya diri,, berani mengambil risiko, dan memiliki empati.

3, Aspek Sosial
Menumbuhkan rasa senang melakukan pekerjaan, mampu bekerjasama, pintar bergaul, peduli dengan masalah sosial, berjiwa sosial dan dermawan, bertanggung jawab, menghormati orang lain, mengerti akan perbedaan dan keunikan, mematuhi peraturan yang berlaku.

4. Aspek Kreativitas
Mendorong anak untuk mampu mengekspresikan diri dalam berbagai kegiatan produktif seperti dalam dunia seni, berbahasa, berkomunikasi, dan sebagainya.

5. Aspek Spritual
Mampu memaknai arti dan tujuan hidup dan bersikap taat terhadap ajaran agama yang diyakini melalui perbuatan baik yang konsisten.

6. Aspek Akademik
Mampu berfikir logis, berbahasa, dan menulis dengan baik. Selain itu dapat mengemukakan pertanyaan kritis dan menarik kesimpulan dari berbagai informasi dengan cermat.

sumber :http://abihafiz.wordpress.com

0 comments: