Awalnya memang hanya sebatas keaksaraan, hanya masalah a, b, c ,d dan seterusnya. Memang kedengarannya bagi sebahagian orang dianggap sebagai hal yang sepele bahkan bisa diabaikan. Tetapi dari masalah yang kedengarannya sepele ini Indonesia telah ditempatkan menjadi Negara yang terpuruk di dunia Internasional. Suara Merdeka, Jumat 27 Juli 2007 menyebutkan bahwa sampai dengan pertengahan 2007 ini Human Development Index (HDI) atau disebut juga dengan Indeks Pembangunan Manusia berada pada posisi 108 dari 177 negara, dan hal itu secara faktual disebabkan oleh karena masih banyaknya penduduk yang menyandang buta aksara.
Paradigma untuk pendidikan keaksaraan secara global saat ini mengalami perluasan makna. Pendidikan keaksaraan saat ini bukan hanya berkutat pada masalah kesenjangan kecakapan membaca, menulis dan berhitung, tetapi hal itu juga menyangkut kecakapan-kecakapan tertentu dan penguasaann keterampilan praktis yang kontekstual dan selaras dengan perubahan peradaban manusia yang melahirkan konsekuensi logis tentang adanya tuntutan-tuntutan baru terhadap setiap individu. Problem seperti ini akan menciptakan kesenjangan yang hanya bisa dijembatani oleh pendidikan, khususnya pendidikan non formal. Pendidikan keaksaraan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam dunia pendidikan nonformal ini pun tidak terlepas dari tugas dan fungsinya yaitu sebagi pelengkap (suplemen), penambah (komplemen), dan pengganti (subtitusi) yang tercipta dari suatu system pendidikan secara menyeluruh.
Keterpurukan Negara Indonesia di dunia Internasional tentu saja membuat gerah kita semua, tak terkecuali Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) yang memang harus bertanggung jawab atas kondisi tersebut.
"Kalau program keaksaran fungsional (KF) diterapkan dengan baik, saya yakin itu cara paling mudah untuk meningkatkan IPM Indonesia," kata Mendiknas berkaitan dengan keterpurukan tersebut, saat membuka seminar dua hari bertema Pendidikan Serumpun Indonesia-Malaysia-Singapura, di Kota Batam, Kepulauan Riau, 17 Juni 2007(Waspada Online, 18 Juni 2007).
Dari pernyataan Mendiknas tersebut jelas bahwa untuk meningkatkan HDI caranya dengan memberantas buta aksara.
Hanya saja yang menjadi persoalan bagaimana mencari metode dan strategi yang tepat dan cepat untuk memperbaiki posisi HDI/IPM Indonesia itu.
Kita tahu bahwa buta aksara memang telah menyumbangkan angka yang tinggi bagi keterpurukan bangsa Indonesia di dunia Internasional. Masyarakat penyandang buta aksara cenderung memiliki tingkat produktivitas yang rendah karena kondisi buta aksara terkait erat dengan kebodohan, keterbelakangan, pengangguran dan ketidak berdayaan. Kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan yang di derita oleh penyandang buta aksara akan menyebabkan terbatasnya wawasan untuk berpartisipasi dalam dunia pendidikan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Kondisi kemiskinan itupun pada gilirannya melahirkan rasa tidak percaya diri sehingga apatis terhadap segala bentuk perubahan demi kemajuan dan menganggap hal itu sebagai ancaman. Hal ini kemudian memiliki kecenderungan menjadi beban orang lain dan masyarakat secara umum.
Melihat kondisi demikian maka mereka yang menyandang buta aksara harus segera di bebaskan dari jeratan problem yang melilitnya selama ini, yakni ketidak mampuan membaca, menulis dan berhitung (calistung).
Namun yang juga harus diperhatikan adalah model dan cara pendekatan yang bagaimana program pemberantasan buta aksara tersebut dapat efektif dilaksanakan? Pertanyaan tersebut patut diperhatikan karena pendidikan keaksaraan memiliki sistem dan metode pengajaran yang berbeda dari pendidikan formal yang kebanyakan orang tahu.
Pendidikan keaksaraan umumnya melibatkan orang-orang yang kurang mampu dari segi ekonomi dan usia yang telah matang dan kaya pengalaman. Berbeda dengan pendidikan formal yang umumnya dari ekonomi dapat dikatakan telah mampu dan usia yang relatif sama dalam suatu proses pembelajaran.
Fakta tersebut cukup membuat gerah kita bangsa Indonesia, tak terkecuali kita yang berada di pendidikan jalur non formal. Seperti diketahui bahwa program pemberantasan buta aksara ini bukanlah program baru kemarin, namun program ini telah ada sejak tahun 1948.
Menurut data, catatan pendidikan keaksraan dimulai pada tahun :
1. 1948 : Lahirlah sebuah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menyiratkan hak untuk melek aksara merupakan bagian integral dari hak untuk memperoleh pendidikan. Hak ini kemudian terus didengungkan pada konvensi dan deklarasi internasional yang lain.
2. Tahun 1950: Kiprah yang dilakukan oleh organisasi-organisasi internasional -– terutama UNESCO -- sangatlah berpengaruh terhadap penetapan kebijakan keaksaraan yang dilakukan oleh negara-negara di dunia, terutama negara-negara berkembang yang masih menghadapi persoalan keaksaraan. Kebijakan-kebijakan itu kemudian diterjemahkan dalam suatu rencana aksi yang pro aktif dan realistis serta aktivitas semacamnya dalam rangka terus mengembangkan dan meningkatkan pelayanan terhadap pendidikan keaksaraan. UNESCO terus mendukung perluasan keaksaraan orang dewasa sebagai bagian dari usaha bersama untuk memajukan pendidikan dasar.
3. Tahun 1957: Dilakukan survei global pertama tentang keaksaraan orang dewasa dan hasilnya langsung dipublikasikan. Pada saat yang sama, para pengambil kebijakan telah mempertimbangkan suatu strategi untuk menempatkan pendidikan dan keaksaraan sebagai media yang lebih baik dalam mengakomodir kepentingan setiap individu untuk berpartisipasi dan memanfaatkan suatu modernisasi ekonomi. Publikasi ini dan yang lainnya telah memberikan kontribusi pada standar definisi keaksaraan.
4. Tahun 1958: Konferensi UNESCO mengadopsi standar definisi keaksaraan berdasarkan publikasi hasil survei global tersebut.
5. Tahun 1960: Diadakan suatu konvesi dunia untuk melawan diskriminasi dalam bidang pendidikan, khususnya yang berkenaan dengan isu penjegalan terhadap siapa yang tidak menyelesaikan atau yang tidak dapat bersekolah di Sekolah Dasar. Pada tahun yang sama pula dan selama satu dekade berikutnya masyarakat internasional menetapkan suatu kebijakan untuk menekankan peran keaksaraan dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional, khususnya di negara-negara mandiri.
6. Tahun 1975: Deklarasi Persepolis menggambarkan keaksaraan sebagai ”fondasi hak asasi”.
7. Tahun 1978: Konferensi UNESCO merefleksikan munculnya pemahaman tentang peran keaksaraan dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional serta mengadopsi sebuah definisi Keaksaraan Fungsional yang kemudian digunakan hingga sekarang, yaitu: “Seseorang yang keaksaraannya fungsional adalah yang dapat menggunakan keaksaraan dalam seluruh aktivitasnya yang berfungsi secara efektif bagi kelompoknya dan masyarakat, juga memberikan kemungkinan baginya untuk menggunakannya dalam membaca, menulis dan berhitung bagi perkembangan dirinya sendiri maupun masyarakat.”
8. Tahun 1979: Diadakan konvensi tentang Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi Melawan Wanita. Hal ini merupakan rangkaian dari gerakan untuk melawan diskriminasi terhadap hak-hak individu terutama dalam memperoleh pelayanan pendidikan.
9. Tahun 1989: Diadakan konvensi mengenai Hak Anak Mengenali Keaksaraan. Pada konvensi ini kembali ditegaskan bahwa pendidikan adalah sebuah hak. Konvensi ini –- juga konvensi tahun 1979 tentang Penghapusan Seluruh Bentuk Diskriminasi Melawan Wanita -- berisi acuan eksplisit untuk mempromosikan keaksaraan. Pada tahun yang sama Konvensi ILO tentang Masyarakat Suku dan Orang Pribumi menyatakan bahwa dimanapun bisa dilaksanakan, anak-anak diajar untuk membaca dan menulis dalam bahasa asli mereka dan seharusnya diambil pengukuran yang cukup untuk memastikan bahwa mereka memiliki kesempatan untuk memperoleh kelancaran dalam bahasa yang resmi.
10. Tahun 1990: Deklarasi Dunia tentang Pendidikan Untuk Semua yang diadopsi di Jomtien Thailand, menempatkan keaksaraan dalam konteks lebih lebar untuk memenuhi kebutuhan pendidikan dasar bagi setiap anak, pemuda dan orang dewasa.
11. Tahun 1993: Deklarasi Viena menyebutkan bahwa seharusnyalah suatu negara memiliki itikad dan tekad untuk menghilangkan jumlah penyandang buta aksara, bertindak sebagai pihak penghubung suatu usaha untuk mendapatkan rasa hormat yang lebih besar serta melakukan perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan pribadi.
12. Tahun 1996: Ditandatangani sebuah Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politis. Garis besar isi perjanjian itu adalah menyangkut hak kaum minoritas untuk menggunakan bahasa mereka sendiri. Hal ini merupakan inspirasi dikembangkannya model pembelajaran keaksaraan melalui pendekatan bahasa ibu (mother tongue).
13. Tahun 1997: Deklarasi Hamburg kembali menekankan tentang paradigma keaksaraan sebagai ”fondasi hak asasi” sebagaimana yang telah digambarkan untuk pertama kalinya pada Deklarasi Persepolis tahun 1975. Beberapa instrumen dari Deklarasi itu menekankan pada bahasa sebagai media efektif bagi individu untuk memperoleh melek aksara.
14. Tahun 2002: Kerangka Kerja Dakkar untuk Aksi dan Resolusi General Assembly tentang Dekade Melek Aksara PBB 2003-2012, mengakui bahwa melek aksara adalah jantung pembelajaran sepanjang hayat. Resolusi tersebut juga menyatakan bahwa ”Keaksaraan adalah krusial untuk diperoleh oleh setiap anak, pemuda, dan orang dewasa, kecakapan hidup yang esensial yang memungkinkan mereka untuk menghadapi tantangan hidup dan menghadirkan sebuah langkah esensial dalam pendidikan dasar dimana ini harus ada atau sangat dibutuhkan bagi partisipasi efektif masyarakat dan perekonomian di abad 21”. Masyarakat internasional (lebih lanjut digarisbawahi dalam resolusi dimensi sosial keaksaraan) mengenali bahwa “Keaksaraan adalah jantung pendidikan dasar untuk semua dan menciptakan lingkungan dan masyarakat terpelajar adalah hal yang esensial untuk mencapai tujuan pembasmian kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, menahan laju pertumbuhan populasi, mencapai persamaan gender dan memastikan pembangunan yang berkelanjutan, kedamaian dan demokrasi.
Melihat catatan diatas jelaslah bahwa usaha pemberantasan buta aksara tersebut telah lama di lakukan, namun sejauh mana keberhasilan pemberantasn buta aksara tersebut dapat dicapai? Perlu kerjasama bagi kita semua.
"Kalau program keaksaran fungsional (KF) diterapkan dengan baik, saya yakin itu cara paling mudah untuk meningkatkan IPM Indonesia," kata Mendiknas berkaitan dengan keterpurukan tersebut, saat membuka seminar dua hari bertema Pendidikan Serumpun Indonesia-Malaysia-Singapura, di Kota Batam, Kepulauan Riau, 17 Juni 2007(Waspada Online, 18 Juni 2007).
Sistem jemput bola yang ditawarkan oleh Mendiknas memang patut diacungkan jempol, karena jika hanya mengandalkan warga belajar yang datang ke lokasi belajar, sepertinya hal itu hanya akan menjadi persoalan baru bagi dunia pendidikan keaksraan. Karena bukan tidak mungkin mereka yang penyandang buta aksara akan merasa lebih penting untuk berangkat kerja dan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari pada harus belajar dan tidak bisa secara langsung mengubah ekonomi mereka. Karena itu para penggiat pemberantasan buta aksara harus mengawali tugas mereka dengan mengubah paradigma dan cara berpikir para peserta didik yang terkesan pasrah akan kehidupan mereka.
Pendekatan secara kekeluargaan dan pendekatan sosial bisa dilakukan untuk mengubah paradigma mereka bahwa bagaimanpun kemampuan calistung akan sangat berguna dan membantu mengatasi persoalan-persoalan kehidupan, bahkan dapat mengangkat derajat dan taraf hidup penyandang buta aksara.
Sejak lama problem pemberantasan buta aksara selalu mewarnai pembangunan di Indonesia. Setiap tahun angka penyandang buta aksara dilaporkan semakin berkurang, namun pada kenyataannya HDI/IPM manusia tetap berada pada angka terendah, dengan 15 juta penduduk Indonesia masih berada pada keadaan buta huruf.
Melihat kondisi tersebut, Mendiknas juga tidak tinggal diam, melalui instruksinya seluruh Bupati, Camat dan Kepala Desa harus turut dalam pemberantasan buta aksara di daerahnya masing-masing dengan melibatkan pula organisasi kemasyarakatan (ormas) dan LSM seperti NU, Muhammaddiyah, Aisyiyah, PKK dan lainnya.
Persoalan penyandang buta aksara merupakan masalah klasik, berbagai program telah dilakukan di dalam pembenahan pendidikan luar sekolah, berbagai program telah pula dilakukan, namun masalah penyandang buta aksara masih saja menjadi batu sandungan bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia.
Program pendidikan keaksaraan yang menerapkan pembelajaran membaca, menulis dan berhitung dan aksi untuk memecahkan masalah yang dihadapi warga belajar dalam kehidupan sehari-hari sampai saat ini dianggap adalh yang terbaik, pada program ini tak hanya bidang keaksaraan yang disentuh, tapi juga martabat dan harga diri peserta didik ikut di junjung.
Selain pendekatan sosial yang telah diterapkan akan lebih baik lagi jika dilakukan pendekatan kesejahteraan melalui berbagai program kegiatan pelatihan keterampilan yang sesuai dengan potensi local daerah masing-masing penyandang buta aksara. Selain itu untuk melestarikan program pembelajaran dan untuk mencegah terjadinya kembali buta aksara bagi warga belajar yang telah di belajarkan, program Taman Bacaan Masyarakat (TBM) juga patut untuk dilakukan. Tidak kalah penting, pemberian kepercayaan kepada ormas dan LSM sebagai pelaksana maupun pendamping pelaksanaan program pemberantasan buta aksara harus terus dipertahankan.
Jika semua itu bisa dilaksanakan, Insya Allah penyandang buta aksara di Indonesia dapat turun, dan tentu saja dengan turunnya angka buta aksara ini maka HDI?IPM Indonesia juga akan meningkat. Insya Allah.
Oleh: Fauziah Rahmah Lubis (Pamong Belajar pada BPPNFI Regional 1 Medan)
Sumber :www.paudni.kemdiknas.go.id/bppnfi1/
0 comments:
Post a Comment