Friday, February 4, 2011

KEARIFAN LOKAL DALAM PENDIDIKAN NONFORMAL

PENDAHULUAN
Pembangunan masyarakat tidak terlepas dari keikutsertaan segenap anggota masyarakat, baik sebagai pelaku maupun sebagai sasaran. Penduduk yang heterogen, dilihat dari berbagai karakteristik dan status yang dimilikinya, akan berpengaruh terhadap tingkat keikutsertaan mereka dalam proses pembangunan, terutama penyelenggaraan pendidikan nonformal.
Pemimpin formal maupun pemimpin informal (tokoh masyarakat) memiliki peran penting, karena pada diri mereka dapat melahirkan keputusan-keputusan yang mendasar bagi kepentingan masyarakat atau warganya.
Keputusan yang diambil oleh pemimpin formal (seperti Kepala Desa/lurah) dalam forum musyawarah atau ‘tudang sipulung’ menjadi dasar yang kuat sebagai suatu aturan tertulis yang dapat diberlakukan kepada semua warga yang mendiami wilayah desa/kelurahan.
Dalam kaitan dengan penyelenggaraan program pendidikan nonformal, maka warga masyarakat harus memiliki komitmen melalui program-program nyata dan terintegrasi dengan pembangunan di sektor lainnya . Karena pembangunan dengan menitip beratkan pada hanya satu sektor saja, maka sektor-sektor lainnya akan mengalami ketertinggalan, sehingga menimbulkan kepakuman yang menjurus pada kecemburuan sosial, kecemburuan ekonomi, dan kecemburuan-kecemburuan lainnya dalam kehidupan masyarakat.
Berbagai aktifitas warga masyarakat yang merupakan cerminan dari pelaksanaan aturan-aturan yang telah disepakati bersama, perlu dikaji dan diteliti, dalam upaya mendapatkan masukan tentang peran unsur-unsur yang ada dalam masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan nonformal, dan aktivitas-aktivitas yang telah disepakati yang berkaitan dengan pendidikan nonformal.

PENGERTIAN KEARIFAN LOKAL
Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious)
Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya-tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal (Saini KM, 2005)
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Depsos, 2006).
Sistem pemenuhan kebutuhan mereka pasti meliputi seluruh unsur kehidupan; agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki dan mengembangkan unsur kebutuhan dan cara pemenuhannya, dengan memperhatikan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam di sekitarnya.

KEARIFAN LOKAL DAN BUDAYA
Kearifan lokal lahir dan berkembang dari generasi ke generasi seolah-olah bertahan dan berkembang dengan sendirinya. Kelihatannya tidak ada ilmu atau teknologi yang mendasarinya. Tidak ada pendidikan dan pelatihan untuk meneruskan kearifan lokal.
Pada dasarnya manusia menciptakan budaya dan lingkungan sosial mereka sebagai adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologisnya. Kebiasaan-kebiasaan, praktik, dan tradisi diwariskan dari generasi ke generasi. Pada gilirannya kelompok atau ras tersebut tidak menyadari dari mana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi berikutnya terkondisikan menerima ’kebenaran’ itu tentang nilai, pantangan, kehidupan, dan standar perilaku.
Individu-individu cenderung menerima dan percaya apa yang dikatakan budaya mereka. Kita dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan masyarakat dimana kita dibesarkan dan tinggal. Kita cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaan.
Pendidikan antikorupsi misalnya, perlu menggali dan mengembangkan kearifan-kearifan lokal. Penerapan kearifan-kearifan lokal dalam pendidkan antikorupsi diharapkan penduduk setempat mudah memahami pengertian, bahaya, dan perilaku korupsi. Selain itu, mereka sadar bahwa leluhur mereka memiliki ajaran-ajaran luhur yang amat menghargai kejujuran, keadilan, dan integritas.
Sunan Kalijaga adalah contoh wali yang mengolah ajaran dan tradisi setempat, dalam konteks penyebaran dan pengajaran islam. Beliau memakai cara-cara kejawen yang mudah dipahami kalangan jawa yang saat itu masih kuat dipengaruhi ajaran Hindu, Sunan Kalijaga tidak menghapus seni dan budaya jawa. Nilai-nilai itu dibalut warna Islam. Upacara selamatan doa diganti doa Islam. Wayang kulit diubah sedemikian rupa sehingga tidak menjauhi hukum Islam. Tembang Ilir-ilir dan Dandang Gula gubahan Kalijaga, yang abadi hingga kini, kental aroma Jawa. Namun kedua tembang tersebut sarat nilai-nilai dakwah.
Di suku Bugis, misalnya, dikenal budaya ’siri’. Dalam kehidupan orang-orang Bugis, siri’ menjadi unsur prinsip dalam diri mereka. Siri’ adalah jiwa, harga diri dan martabat orang Bugis. Tidak ada nilai paling berharga dan patut dipertahankan selain siri’, harga diri. Dia menjadi inspirasi setiap langkah orang Bugis. Orang Bugis bersedia mengorbankan apapun demi tegaknya siri’ dalam kehidupan mereka (Hamid Abdullah). Perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan budaya siri’. Budaya melayani dan berbuat jujur adalah implementasi siri’. Dalam masyarakat Bugis seseorang disebut manusia bila memiliki siri’.
Kearifan-kearifan lokal yang ada dalam masyarakat mesti digali, dikembangkan, dan diawetkan guna dimasukkan dalam berbagai aktivitas kehidupan masyarakat, termasuk aktivitas pendidikan nonformal.

KEARIFAN LOKAL SEBAGAI DAYA DUKUNG PENDIDIKAN NONFORMAL
Keikutsertaan berbagai unsur dalam masyarakat dalam mengambil prakarsa dan menjadi penyelenggara program pendidikan nonformal merupakan kontribusi yang sangat berharga, yang perlu mendapat perhatian dan apresiasi.
Berbagai bentuk kearifan lokal yang merupakan daya dukung bagi penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan nonformal dalam masyarakat:
1. Kearifan lokal masyarakat dalam bentuk peraturan tertulis tentang kewajiban belajar, seperti kewajiban mengikuti kegiatan pembelajaran bagi warga masyarakat yang masih buta aksara.
2. Kearifan lokal dalam menjaga keharmonisan hubungan antar sesama manusia, melalui aktivitas gotong royong yang dilakukan masyarakat dalam berbagai aktivitas.
3. Kearifan lokal yang berkaitan dengan seni. Keseniaan tertentu memiliki nilai untuk membangkitkan rasa kebersamaan dan keteladan serta rasa penghormatan terhadap pemimpin dan orang yang dituakan, contoh budaya kesenian ’sinrilik’, keseniaan ’ganrang bulo’ dan ’ma`raga’
4. Kearifan lokal dalam sistem anjuran (tidak tertulis), namun disepakati dalam rapat yang dihadiri unsur-unsur dalam masyarakat, untuk mewujudkan kecerdasan warga, seperti kewajiban warga masyarakat untuk tahu baca tulis ketika mengurus Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga.

PENUTUP
Penyelenggaraan dan pengembangan program pendidikan nonformal tentunnya lebih baik dan lebih berhasil, jika melibatkan semua unsur yang ada dalam masyarakat. Kearifan lokal yang merupakan aturan-aturan tertulis maupun tidak tertulis yang lahir dari kesepakatan bersama, seperti budaya gotong royong, kesenian tradisional, anjuran mengikuti pendidikan bagi warga buta aksara, dan persyaratan tahu baca tulis bagi warga yang mengurus Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga, merupakan daya dukung dalam pendidikan nonformal.

DAFTAR PUSTAKA
Depsos R.I, 2006, Memberdayakan Kearifan Lokal Bagi Komunitas Adat Terpencil, Artikel, Edisi 20 Nopember 2006, http//www.depsos.go.id, diakses 2 April 2007
Saini K.M. 2005, ”Kearifan Lokal di arus Global”, dalam Pikiran Rakyat, Edisi 30 Juli 2005
Sudjana, H.D, 2005, Strategi Pembelajaran Pendidikan Luar Sekolah, Bandung: Falah Production

Oleh: Dra. Istiyani Idrus, M.Si (Staf Pengajar Jurusan PLS FIP Universitas Negeri Makassar)

0 comments: