Tuesday, February 1, 2011

EKSISTENSI TAMAN PENITIPAN ANAK SEBAGAI SATUAN PENDIDIKAN NONFORMAL

PENDAHULUAN

Suasana pembangunan yang lebih terfokus di bidang ekonomi ditambah dengan era globalisasi dewasa ini telah membawa pengaruh yang tidak lagi bisa dibendung, mengalir deras tanpa kenal batas. Tawaran untuk menikmati gaya hidup global telah memacu semua orang untuk bekerja tak kenal waktu. Kondisi demikian ini telah mengubah tatanan kehidupan keluarga termasuk memunculkan penampilan ibu yang berbeda dalam peran dan fungsinya selaku penyelenggara rumah tangga dan pendidik anak.
Pemunculan ibu dalam kegiatan di luar rumah (bekerja, melakukan kegiatan sosial-budaya) yang mewarnai kehidupan keluarga di perkotaan, menimbulkan pertanyaan tentang hasil yang bisa diperoleh dari pendidikan anak. Pertanyaan ini menjadi terasa lebih bermakna karena ayah tak juga menjadi surut dari kegiatannya di luar rumah, bahkan cenderung meningkat seiring dengan tuntutan kehidupan, padahal kehadiran keduanya sangat diperlukan anak, tak peduli berapapun umurnya.
Kaitannya dengan itu, siapa yang layak ditunjuk dan diserahi tanggung jawab sebagai ‘keluarga pengganti’ (mengandung makna bukan mengambil alih atau menghilangkan tanggung jawab dan fungsi keluarga sepenuhnya, melainkan hanya mengganti untuk sementara waktu selama orang tua berhalangan dalam memberikan pendidikan sehingga anak terhindar dari stagnasi proses tumbuh kembang), tampaknya merupakan fenomena yang akan mewarnai wajah keluarga perkotaan di masa depan. Fenomena ini tentunya perlu disikapi sungguh-sungguh sejak sekarang, karena tidak mudah memperoleh ‘keluarga pengganti’ dalam keluarga yang bisa membantu dan berperan turun temurun, dari generasi ke generasi, seperti yang pernah dialami pada era sebelumnya.
Dalam perspektif tersebut, pemahaman mengenai berbagai kebutuhan perkembangan anak serta pentingnya pemenuhan kebutuhan dasar tersebut dalam meningkatkan kualitas tumbuh kembang anak, termasuk pemahaman mengenai lembaga yang dapat dijadikan alternatif pemenuhan kebutuhan dasar perkembangan anak, menjadi salah satu cara untuk mengerti persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kecenderungan berkurangnya fungsi keluarga dalam melaksanakan pengasuhan dan pendidikan, yang pada gilirannya bisa mengupayakan pemecahannya dengan memilih ’keluarga pengganti’ yang dapat meningkatkan kualitas tumbuh kembang anak.

PEMBAHASAN
Pertumbuhan dan perkembangan anak secara fisik, mental, sosial emosional dipengaruhi gizi, kesehatan, dan pendidikan (program perawatan anak yang dapat menciptakan pengaruh dan stimulasi intelektual dan interaksi kemanusian yang positif serta mampu memberikan aktivitas yang meningkatkan proses pembelajaran bagi anak-anak). Ini menjelaskan bahwa pemenuhan gizi, kesehatan, dan pendidikan dalam proses tumbuh kembang anak sangat penting.
Pentingnya pemenuhan gizi, kesehatan, dan pendidikan dalam proses tumbuh kembang anak telah banyak dibuktikan dalam berbagai penelitian, diantaranya penelitian longitudinal oleh Bloom mengenai kecerdasan yang menunjukkan bahwa kurun waktu 4 tahun pertama usia anak, perkembangan kognitifnya mencapai sekitar 50 persen, kurun waktu 8 tahun mencapai 80 persen, dan mencapai 100 persen setelah anak berusia 18 tahun. (Saidah, 2003).
Penelitian lainnya mengenai kecerdasan otak menunjukkan fakta bahwa untuk memaksimalkan kepandaian seorang anak, stimulasi harus diberikan sejak tiga tahun pertama dalam kehidupannya mengingat pada usia tersebut jumlah sel otak yang dipunyai dua kali lebih banyak dari sel-sel otak orang dewasa. (Oberlander, 2000)
Dalam kajian neurologi, dikemukakan bahwa selama tahun-tahun pertama kehidupan, otak menghasilkan bertriliun-triliun sambungan antarneuron. Selanjutnya, otak memusnahkan sambungan (sinapsis) yang jarang atau yang tidak pernah digunakan. Sambungan yang berlebih mengalami pemangkasan drastis yang dimulai pada usia 10 tahun atau sebelumnya. Karena itu, sambungan ini harus diperkuat melalui berbagai stimulasi intelektual yang dibarengi dengan pemberian gizi dan kesehatan yang memadai karena sambungan yang tidak diperkuat mengalami penyusutan (antrofi) dan akhirnya tidak berfungsi lagi. (Nash, 1997)
Kajian neurologi lainnya menjelaskan bahwa pertumbuhan otak tidak disebabkan oleh bertambahnya jumlah sel saraf tetapi oleh tumbuhnya percabangan juluran. Bila otak diprogram (digunakan untuk belajar) cabang dan ranting juluran sel saraf tumbuh berkembang, menjalin hubungan yang semakin rimbun. Bila tidak digunakan maka cabang ini menyusut dan menghilang. Selanjutnya, pertumbuhan juluran ini juga memerlukan gizi yang baik. Karena itu, Pemrograman otak yang berarti pendidikan dan gizi yang baik berpengaruh membentuk dan menentukan tumbuhnya percabangan juluran otak yang bersangkutan. (Markam dkk., 2003)
Tentang pemberian gizi yang baik bagi anak, terutama pada kurun waktu 4 tahun pertama sangat penting karena pemberian gizi yang kurang baik sangat berisiko pada berbagai kondisi kesehatan, gangguan kemampuan belajar, gangguan perkembangan mental, dan perkembangan kapasitas intelektual yang sangat terbatas. (Malla, 2002)
Hasil-hasil penelitian luar dan dalam negeri juga menunjukkan adanya hubungan nyata antara keadaan gizi dan kecerdasan, bahkan penelitian terbaru di Pengalengan menunjukkan bahwa kurang gizi tingkat ringan saja sudah menyebabkan kemunduran kecerdasan, apalagi pada tingkat sedang dan berat. (Husaini, 2003)
Gizi, kesehatan, dan pendidikan merupakan hal yang dibutuhkan dalam semua fase kehidupan, namun fase kanak-kanak harus lebih diutamakan karena pada fase tersebut anak mengalami perkembangan yang luar biasa termasuk otaknya, terutama pada tiga tahun pertama kehidupan. (Falsafi, 2002)
Kajian dan hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa usia balita dalam proses tumbuh kembang anak merupakan masa yang paling kritis karena perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Karena itu, stimulasi intelektual untuk mendukung perkembangan yang terjadi sangat fundamental sifatnya. Demikian halnya jika tidak tersedia zat gizi yang memadai dan derajat kesehatan yang tinggi maka kapasitas otak yang terbentuk tidak maksimum. (Jalal, 2002)
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa dalam proses tumbuh kembang anak, pendidikan tidak memberikan arti apabila tidak dibarengi dengan pemberian gizi dan kesehatan yang memadai. Demikian pula sebaliknya, ini berarti ketiga kebutuhan tersebut merupakan satu kesatuan (compounding) dalam membentuk kualitas tumbuh kembang anak, sebagaimana pendapat Myers (Patmonodewo, 2002) bahwa “kebutuhan anak terhadap kesehatan, gizi, dan pendidikan tidak dapat dipisahkan satu sama lain (sinergetik)”. Dengan perkataan lain, tumbuh kembang anak tidak hanya bergantung pada pemenuhan gizi dan kesehatan saja tetapi juga dipengaruhi oleh seberapa besar peran keluarga terutama orangtua dalam mempengaruhi aspek kejiwaan anak.
Kiranya tidak terbantahkan bahwa orang yang paling dekat dengan anak adalah keluarga terutama orangtua. Namun, dalam kehidupan ini banyak ditemui keluarga yang tidak begitu ideal dalam arti tidak dapat menjalankan fungsi keluarga terutama dalam pengasuhan, perawatan, pendidikan maupun pemenuhan kebutuhan dasar anak lainnya, seperti makanan bergizi, imunisasi, dan perawatan kesehatan.
Kecenderungan berkurangnya fungsi keluarga mengisyaratkan bahwa terdapat anak yang belum sepenuhnya memperoleh pemenuhan kebutuhan secara utuh dari keluarganya. Padahal bagi anak, pemenuhan kebutuhan tersebut merupakan hal yang mutlak dan tidak dapat ditunda-tunda karena kesempatan tersebut datangnya hanya sekali. Kesempatan yang tidak dimanfaatkan dalam periode ini hilang begitu saja dan tidak dapat diraih kembali.
Pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi, kesehatan, dan pendidikan bagi anak dalam proses tumbuh kembangnya di satu sisi dan kecenderungan berkurangnya fungsi keluarga di lain sisi, memberikan peluang bagi berkembangnya lembaga yang menyelenggarakan layanan penitipan atau pengasuhan anak selama jangka waktu tertentu sebagai “keluarga pengganti” guna memberikan pemenuhan kebutuhan secara wajar kepada anak.
Peran sebagai “keluarga pengganti” mengandung makna bukan mengambil alih atau menghilangkan tanggungjawab dan fungsi keluarga sepenuhnya, melainkan hanya mengganti untuk sementara waktu selama orangtua berhalangan dalam memberikan asuhan, rawatan, perlindungan, dan pendidikan sehingga anak terhindar dari stagnasi proses tumbuh kembang yang pada gilirannya dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak secara keseluruhan.
Secara umum, bentuk lembaga yang berperan sebagai “keluarga pengganti” dapat dibedakan menjadi dua yakni Taman Penitipan Anak dan lembaga bukan Taman Penitipan Anak yang sebagian dari kegiatannya adalah layanan pengasuhan anak. Banyak contoh lembaga yang bukan Taman Penitipan Anak tetapi sekarang tumbuh subur adalah full day school, sebuah lembaga pendidikan sekolah dan prasekolah yang diselenggarakan hampir satu hari penuh. Lembaga ini tetap memberlakukan jam sekolah, seperti lembaga pendidikan lainnya, hanya saja setelah selesai jam sekolah anak-anak diberikan kegiatan ekstrakurikuler termasuk istirahat dan makan siang. Contoh lainnya adalah penitipan anak di pusat-pusat perbelanjaan yang memberikan layanan pengasuhan dalam hitungan jam selama orangtua anak berbelanja.
Taman Penitipan Anak sebagai “keluarga pengganti” diharapkan memberikan pembinaan kesejahteraan dan pelayanan pendidikan bagi anak usia dini untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. (Depdiknas, 2003). Karena itu, Taman Penitipan Anak dalam penyelenggaraannya selain melaksanakan kegiatan pengasuhan selama waktu tertentu juga perlu melaksanakan kegiatan pendidikan yang mengacu pada acuan menu pembelajaran PADU. (Wahyuti, 2003). Ini menunjukkan bahwa Taman Penitipan Anak bukan hanya untuk peningkatan kesejahteraan anak tetapi juga untuk mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini dalam waktu tertentu sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Dalam pelaksanaanya, Taman Penitipan Anak menyelenggarakan layanan berupa pemberian makan/minum, pemeliharaan kesehatan, pemeriksaan dokter secara berkala, penimbangan berat badan, pemberian vitamin, bimbingan rohani, bimbingan prilaku dan budi pekerti anak, pengembangan kognitif anak, serta pengembangan sosialisasi anak. Penegasan ini menunjukkan bahwa Taman Penitipan Anak memberikan layanan holistik berupa layanan kesehatan, gizi, dan pendidikan secara terpadu, sehingga kebutuhan dasar anak balita dalam proses tumbuhkembangnya dapat terpenuhi. (Depsos, 2002)
Taman Penitipan Anak (TPA) yang dikenal dengan nama Day Care Center, pada perkembangannya menggunakan berbagai macam istilah yaitu Tempat Penitipan Anak, Sasana Penitipan Anak, Sasana Bina Balita, dan Panti Penitipan Anak. Di Indonesia keberadaan Taman Penitipan Anak sebetulnya bukan baru sekarang ini melainkan sudah ada sejak jaman Belanda, meskipun pada saat itu khusus untuk buruh-buruh perkebunan. Itu sebabnya hingga saat ini penitipan anak banyak berada di perkebunan. Sedangkan pemerintah baru mulai merintis Taman Penitipan Anak pada tahun 1964 dengan nama Taman Penitipan Anak Kampung Melayu Jakarta Timur, selanjutnya menyusul pendirian Taman Penitipan Anak Pertiwi yang juga berlokasi di Jakarta.
Taman Penitipan Anak sekarang ini dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe. Pertama, tipe pengasuhan penuh (Full Day Care) yaitu penitipan anak yang dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan berupa penyuluhan, pelayanan, dan pendidikan dengan stimulasi psikomotorik dan psikososial secara penuh. Kedua, tipe setengah pengasuhan (Semi Day Care) yaitu penitipan anak yang dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan berupa hanya penyuluhan atau pelayanan saja ataupun pendidikan dengan stimulasi psikomotorik dan psikososial saja.
Ketiga, tipe pengasuhan sewaktu-waktu (Insidental Day Care) yaitu penitipan anak yang dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan berupa penyuluhan, pelayanan, dan pendidikan dengan stimulasi psikomotorik dan psikososial sewaktu-waktu bila diperlukan sesuai dengan kebutuhan orangtua. (Wahyuti, 2003)
Pengelompokan lainnya adalah pengelompokan berdasarkan lingkungan atau berlokasi yaitu penitipan anak yang berlokasi di lingkungan perkantoran dan perumahan serta di lingkungan perkebunan. Pengelompokan lainnya berdasarkan penyelenggara atau pengelola lembaganya antara lain oleh lembaga pemerintah, organisasi masyarakat, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, dan perorangan. (Setiawan, 2002)
Pada peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah ditegaskan bahwa penitipan anak adalah sarana pengembangan anak dini usia yang menyelenggarakan pendidikan dan layanan kesejahteraan anak. Dari sisi pendidikan, penitipan anak menjadi tanggungjawab Menteri Pendidikan Nasional, sedangkan dari sisi kesejahteraan anak menjadi tanggung jawab Menteri Sosial.
Dalam hubungan itu, Depsos (2002) menegaskan bahwa yang dimaksud Taman Penitipan Anak adalah lembaga pelayanan pengganti sementara yang mengambil tanggung jawab secara luas ketika orangtua bekerja, yang meliputi pelayanan sosialisasi anak, pengembangan perilaku anak, pendidikan anak, kesehatan anak, kegiatan bermain, kegiatan pengisian waktu luang dan pelayanan sosial kepada orangtua/keluarga seperti pelayanan konsultasi anak dan keluarga ketika anak membutuhkan pelayanan tambahan.
Selanjutnya, Depdiknas (2003) mengartikan Taman Penitipan Anak sebagai salah satu bentuk pendidikan anak dini usia pada jalur pendidikan non formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak dini usia sejak usia 3 bulan sampai dengan 6 tahun dan anak yang memerlukan pengasuhan dan perlindungan ketika orangtuanya berhalangan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa Taman Penitipan Anak adalah wahana pelayanan pendidikan dan pembinaan kesejahteraan anak atau lembaga yang melengkapi peranan keluarga dalam merawat dan mengasuh anak selama orangtua tidak di tempat atau berhalangan.
Tujuan Taman Penitipan Anak seperti ditegaskan Depsos (2002) adalah untuk:
1) Terjaminnya tumbuh kembang anak berupa pengasuhan, rawatan, dan pembinaan melalui proses sosialisasi dan pendidikan anak sebaik mungkin;
2) Tersedianya kesempatan bagi anak untuk memperoleh kelengkapan asuhan, rawatan, pembinaan dan pendidikan yang baik sehingga dapat terjamin kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi bagi anak;
3) Terhindarnya anak dari kemungkinan memperoleh tindakan kekerasan atau tindakan lain yang akan mengganggu atau mempengaruhi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak serta pembentukan kepribadian anak;
4) Terbantunya orangtua/keluarga dalam memantapkan fungsi keluarga, khususnya dalam melaksanakan pembinaan kesejahteraan anak di dalam dan di luar keluarga. Dengan demikian, lembaga pelayanan ini merupakan upaya preventif dalam menghadapi kekhawatiran keterlantaran melalui asuhan, perawatan, pendidikan, dan bimbingan bagi anak balita.
Mengacu pada penegasan di atas, dapat dikatakan bahwa Taman Penitipan Anak bertujuan untuk memberikan pelayanan pendidikan dan pembinaan kesejahteraan bagi anak dini usia untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
Fungsi Taman Penitipan Anak seperti ditegaskan Depsos (2002) adalah sebagai:
1) Pengganti fungsi orangtua sementara waktu. Kehadiran TPA adalah untuk menjawab ketidakmampuan keluarga (karena kesibukannya) dalam menjalankan beberapa fungsi yang seharusnya dilakukan. Fungsi tersebut antara lain sosialisasi, pendidikan prasekolah (pembelajaran prasekolah), asuhan, perawatan, dan pemeliharaan sosial anak;
2) Informasi, komunikasi, dan konsultasi di bidang kesejahteraan anak usia prasekolah. Dalam hal demikian, kehadiran TPA adalah sebagai sumber informasi, komunikasi, dan konsultasi tentang anak usia prasekolah beserta keluarganya kepada mereka yang membutuhkan;
3) Rujukan,yaitu TPA dapat digunakan sebagai penerima rujukan dari lembaga lain (pihak lain) dalam perolehan pelayanan bagi anak usia prasekolah dan sekaligus melaksanakan rujukan ke lembaga lain;
4) Pendidikan dan penelitian, yaitu TPA dapat digunakan sebagai tempat pendidikan dan penelitian serta sarana untuk magang bagi mereka yang berminat tentang anak balita.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa fungsi Taman Penitipan Anak adalah terutama sebagai pengganti keluarga untuk jangka waktu tertentu selama orangtuanya berhalangan atau tidak memiliki waktu yang cukup dalam mengasuh anaknya karena bekerja atau sebab lain.

PENUTUP
Gizi, kesehatan, dan pendidikan bagi anak dalam proses tumbuhkembangnya merupakan kebutuhan dasar yang fundamental sifatnya untuk dipenuhi dalam meningkatkan kualitas perkembangan anak. Dalam kaitan itu, Taman Penitipan Anak sebagai salah satu lembaga yang menyelenggarakan layanan holistik berupa layanan kesehatan, gizi, dan pendidikan secara terpadu selama waktu tertentu dapat dijadikan salah satu alternatif ’keluarga pengganti’ dalam memberikan pemenuhan kebutuhan dasar dalam proses tumbuh kembang anak.
Demikianlah, dalam menyikapi fenomena berkurangnya fungsi keluarga dalam pengasuhan dan pendidikan anak sebagai kecenderungan keluarga pada masyarakat perkotaan di masa depan, Taman Penitipan Anak dapat dijadikan solusi. Namun demikian, tidak berarti bahwa ini satu-satunya upaya yang dapat dilakukan. Artinya, pemilihan Taman Penitipan Anak sebagai ”keluarga pengganti’ harus ditopang oleh aspek-aspek lain seperti orangtua tetap membina dengan baik interaksinya dengan anak, hak anak atas kasih sayang dan perhatian tetap diberikan.

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2003. Pedoman Rintisan Program Taman Penitipan Anak. Jakarta: Ditjen PLSP Depdiknas RI.
Depsos. 2002. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Sosial Anak di Taman Penitipan Anak (TPA). Jakarta: Ditjen Bina Kesejahteraan Sosial Depsos RI.
Falsafi, M. T. 2002. Anak, antara Kekuatan Gen dan Pendidikan. Bogor: Cahaya.
Feisal, J. A. 2002. “Kebijakan Pendidikan Nasional Menghadapi Tantangan Global” dalam Syarief, I (Ed), Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru: 70 Tahun Prof. Dr. H. A. R. Tilaar, M. Sc. Ed. (hlm. 124-133). Jakarta: Grasindo.
Husaini, M. A. 2003. “Peningkatan Kecerdasan Anak Memerlukan Gizi Seimbang”. Jurnal Ilmiah PAUD. Vol. 2 No. 03 hlm. 51-58.
Jalal, F. 2002. “Pendidikan Anak Dini Usia, Pendidikan Yang Mendasar”. Jurnal Ilmiah PAUD. Edisi Perdana hlm. 4-8.
Malla, A. 2002. “Gizi Untuk Perkembangan Kecerdasan Anak Dini Usia”. Jurnal Ilmiah PAUD. No. 02. hlm. 19-27.
Markam, S., Ade M., Herry P. 2003. “Pendidikan Anak Dini Usia Ditinjau Dari Segi Neurologi”. Jurnal Ilmiah PADU. Edisi khusus hlm. 47-52.
Nash, J. M. 1997. Otak Kanak-Kanak. Terjemahan dari Majalah Time Edisi 3 Februari 1997. Jakarta: PT. Tiga Raksa Satria.
Oberlander, J. R. 2000. Slow And Steady, Get Me Ready. Terjemahan oleh Soesanti Harini Hartono. 2003. Jakarta: PT. Gramedia.
Patmonodewo, S. 2002. “Pengembangan Anak Dini Usia, Berbagai Model Yang Ada”. Jurnal Ilmiah PADU. Edisi Perdana hlm. 36-39.
Saidah, E. S. 2003. “Pentingnya Stimulasi Mental Dini”. Jurnal Imiah Pendidikan Anak Dini Usia. No. 01. hlm. 50-55.
Setiawan, B. B. 2002. “Pengasuhan Anak dan Peran Penitipan Anak”. Jurnal Ilmiah PADU. Edisi Perdana hlm. 42-45.
Wahyuti, T. 2003. “Posisi Strategis Taman Penitipan Anak”. Jurnal Ilmiah PADU. No. 02. Vol. 2 hlm. 28-37.

Penulis : Suardi (Staf Pengajar PLS FIP Universitas Negri Makassar)

1 comments:

damai itu indah said...

setuju...oya pak saya mahasiswa PPs UIN sunan Kalijaga Yogya,program PAUDI sekarang sedang tugas akhir behas TPA/Day Care namun terkendala referensi,,,apa saya bisa dibantu untuk dicopikan referensi bapak dalam artikel ini untuk bahan tesis saya biaya saya ganti pak....nuwun