Friday, February 4, 2011

KEARIFAN LOKAL DALAM PENDIDIKAN NONFORMAL

PENDAHULUAN
Pembangunan masyarakat tidak terlepas dari keikutsertaan segenap anggota masyarakat, baik sebagai pelaku maupun sebagai sasaran. Penduduk yang heterogen, dilihat dari berbagai karakteristik dan status yang dimilikinya, akan berpengaruh terhadap tingkat keikutsertaan mereka dalam proses pembangunan, terutama penyelenggaraan pendidikan nonformal.
Pemimpin formal maupun pemimpin informal (tokoh masyarakat) memiliki peran penting, karena pada diri mereka dapat melahirkan keputusan-keputusan yang mendasar bagi kepentingan masyarakat atau warganya.
Keputusan yang diambil oleh pemimpin formal (seperti Kepala Desa/lurah) dalam forum musyawarah atau ‘tudang sipulung’ menjadi dasar yang kuat sebagai suatu aturan tertulis yang dapat diberlakukan kepada semua warga yang mendiami wilayah desa/kelurahan.
Dalam kaitan dengan penyelenggaraan program pendidikan nonformal, maka warga masyarakat harus memiliki komitmen melalui program-program nyata dan terintegrasi dengan pembangunan di sektor lainnya . Karena pembangunan dengan menitip beratkan pada hanya satu sektor saja, maka sektor-sektor lainnya akan mengalami ketertinggalan, sehingga menimbulkan kepakuman yang menjurus pada kecemburuan sosial, kecemburuan ekonomi, dan kecemburuan-kecemburuan lainnya dalam kehidupan masyarakat.
Berbagai aktifitas warga masyarakat yang merupakan cerminan dari pelaksanaan aturan-aturan yang telah disepakati bersama, perlu dikaji dan diteliti, dalam upaya mendapatkan masukan tentang peran unsur-unsur yang ada dalam masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan nonformal, dan aktivitas-aktivitas yang telah disepakati yang berkaitan dengan pendidikan nonformal.

PENGERTIAN KEARIFAN LOKAL
Kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious)
Kearifan lokal adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu daya-tahan dan daya tumbuh di dalam wilayah dimana komunitas itu berada. Dengan kata lain kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-geopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal (Saini KM, 2005)
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Depsos, 2006).
Sistem pemenuhan kebutuhan mereka pasti meliputi seluruh unsur kehidupan; agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki dan mengembangkan unsur kebutuhan dan cara pemenuhannya, dengan memperhatikan sumberdaya manusia dan sumberdaya alam di sekitarnya.

KEARIFAN LOKAL DAN BUDAYA
Kearifan lokal lahir dan berkembang dari generasi ke generasi seolah-olah bertahan dan berkembang dengan sendirinya. Kelihatannya tidak ada ilmu atau teknologi yang mendasarinya. Tidak ada pendidikan dan pelatihan untuk meneruskan kearifan lokal.
Pada dasarnya manusia menciptakan budaya dan lingkungan sosial mereka sebagai adaptasi terhadap lingkungan fisik dan biologisnya. Kebiasaan-kebiasaan, praktik, dan tradisi diwariskan dari generasi ke generasi. Pada gilirannya kelompok atau ras tersebut tidak menyadari dari mana asal warisan kebijaksanaan tersebut. Generasi berikutnya terkondisikan menerima ’kebenaran’ itu tentang nilai, pantangan, kehidupan, dan standar perilaku.
Individu-individu cenderung menerima dan percaya apa yang dikatakan budaya mereka. Kita dipengaruhi oleh adat dan pengetahuan masyarakat dimana kita dibesarkan dan tinggal. Kita cenderung mengabaikan atau menolak apa yang bertentangan dengan kepercayaan-kepercayaan.
Pendidikan antikorupsi misalnya, perlu menggali dan mengembangkan kearifan-kearifan lokal. Penerapan kearifan-kearifan lokal dalam pendidkan antikorupsi diharapkan penduduk setempat mudah memahami pengertian, bahaya, dan perilaku korupsi. Selain itu, mereka sadar bahwa leluhur mereka memiliki ajaran-ajaran luhur yang amat menghargai kejujuran, keadilan, dan integritas.
Sunan Kalijaga adalah contoh wali yang mengolah ajaran dan tradisi setempat, dalam konteks penyebaran dan pengajaran islam. Beliau memakai cara-cara kejawen yang mudah dipahami kalangan jawa yang saat itu masih kuat dipengaruhi ajaran Hindu, Sunan Kalijaga tidak menghapus seni dan budaya jawa. Nilai-nilai itu dibalut warna Islam. Upacara selamatan doa diganti doa Islam. Wayang kulit diubah sedemikian rupa sehingga tidak menjauhi hukum Islam. Tembang Ilir-ilir dan Dandang Gula gubahan Kalijaga, yang abadi hingga kini, kental aroma Jawa. Namun kedua tembang tersebut sarat nilai-nilai dakwah.
Di suku Bugis, misalnya, dikenal budaya ’siri’. Dalam kehidupan orang-orang Bugis, siri’ menjadi unsur prinsip dalam diri mereka. Siri’ adalah jiwa, harga diri dan martabat orang Bugis. Tidak ada nilai paling berharga dan patut dipertahankan selain siri’, harga diri. Dia menjadi inspirasi setiap langkah orang Bugis. Orang Bugis bersedia mengorbankan apapun demi tegaknya siri’ dalam kehidupan mereka (Hamid Abdullah). Perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan yang bertentangan dengan budaya siri’. Budaya melayani dan berbuat jujur adalah implementasi siri’. Dalam masyarakat Bugis seseorang disebut manusia bila memiliki siri’.
Kearifan-kearifan lokal yang ada dalam masyarakat mesti digali, dikembangkan, dan diawetkan guna dimasukkan dalam berbagai aktivitas kehidupan masyarakat, termasuk aktivitas pendidikan nonformal.

KEARIFAN LOKAL SEBAGAI DAYA DUKUNG PENDIDIKAN NONFORMAL
Keikutsertaan berbagai unsur dalam masyarakat dalam mengambil prakarsa dan menjadi penyelenggara program pendidikan nonformal merupakan kontribusi yang sangat berharga, yang perlu mendapat perhatian dan apresiasi.
Berbagai bentuk kearifan lokal yang merupakan daya dukung bagi penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan nonformal dalam masyarakat:
1. Kearifan lokal masyarakat dalam bentuk peraturan tertulis tentang kewajiban belajar, seperti kewajiban mengikuti kegiatan pembelajaran bagi warga masyarakat yang masih buta aksara.
2. Kearifan lokal dalam menjaga keharmonisan hubungan antar sesama manusia, melalui aktivitas gotong royong yang dilakukan masyarakat dalam berbagai aktivitas.
3. Kearifan lokal yang berkaitan dengan seni. Keseniaan tertentu memiliki nilai untuk membangkitkan rasa kebersamaan dan keteladan serta rasa penghormatan terhadap pemimpin dan orang yang dituakan, contoh budaya kesenian ’sinrilik’, keseniaan ’ganrang bulo’ dan ’ma`raga’
4. Kearifan lokal dalam sistem anjuran (tidak tertulis), namun disepakati dalam rapat yang dihadiri unsur-unsur dalam masyarakat, untuk mewujudkan kecerdasan warga, seperti kewajiban warga masyarakat untuk tahu baca tulis ketika mengurus Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga.

PENUTUP
Penyelenggaraan dan pengembangan program pendidikan nonformal tentunnya lebih baik dan lebih berhasil, jika melibatkan semua unsur yang ada dalam masyarakat. Kearifan lokal yang merupakan aturan-aturan tertulis maupun tidak tertulis yang lahir dari kesepakatan bersama, seperti budaya gotong royong, kesenian tradisional, anjuran mengikuti pendidikan bagi warga buta aksara, dan persyaratan tahu baca tulis bagi warga yang mengurus Kartu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga, merupakan daya dukung dalam pendidikan nonformal.

DAFTAR PUSTAKA
Depsos R.I, 2006, Memberdayakan Kearifan Lokal Bagi Komunitas Adat Terpencil, Artikel, Edisi 20 Nopember 2006, http//www.depsos.go.id, diakses 2 April 2007
Saini K.M. 2005, ”Kearifan Lokal di arus Global”, dalam Pikiran Rakyat, Edisi 30 Juli 2005
Sudjana, H.D, 2005, Strategi Pembelajaran Pendidikan Luar Sekolah, Bandung: Falah Production

Oleh: Dra. Istiyani Idrus, M.Si (Staf Pengajar Jurusan PLS FIP Universitas Negeri Makassar)

Thursday, February 3, 2011

Potensi Anak Usia Dini

Pada saat dilahirkan, bayi telah dibekali Tuhan dengan struktur otak yang lengkap, namun setelah berada di luar kandungan barulah otak bayi mencapai kematangannya. Bayi yang baru dilahirkan memiliki lebih dari 100 milyar neuron dan sekitar satu trilyun sel glia yang berfungsi sebagai perekat serta synap (cabang-cabang neuron) yang akan membentuk sambungan antar neuron.
Pasca kelahiran, kegiatan otak dipengaruhi dan tergantung pada kegiatan neuron dan cabang-cabangnya dalam membentuk bertrilyun-trilyun sambungan antar neuron. Melalui persaingan alami, sambungan-sambungan yang tidak atau jarang digunakan atau diberi rangsangan akan mengalami atrofi atau stagnan bahkan mati. Pemantapan sambungan terjadi apabila neuron mendapatkan informasi atau stimulasi yang mampu menghasilkan letupan-letupan listrik. Letupan tersebut merangsang bertambahnya produksi myelin yang dihasilkan oleh zat perekat glial. Semakin banyaknya zat myelin yang diproduksi maka semakin banyak dendrit-dendrit yang tumbuh, sehingga akan semakin banyak synap yang berarti lebih banyak neuron-neuron yang menyatu membentuk unit-unit. Kualitas kemampuan otak dan menyerap dan mengolah informasi tergantung dari banyaknya neuron yang membentuk unit-unit (Nash: 1997)
Synap ini akan bekerja secara cepat sampai usia anak lima hingga enam tahun. Banyaknya jumlah sambungan tersebut mempengaruhi kualitas kemampuan otak sepanjang hidupnya. Pertumbuhan jumlah jaringan otak dipengaruhi oleh pengalaman yang didapat anak pada awal-awal tahun kehidupannya. Semakin banyak anak mendapatkan stimulasi pendidikan maka kemampuan otak anak semakin optimal.
Dahulu Intelligence Quotient (IQ) dikenal sebagai satu satunya alat untuk mengukur kecerdasan anak, namun sejarah membuktikan bahwa IQ tinggi bukanlah jaminan akan keberhasilan dalam kehidupan. Anak yang memiliki IQ tinggi dianggap cerdas dan nantinya hidupnya akan sukses padahal kenyataannya banyak anak yang ber-IQ tinggi tetapi hidupnya tidak sukses.
Konsep dan pemikiran baru tentang kecerdasan terus berkembang. Hadirnya teori Multiple Inttelligences (kecerdasan jamak) yang diperkenalkan oleh Howard Gardner telah memicu berkembangnya kesadaran akan adanya kecerdasan-kecerdasan baru selain kecerdasan intelektual. Teori kecerdasan jamak ini memberikan landasan yang kuat untuk mengidentifikasi dan mengembangkan spektrum kemampuan yang luas di dalam diri anak.
Kecerdasan jamak terdiri dari 9 (sembilan) macam kecerdasan yaitu:
1. Kecerdasan verbal-linguistik yaitu kemampuan atau kompetensi untuk menggunakan kata-kata secara efektif baik secara lisan maupun tertulis, termasuk kemampuan untuk memanipulasi sintaks atau struktur bahasa, fornologi atau bunyi dalam bahasa, semantik atau pemaknaan bahasa, dan dimensi pragmatik atau penggunaan bahasa secara praktis.
2. Kecerdasan logis-matematis yaitu kecerdasan mengolah angka dan/atau kemahiran menggunakan logika atau akal sehat. Dalam kecerdasan ini termasuk kepekaan terhadap pola-pola logis dan hubungan-hubungannya, pernyataan, dan proposisi.
3. Kecerdasan visual-spasial yaitu kecerdasan gambar dan visualisasi yang melibatkan kemampuan memvisualisasikan gambar di dalam kepala seseorang atau menciptakannya dalam bentuk dua atau tiga dimensi. Kecerdasan ini melibatkan kepekaan terhadap warna, garis, bentuk, ukuran, luas, dan hubungan-hubungan yang ada di antara unsur-unsur tersebut.
4. Kecerdasan ritmik-musikal yaitu kemampuan mempersepsikan, membedakan, dan mengekspresikan bentuk-bentuk musik. Kecerdasan ini melibatkan kepekaan terhadap ritme, melodi, dan bunyi musik lainnya dari sesuatu ciptaan musik.
5. Kecerdasan kinestetik yaitu kemampuan dalam menggunakan keseluruhan potensi tubuh untuk mengekspresikan ide-ide dan perasaan termasuk kemampuan menggunakan tangan untuk memproduksikan atau mentransformasikan hal atau benda.
6. Kecerdasan interpersonal yaitu kecerdasan mempersepsikan dan membedakan dalam modus, maksud tertentu, motivasi dan perasaan dari orang lain termasuk kemampuan berempati pada orang lain.
7. Kecerdasan intrapersonal yaitu kecerdasan mengetahui dan memahami diri sendiri, kecerdasan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Kesadaran tentang perasaan dalam diri sendiri, intensi, motivasi, temperamen dan keinginan-keinginan, dan kemampuan untuk disiplin diri sendiri, pemahaman sendiri dan percaya diri.
8. Kecerdasan natural yaitu kecerdasan dalam hal bekerjasama dan menyelaraskan diri dengan alam. Melibatkan kemampuan mengenali bentuk-bentuk alam sekitar: flora dan fauna, susunan awan dan ciri geologis bumi.
9. Kecerdasan spiritual yaitu kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding orang lain

Demikian banyak potensi yang terdapat dalam diri setiap anak. Bila komponen kecerdasan itu tidak mendapatkan kesempatan untuk dieksplorasi maka potensi tersebut tak akan dapat berkembang secara optimal bahkan akan menjadi potensi yang terpendam yang akan terkubur selamanya. Hal tersebut berimplikasi terhadap kemampuan/kompetensi orang-orang di sekitar anak: orangtua, masyarakat, pemerintah, utamanya tenaga pendidik, untuk dapat meningkatkan dan mengembangkan berbagai komponen kecerdasan anak. Dengan kompetensi yang memadai dari mereka maka pengembangan segala potensi anak akan dapat berlangsung dengan lebih optimal.

oleh: dwee

Tuesday, February 1, 2011

EKSISTENSI TAMAN PENITIPAN ANAK SEBAGAI SATUAN PENDIDIKAN NONFORMAL

PENDAHULUAN

Suasana pembangunan yang lebih terfokus di bidang ekonomi ditambah dengan era globalisasi dewasa ini telah membawa pengaruh yang tidak lagi bisa dibendung, mengalir deras tanpa kenal batas. Tawaran untuk menikmati gaya hidup global telah memacu semua orang untuk bekerja tak kenal waktu. Kondisi demikian ini telah mengubah tatanan kehidupan keluarga termasuk memunculkan penampilan ibu yang berbeda dalam peran dan fungsinya selaku penyelenggara rumah tangga dan pendidik anak.
Pemunculan ibu dalam kegiatan di luar rumah (bekerja, melakukan kegiatan sosial-budaya) yang mewarnai kehidupan keluarga di perkotaan, menimbulkan pertanyaan tentang hasil yang bisa diperoleh dari pendidikan anak. Pertanyaan ini menjadi terasa lebih bermakna karena ayah tak juga menjadi surut dari kegiatannya di luar rumah, bahkan cenderung meningkat seiring dengan tuntutan kehidupan, padahal kehadiran keduanya sangat diperlukan anak, tak peduli berapapun umurnya.
Kaitannya dengan itu, siapa yang layak ditunjuk dan diserahi tanggung jawab sebagai ‘keluarga pengganti’ (mengandung makna bukan mengambil alih atau menghilangkan tanggung jawab dan fungsi keluarga sepenuhnya, melainkan hanya mengganti untuk sementara waktu selama orang tua berhalangan dalam memberikan pendidikan sehingga anak terhindar dari stagnasi proses tumbuh kembang), tampaknya merupakan fenomena yang akan mewarnai wajah keluarga perkotaan di masa depan. Fenomena ini tentunya perlu disikapi sungguh-sungguh sejak sekarang, karena tidak mudah memperoleh ‘keluarga pengganti’ dalam keluarga yang bisa membantu dan berperan turun temurun, dari generasi ke generasi, seperti yang pernah dialami pada era sebelumnya.
Dalam perspektif tersebut, pemahaman mengenai berbagai kebutuhan perkembangan anak serta pentingnya pemenuhan kebutuhan dasar tersebut dalam meningkatkan kualitas tumbuh kembang anak, termasuk pemahaman mengenai lembaga yang dapat dijadikan alternatif pemenuhan kebutuhan dasar perkembangan anak, menjadi salah satu cara untuk mengerti persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kecenderungan berkurangnya fungsi keluarga dalam melaksanakan pengasuhan dan pendidikan, yang pada gilirannya bisa mengupayakan pemecahannya dengan memilih ’keluarga pengganti’ yang dapat meningkatkan kualitas tumbuh kembang anak.

PEMBAHASAN
Pertumbuhan dan perkembangan anak secara fisik, mental, sosial emosional dipengaruhi gizi, kesehatan, dan pendidikan (program perawatan anak yang dapat menciptakan pengaruh dan stimulasi intelektual dan interaksi kemanusian yang positif serta mampu memberikan aktivitas yang meningkatkan proses pembelajaran bagi anak-anak). Ini menjelaskan bahwa pemenuhan gizi, kesehatan, dan pendidikan dalam proses tumbuh kembang anak sangat penting.
Pentingnya pemenuhan gizi, kesehatan, dan pendidikan dalam proses tumbuh kembang anak telah banyak dibuktikan dalam berbagai penelitian, diantaranya penelitian longitudinal oleh Bloom mengenai kecerdasan yang menunjukkan bahwa kurun waktu 4 tahun pertama usia anak, perkembangan kognitifnya mencapai sekitar 50 persen, kurun waktu 8 tahun mencapai 80 persen, dan mencapai 100 persen setelah anak berusia 18 tahun. (Saidah, 2003).
Penelitian lainnya mengenai kecerdasan otak menunjukkan fakta bahwa untuk memaksimalkan kepandaian seorang anak, stimulasi harus diberikan sejak tiga tahun pertama dalam kehidupannya mengingat pada usia tersebut jumlah sel otak yang dipunyai dua kali lebih banyak dari sel-sel otak orang dewasa. (Oberlander, 2000)
Dalam kajian neurologi, dikemukakan bahwa selama tahun-tahun pertama kehidupan, otak menghasilkan bertriliun-triliun sambungan antarneuron. Selanjutnya, otak memusnahkan sambungan (sinapsis) yang jarang atau yang tidak pernah digunakan. Sambungan yang berlebih mengalami pemangkasan drastis yang dimulai pada usia 10 tahun atau sebelumnya. Karena itu, sambungan ini harus diperkuat melalui berbagai stimulasi intelektual yang dibarengi dengan pemberian gizi dan kesehatan yang memadai karena sambungan yang tidak diperkuat mengalami penyusutan (antrofi) dan akhirnya tidak berfungsi lagi. (Nash, 1997)
Kajian neurologi lainnya menjelaskan bahwa pertumbuhan otak tidak disebabkan oleh bertambahnya jumlah sel saraf tetapi oleh tumbuhnya percabangan juluran. Bila otak diprogram (digunakan untuk belajar) cabang dan ranting juluran sel saraf tumbuh berkembang, menjalin hubungan yang semakin rimbun. Bila tidak digunakan maka cabang ini menyusut dan menghilang. Selanjutnya, pertumbuhan juluran ini juga memerlukan gizi yang baik. Karena itu, Pemrograman otak yang berarti pendidikan dan gizi yang baik berpengaruh membentuk dan menentukan tumbuhnya percabangan juluran otak yang bersangkutan. (Markam dkk., 2003)
Tentang pemberian gizi yang baik bagi anak, terutama pada kurun waktu 4 tahun pertama sangat penting karena pemberian gizi yang kurang baik sangat berisiko pada berbagai kondisi kesehatan, gangguan kemampuan belajar, gangguan perkembangan mental, dan perkembangan kapasitas intelektual yang sangat terbatas. (Malla, 2002)
Hasil-hasil penelitian luar dan dalam negeri juga menunjukkan adanya hubungan nyata antara keadaan gizi dan kecerdasan, bahkan penelitian terbaru di Pengalengan menunjukkan bahwa kurang gizi tingkat ringan saja sudah menyebabkan kemunduran kecerdasan, apalagi pada tingkat sedang dan berat. (Husaini, 2003)
Gizi, kesehatan, dan pendidikan merupakan hal yang dibutuhkan dalam semua fase kehidupan, namun fase kanak-kanak harus lebih diutamakan karena pada fase tersebut anak mengalami perkembangan yang luar biasa termasuk otaknya, terutama pada tiga tahun pertama kehidupan. (Falsafi, 2002)
Kajian dan hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa usia balita dalam proses tumbuh kembang anak merupakan masa yang paling kritis karena perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya. Karena itu, stimulasi intelektual untuk mendukung perkembangan yang terjadi sangat fundamental sifatnya. Demikian halnya jika tidak tersedia zat gizi yang memadai dan derajat kesehatan yang tinggi maka kapasitas otak yang terbentuk tidak maksimum. (Jalal, 2002)
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa dalam proses tumbuh kembang anak, pendidikan tidak memberikan arti apabila tidak dibarengi dengan pemberian gizi dan kesehatan yang memadai. Demikian pula sebaliknya, ini berarti ketiga kebutuhan tersebut merupakan satu kesatuan (compounding) dalam membentuk kualitas tumbuh kembang anak, sebagaimana pendapat Myers (Patmonodewo, 2002) bahwa “kebutuhan anak terhadap kesehatan, gizi, dan pendidikan tidak dapat dipisahkan satu sama lain (sinergetik)”. Dengan perkataan lain, tumbuh kembang anak tidak hanya bergantung pada pemenuhan gizi dan kesehatan saja tetapi juga dipengaruhi oleh seberapa besar peran keluarga terutama orangtua dalam mempengaruhi aspek kejiwaan anak.
Kiranya tidak terbantahkan bahwa orang yang paling dekat dengan anak adalah keluarga terutama orangtua. Namun, dalam kehidupan ini banyak ditemui keluarga yang tidak begitu ideal dalam arti tidak dapat menjalankan fungsi keluarga terutama dalam pengasuhan, perawatan, pendidikan maupun pemenuhan kebutuhan dasar anak lainnya, seperti makanan bergizi, imunisasi, dan perawatan kesehatan.
Kecenderungan berkurangnya fungsi keluarga mengisyaratkan bahwa terdapat anak yang belum sepenuhnya memperoleh pemenuhan kebutuhan secara utuh dari keluarganya. Padahal bagi anak, pemenuhan kebutuhan tersebut merupakan hal yang mutlak dan tidak dapat ditunda-tunda karena kesempatan tersebut datangnya hanya sekali. Kesempatan yang tidak dimanfaatkan dalam periode ini hilang begitu saja dan tidak dapat diraih kembali.
Pentingnya pemenuhan kebutuhan gizi, kesehatan, dan pendidikan bagi anak dalam proses tumbuh kembangnya di satu sisi dan kecenderungan berkurangnya fungsi keluarga di lain sisi, memberikan peluang bagi berkembangnya lembaga yang menyelenggarakan layanan penitipan atau pengasuhan anak selama jangka waktu tertentu sebagai “keluarga pengganti” guna memberikan pemenuhan kebutuhan secara wajar kepada anak.
Peran sebagai “keluarga pengganti” mengandung makna bukan mengambil alih atau menghilangkan tanggungjawab dan fungsi keluarga sepenuhnya, melainkan hanya mengganti untuk sementara waktu selama orangtua berhalangan dalam memberikan asuhan, rawatan, perlindungan, dan pendidikan sehingga anak terhindar dari stagnasi proses tumbuh kembang yang pada gilirannya dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak secara keseluruhan.
Secara umum, bentuk lembaga yang berperan sebagai “keluarga pengganti” dapat dibedakan menjadi dua yakni Taman Penitipan Anak dan lembaga bukan Taman Penitipan Anak yang sebagian dari kegiatannya adalah layanan pengasuhan anak. Banyak contoh lembaga yang bukan Taman Penitipan Anak tetapi sekarang tumbuh subur adalah full day school, sebuah lembaga pendidikan sekolah dan prasekolah yang diselenggarakan hampir satu hari penuh. Lembaga ini tetap memberlakukan jam sekolah, seperti lembaga pendidikan lainnya, hanya saja setelah selesai jam sekolah anak-anak diberikan kegiatan ekstrakurikuler termasuk istirahat dan makan siang. Contoh lainnya adalah penitipan anak di pusat-pusat perbelanjaan yang memberikan layanan pengasuhan dalam hitungan jam selama orangtua anak berbelanja.
Taman Penitipan Anak sebagai “keluarga pengganti” diharapkan memberikan pembinaan kesejahteraan dan pelayanan pendidikan bagi anak usia dini untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. (Depdiknas, 2003). Karena itu, Taman Penitipan Anak dalam penyelenggaraannya selain melaksanakan kegiatan pengasuhan selama waktu tertentu juga perlu melaksanakan kegiatan pendidikan yang mengacu pada acuan menu pembelajaran PADU. (Wahyuti, 2003). Ini menunjukkan bahwa Taman Penitipan Anak bukan hanya untuk peningkatan kesejahteraan anak tetapi juga untuk mengembangkan berbagai potensi anak sejak dini dalam waktu tertentu sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Dalam pelaksanaanya, Taman Penitipan Anak menyelenggarakan layanan berupa pemberian makan/minum, pemeliharaan kesehatan, pemeriksaan dokter secara berkala, penimbangan berat badan, pemberian vitamin, bimbingan rohani, bimbingan prilaku dan budi pekerti anak, pengembangan kognitif anak, serta pengembangan sosialisasi anak. Penegasan ini menunjukkan bahwa Taman Penitipan Anak memberikan layanan holistik berupa layanan kesehatan, gizi, dan pendidikan secara terpadu, sehingga kebutuhan dasar anak balita dalam proses tumbuhkembangnya dapat terpenuhi. (Depsos, 2002)
Taman Penitipan Anak (TPA) yang dikenal dengan nama Day Care Center, pada perkembangannya menggunakan berbagai macam istilah yaitu Tempat Penitipan Anak, Sasana Penitipan Anak, Sasana Bina Balita, dan Panti Penitipan Anak. Di Indonesia keberadaan Taman Penitipan Anak sebetulnya bukan baru sekarang ini melainkan sudah ada sejak jaman Belanda, meskipun pada saat itu khusus untuk buruh-buruh perkebunan. Itu sebabnya hingga saat ini penitipan anak banyak berada di perkebunan. Sedangkan pemerintah baru mulai merintis Taman Penitipan Anak pada tahun 1964 dengan nama Taman Penitipan Anak Kampung Melayu Jakarta Timur, selanjutnya menyusul pendirian Taman Penitipan Anak Pertiwi yang juga berlokasi di Jakarta.
Taman Penitipan Anak sekarang ini dapat dikelompokkan menjadi tiga tipe. Pertama, tipe pengasuhan penuh (Full Day Care) yaitu penitipan anak yang dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan berupa penyuluhan, pelayanan, dan pendidikan dengan stimulasi psikomotorik dan psikososial secara penuh. Kedua, tipe setengah pengasuhan (Semi Day Care) yaitu penitipan anak yang dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan berupa hanya penyuluhan atau pelayanan saja ataupun pendidikan dengan stimulasi psikomotorik dan psikososial saja.
Ketiga, tipe pengasuhan sewaktu-waktu (Insidental Day Care) yaitu penitipan anak yang dilaksanakan dengan kegiatan-kegiatan berupa penyuluhan, pelayanan, dan pendidikan dengan stimulasi psikomotorik dan psikososial sewaktu-waktu bila diperlukan sesuai dengan kebutuhan orangtua. (Wahyuti, 2003)
Pengelompokan lainnya adalah pengelompokan berdasarkan lingkungan atau berlokasi yaitu penitipan anak yang berlokasi di lingkungan perkantoran dan perumahan serta di lingkungan perkebunan. Pengelompokan lainnya berdasarkan penyelenggara atau pengelola lembaganya antara lain oleh lembaga pemerintah, organisasi masyarakat, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, dan perorangan. (Setiawan, 2002)
Pada peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah ditegaskan bahwa penitipan anak adalah sarana pengembangan anak dini usia yang menyelenggarakan pendidikan dan layanan kesejahteraan anak. Dari sisi pendidikan, penitipan anak menjadi tanggungjawab Menteri Pendidikan Nasional, sedangkan dari sisi kesejahteraan anak menjadi tanggung jawab Menteri Sosial.
Dalam hubungan itu, Depsos (2002) menegaskan bahwa yang dimaksud Taman Penitipan Anak adalah lembaga pelayanan pengganti sementara yang mengambil tanggung jawab secara luas ketika orangtua bekerja, yang meliputi pelayanan sosialisasi anak, pengembangan perilaku anak, pendidikan anak, kesehatan anak, kegiatan bermain, kegiatan pengisian waktu luang dan pelayanan sosial kepada orangtua/keluarga seperti pelayanan konsultasi anak dan keluarga ketika anak membutuhkan pelayanan tambahan.
Selanjutnya, Depdiknas (2003) mengartikan Taman Penitipan Anak sebagai salah satu bentuk pendidikan anak dini usia pada jalur pendidikan non formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak dini usia sejak usia 3 bulan sampai dengan 6 tahun dan anak yang memerlukan pengasuhan dan perlindungan ketika orangtuanya berhalangan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa Taman Penitipan Anak adalah wahana pelayanan pendidikan dan pembinaan kesejahteraan anak atau lembaga yang melengkapi peranan keluarga dalam merawat dan mengasuh anak selama orangtua tidak di tempat atau berhalangan.
Tujuan Taman Penitipan Anak seperti ditegaskan Depsos (2002) adalah untuk:
1) Terjaminnya tumbuh kembang anak berupa pengasuhan, rawatan, dan pembinaan melalui proses sosialisasi dan pendidikan anak sebaik mungkin;
2) Tersedianya kesempatan bagi anak untuk memperoleh kelengkapan asuhan, rawatan, pembinaan dan pendidikan yang baik sehingga dapat terjamin kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi bagi anak;
3) Terhindarnya anak dari kemungkinan memperoleh tindakan kekerasan atau tindakan lain yang akan mengganggu atau mempengaruhi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak serta pembentukan kepribadian anak;
4) Terbantunya orangtua/keluarga dalam memantapkan fungsi keluarga, khususnya dalam melaksanakan pembinaan kesejahteraan anak di dalam dan di luar keluarga. Dengan demikian, lembaga pelayanan ini merupakan upaya preventif dalam menghadapi kekhawatiran keterlantaran melalui asuhan, perawatan, pendidikan, dan bimbingan bagi anak balita.
Mengacu pada penegasan di atas, dapat dikatakan bahwa Taman Penitipan Anak bertujuan untuk memberikan pelayanan pendidikan dan pembinaan kesejahteraan bagi anak dini usia untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
Fungsi Taman Penitipan Anak seperti ditegaskan Depsos (2002) adalah sebagai:
1) Pengganti fungsi orangtua sementara waktu. Kehadiran TPA adalah untuk menjawab ketidakmampuan keluarga (karena kesibukannya) dalam menjalankan beberapa fungsi yang seharusnya dilakukan. Fungsi tersebut antara lain sosialisasi, pendidikan prasekolah (pembelajaran prasekolah), asuhan, perawatan, dan pemeliharaan sosial anak;
2) Informasi, komunikasi, dan konsultasi di bidang kesejahteraan anak usia prasekolah. Dalam hal demikian, kehadiran TPA adalah sebagai sumber informasi, komunikasi, dan konsultasi tentang anak usia prasekolah beserta keluarganya kepada mereka yang membutuhkan;
3) Rujukan,yaitu TPA dapat digunakan sebagai penerima rujukan dari lembaga lain (pihak lain) dalam perolehan pelayanan bagi anak usia prasekolah dan sekaligus melaksanakan rujukan ke lembaga lain;
4) Pendidikan dan penelitian, yaitu TPA dapat digunakan sebagai tempat pendidikan dan penelitian serta sarana untuk magang bagi mereka yang berminat tentang anak balita.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa fungsi Taman Penitipan Anak adalah terutama sebagai pengganti keluarga untuk jangka waktu tertentu selama orangtuanya berhalangan atau tidak memiliki waktu yang cukup dalam mengasuh anaknya karena bekerja atau sebab lain.

PENUTUP
Gizi, kesehatan, dan pendidikan bagi anak dalam proses tumbuhkembangnya merupakan kebutuhan dasar yang fundamental sifatnya untuk dipenuhi dalam meningkatkan kualitas perkembangan anak. Dalam kaitan itu, Taman Penitipan Anak sebagai salah satu lembaga yang menyelenggarakan layanan holistik berupa layanan kesehatan, gizi, dan pendidikan secara terpadu selama waktu tertentu dapat dijadikan salah satu alternatif ’keluarga pengganti’ dalam memberikan pemenuhan kebutuhan dasar dalam proses tumbuh kembang anak.
Demikianlah, dalam menyikapi fenomena berkurangnya fungsi keluarga dalam pengasuhan dan pendidikan anak sebagai kecenderungan keluarga pada masyarakat perkotaan di masa depan, Taman Penitipan Anak dapat dijadikan solusi. Namun demikian, tidak berarti bahwa ini satu-satunya upaya yang dapat dilakukan. Artinya, pemilihan Taman Penitipan Anak sebagai ”keluarga pengganti’ harus ditopang oleh aspek-aspek lain seperti orangtua tetap membina dengan baik interaksinya dengan anak, hak anak atas kasih sayang dan perhatian tetap diberikan.

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2003. Pedoman Rintisan Program Taman Penitipan Anak. Jakarta: Ditjen PLSP Depdiknas RI.
Depsos. 2002. Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Sosial Anak di Taman Penitipan Anak (TPA). Jakarta: Ditjen Bina Kesejahteraan Sosial Depsos RI.
Falsafi, M. T. 2002. Anak, antara Kekuatan Gen dan Pendidikan. Bogor: Cahaya.
Feisal, J. A. 2002. “Kebijakan Pendidikan Nasional Menghadapi Tantangan Global” dalam Syarief, I (Ed), Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru: 70 Tahun Prof. Dr. H. A. R. Tilaar, M. Sc. Ed. (hlm. 124-133). Jakarta: Grasindo.
Husaini, M. A. 2003. “Peningkatan Kecerdasan Anak Memerlukan Gizi Seimbang”. Jurnal Ilmiah PAUD. Vol. 2 No. 03 hlm. 51-58.
Jalal, F. 2002. “Pendidikan Anak Dini Usia, Pendidikan Yang Mendasar”. Jurnal Ilmiah PAUD. Edisi Perdana hlm. 4-8.
Malla, A. 2002. “Gizi Untuk Perkembangan Kecerdasan Anak Dini Usia”. Jurnal Ilmiah PAUD. No. 02. hlm. 19-27.
Markam, S., Ade M., Herry P. 2003. “Pendidikan Anak Dini Usia Ditinjau Dari Segi Neurologi”. Jurnal Ilmiah PADU. Edisi khusus hlm. 47-52.
Nash, J. M. 1997. Otak Kanak-Kanak. Terjemahan dari Majalah Time Edisi 3 Februari 1997. Jakarta: PT. Tiga Raksa Satria.
Oberlander, J. R. 2000. Slow And Steady, Get Me Ready. Terjemahan oleh Soesanti Harini Hartono. 2003. Jakarta: PT. Gramedia.
Patmonodewo, S. 2002. “Pengembangan Anak Dini Usia, Berbagai Model Yang Ada”. Jurnal Ilmiah PADU. Edisi Perdana hlm. 36-39.
Saidah, E. S. 2003. “Pentingnya Stimulasi Mental Dini”. Jurnal Imiah Pendidikan Anak Dini Usia. No. 01. hlm. 50-55.
Setiawan, B. B. 2002. “Pengasuhan Anak dan Peran Penitipan Anak”. Jurnal Ilmiah PADU. Edisi Perdana hlm. 42-45.
Wahyuti, T. 2003. “Posisi Strategis Taman Penitipan Anak”. Jurnal Ilmiah PADU. No. 02. Vol. 2 hlm. 28-37.

Penulis : Suardi (Staf Pengajar PLS FIP Universitas Negri Makassar)

Sunday, January 30, 2011

Merangsang Minat Baca Anak Prasekolah

Membaca untuk anak usia prasekolah memiliki segudang manfaat. Minat baca anak sudah bisa dikembangkan sejak ia masih di usia kandungan. Lalu bagaimana dengan usia prasekolah? Dalam pemaparan mengenai kebaikan menumbuhkan minat baca pada anak beberapa waktu lalu di The Cone, FX, Jakarta, Sani B. Hermawan, Psi, Direktur Lembaga Daya Insani mengatakan bahwa usia anak prasekolah butuh trik sedikit berbeda ketimbang usia anak sekolah.

"Untuk usia anak sekolah, lebih baik diberikan cerita yang tokohnya itu asli. Kalau anak-anak usia prasekolah, tak masalah berupa dongeng atau cerita rakyat," jelasnya. Sani juga membagi tips cara merangsang minat baca anak usia prasekolah, yakni:

1. Bacakan cerita kepada anak dan minta ia untuk menceritakan kembali. Hal ini bisa membantunya berlatih mengambil hal-hal penting dari sebuah hal. Ini penting untuk melatih daya tangkapnya. Saat menceritakan ulang, ajak ia untuk melihat gambar dari buku cerita itu supaya bisa melatih daya imajinasinya saat mencoba menceritakan ulang.

2. Upayakan cerita yang dibawakan cukup singkat, menarik, serta memiliki gambar dan warna yang mencolok.

3. Bisa pula membuat cerita dari biografi anak itu sendiri.

4. Jadikan buku sebagai hadiah (reward) atas hal-hal yang baik yang dilakukan oleh anak.

Sumber: http://female.kompas.com/

Strategi mendidik anak

Pelajari tahap-tahap perkembangan anak
Usia 0-2 tahun adalah tahap sensorimotor (merasakan dunia melalui gerak dan indera, dan mempelajari keberadaan objek). Usia 2-7 tahun adalah tahap pra-operasional (mulai memiliki kecepatan motorik). Usia 7-11 tahun adalah tahap operasional konkret (mulai berpikir logis tentang kejadian-kejadian nyata).Di atas 11 tahun adalah tahap operasional formal (mulai mengembangkan penalaran abstrak).

2. Stimulasi anak sesuai kebutuhan
Anak usia prsekolah sampai usia SD awal mulai memiliki kecakapan motorik. Maka senang dengan melibatkan motorik kasar dan motorik halus. Anak usia 7-11 tahun mulai berpikir logis. mereka senang dengan belajar:mengamati alam sekitar,membuat percobaan untuk melihat sebab akibat dll. Anak usia 11 tahun ke atas mulai berpikir abstrak dan senang belajar dengan diskusi.

3. Respon setiap pertanyaan anak
Jangan matikan rasa ingin tahu anak dengan mengabaikan pertanyaan mereka. Pertanyaan adalah salah satu tanda adanya rasa ingin tahu.

4. Apresiasi proses belajar anak
Apapun yang dilakukan anak terutama anak prasekolah yang masih dalam proses belajar berikanlah penilaian positif.

5. Jadilah teman diskusi yang baik
Semakin besar usia anak berusahalah menjadi teman diskusi yang baik.

6. Biasakanlah anak belajar di rumah secara teratur.
yaitu belajar pada jam yang tepat setiap hari. Saat belajar, minimal anak mengulang pelajaran di sekolah dan melihat jadwal pelajaran besok. Pembiasaan belajar hendaknya tidak dilakukan secara drastis dan mendadak jika anak belum punya kebiasaan belajar.

7. Samakan kecenderungan metode belajar di rumah dan di sekolah
Orang tua perlu menjamin kekompakan dalam pola asuh. Ini memudahkan untuk menetapkan metode belajar tertentu untuk anak (sesuai kecenderungan anak).

sumber : http://tokomainananak.com/artikel/7-kiat-menumbuhkan-semangat-belajar-
anak-di-rumah.html