Saat ini anak-anak tak akrab lagi bermain dengan penuh peluh.
Permainan anak-anak mulai didominasi dengan layar dan tombol.
Komunitas Hong secara konsisten memperkenalkan permainan tradisional. Kang Zae,
pendiri komunitas Hong mencoba mengingatkan bahwa bermain juga bisa sambil
belajar. Bermain tidak hanya bermain, belajar pun tak sekedar belajar.
Tubuhnya yang mungil tengah asyik menikmati sore bersama
sekelompok bocah dan beberapa kawan. Senyumnya yang ramah kemudian menyambut kedatangan
saya. Percakapan kami kemudian dimulai di tengah hamparan padang rerumputan
yang berada tepat di sebelah Taman Hutan Raya Juanda yang berada di kawasan
Dago Pakar.
Bagi banyak pihak, nama Zaini Alif yang akrab dengan sapaan Kang
Zae ini bukanlah sosok asing, apalagi jika dikaitkan dengan “mainan dan
permainan” tradisional. Minat dan kecintaan terhadap budaya lokal ini telah
pula mengantarkannya sampai ke mancanegara. Dari balik tangan dinginnya,
lahirlah sebuah Komunitas yang dinamai Hong.
Hong memiliki arti pertemuan manusia dengan Tuhan. Selain itu,
di dunia permainan tradisional, ada sebuah permainan yang sampai detik ini
masih sangat populer dan dinamai Hong-hongan (petak umpet).
Komunitas Hong berada di Jalan Bukit Pakar Utara No. 35 Bandung.
Hong memulai pergerakannya sejak tahun 1996. Kala itu, Kang Zae tengah asyik
menyelesaikan tugas akhir kuliahnya yang mengangkat tema berkenaan dengan mainan dan permainan tradisional. “Ada dua pengertian, ‘mainan’
dan ‘permainan’. Mainan berorientasi pada ‘toys’, sesuatu yang biasa
dikerjakan dan menyenangkan, sedangkan permainan orientasinya adalah
menang-kalah, lazimnya disebut ‘games’.
Berbeda dengan pengertian kompetisi dalam permainan-permainan
modern yang hanya menekankan dan menargetkan pada menang dan kalah, menangkalah dalam permainan tradisional
memiliki sisi di mana anak-anak diajak bermain sambil mengeluarkan potensi diri yang dimilikinya, baik potensi
motorik maupun potensi kreativitasnya,” papar lelaki yang sehari-harinya disibukkan pula dengan mengajar di
Sekolah Tinggi Seni Bandung (STSI) dan menjadi dosen luar biasa di Institut
Teknologi Nasional (ITENAS) ini.
Kang Zae berburu beragam mainan tersebut dengan berkeliling ke
kampung- kampung adat dan mewawancara pihak-pihak
yang masih mengerti tentang hal itu. Adapun untuk mainan yang sudah punah, ia
biasanya melakukan rekontruksi alias membuat ulang mainan mainan tersebut.
Baginya, mainan dan permainan tradisional memiliki kelebihan dibandingkan
dengan permainan modern meski masyarakat beranggapan bahwa permainan
tradisional atau permainan rakyat dianggap kotor, rendah, kampungan, dan
permainan dari luar itu yang terbaik. “Padahal, jika ditinjau dari sisi psikologis dan edukasi,
permainan modern hanya menyajikan bentuk lahiriah semata, sedangkan permainan tradisional, selain mengetengahkan sesuatu
yang lahiriah, ia juga mengolah rasa seperti empati dan mendekatkan diri dengan
alam. Itu adalah keunggulan permainan tradisional,” ungkapnya sejurus kemudian.
Saat ini, sudah ada 250 jenis permainan yang terdata oleh
Komunitas Hong. Semuanya mengandung unsur filosofis tinggi, tapi sangat
disayangkan karena permainan tradisional mulai dilupakan. Beberapa jenis
permainan tradisional itu adalah cinciripit, galah bandung dan bebentengan.
Kang Zae mengatakan, dengan permainan tradisional anak-anak bisa
mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan sikap. “Selain itu, permainan tradisional bisa juga dapat
mengembangkan aspek pengembangan moral, nilai agama, sosial, bahasa, dan fungsi motorik,” jelasnya.
Adapun mainan, berjumlah ribuan. Kang Zae menyatakan bahwa
mainan tradisional dekat dengan alam dan berkontribusi bagi permbangan pribadi anak.
Mainan itu dapat dibuat sendiri sehingga bisa melatih kreativitas dan tanggungjawab anak. Perihal mainan, Kang Zae punya citacita. Membuat
museum mainan tradisional.
Kini mainan itu sedikit demi sedikit mulai diwujudkan dengan
menjadikan rumah tinggalnya menjadi sebuah museum seperti yang diimpikannya. Tentu saja, apa yang dilakukan
oleh Kang Zae dan Komunitas Hong bukanlah sekadar pengumpul semata, bukan sekadar membuat ulang
mainan-mainan yang kian jarang ditemui di tengah kota. Sedikit serius, ini adalah percakapan singkat mengenai
sebuah komunitas yang dengan tangan kecilnya berusaha memertahankan tradisi
melalui mainan dan permainan tradisional.
Sumber : Warta PAUDNi Edisi Februari 2012
0 comments:
Post a Comment