Kasus kekerasan seksual pada anak kerap
muncul dalam pemberitaan media nasional dalam beberapa bulan belakangan ini.
Meski telah menimbulkan trauma psikis dan fisik terhadap korban, ancaman
hukuman terhadap pelaku terkadang relatif ringan. Bahkan beberapa perkara
menguap begitu saja. Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual
membuat banyak orang tua was-was akan keselamatan anak mereka.
Istilah kekerasan
seksual pada anak muncul sejak 1999 oleh American Academy of Pediatrics.
Istilah ini sendiri berarti perlakuan seksual dari orang dewasa kepada anak
yang belum cukup umur, dan melanggar hukum serta norma sosial. Seperti kontak
fisik yang tidak wajar hingga hubungan seksual atau pemerkosaan.
Menurut psikolog
anak, Toge Aprilianto kepada Plasadana.com untuk Yahoo Indonesia, kekerasan seksual pada anak dapat teridentifikasi
dengan melihat perubahan perilaku maupun kondisi fisiknya. “Anak-anak cenderung
akan lebih pendiam dan menutup diri setelah kejadian kekerasan seksual,” kata
Aprilianto, Rabu, 16 Oktober 2014. “Terkadang juga ada perubahan fisik.”
Untuk mencegahnya,
orang tua harus membiasakan anak untuk mengenal konsep kepemilikan. Seperti
menjaga dan melarang orang lain menyentuh alat genital, dada, bokong, paha,
serta mulut. Juga membekali anak cara menghadapi pelaku kekerasan seksual.
Orang tua harus ikut
pula berperan dalam melindungi anak dari kekerasan seksual dengan membantunya
belajar menjadi dewasa. Istilah dewasa dalam konteks perilaku mengacu pada
kualitas personal dan berkaitan dengan kondisi mental yang berisi kesanggupan
berpikir, belajar, serta peduli. Sedangkan dewasa dalam konteks kualitas
personal, orang tua dapat mengajarkan anak untuk menjadi dewasa sebelum mereka
berusia 13 tahun. “Sehingga pada masa remaja, anak-anak tidak menjadikannya
sebagai ajang pencarian jati diri semata,” kata dia.
Aprilianto
menyarankan agar orang tua mulai mengajarkan anak tentang pendidikan seks sejak
dini. Terlebih bila anak-ana sudah bisa diajak berinteraksi. Sebab pendidikan
seks adalah proses pembentukan atau perubahan sikap untuk menjadi dewasa.
Pemahaman seks bisa dilakukan dengan metode belajar dan menjadikannya sesuatu
yang bersifat alamiah. Bukan menempatkan pendidikan seks sebagai hal tabu.
Pendidikan seks tidak
perlu dikemas dalam bentuk kurikulum khusus atau sebagai program formal seperti
belajar di sekolah. Malah sebaiknya dilakukan dalam ruang privat sebagai
aktivitas personal. “Supaya isu seks tidak jadi tema murahan,” kata dia.
Tujuannya pun bukan mengajarkan anak terhindar dari aktivitas seks di usia
dini. “Tapi mengajarkan mereka supaya paham tentang alat kelamin, fungsi, dan
pemanfaatannya.”
sumber:https://id.she.yahoo.com/