Monday, November 12, 2012

Kemerdekaan Di Perbatasan


Berita tentang lebih mudahnya masyarakat terluar di perbatasan untuk mengakses televisi negara perbatasan daripada televisi negeri sendiri, bukan berita baru. Demikian juga akses perekonomian masyarakat terluar yang lebih mudah mengakses pusat perekonomian negara perbatasan daripada ke pusat perekonomian negeri sendiri. Ini hanya sebagian kecil dari kemudahan akses yang diperoleh masyarakat terluar Indonesia pada negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia. Jadi, tidak perlu heran jika anak-anak Indonesia pada masyarakat terluar yang berbatasan dengan Malaysia dapat menyanyikan lagu “Negaraku”, tetapi belum pernah mendengar lagu “Indonesia Raya”.
Ini bukan persoalan sepele. Jika dibiarkan terus terjadi akan mengancam disintegrasi bangsa, yang berarti penolakan terhadap proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan kata lain, masyarakat terluar sangat rentan untuk menjadikan diri mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang merdeka lebih dari 60 tahun lalu.
Mengapa? Dalam keseharian, sejak lahir mereka “dipaksa” oleh keadaan untuk menerima nilai-nilai dan aturan dari negara perbatasan. Dengan kata lain, hanya kartu identitas –mereka memiliki kartu identitas dari dua negara- yang menunjukkan bahwa mereka adalah bangsa Indonesia. Aturan yang harus mereka ikuti adalah aturan negara perbatasan karena mereka melakukan aktivitasnya di negara perbatasan. Nilai-nilai budaya yang mereka serap adalah nilai-nilai negara perbatasan sebagai akibat dari interaksi dengan warga negara perbatasan dan akses informasi yang mereka terima. Jadilah mereka berbadan Indonesia berjiwa negara perbatasan.
Kenyataan inilah yang pada akhirnya mendorong pemerintah, pada semua kementerian untuk memberikan perhatian lebih kepada masyarakat terluar. Kapan pun kesadaran ini muncul tidak berarti sebuah keterlambatan. Kapan pun dimulai, tidak menjadi persoalan. Tidak salah juga, jika pada awal-awalnya pembangunan dilakukan pada masyarakat yang tinggal di daerah padat penduduk.
Sebagai warga negara Indonesia mereka pun berhak mendapatkan hak yang sama dengan warga negara yang tinggal di tempat lain. Persoalannya, cukupkah jika hanya pemerintah yang harus memikul kewajiban ini?
Pemerintah dengan segala kewenangannya selalu memiliki keterbatasan keterbatasan yang dapat diatasi dengan keterlibatan seluruh warga masyarakat. Tidak sulit bagi pemerintah untuk membangun gedung pasar di daerah terdepan. Persoalannya, perekonomian tidak dapat dibangun hanya dengan membangun gedung pasar. Tanpa ada keterlibatan pedagang dan konsumen yang menggunakan gedung pasar sebagai tempat yang disepakati untuk bertransaksi, gedung pasar yang telah dibangun akan menjadi bangunan terbengkalai. Demikian juga dengan pendidikan. Bangunan sekolah tanpa guru, sama halnya dengan bangunan pasar tanpa pedagang. Sementara itu penugasan guru di sekolah yang berada di wilayah terluar, bukan perkara mudah. Jika pun sudah ditunjuk, tidak sedikit guru yang tidak betah berada di wilayah terluar dengan berbagai alasan. Lantas, apakah mereka tidak berhak mendapatkan pendidikan dan kita biarkan mengakses nilainilai dari negara perbatasan?
Sebagai langkah awal, layanan pendidikan nonformal merupakan pilihan tepat. Disamping lebih bertumpu pada keterlibatan masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan, fleksibilitas pendidikan nonformal merupakan nilai lebih untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada masyarakat terluar.
Keterlibatan masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan menjadi sangat penting untuk merintis layanan pendidikan bagi masyarakat terluar dengan pertimbangan mereka sendirilah yang memahami kebutuhan dan cara pemenuhan kebutuhan akan pendidikan. Jika masyarakat setempat yang menyelenggarakan pendidikan, mereka lah yang akan memilih tempat, memilih pendidiknya, sampai dengan menentukan cara belajar yang sesuai dengan gaya hidup mereka. Posisi pemerintah dan pemerintah daerah adalah memfasilitasi agar proses pembelajaran dapat berlangsung. Dengan demikian, harapan agar masyarakat terluar dapat merasakan buah dari kemerdekaan dapat segera terwujud.

Oleh : Eko Yunianto
Sumber: Warta PAUDNI September 2011 

Wednesday, November 7, 2012

APE, Tingkatkan Perkembangan dan Kreativitas Anak


Dunia anak adalah dunia bermain. Mulai dari bayi hingga masa kanak-kanak anak senang bermain. Kebutuhan atau dorongan internal (terutama tumbuhnya sel saraf di otak) sangat memungkinkan anak melakukan berbagai aktivitas bermain tanpa mengenal lelah. Dengan bermain anak dapat menyalurkan kelebihan energi yang terkandung dalam tubuhnya sekaligus belajar atau berlatih dalam suasana riang gembira untuk meningkatkan fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan mutu pendidikan anak, pemahaman yang cukup bagi pendidik dan orang tua mengenai alat permainan edukatif (APE) sebagai sumber belajar amat diperlukan.
APE adalah sarana untuk merangsang anak dalam mempelajari sesuatu dengan bermain, baik menggunakan teknologi modern maupun tradisional. APE dibuat sebagai upaya untuk merangsang kemampuan fisik motorik anak (aspek psikomotor), kemampuan sosial emosional (aspek afektif) serta kemampuan kecerdasan (kognisi).
Kegiatan bermain yang mengandung edukasi akan merangsang perkembangan emosi, perkembangan sosial dan perkembangan fisik anak. Setiap anak, memiliki kebutuhan bermain yang berlainan sesuai dengan perkembangan anak. Semakin besar fantasi yang bisa dikembangkan anak dari sebuah mainan, maka akan semakin lama mainan itu menarik baginya.
Dari segi pendidikan, bermain memberi peluang pada anak untuk berswakarya, melakukan dan men ciptakan sesuatu dari permainan itu dengan tenaganya sendiri.
Dr. Anggani Sudono MA dalam seminar Pendidikan Anak Usia Dini di Aula Pasca Sarjana IAIN Imam Bonjol Padang beberapa tahun silam menyatakan peran bermain dengan APE sangat membantu meningkatkan kematangan sampai tingkat pencapaian perkembangan anak. Ketika anak bermain berulang-ulang dengan spontanitas, bereksplorasi kemudian dilakukan intervensi tepat yang bermakna, maka anak mulai memahami APE yang dimainkannya. Sehingga dalam memilih dan menentukan alat alat permainan yang dianggap dapat mendidik tersebut, orang tua dan guru dituntut bijak dalam membelanjakannya, sebab tidak semua alat yang harganya mahal dan dicap “modern” itu bersifat mendidik, bisa jadi hanya akan menanamkan mental instant dan konsumtif kepada anak.

Media Pembelajaran
Dalam proses pembelajaran, pendidik sangat mengharapkan proses pembelajaran secara efektif, efisien, dan berkualitas. Untuk itu diperlukan media instruksional. Media instruksional adalah “sarana komunikasi yang digunakan dalam proses belajarmengajar untuk mencapai tujuan instruksional yang efektif dan efisien melalui perangkat keras maupun lunak” (Ahmad Rohani, 1997: 4).
Tingkatkan kreativitas anak
Bagi seorang anak, bermain adalah bagian terbesar dari kegiatan kesehariannya. Hampir semua jenis permainan anak membutuhkan peralatan. Pada intinya, peran APE ditujukan untuk mengembangkan kreativitas melalui tiga hal berikut:
Keterampilan motorik halus dan wawasan berpikir anak;
Dengan bergerak, seperti berlari atau melompat, seorang anak akan terlatih motorik kasarnya, sehingga memiliki sistem perototan yang terbentuk secara baik dan sehat. Kemampuan motorik halusnya akan terlatih dengan permainan puzzle, membedakan bentuk besar dan kecil, dan sebagainya.
Kemampuan sosial-emosional;
Anak melakukan aktivitas bermain karena ia merasa senang untuk melakukannya. Pada tahap-tahap awal anak melakukan aktivitas bermain karena ia merasa senang untuk melakukannya. Pada tahap-tahap awal perkembangannya, orang tua merupakan kawan utama dalam bermain. Pergeseran akan terjadi seiring dengan bertambahnya umur anak, terutama setelah memasuki usia sekolah. Di sekolah, anak akan mengalami proses sosialisasi bergaul dengan kawan sebaya dan gurunya.
Kemampuan kognisi (kecerdasan);
Dalam proses bermain, anak juga bisa diperkenalkan dengan perbendaharaan huruf, angka, kata, bahasa, komunikasi timbal balik, maupun mengenal objek-objek tertentu. Misalnya bentuk (besar atau kecil) dan rasa (asam, manis, asin, atau pahit). Pengembangan kreatifitas sejak usia dini, tinjauan dari penelitian-penelitian tentang proses kreativitas,
kondisis-kondisinya, serta cara-cara yang dapat memupuk, merangsang, dan mengembangkan menjadi sangat penting .Ada beberapa alasan, kreativitas seseorang perlu dipupuk sejak dini agar lebih bermakna dalam hidup dan kehidupan anak.
Pertama, karena dengan berkreasi orang dapat mewujudkan (mengaktualisasikan) dirinya. Aktualisasi diri merupakan kebutuhan pokok pada tingkat tertinggi dalam hidup manusia.
 Kedua, berfikir kreatif sebagai kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah, merupakan bentuk pemikiran yang sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam pendidikan (Guilford, 1967).
Ketiga, bersibuk diri secara kreatif tidak hanya bermanfaat (bagi diri pribadi dan lingkungan ) tetapi juga memberikan kepuasan kepada individu. Dengan demikian permainan edukatif dipandang sangat penting dalam meningkatkan kretaifitas anak terutama dalam hal kemampuan berbahasa, berpikir, serta bergaul dengan lingkungannya. Disamping
itu, permainan edukatif juga bermanfaat untuk menguatkan dan menerampilkan anggota badan si anak, mengembangkan kepribadian, mendekatkan hubungan antara pengasuh dengan anak didik, serta menyalurkan kegiatan anak.

Sumber: Warta PAUDNI Edisi Februari 2012