Friday, August 21, 2009

Krisis Parah dalam Pendidikan Indonesia

Pada umumnya masyarakat Indonesia dapat merasakan dan menyadari dengan jelas krisis ekonomi dan krisis finansial seperti yang terjadi pada tahun 1998 dan 2008. Namun mereka kurang menyadari krisis yang berdampak lebih besar, yaitu krisis pendidikan Indonesia.
Krisis Pendidikan semakin parah justru setelah Indonesia berdemokrasi dan bebas memilih apa yang terbaik untuk rakyat dan lepas dari belenggu kediktatoran.
Tak seperti krisis ekonomi, krisis pendidikan ini berimplikasi pelan tapi pasti dan kuat pada struktur sosial di masa depan.
Biang utama dari krisis pendidikan adalah sistem pendidikan yang mengadopsi sistem pasar dan konsep efisiensi privat atau perusahaan swasta yang dibawa pada ranah pendidikan yang bersifat publik.
Sistem ini sebenarnya telah melecehkan konstitusi yang menempatkan negara yang berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penghayatan terhadap totalitas konstitusi sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri bangsa, konstruksi sosial masyarakat yang sudah terkapitalisasi, dan ketidakcukupan pemaknaan yang lebih tegas, banyak melahirkan peraturan dan perundangan yang membawa ideologi yang sama sekali tidak dikehendaki oleh pendiri bangsa ini.
Bahkan ketika konstitusi mengamanatkan dengan jelas alokasi anggaran untuk pendidikan, masih banyak dimaklumi pemunduran penerapannya. Bahkan ketika kesempatan itu ada, maka implementasi alokasi anggaran masih serabutan dan tidak jelas arahnya.
Ideologi dasar sistem pendidikan Indonesia saat ini tak lain adalah ideologi neoliberal murni, meski masih dibatasi oleh kondisi sosial. Artinya kerangka dasar sistem pendidikan Indonesia adalah ideologi neoliberal dengan penyesuaian-penyesuaian kecil yang terlihat peduli pada hak-hak dan beban sosial masyarakat.
Jadi perhatian pada hak rakyat atas pendidikan hanya ditempatkan sebagai kendala, yang dipenuhi agar sistem utama dapat berjalan.
Dalam sistem seperti ini pendidikan ditempatkan sebagai komoditas, peranan pemerintah dimimalisasi dengan berfokus pada kontrol kurikulum dan standar, melakukan desentralisasi kepada pemerintah daerah atau dengan kata lain negara melempar kewajibannya pada entitas politik lokal.
Guru, dosen, dan profesi pendidik dininabobokkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa atau dengan kata lain ditempatkan dalam status ekonomi dan kondisi kerja yang rendah.
Upaya meningkatkan kesejahteraan, seperti kenaikan gaji yang tidak signifikan atau sistem sertifikasi yang tidak masuk akal, memperkuat asumsi itu.
Indikasi ini dapat dilihat pada semua level pendidikan dari tingkat dasar, sampai pendidikan tinggi. Pada sekolah dasar dan menengah, kesenjangan pada sekolah-sekolah negeri sendiri sangatlah tinggi. Ada sekolah yang kaya dan ada sekolah yang miskin.
Status sekolah menjadi tergantung kondisi sosial ekonomi muridnya. Ada sekolah roboh, ada sekolah yang megah, padahal semua sekolah pemerintah.
Bahkan di dalam sekolah pun dibedakan, ada yang masuk rintisan sekolah bertaraf internasional dan ada sekolah biasa saja. Yang satu ber-AC dan berbahasa inggris, yang satu berkeringat dan berbahasa Indonesia.
Mengapa ada rintisan sekolah bertaraf internasional? Ini adalah wujud dari ketidakpercayaan diri pada sekolah nasional atau inferioritas sebagai bangsa.
Kalaupun sekolah bertaraf internasional ini memang dianggap memiliki kualitas yang lebih baik kenapa tidak dijadikan standar nasional untuk semua, kenapa hanya diperuntukkan hanya untuk kelompok tertentu.
Diskriminasi terjadi tidak hanya ketika akan masuk sekolah yang tersaring dengan tarif yang mahal, akan tetapi dalamn proses di dalamnyapun terjadi diskriminasi lanjutan. Pada tingkat pendidikan tinggi, universitas besar dijadikan BHMN (Badan Hukum Milik Negara), sekarang sedang menuju BHP (Badan Hukum Pendidikan).
Sekolah dan perguruan tinggi didesain agar berpikir dan bergerak secara swasta, dengan sebuah asumsi dasar swasta selalu lebih baik dari publik atau pemerintah.
Universitas didorong menjadi entrepreneurial university sehingga PT (Perguruan Tinggi) berperilaku seperti PT (Perseroan Terbatas).
Logika pasar benar-benar merebah. Uang masuk mahal, SPP mahal, bahkan sampai para dosennya sendiri tidak akan mampu menyekolahkan anaknya di universitas tempat mengajar.
Perguruan tinggi pun sekarang mengejar kelasnya menjadi berkelas dunia (world class university). Daripada berusaha menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi bangsa sendiri, perguruan tinggi mengikuti arus global dengan mengacu pada standar-standar internasional yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan bangsa sendiri.

0 comments: