''Allah lebih mengetahui apa yang kita butuhkan dari diri kita sendiri,'' ujarnya kepada Republika, Senin. AaGym, demikian panggilan akrab Abdullah Gymnastiar, mengatakan, untuk menghindari sikap emosi, seseorang harus siap menghadapi hal yang cocok ataupun yang tidak cocok. Hal itu karena emosi yang muncul pada diri manusia dilatarbelakangi oleh sikap tidak dapat menerima keadaan atas realitas yang ada.
Pimpinan Pondok Pesantren Daarud Tauhid, Bandung, Jabar, tersebut menjelaskan, ada lima hal yang harus diperhatikan agar dapat menerima realitas yang dihadapi. Di antaranya, pertama, mempersiapkan diri secara mental untuk menghadapi keadaan yang sesuai dengan kita atau mungkin yang bertolak belakang dengan keinginan kita. Kedua, bersikap rida terhadap segala hal yang terjadi. ''Jika kita sedang sakit atau dalam keadaan susah, kita pun harus rida,'' ujarnya.Aa Gym memberikan gambaran, terkadang manusia sering mempersulit diri dengan menganggap hal-hal yang enteng dikerjakan menjadi suatu hal yang sulit dilakukan. Hal itu dapat membangkitkan emosi dalam diri kita. Evaluasi diri, menurut dia, dapat membantu kita menyadari dan menciptakan keseimbangan emosi.
Selain itu, semua yang kita lakukan harus disertai harapan kepada Allah bahwa hanya Allah-lah satu-satunya yang dapat kita mintai pertolongan karena hanya kepada-Nya kita menggantungkan diri.Mantan menteri agama dan ketua dewan pembina Yadmi, Dr Tarmizi Taher, mengatakan, puasa tidak dapat dimaknai sebatas menahan lapar dan haus, tetapi juga sebagai bentuk empati bagi orang yang menderita atau mereka yang diliputi rasa haus dan lapar.
''Orang yang berpuasa akan merasakan sambung rasa dengan sesamanya sehingga dia akan memikirkan orang yang merasakan lapar dan haus seperti dirinya,'' ujar Tarmizi. Hal itu bisa terjadi karena yang menyentuh orang yang sedang berpuasa adalah emosinya. Karena itu, manusia harus mempunyai tali sambung rasa dengan sesama dan ini akan berpengaruh bagi emosi manusia.Puasa diharapkan dapat memberikan pengaruh positif untuk menahan emosi yang meledak-ledak menjadi lebih santun. Tarmizi mengatakan, puasa itu bisa digunakan sebagai latihan untuk menahan diri. Ini dapat ditanamkan sejak dini kepada anak karena manfaatnya besar.
Orang yang tidak mempunyai nilai sambung rasa, lanjut dia, masuk ke dalam golongan orang yang mendustakan agama. Nilai sambung rasa ini merupakan sarana untuk mendidik kematangan emosi seseorang. ''Puasa dapat menumbuhkan empati dan kemanusiaan serta menumbuhkan sikap sambung rasa.''Puasa secara artifisial, dapat menumbuhkan rasa empati atau kepedulian kita terhadap sesama. Kepedulian tersebut tidak bisa diberikan secara teori, tetapi harus dipraktikkan dan melalui proses latihan perlahan-lahan sejak kecil.
Puasa bermanfaat karena dapat digunakan sebagai kontrol emosi, mempertebal kesadaran, dan menciptakan keseimbangan emosi. Orang yang hanya mementingkan rasio, kata Tarmizi, emosinya tidak seimbang. Idealnya, untuk mengendalikan emosi dapat dimulai sejak seorang anak mulai menciptakan nilai diri dan mengenali lingkungannya, yaitu pada usia tujuh tahun. Hal itu bisa ditempuh dengan berpuasa.Puasa merupakan jihad akbar, tidak hanya menahan diri dari lapar dan dahaga, tetapi juga dari nafsu dan emosi yang meledak-ledak. Emosi yang negatif harus bisa dikendalikan supaya dapat menjadi emosi positif. c85/taq