Monday, October 3, 2011

Pendidikan Hanya Bisa Berhasil Tuntas Bila Caranya Sesuai Kesempurnaan Ciptaanya

Para pembaca 'magic brain' yang budiman dan bijak, ada kemungkinan besar bahwa pada zaman 'teknologi canggih' ini, kita harus melaksanakan ''Pendidikan Ulang'' yang menyangkut cara-cara yang hingga saat terkini berulang terus sebagai cara yang paling utama.Kita kini mengetahui dengan jelas dan tegas, bahwa pemupukan Intelektualitas, dengan segala hormat kepada yang menemukanya, masih sangat rentan terhadap 'Perilaku' yang merupakan ''Pondasi'' dari pelaksanaan apapun yang tertanam sebagai 'Intelektualisme' di dalam perangkat pengelolaan kita, yaitu 'Pusat Pikir' atau juga dikenal dengan 'Brain'.
Selama berabad-abad, Pusat Pikir berfungsi hanya dengan Separoh Potensi yang sebenarnya. Inilah yang oleh kebanyakan diantara kita telah diakui sebagai suatu ''kelemahan'' yang terus-menerus terjadi tanpa melaksanakan suatu ''perubahan'' yang tuntas.
Kita ketahui sudah, bahwa kelemahan tidak memberikan sesuatu yang bisa dikatakan sempurna! Tapi terus saja dilaksanakan dengan menyatakan bahwa kita harus belajar dari kelemahan yang menimbulkan kesalahan kesalahan. Ada yang menyatakan bahwa pengalaman suatu kesalahan itulah yang harus kita amati, awasi dan pelajari. Benarkah sikap seperti itu?
Kenyataanya adalah, bahwa sering kali kita tidak pernah mau belajar dari kesalahan tersebut, bukan begitu yang terjadi hingga saat terkini? Banyak sekali contoh-contoh yang memberikan kenyataan tersebut. Begitu ''Lemah-kah'' kita ini sebagai Ciptaan YME yang pada hakekatnya sempurna?
Lalu pernahkah kita ketahui arti dari suatu ke-sempurnaan itu? Bila kita bicara mengenai hal kesempurnaan tadi, maka sudah jelas bahwa seorang yang dikatakan sempurna akan pasti mampu menghindarkan diri dari suatu bentuk kesalahan, apapun itu.
Pertanyaan akan timbul lalu, bagaimana hal itu bisa dilaksanakan? Apakah seorang manusia tidak selalu rentan terhadap kesalahan-kesalahan? Bisakah atau bolehkah seorang manusia berbuat suatu kesalahan? Bila kita tinjau dan simak arti dari kesalahan itu, maka akan terjadi dua hal, yaitu:

1. Peka-kah seseorang akan suatu perbuatan diukur dari pandangan ''Positif'' dan ''Negatif''?
2. Sadarkah seseorang akan tindakan yang akan dilaksanakan yang akan mengadakan pengaruh terhadap lingkunganya? Bagaimana pengaruh itu dari sudut pandangannya sendiri dan akibatnya terhadap bentuk lingkunganya?

Inilah hal yang harus kita ketahui sebelum melaksanakan suatu tindakan. Dan, sampai dimanakah mutu kesadaran kita pada saat itu? Sudahkah hal-hal seperti ini pernah ditanggapi dengan serius? Yang dilihat sebagai suatu kenyataan adalah, bahwa sedikit sekali orang mampu untuk mengawasi diri sendiri.
Tak perlulah kita menyangkal hal ini karena mungkin akan mengurangi suatu gengsi . Ketahuilah para pembaca, bahwa urusan serta tingkatan gengsi ini pun dapat kita awasi dengan ketat, bila mampu menggunakan kesempurnaan kita
Masih banyak diantara kita yang kurang serius mermperhatikan perilaku dirisendiri , bukan? Karena tidak pernah terdidik untuk melaksanakan hal itu. Apakah memang memerlukan pendidikan akan hal mengawasi diri sendiri? Pernahkah disekolah-sekolah apapun tingkatanya selalu ditekankan untuk mengawasi diri sendiri terlebih dahulu sebelum dengan sangat serius menghakimi orang lain?
Paling tidak kondisi seperti itu sangat tergantung dari rasa sopansantun pada diri kita yang harus diakui merupakan pendidikan inti dari orang tua serta lingkungan keluarga.
Sopan santun merupakan suatu ''Elegansi'' di dalam bertindak dengan cara apapun. Secara politis, elegansi tersebut digunakan di dalam perundingan ''Diplomasi''. Apakah hal seperti itu lalu ditanggapi sebagai suatu kelemahan?

Pikirkanlah masak-masak mengenai hal ini dan akuilah bahwa dengan ke-''brutalan'' serta ke-kerasan tidak akan pernah dapat dicapai suatu ketuntasan di dalam penyelesaian suatu masalah, bukan? Kelihatanya selesai, tapi nyatanya akan selalu memupuk ''dendam''.
Dapatkah hal ini ditanggapi dengan serius dan positif oleh para pembaca? Bila menanggapi sesuatu dengan tingkatan emosi tertentu yang tak terkendali, biasanya mengarah kepada suatu bentuk tingkatan negatif , dan akan melaksanakan bentuk ''penganiayaan'' yang menyangkut orang lain beserta lingkunganya.

Penulis dengan artikel ini ingin mengungkapkan kenyataan kekurangan pendidikan ''Mental'' yang hanya positif saja. Bila kita bisa melaksanakan ''brain washing'' atau ''pencucian Otak'' membawakan suatu doktrin dan dogma menganggap orang lain sebagai ''musuh'' yang kita ketahui kenyataanya pada kedua ''Perang Dunia'' yang dahsyat itu, maka.mengapa kita masih enggan juga untuk melaksanakan ''brain washing'' dengan cara serta tujuan ''positif''?
Dimanakah disini letak dari pandangan yang benar atau yang dicari pembenaranya untuk sesuatu yang tidak jujur atau sebaliknya ??? Renungkanlah hal ini dengan seksama dan serius, dan akan diketahui dengan tuntas siapa yang kurang sempurna dan yang sempurna! Suatu kesempurnaan mempunyai arti, bahwa kita sudah mengetahui serta memaklumi akan tindakan kita, karena peka terhadap suatu kejadian yang akan atau belum terjadi. Inilah harus di-'brain wash'-kan kepada generasi penerus untuk selalu menjaga kesopanan dan kesantunan terhadap sesama manusia (Kita), apapun bentuk, tabiat serta asal usulnya.
Mempengaruhi kesopanan melalui pengendalian dari bagian kita yang ''subyektif'' kini jauh lebih sempurna daripada keadaan pada masa lalu.

H.Rd.Lasmono Abdulrify Dyar, Dipl.Sys.Ing., Ph.D.
Lecturer dan Director/Coordinator, Indonesian Territory
Silva International Incorporation of The Silva Method

Sumber : Direktorat Pendidikan Masyarakat, Kemdiknas

0 comments: