Sunday, October 23, 2011

Cara Jitu Berkomuniasi dengan Anak

Berkomunikasi dengan anak itu susah-susah gambang. Banyak keinginan mereka yang tak diketahui oleh orang dewasa. Mereka memiliki kepribadian dan perasaan yang berbeda dengan orang dewasa.

Oleh karena itu, perlu adanya teknik untuk bisa memahami apa yang dirasakan dan keinginan anak. Ada tiga tips sederhana yang mungkin bisa dilakukan untuk bisa memahami bagaimana dunia anak:

Pertama, definisikan dunia mereka

Penting sekali untuk mengetahui dunia anak dari sudut pandang anak, bukan orang tua. Orang tua perlu berbicara dengan bahasa yang paling sederhana dengan anak-anak. Dari pada memulai pembicaraan dengan bahasa yang rumit dan seolah ‘menggurui’, akan lebih baik untuk bertanya dengan bahasa mereka.

Sebagai contoh, jika melihat seorang anak yang murung karena orang tuanya bercerai, jangan mengatakan "aku tahu kamu sedih atas apa yang menimpa orang tuamu". Cobalah bertanya hal yang sederhana "Arya, menurutmu apa yang kau lakukan jika kau seorang ayah?”

Mengajukan pertanyaan itu, selain bisa mengetahui pendapat sang anak, juga bisa menguak apa yang tersembunyi di benaknya. Jika orang tua membangun situasi yang bisa meluapkan emosi mereka, anak akan menjadi nyaman. Ia akan bersikap lebih terbuka dan bisa menceritakan lebih dalam situasi pribadinya.

Kedua, berbagi dengan dunia mereka

Bermain adalah teknik paling kenvensional namun jitu untuk mengungkapkan emosi anak. Sesuaikan dengan usia anak. Bermain ‘ibu-ibuan’ mungkin ide yang cukup bagus untuk bisa memahaminya. Anak memainkan peran orang tua, sementara orang tua memainkan peran lain. Amati setiap eskpresi dan emosi yang diberikan. Dengan begitu, orang tua bisa melihat bagaimana pandangan anak terhadap orang tua.

Ketiga, masuki dunia mereka

Seni menjadi suatu metode efektif untuk berkomunikasi dengan anak. Kebanyakan anak akan menggambar ketika mereka tidak nyaman berbahasa verbal. Mulailah meminta anak menggambar yang menunjukkan kesehariannya. Jika anak merasanya nyaman, mungkin Anda juga perlu untuk menunjukan gambar Anda padanya. Saling berbagi gambar, saling berbagi emosi.

sumber : www.republika.co.id

Sunday, October 16, 2011

Anak Usia 4 dan 7 Tahun Punya Kecepatan Belajar Baca yang Sama

Kapan anak sebaiknya mulai belajar membaca? Ada yang mengatakan saat akan masuk Sekolah Dasar (SD) atau saat di Taman Kanak-kanak. Tapi sebuah penelitian menemukan anak yang diajarkan membaca saat berusia 7 tahun memiliki kecepatan belajar yang sama seperti anak berusia 4 tahun.

Temuan tersebut berdasarkan riset yang dilakukan University of Warwick yang diterbitkan dalam British Journal of Educational Psychology. Riset tersebut diawali keinginan Dr Julia Carroll dan Anna Cunningham dari Departemen Psikologi University of Warwick, yang ingin mencari tahu apakah anak-anak yang lebih tua lebih cepat belajar membaca.

Keduanya lalu mengetes keterampilan baca anak-anak yang bersekolah di sekolah negeri sejak berusia 4 tahun. Kemudian membandingkan hasilnya dengan anak-anak yang diajarkan di sekolah Steiner, di mana pengajaran membaca secara formal hanya diberikan ketika anak-anak berusia 7 tahun.

Tim peneliti menguji 30 anak-anak sekolah Steiner yang berusia dari 7-9 tahun kemudian membandingkan hasilnya dengan kelompok kontrol yang terdiri dari 31 anak berusia 4-6 tahun yang bersekolah di sekolah negeri.

Di sekolah Steiner, murid sekolah tidak diajari membaca sebelum berusia 7 tahun dengan pertimbangan bahwa anak-anak akan lebih efektif mempelajari berbagai keterampilan jika memiliki lebih banyak waktu untuk berkembang secara emosi dan sosial.

Namun menurut Dr Carroll, perkembangan emosi dan sosial tampaknya sesuai dengan keterampilan membaca. Dalam studinya kedua kelompok anak-anak menunjukkan kemajuan yang sama dalam membaca selama tahun pertama mereka bersekolah.

"Di Inggris, kami mulai bersekolah pada usia yang relatif muda dan seringkali orang berpendapat bahwa akan lebih baik bagi anak-anak jika mulai belajar membaca pada usia yang lebih tua. Namun, pendapat ini biasanya didasarkan pada perkiraan saja. Sekolah Steiner memberikan contoh alami karena murid-muridnya baru mulai belajar membaca setelah berusia 7 tahun," kata Dr. Carroll seperti dikutip dari Medicalxpress, Sabtu (15/10/2011).

Saat ini ada sekitar 25 sekolah Steiner di Inggris yang menawarkan alternatif baru yang berbeda dengan kurikulum nasional. Sekolah-sekolah baru ini menerapkan konsep Sekolah Gratis sesuai inisiatif pemerintah Inggris.

"Berlawanan dengan harapan kami, kedua kelompok anak-anak memiliki kemajuan yang sama pada kecepatan membaca. Bahkan, anak-anak yang lebih muda sedikit lebih baik dalam mengeja daripada anak-anak yang lebih tua. Ini menunjukkan bahwa anak-anak yang lebih tua tidak selalu lebih cepat belajar membaca dan pembelajaran yang diberikan pada sekolah negeri sejak anak berusia 4 tahun usia cukup efektif," pungkasnya.

sumber : detikhealth.com

Thursday, October 13, 2011

Peran Bahasa Ibu Memberantas Buta Aksara

Model saling menjemput antar warga belajar pendidikan keaksaraan bisa dilakukan untuk menumbuhkan semangat belajar antar anggota, alasan keamanan juga menjadi dasar karena kegiatan belajar mengajar umumnya dilakukan pada malam hari setelah kegiatan rutin rumah tangga selesai selain itu juga karena sebagian besar warga belajra adalah ibu-ibu rumah tangga. Bila pagi mereka mengurus rumah dan membantu pekerjaan di ladang sehingga waktu belajar hanya tersedia setelah shalat magrib.
Sistem pembelajaran dilakukan dengan diskusi, membaca, menulis, berhitung yang diberikan oleh para tutor dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa ibu. Pembelajaran dengan menggunakan bahasa ibu ini, sangat membantu warga belajar untuk menyesuaikan diri saat mengawali pembelajaran, sebab warga belajar yang mengikuti kelas baru biasanya tidak percaya diri karena menilai belajar baca tulis itu sulit dan menakutkan. Proses diskusi dan pembelajaran juga diharapkan bertumpu pada konteks lokal baik dalam penggunaan bahasa pengantar, contoh permasalahan seluruhnya yang terjadi dalam keseharian warga belajar, misalnya persoalan kesulitan mendapat air, mahalnya harga minyak tanah dan sebagainya, sehingga lebih ,mudah dan cepat dipahami dibandingkan dengan bahasa yang belum begitu familiar bagi para peserta belajar.
Pemahaman pengelola lembaga dan para tutor tentang karakteristik warga belajar sangat membantu mempercepat pembelajaran kekasaraan karena sebagian besar masyarakat pedesaan hanya mengenal bahasa ibu dan tidak mampu menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar
Karena itu, pemberantas buta aksara menjadi tidak efektif bila awal pembelajaran menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa ibu bisa menjadi jembatan sebelum warga belajar memahami baca, tulis dan berhitung dalam bahasa Indonesia, katanya.
Selanjutnya untuk merangsang semangat belajar, diberikan tambahan ketrampilan, seperti kerajinan tangan, kesenian dengan memanfaatkan potensi lokal yang dapat memberikan penghasilan bagi warga belajar antara lain, kerajinan rotan tudung saji, keranjang, kotak tisu, hingga mebel, mainan yang melibatkan partisi dari bambu

Anak Bisa Membedakan Benar Salah Sejak Usia 15 Bulan

Banyak yang berpikir seorang bayi belum mengerti apa-apa. Tapi studi menunjukkan bahwa kemampuan untuk membedakan yang benar dan salah sudah dimiliki sejak usia 15 bulan.

Para peneliti menuturkan dalam penelitian ini bayi memiliki pemahaman yang baik tentang apa yang adil dan tidak adil seperti dalam pembagian makanan dengan orang lain. Hal ini menunjukkan adanya kesadaran awal mengenai keadilan sehingga bisa membedakan mana yang benar dan salah.

"Temuan kami menunjukkan bahwa norma-norma seperti keadilan lebih cepat diperoleh dari yang kita duga, seperti bayi yang lebih sensitif terhadap pembagian makanan atau mainan yang tidak adil," ujar Jessica Sommerville, profesor psikologi dari University of Washington, seperti dikutip dari Dailymail, Sabtu (8/10/2011).

Studi yang hasilnya diterbitkan dalam jurnal PLoS ONE ini memperlihatkan 2 video singkat bayi berusia 15 bulan. Diketahui bayi menghabiskan banyak waktu untuk melihat bagaimana distribusi suatu makann dan melihat apakah ada seseorang yang mendapatkan lebih banyak dibanding orang lain.

"Bayi mengharapkan adanya distribusi yang sama dan adil dari makanan tersebut, dan mereka akan terkejut jika melihat satu orang mendapatkan biskuit atau susu lebih banyak dibanding yang lain," ujar Sommerville.

Sommerville mengungkapkan bayi cenderung melihat adanya keadilan dan ketidakadilan dengan cara mengamati bagaimana seseorang memperlakukan satu sama lain. Bayi akan terkejut jika ia melihat adanya perbedaan distribusi.

"Hasil percobaan menunjukkan pemahaman mengenai keadilan dan salah benar sudah ada sejak dini. Mereka bersedia berbagi dengan yang lain dan akan benar-benar sensitif terhadap adanya pelanggaran keadilan tersebut," ungkapnya.

sumber :detikhealth.com

Sunday, October 9, 2011

Orang Tua Jadi 'Kompas' Bagi Anak-Anaknya

Penulis buku "Cinta Kasih Jurus Jitu Mendidik Anak: Pengalaman 36 Tahun", Prof dr Hardi Darmawan, MPH dan dr Indrawati Hardi, sepakat menegaskan bahwa para orang tua menjadi "kompas" atau penentu arah bagi anak-anak mereka.

"Mendidik anak bukan suatu hal yang berat. Itu dapat dilakukan oleh para orang tua dengan cinta kasih," kata Prof Hardi.

Idealnya anak harus dibekali dengan lima kecerdasan, yaitu kecerdasan spiritual, intelektual, relasi, emosional dan komunikasi. Lima kecerdasan tersebut akan menjadi bekal hidup anak sampai dewasa. Sehingga, mereka bisa berhasil dan menjadi kebanggaan orang tua.

Hardi menyatakan bahwa pendidikan yang bermula dari keluarga dengan cinta kasih mampu menjadi landasan bagi anak sampai dewasa. Pendidikan cinta kasih bisa menentukan perkembangan positif ke depan.

''Anak akan mendapatkan manfaat yang luar biasa untuk bekalnya. Tetapi, hal ini memang harus dipantau oleh orang tua sejak dini hingga dewasa, kata dia. ''Orang tua berperan menjadi "kompas" sebagai penentu arah untuk membentuk anak yang positif.''

sumber : www.republika.co.id

Saturday, October 8, 2011

Urgensi Pendidikan Anak Usia Dini

TANTANGAN pendidikan di era modern semakin berat, karena persoalan di dalam masyarakat semakin kompleks. Kompleksitas persoalan ini tentunya perlu diselesaikan dengan bijak.

Artinya, pendidikan mempunyai andil yang cukup signifikan dalam melakukan transformasi sosial.

Ketika pendidikan hanya duduk termangu di tengah rusaknya moral dan semakin terpuruknya bangsa Indonesia, maka ia akan mendapatkan dosa sejarah yang akan selalu dikenang dan dicatat.

Pendidikan dewasa ini disadari atau tidak mengalami distorsi yang sangat mengkhawatirkan. Di satu sisi pemerintah telah membuat kurikulum yang menurut pemikiran sangat diharapkan memiliki keandalan dalam peningkatan mutu intelektualitas dan kapasitas (keahlian). Namun, di sisi lain, terjadi degradasi moral peserta didik.

Realitas yang seringkali tersaji adalah banyak tindakan kriminalitas seperti penyalahgunaan obat-obat terlarang, kejahatan seksual, pencurian, maraknya geng-geng, bahkan terorisme, justru dilakukan oleh mereka yang berstatus sebagai pelajar.

Sebelum memasuki masa remaja, seseorang terlebih dahulu menikmati masa anak-anak. Pada masa inilah mereka mendapat rangsangan dan pendidikan dari luar, sehingga ia akan tumbuh menjadi pribadi yang bermoral.

Pembentukan moral seseorang biasanya dimulai pada masa usia dini, yaitu umur 0-8 tahun. Pada usia ini adalah awal bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Dengan demikian, pendidikan pada masa ini akan sangat berpengaruh terhadap masa depan atau kehidupan selanjutnya sang anak.
Fondasi Tumbuh Kembang Hibana S Rahman (2002) menyatakan, pendidikan anak usia dini memegang peranan yang sangat penting dan menentukan sejarah perkembangan anak selanjutnya. Sebab, pendidikan anak usia dini merupakan fondasi bagi dasar kepribadian anak.

Anak yang mendapatkan pembinaan sejak dini akan dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan fisik dan mental, yang itu akan berdampak pada peningkatan prestasi belajar, etos kerja, dan produktivitas. Dengan bekal ini anak akan lebih mampu untuk mandiri dan mengoptimalkan potensi yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya.

Maka, pendidikan anak usia dini adalah fondasi atau peletak dasar bagi tumbuh kembang anak. Ketika pendidikan anak usia dini tidak mendapat porsi dan perhatian lebih, maka akan mengancam keberlangsungan pendidikan pada tingkatan selanjutnya.
Lebih dari itu, ketika peserta didik mengalami trauma di masa pendidikan anak usia dini, akan berakibat fatal. Ia akan terganggu tumbuh kembangnya dan akan mengisolasi diri dari kehidupan bermasyarakat.

Oleh karena itu, dibutuhkan suasana belajar yang menyenangkan dan dasar pendidikan yang cukup baik dalam melaksanakan pendidikan pada masa ini. Pendek kata, diagnosis yang salah dalam pendidikan ini akan mengakibatkan penyakit kronis yang lebih parah. (37)

— Nurul Maghfiroh, pendidik di home schooling di Desa Ponowaren Tawangsari, Sukoharjo.

sumber : Suara Merdeka

Thursday, October 6, 2011

Anak yang Kurang Bermain Banyak Timbulkan Masalah

Bermain adalah salah satu keuntungan menjadi kanak-kanak. Tapi di era di mana orang tua makin khawatir dengan masa depan dan pendidikan anak-anaknya, waktu bermain anak-anak berkurang drastis dibandingkan beberapa puluh tahun lalu.

Kecenderungan ini memiliki berdampak serius bagi perkembangan anak-anak dan kesehatan mentalnya.

"Di tahun 1950-an, anak-anak bebas bermain. Jika anak-anak hanya tinggal di rumah saja, Ibunya akan mengatakan 'pergilah keluar dan bermain'. Tempat alami untuk anak-anak adalah berada di luar," kata Peter Gray, profesor penelitian psikologi di Boston College seperti dikutip dari Healthday, Jumat (23/9/2011).

"Saat ini yang terjadi justru sebaliknya, orang tua tidak mengizinkan anak-anak untuk bebas bermain. Bahkan jika anak-anak tetap melakukannya, tidak ada anak-anak lain di luar sana untuk diajak bermain. Atau ibu mungkin membatasi anak, seperti 'tidak boleh keluar dari halaman'. Padahal, anak-anak ingin bermain ke luar," lanjut Gray.

Ketika anak-anak diizinkan bermain, mereka membuat permainan, menegosiasikan aturan dan memastikan orang lain bermain adil. Semua itu membantunya mengajarkan bagaimana membuat keputusan, memecahkan masalah dan mengontrol diri sendiri.

Anak yang terlalu banyak memiliki ledakan emosional atau keras kepala memaksakan kehendak perlu mengubah perilakunya jika ingin tetap diterima dalam kelompok.

"Dengan permainan bebas, mereka memperoleh kompetensi dasar yang diperlukan untuk menjadi dewasa. Tetapi sejak pertengahan 1950-an, orang-orang dewasa ikut menentukan kegiatan anak-anaknya dengan mengorbankan kesehatan mental anak-anaknya," kata Gray, penulis dua studi yang diterbitkan baru-baru ini dalam American Journal of Play.

Penelitian menunjukkan anak-anak saat ini lebih mungkin mengalami kecemasan, depresi, perasaan tidak berdaya, dan narsisisme. Kesemuanya bertepatan dengan menurunnya aktifitas bermain dan meningkatnya pantauan orang tua dan pengaturan kegiatan anak-anak oleh orang tuanya.

"Untuk anak laki-laki, permainan yang kasar dan seringkali menyebabkan jatuh membantu mengajarkan regulasi emosi," kata Peter LaFreniere, profesor psikologi perkembangan di Universitas Maine.

"Anak laki-laki belajar bahwa jika mereka ingin menjaga temannya, mereka tidak boleh membiarkannya pergi terlalu jauh atau menyakiti anak-anak lainnya. Keterampilan ini akan membantu anak laki-laki tumbuh menjadi pria yang mampu mengontrol agresi dan kemarahannya," katanya.

Meskipun semakin banyak ahli yang menyuarakan pentingnya bermain terhadap kesehatan mental dan fisik anak-anak, namun jumlah waktu bermain anak-anak tetap menurun secara signifikan.

Gray mengutip salah satu survei dengan sampel orang tua yang mewakili nasional yang melacak kegiatan anak-anak pada tahun 1981 dan tahun 1997. Para peneliti menemukan bahwa anak-anak yang berusia 6 sampai 8 tahun pada tahun 1997 bermain 25 persen lebih sedikit dibandingkan anak-anak pada tahun 1981.

Penelitian lain sekitar sepuluh tahun lalu meminta 830 orang ibu AS membandingkan waktu bermain anak-anak mereka dengan waktu bermain mereka sendiri ketika masih anak-anak. Sekitar 70 persen ibu melaporkan bahwa mereka sering bermain di luar ketika masih anak-anak. Namun hanya 31 persen yang mengatakan bahwa anak-anak mereka sendiri juga melakukan hal yang sama.

Jadi apakah yang menyebabkan anak-anak harus tetap di dalam rumah? Menurut survei, alasan terbesarnya adalah karena takut penculikan, diikuti oleh kekhawatiran anak-anak akan tertabrak mobil dan diganggu anak-anak nakal.

"Ketakutan mereka telah menciptakan orangtua yang terlalu protektif dan membesarkan anak-anak yang penakut dan tak mampu mengatasi naik turunnya kehidupan karena tidak punya pengalaman," kata Hara Estroff Marano, penulis buku 'A Nation of Wimps: The High Cost of Invasive Parenting' dari New York.

Suatu survei menemukan bahwa 89 persen anak-anak lebih suka bermain di luar dengan teman-teman daripada menonton TV.

"Orang tua harus ingat bahwa masa kanak-kanak hanya sekali, dan jangan biarkan anak-anak melewatkannya begitu saja. Bercampur dengan anak-anak lain dengan cara yang tak terkendali tak hanya menyenangkan tetapi juga merupakan sebagian dari rencana alam," kata LaFreniere.

sumber :www.detikhealth.com

6 Kebiasaan Bersih yang Harus Diajarkan pada si Kecil

Membiasakan hidup bersih sebaiknya sudah diajarkan sejak masih anak-anak. Berikut ini adalah 6 kebiasaan hidup bersih yang harus diajarkan orangtua pada si kecil.

Masa anak-anak adalah saatnya ia menikmati permainan di luar rumah seperti bermain lumpur atau kotor-kotoran. Karenanya orangtua harus mulai mengajarkan tentang kebersihan sejak masih balita.

Kebersihan pribadi seorang anak harus menjadi prioritas utama saat ia tumbuh agar ia tidak mudah terkena penyakit
atau infeksi. Berikut ini 6 kebiasaan bersih yang harus diajarkan pada si kecil, seperti dikutip dari Lifemojo, Kamis (15/9/2011) yaitu:

1. Cuci tangan menggunakan sabun
Ajaklah anak untuk selalu mencuci tangannya menggunakan sabun dan beritahu kapan tangannya harus dicuci. Pastikan anak mencuci permukaan atas tangan, sela-sela jari dan membilas kotoran yang terjebak di bawah kuku. Orangtua bisa mengajarkan melalui lagu yang berisi urutan mencuci tangan yang benar.

2. Menyikat gigi dengan benar
Perawatan diperlukan sejak usia 1 tahun untuk mencegah risiko gigi berlubang. Pastikan si kecil menyikat gigi dengan benar seperti gerakan naik turun dan melingkar, serta membuatnya menyikat gigi 2 kali sehari. Gunakan bentuk karakter kartun favoritnya pada sikat gigi si kecil sehingga ini menjadi aktivitas yang menyenangkan.

3. Membersihkan lidah
Cobalah mengajarkan anak untuk membersihkan lidahnya setelah menyikat gigi, karena permukaan lidah bisa menjadi tempat bagi bakteri untuk tumbuh dan sarang partikel-partikel kecil makanan.

4. Membiasakan mandi 2 kali sehari
Anak-anak senang bermain sehingga mudah berkeringat, karenanya biasakan mandi 2 kali sehari untuk membersihkan kulitnya. Ajarkan ia untuk menggosok dari tangan, kaki, ketiak, pangkal paha dan lipatan-lipatan tubuh dengan menggunakan sabun yang lembut. Jika anak menolak untuk mandi, cobalah membujuk dengan menempatkan mainan favoritnya di bak mandi atau mandi busa.

5. Membersihkan telinga
Anak-anak mungkin belum bisa membersihkan telinganya sendiri, karena itu orangtua snagat berperan disini. Membersihkan telinga secara rutin bisa membantu mencegah risiko komplikasi seperti infeksi, iritasi atau kerusakan pada gendang telinga.

6. Melatih anak untuk buang air kecil dan besar di kamar mandi
Umumnya anak-anak mulai terbiasa untuk buang air kecil (BAK) dan besar (BAB) di kamar mandi sejak berusia 2-3 tahun, hal ini juga memberinya pengetahuan bahwa BAK dan BAB tidak boleh dilakukan sembarangan.

sumber :www.detikhealth.com

Anak-anak Lebih Banyak Diajari Hidup Bersih Daripada Olahraga

Jika harus memilih mana yang paling penting untuk diajarkan pada anak, sebagian besar orangtua memilih kebersihan. Bahkan dibandingkan olahraga yang sebenarnya tak kalah penting, kebiasaan hidup bersih masih dianggap lebih penting lagi.

Sebuah survei berskala nasional di Skotlandia mengungkap, 77 persen ibu-ibu mengatakan kebersihan adalah hal terpenting untuk diajarkan pada anaknya. Sementara di kalangan bapak-bapak, kebersihan dianggap paling penting oleh 69 persen dari seluruh responden.

"Saya sangat senang orang-orang sangat memperhatikan kebersihan tubuhnya. Tubuh yang bersih akan memudahkan orang-orang menjalin hubungan yang sehat dengan lingkungannya," ungkap Dr Werner Jeanrond dari Glasgow University mengomentari hasil survei tersebut, seperti dikutip dari Dailymail, Kamis (22/9/2011).

Hasil survei yang dimuat dalam Hygiene Matters Report ini sekaligus menegaskan bahwa perempuan cenderung lebih memperhatikan kebersihan dibanding laki-laki. Survei lain yang dipublikasikan sebelumnya mengatakan, mayoritas perempuan tidak mau meninggalkan rumah tanpa sikat gigi (93 persen) dan tanpa memakai bedak (32 persen).

Sedangkan untuk diajarkan pada anak-anaknya, peringkat kedua yang dianggap paling penting adalah sopan santun. Sebanyak 65,5 persen orangtua, baik ibu maupun ayah sama-sama menganggap sopan santun dalam berperilaku sebagai hal kedua yang terpenting setelah kebersihan.

Peringkat ketiga yang perlu diajarkan kepada anak adalah olahraga dan pola makan yang sehat, yang dipilih oleh 54,3 persen. Meski tak banyak yang menganggapnya sebagai yang terpenting, 2 hal ini sebenarnya cukup menentukan kualitas hidup anak di kemudian hari karena jika sudah terlajur dewasa akan sulit membiasakan diri untuk berolahraga dan mengonsumsi makanan yang sehat.

Berada di peringkat keempat, hubungan yang baik dengan lingkungan sosial dianggap sebagai hal terpenting untuk diajarkan pada anak oleh 45 persen responden. Sedangkan di peringkat kelima, tradisi dipilih oleh 21 persen respoden dan yang paling bawah justru agama, dipilih oleh 16,5 persen responden.

sumber : www.detikhealth.com

Mengajari Anak Cuci Tangan yang Benar

Banyak anak yang tidak mencuci tangan dengan benar atau bahkan tidak melakukannya sama sekali. Padahal kuman dapat menyebar dengan cepat pada anak-anak, yang memicu pandemi flu, pilek dan penyakit
lainnya.

Mencuci tangan dengan cara yang tepat dapat membantu mencegah penyebaran bakteri, kuman dan penyakit. Bantulah anak belajar untuk mencuci tangan dengan seksama dan mengajarkan cara yang benar dengan jelas.

Dilansir dari Livestrong, Senin (3/10/2011), berikut cara cuci tangan yang benar untuk anak:

Waktu untuk cuci tangan

Ajarkan anak untuk mencuci tangan setiap kali habis buang air kecil atau besar, menyentuh hewan, mengupil, batuk atau bersin, bermain pasir atau bermain kotor. Ajarkan pula anak untuk cuci tangan sebelum makan atau sebelum memegang makanan apa pun. Jadikan kegiatan cuci tangan sebagai kegiatan rutin yang menyenangkan.

Pembasahan

Ingatkan anak untuk melepas cincin atau gelang sebelum mencuci tangan, sehingga seluruh bagian tangan dapat dicuci dengan baik. Ajarkan anak membasahi tangan secara menyeluruh dengan air hangat sebelum menggunakan sabun.

Pencucian

Ajarkan anak untuk menambahkan beberapa tetes sabun tangan dan gosok sabun hingga berbusa. Gosok tangan dengan sabun setidaknya 20 detik. Untuk menandai waktu, anak bisa menyanyikan lagu yang memakan waktu sekitar 20 detik, seperti 'Twinkle, Twinkle, Little Star.

Pembilasan dan pengeringan

Beritahu anak untuk membilas tangan dengan air yang mengalir selama 10 detik untuk menghilangkan sabun. Setelah itu, keringkan tangan dengan tisu atau handuk sekali pakai yang bersih dan kemudian gunakan handuk untuk mematikan kran.

sumber : http://www.detikhealth.com

Tuesday, October 4, 2011

Balita Boleh Sekolah, Boleh Juga Tidak

bu mana yang tidak sedih berpisah dengan anaknya. Bahkan kalau mau jujur rasanya anak-anak tidak usah sekolah saja agar bisa selalu bersama ibu, karena kehidupan bersekolah, apalagi yang fullday school (pagi sampai sore) atau yang boarding school, merupakan proses “penculikan” anak untuk dididik dengan restu dan kerelaan dari orang tua anak yang bersangkutan. Anak dijauhkan dari ibu, dan ibu harus tega melepaskannya untuk di didik, diasuh dan bersama orang lain, berjam-jam, ada yang berhari-hari bahkan berbulan-bulan seperti pesantren.

Fenomena rasa kehilangan hanya sangat dirasakan oleh ibu yang sehari-harinya biasa bersama anaknya dari sejak lahir sampai duduk di kursi sekolah. Sehingga boneka lucu miliknya diserahkan dengan tangan gemetar pada ibu guru yang tampil percaya diri. ‘Ssshhh… sedih..” demikian status yang terungkap di sebuah blackberry dimana terpampang wajah sang anak yang baru berusia 4 tahun dengan seragam sekolah taman kanak-kanak berwarna ungu cerah. Lalu satu jam kemudian statusnya berubah menjadi “ssssepiyyy…”. Dan tiga jam kemudian tampak wajah ibu yang sumringah sedang menjemput dan menggandeng anaknya yang “hilang di didik ibu guru”

Sejuta pertanyaan klise dan umum meluncur ketika ibu menjemput anaknya disekolah seperti belajar apa..? enak gak..? Temannya banyak gak..? Ibu guru bilang apa,.? dan lain lain. Mata lucu dan wajah kemerahan serta keringat berpeluh di wajah sang anak, membuat semua ibu yang mengasihi anaknya semakin bertambah sayang dan gemas pada anaknya, walau pertanyaan terkadang tak mendapat jawaban dari anak kecuali sepotong saja, “enak, gurunya baik, kata bugulu… dan seterusnya..”

Sadarkah kita, relahkah kita bila anak yang selama ini kita lahirkan, kita didik dan kita asuh, dan selalu bersama dengan kita, harus belajar di sebuah sekolah yang gurunya belum terdidik sebagai guru, maka bila usia balita belum juga menemukan sekolah dengan guru-guru yang kita yakini baik dan mampu mendidik anak-anak kita, sebaiknya tidak usah terburu-buru mengantar mereka ke sekolah karena arus dan kebiasaan menyekolahkan anak, yang terjadi dimana-mana, atau rasa malu pada tetangga atau kawan bila usia 4 tahun belum juga bersekolah.

Bila belum yakin dengan guru-guru dan kurikulum pendidikan yang diterapkan di sekolah tersebut, tidak usah malu untuk tidak menghantar anak balitanya ke sekolah. Ibu bisa mengajarkan di rumah, dari mulai membaca dan menulis, berhitung dan lain-lain, asalkan ibu mau menyisihkan waktu dua jam saja sehari, insya Allah, anak-anak akan lebih baik terdidik oleh ibunya sendiri. Ini lebih baik daripada buru-buru di sekolahkan di sebuah sekolah yang tidak jelas mutu guru dan kualitas kurikulumnya dan ibu, bisa lebih lama lagi bersama anaknya.

oleh : Fifi.P.Jubilea
sumber : http://www.republika.co.id/

PANDANGAN HOLISTIK (PENDIDIKAN ANAK SEUTUHNYA)

Menghadapi tantangan abad ke 21 ini pendidikan mesti mampu mengubah paradigmanya dari yang fragmented menjadi pendekatan holistik yang menempatkan pendidikan dalam sebuah konteks lingkungan yang saling terkait (Holistic approach).
Kata HOLISTIC memiliki arti menyeluruh yang terdiri dari kata HOLY and HEALTHY. Pandangan holistik bermakna membangun manusia yang utuh dan sehat, dan seimbang terkait dengan seluruh aspek dalam pembelajaran; seperti spiritual, moral, imajinasi, intelektuan, budaya, estetika, emosi, dan fisik.
Terjadinya berbagai bencana kerusakan di lingkungan semesta diakibatkan ulah-ulah manusia, menyadarkan kita bahwa pendidikan kita kurang mampu mewujudkan keseimbangan antara kehidupan manusia di alam semesta. Memberikan kesadaran kepada para siswa akan kehidupan di abad ke 21 yang diwarnai oleh kehidupan masyarakat yang sangat heterogen dan permasalahan yang luar biasa terkait dengan lingkungan hidup yang semakin tercemar, konflik, peperangan, dan kemiskinan merupakan sebuah kemestian.
Sebuah kesepakatan global yang disebut GATE (Global Alliance for Transforming Education) mencanangkan perlunya transformasi pendidikan dari yang terkotak-kotak menjadi sebuah konsep yang utuh. Tujuan pendidikan menurut konsep yang utuh ini adalah untuk membangun manusia seutuhnya. Hal ini seperti yang juga termaktub dalam tujuan pendidikan nasional kita. Seluruh aspek yang dimiliki anak melalui pandangan holistik ini (The whole child education) akan berkembang dengan patut termasuk kesadaran bahwa ia adalah bagian dari anggota keluarganya, sekolah, lingkungan, masyarakat, dan komunitas global.
Krishnamurti mengatakan bahwa kegagalan sistem pendidikan untuk menjadikan manusia berwawasan holistik disebabkan pendidikan modern lebih bertumpu pada dunia sekuler, terlepas dari makna spiritual. Bagi Krishnamurti kesatuan integral adalah sakral dan segala sesuatu adalah bagian dari kesatuan integral. Oleh sebab itu segala sesuatu mesti memiliki makna yang sakral. Manusia perlu diberikan perangkat untuk mencapai pemahaman makna spiritual. Masalahnya sistem pendidikan modern sangat terspesialisasi dan telah memecahbelah keseluruhan menjadi bagian-bagian yang terpisah yang tidak lagi saling bermakna. Dalam kegiatan pendidikan konvensional seluruh potensi manusia yang dilibatkan hanya sebatas pada kognitif dan pisik semata, tanpa melibatkan aspek emosi dan spiritual.
Hakikat dari pendidikan menurut Krishnamurti ini dikemas Scott Forbes dalam tujuan pendidikan untuk mendidikan seluruh aspek yang dimiliki manusia (All part of the person), mendidikan manusia sebagai kesatuan yang utuh (The person as the whole), mendidikan manusia sebagai bagian dari keseluruhan (The person within the whole), yaitu sebagai bagian dari masyarakat, komunitas manusia, dan alam semesta.
Carol Flake mengatakan bahwa dalam menghadapi tantangan global di abad 21 ini, maka pelayanan pendidikan mesti mampu mengubah paradigma dari yang terkotak-kotak (fragmented) menjadi pendekatan ekologis. Melihat anak hanya dalam aspek kognitis semata yang diselesaikan dengan tugas-tugas akademik yang steril dan memberikan mereka mata pelajaran yang tidak saling berhubungan dengan relevan dalam konteks kehidupan nyata tidak akan mampu menumbuhkan transformasi kesadaran (consciousness). Transformasi kesadaran ini merupakan bagian dari proses pendidikan yang akan mampu meredam segala carut-marut kondisi yang terjadi dalam peradaban modern, seperti kerusakan lingkungan semesta, konflik antaretnis, dan sebagainya.
Fitjrof Capra mengungkapkan bahwa betapa pengetahuan manusia tentang sains, masyarakat, dan kebudayaan, telah terkotak-kotak sehingga manusia tidak mampu lagi melihat gambar keseluruhan dari sebuah fenomena. Akibatnya banyak solusi dilakukan manusia didekati secara terpisah sehingga membuat masalah semakin terpuruk. Inti pemikiran dari Fitjrof adalah bagaimana upaya melihat segala sesuatu secara utuh dan menyeluruh yang diistilahkannya dengan ”Multidisciplinary, Holistic Approach to reality”. Kondisi ini diperkuat dengan pernyataan David Orr bahwa akar permasalahan yang ada saat sekarang dikarenakan pemikiran manusia dididik dengan sistem pendidikan yang terkotak-kotak yang kemudian membuat manusia berfikir secara parsial.
Berdasarkan kajian di tas maka jelas bahwa pendidikan bukan semata-mata menyiapkan manusia agar dapat berperan dalam salah satu dimensi kehidupan saja, melainkan agar siap menjalani seluruh dimensi kehidupan. Untuk itu potensi anak usia dini yang perlu dikembangkan dalam proses pendidikannya sesuai dengan prinsip holistik hendaknya terkait dengan:

1. Aspek Fisik
Terkait dengan perkembangan motorik halus, motorik kasar, termasuk menjaga stamina, gizi dan kesehatan.

2. Aspek Emosi
Terkait dengan aspek kesehatan jiwa, mampu mengendalikan tekanan/stress, mampu mengontrol diri dari perbuatan negatif, memiliki rasa percaya diri,, berani mengambil risiko, dan memiliki empati.

3, Aspek Sosial
Menumbuhkan rasa senang melakukan pekerjaan, mampu bekerjasama, pintar bergaul, peduli dengan masalah sosial, berjiwa sosial dan dermawan, bertanggung jawab, menghormati orang lain, mengerti akan perbedaan dan keunikan, mematuhi peraturan yang berlaku.

4. Aspek Kreativitas
Mendorong anak untuk mampu mengekspresikan diri dalam berbagai kegiatan produktif seperti dalam dunia seni, berbahasa, berkomunikasi, dan sebagainya.

5. Aspek Spritual
Mampu memaknai arti dan tujuan hidup dan bersikap taat terhadap ajaran agama yang diyakini melalui perbuatan baik yang konsisten.

6. Aspek Akademik
Mampu berfikir logis, berbahasa, dan menulis dengan baik. Selain itu dapat mengemukakan pertanyaan kritis dan menarik kesimpulan dari berbagai informasi dengan cermat.

sumber :http://abihafiz.wordpress.com

5 Cara Salah Mengenalkan Uang pada Anak

Sah-sah saja untuk mengenalkan anak pada nilai uang. Namun meski niatnya baik, seringkali Anda melakukan berbagai kesalahan ketika mengajarkan anak tentang uang. Bila hal ini tidak juga Anda sadari, bisa-bisa anak pun tak akan mendapat pesan yang ingin Anda sampaikan. Berikut beberapa kesalahan yang sering dilakukan orangtua ketika mengenalkan anak tentang nilai uang:

1. Memberikan contoh yang salah. Mungkin kesalahan ini paling tak disadari ketika melakukannya. Anda mengajarkan kepada anak Anda untuk berhemat dan tidak membelanjakan uang untuk membeli barang yang tak dibutuhkan. Sehingga seringkali Anda melarang anak-anak untuk membeli mainan yang sangat diinginkannya di mall, dengan dalih mereka tidak membutuhkannya. Namun ternyata Anda sendiri asyik belanja-belanja baju, DVD, majalah, atau apa pun yang Anda inginkan. Seharusnya sebagai orang tua, Anda mencontohkan hal tentang pengelolaan uang yang benar tak hanya sebatas ucapan belaka.

"Larangan tanpa contoh yang jelas dari orang tua membuat anak menjadi bingung, karena hal ini bertentangan. Lebih baik jelaskan dengan memberikan contoh yang tepat," ungkap Eileen Gallo, PhD, penulis Silver Spoon Kids: How Successful Parents Raise Responsible Children.

2. Sulit membedakan kebutuhan dan keinginan. Tak ada salahnya jika membeli sesuatu yang memang sangat dibutuhkan. Namun, hal ini berbeda dengan benda yang kita inginkan. Ketika orangtua sulit membedakan mana kebutuhan dan keinginan, maka anak juga tak akan mampu membedakan keduanya. Misalnya, sepatu keluaran desainer yang menjadi favorit Anda sedang didiskon separuh harga. Anda pun "menyerah" dan membelinya. Kekalahan Anda yang akhirnya membuat Anda membeli sepatu tersebut membuat anak Anda tidak akan belajar bagaimana menolak simbol status baru seperti diskon.

"Anak-anak juga perlu belajar bahwa membeli barang yang tak dibutuhkan -meski didiskon- juga sebenarnya juga merupakan pemborosan. Karena sebenarnya uang itu bisa digunakan untuk membeli kebutuhan lainnya," tukas Paul Richard, direktur eksekutif Institute of Consumer Financial Education di San Diego.

3. Selalu menyelamatkan anak dari kesalahan. Ketika belajar mengelola uang, anak-anak pasti sering melakukan kesalahan. Misalnya, ketika diberi uang jajan untuk seminggu, biasanya mereka sulit mengelolanya sehingga belum sampai seminggu uangnya sudah habis. Tak jarang Anda merasa kasihan dengan anak-anak, karena mereka tidak bisa membeli jajan lagi karena uangnya habis. Rasa kasihan ini membuat Anda cenderung menyelamatkannya dari kesalahan, sehingga anak tak belajar dari kesalahannya. Sebaiknya, biarkan anak merasakan susahnya tak bisa jajan karena tak ada lagi uang yang dimilikinya.

"Jika Anda selalu menyelamatkan anak ketika mereka tidak mengelola uang dengan baik, mereka tidak akan belajar tentang cara mengelola uang dan mereka tidak akan merasakan akibat dari kesalahan yang dibuatnya. Hal ini akan menjadi pelajaran penting tentang hidup sesuai kemampuan mereka," ungkap Ann Douglas, penulis buku Family Finace: The Essential Guide for Parents.

4. Menghargai segala sesuatunya dengan uang. Pernahkan Anda mengganjar segala sesuatu yang dilakukan anak-anak dengan uang? Jika ya, berhentilah melakukannya. Jangan pernah memberinya imbalan uang untuk segala sesuatu yang memang harus dilakukannya, misalnya membuat PR. Jangan memberinya upah berupa sejumlah uang ketika ia berhasil mendapatkan nilai yang bagus di kelas, atau setelah membantu Anda melakukan pekerjaan rumah. Jika Anda melakukannya, Anda akan gagal memberikan motivasi yang benar untuk bekerja keras dan belajar maksimal di sekolah. Selain itu, yang diterima anak bukanlah kepuasan yang datang dengan melakukan hal yang terbaik untuk mencapai tujuan, tapi untuk mendapatkan uang yang banyak dari Anda.

5. Menggunakan uang sebagai pengganti waktu dan perhatian. Bekerja seharian untuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangga memang umum dilakukan oleh pria dan wanita karier. Namun, hal ini menyebabkan ketidakseimbangan dalam kehidupan rumah tangga. Bagi Anda yang sibuk, seringkali anak tak mendapat perhatian yang cukup. Untuk mengatasi hal ini, biasanya Anda akan memberikan sejumlah uang dan membiarkan mereka memilih semua hal yang mereka inginkan agar mereka bahagia dan tak merengek meminta perhatian Anda.

Bagi Anda, inilah cara paling praktis untuk menunjukkan rasa peduli, dan sebagai pengganti kebersamaan dengan keluarga. Namun ini salah. Sadarkah Anda bahwa tak ada satu pun di dunia ini -bahkan uang sekalipun- yang lebih besar dan berharga untuk anak Anda dibandingkan dengan cinta dan perhatian Anda?

sumber: female.kompas.com

Tantangan dan Peluang Pelayanan PosYandu di Pendidikan anak usia dini

Apa itu Posyandu ?
Posyandu salah satu bentuk UKBM (Usaha Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat) yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan pelayanan kesehatan dasar. Tujuan akhir dari keberadaan Posyandu, untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi dengan cara meningkatkan status gizi dan kesehatannya. Penyelenggaraannya adalah Kader Terlatih, dengan keanggotaannya berasal dari PKK, tokoh masyarakat, dan pemudi (Pemuda)
Sasaran pelayanan posyandu adalah seluruh masyarakat diwilayah kerjanya, utamanya Bayi, Anak Balita. Ibu hamil, ibu melahirkan, ibu nifas dan ibu menyusui dan Pasangan Usia Subur (PUS). Dalam melaksanakan kegiatanya dilakukan sebulan sekali. Ada 5-6 Kegiatan pelayanan yang ada di Posyandu setiap bulannya yaitu
1. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak berupa pelayanan ibu hamil, pelayanan ibu nifas dan ibu menyusui, serta Pelayanan Bayi dan balita.
2. Keluarga Berencana dimaksukan agar keluarga mempunyai perencanaan dalam berketurunan.
3. Imunisasi dimaksudkan untuk meningkatkan status kekebalan balita terhadap pernyakit yang mematikan.
4. Gizi (UPGK) yang lebih dikenal dengan program pemantaun pertumbuhan berat badan balita yang menggunakan sistem lima meja (Pendaftaran, Penimbangan, Pencatatan Hasil Penimbangan, konseling dan Pembagian Paket Pertolongan Gizi). Hasil disamping dapat memberikan gambaran pertumbuhan balita secara induvidu juga dapat memberikan gambaran pertumbuhan balita pada tingkat wilayah, yang dapat digunakan sebagai indikator kerawanan pangan ditingkat rumah tangga.
5. Pencegahan dan Penanggulangan Diare
6. Pengobatan kesehatan
Kegiatan-pelayanan di Posyandu ini, semua bersifat tehnis medis-kesehatan, artinya kedudukan Posyandu terhadap Puskesmas adalah sebagai penanggung jawab pembangunan kesehatan di wilayah kerja posyandu, hanyalah sebagai penanggung jawab teknis medis-kesehatan. Puskesmas itu sendiri adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kesehatan Kabupaten (kota) yang bertanggung jawab dalam melaksanakan pembangunan kesehatan di Kecamatan.
Unsur utama Pembina Posyandu sebenarnya, secara kelembagaan di bina oleh Pemerintahan Desa / Kelurahan dengan dukungan berbagai lintas sektoral SKPD (Satuan Kerja Pemerintahan Daerah) dengan membentuk POKJA POSYANDU. Kedudukan Posyandu terhadap Pokja (Kelompok Kerja) adalah sebagai satuan organisasi yang mendapat binaan aspek organisasi, administratif, keuangan, dan kegiatan program serta kemitraan dari Pokja-Pokja yang dibentuk oleh Pemerintahan Desa dan dukungan SKPD.
Sebelum era otonomi daerah POKJA telah terbentuk memalui SK Bupati. Dimana isi SK ini menyangkut setiap posyandu atau beberapa posyandu mendapat dukungan atau penanggung jawab dari SKPD untuk melakukan pembinaan pada aspek organisasinya, administratif, keuangan, dan kegiatan Posyandu serta jalinan kemitraan, selain dari kegiatan tehnis medis kesehatan yang telah ditangani oleh sector kesehatan. Jadi pada prinsipnya Posyandu itu adalah UKBM /KSM/Lembaga kemasyarakatan tingkat desa bergerak di bidang kesehatan, posisinya sebagai mitra kerja. Namun di sayangkan pada saat desentralisasi kebijakan ini tidak dilanjutkan lagi. Posyandu pada saat sekarang hanya melaksanakan kegiatan tehnis medis kesehatan saja.
Dalam perkembangannya, posyandu diera desentralisasi dikembangkan juga kegiatan taman posyandu yaitu Yaitu Kegiatan dengan ibu-ibu yang menunggu di luar, dengan mendiskusikan 9 pesan asuhan dini tumbuh kembang anak, serta deteksi dini tumbuh-kembang pada anak usia 2-5 tahun.
9 (sembilan) Pesan itu adalah
1. Perawatan kehamilan, persalinan dan pascasalin
2. Gizi anak dan keluarga
3. Perawatan pada Anak Sehat
4. Perawatan pada Anak Sakit
5. Rumah yang Bersih dan Sehat
6. Mencegah Kecelakaan di Rumah
7. Benda Menarik untuk Bermain
8. Bermain yang diawasi
9. Menanamkan aturan dengan penjelasan pada anak
Dan deteksi dini tumbuh-kembang pada anak usia 2-5 tahun adalah
1. Melatih gerakan kasar
2. Melatih Gerakan halus
3. Mengembangkan pengamatan
4. Mengembangkan bicara aktif
5. Mengembangkan sosialisasi
6. Meningkatkan kemandirian dan disiplin.
Jadi posisi posyandu sampai dengan otonomi daerah adalah disamping berfungsi sebagai pemberi pelayanan kesehatan juga berfungsi sebagai taman posyandu, pemberi pendidikan gizi dan kesehatan pada keluarga melalui 9 pesannya dan pendidikan dini pada balitanya. Sedangkan fungsi pendidikanndiselenggaralkan dengan program Pendidikan Anak Usia Dini yang lebih dikenal dengan singkatan PAUD
Apakah PAUD Itu?
PAUD Adalah Pendidikan Anak Usia Dini. Suatu program pendidikan untuk anak usia dini (sejak lahir – 6 tahun) yaitu suatu jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar. PAUD itu adalah pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani (fisik) dan rohani (spiritual) agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (formal, nonformal, dan informal). PAUD sendiri termasuk upaya pendidikan non formal yang bersumber masyarakat, yang prinsipnya sama dengan posyandu upaya kesehatan non formal yang bersumber masyarakat.
Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ini lebih menitikberatkan pada peletakan dasar :
1. Pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kurang lebih sama dengan apa yang ada pada program taman posyandu yaitu gerakan halus dan gerakan kasar
2. Kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), pada program taman posyandu dapat dilakukan melalui pengembangan pengamatan dan bicara aktif.
3. Sosiol emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini. Pada program taman posyandu masuk pada aspek pengembangan sosialisasi dan peningkatan kemandirian dan disiplin.
Kalau dicermati dengan baik antara pelayanan posyandu plus taman posyandunya dan penyelenggaran PAUD terlihat mempunyai kesamaan dalam hal pendidikan dini usianya, hal ini tidak menjadi persoalan kalau kemudian unsur pendidikan yang ada di taman posyandu di selenggarakan oleh Kelompok PAUD, yang menjadi persoalan adalah kegiatan pelayanan yang ada di posyandu apa saja yang dapat dilaksanakan di kelompok PAUD.
Pelayanan Posyandu di Kelompok PAUD
Pelayanan Posyandu di Kelompok PAUD, merupakan pelayanan kesehatan pada anak (peserta didik PAUD) yang dilakukan dalam waktu-waktu tertentu, sesuai dengan sasarannya adalah pelayanan gizi dan kesehatan bayi dan balita termasuk anak usia 5-6 tahun, sasaran pelayanan posyandu lainnya tidak bisa dilakukan di Kelompok PAUD, terutama yang berhubungan dengan sasaran, ibu hamil, ibu menyusui, WUS, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan.
Pelayanan gizi dan kesehatan bayi dan balita termasuk anak usia 5-6 tahun itu adalah
1. Pemantauan Petumbuhan Berat Badan (anak sehat dan cerdas bertambah umur bertambah berat badan)
2. DDSTKB (Deteksi Dini dan Stimulasi Tumbuh Kembang Balita), Daya dengar, Daya lihat, psikologis, penentuan Status Gizi dan Kesehatan
3. Pengenalan cita-rasa makanan melalui pemberian makanan tambahan
4. Dan Pelayanan Gizi dan kesehatan anak lainnya misalnya pemberian vitamin A setiap 6 bulan sekali dan pemberian Imunisasi
Dari uraian pelayanan ini, yang berhubungan dengan bayi dan balita saja termasuk anak usia 5-6 tahun yang bisa dilakukan di kelompok PAUD. Permasalahannya hanya pada Kelompok PAUD, apakah bisa dibentuk di semua lokasi posyandu, ——- ada sekitar 500an (Baca : Lima Ratusan) Posyandu di Polewali Mandar—– atau sebaliknya posyandu dapat mendukung terbentuknya kelompok PAUD, yang cakupannya baru 17 % melayani anak dengan pendidikan dan kesehatannya, merupakan suatu tantangan dan sekaligus juga peluang untuk bisa mengintegrasikan kedua pos ini (Posyandu dan PAUD) menjadi satu kesatuan yang terintegrasi dan menyeluruh (holistik) untuk peningkatan gizi, kesehatan dan pendidikan anak usia dini.
Tantangan
1. Ilmu Perkembangan Otak (emosi dan kognisi) berkembang pesat. Ilmu ini untuk mengaplikasikannya tidak semudah membalikan tangan.
2. Program Pemerintah masih terfokus pada keberlanjutan hidup (status kelangsungan hidup) dan kurang pada kualitas Anak (pendidikan dini usia)
3. Anak usia dini (< 3 tahun) masih dalam pengasuhan orang tua atau keluarga
4. Keluarga Miskin (karena adanya krisis ekonomi), kedua orangtua perlu bekerja. Pengasuhan di luar rumah menjadi kebutuhan.
Peluang
1. Desentralisasi program pendidikan dan kesehatan
2. Konsep yang jelas antara pelayanan posyandu dan penyelenggaraan PAUD
3. Tenaga kesehatan yang sudah merata dan Tenaga Kader posyandu rata-rata 3 per posyandu, khusus untuk kader masalahnya adalah mereka tidak mempunyai dasar pendidikan guru.
4. Semua dusun telah mempunyai posyandu
5. Ada media yang siap digunakan
6. Ada Dana Operasional
7. Adanya Fasilitas Pengembangan SDM (Sumber Daya Dini) dini usia
8. Solusi Terbaik untuk mempersiapkan SDM Dini Usia
9. Solusi terbaik untuk mempersiapkan generasi muda penerus cita-cita bangsa
Kesimpulan
1. Seiring dengan Pelayanan Gizi daan Kesehatan balita di Posyandu untuk peningkatan status gizi dan kesehatan yang optimal
2. Seiring itu juga muncul kemampuan anak untuk, Berpikir, Bersikap, Berkeyakinan Dan berperilaku
3. Agar tidak salah mempersiaplan SDM (Sumber Daya Manusia) unggul maka anak harus DIDIK sejak DINI USIA untuk dapat Berpikir dengan baik, Bersikap dengan baik, Berkeyakinan Dan berperilaku dengan baik dan benar.
4. Ini semua hanya bisa dilakukan dengan mengintergrasikan kegiatan pelayanan gizi dan kesehatan anak POSYANDU dengan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), tantangannya berat, namun demikian peluang terbuka lebar untuk mewujudkannya.

Oleh : oleh Arsad Rahim Ali

Monday, October 3, 2011

Pendidikan Hanya Bisa Berhasil Tuntas Bila Caranya Sesuai Kesempurnaan Ciptaanya

Para pembaca 'magic brain' yang budiman dan bijak, ada kemungkinan besar bahwa pada zaman 'teknologi canggih' ini, kita harus melaksanakan ''Pendidikan Ulang'' yang menyangkut cara-cara yang hingga saat terkini berulang terus sebagai cara yang paling utama.Kita kini mengetahui dengan jelas dan tegas, bahwa pemupukan Intelektualitas, dengan segala hormat kepada yang menemukanya, masih sangat rentan terhadap 'Perilaku' yang merupakan ''Pondasi'' dari pelaksanaan apapun yang tertanam sebagai 'Intelektualisme' di dalam perangkat pengelolaan kita, yaitu 'Pusat Pikir' atau juga dikenal dengan 'Brain'.
Selama berabad-abad, Pusat Pikir berfungsi hanya dengan Separoh Potensi yang sebenarnya. Inilah yang oleh kebanyakan diantara kita telah diakui sebagai suatu ''kelemahan'' yang terus-menerus terjadi tanpa melaksanakan suatu ''perubahan'' yang tuntas.
Kita ketahui sudah, bahwa kelemahan tidak memberikan sesuatu yang bisa dikatakan sempurna! Tapi terus saja dilaksanakan dengan menyatakan bahwa kita harus belajar dari kelemahan yang menimbulkan kesalahan kesalahan. Ada yang menyatakan bahwa pengalaman suatu kesalahan itulah yang harus kita amati, awasi dan pelajari. Benarkah sikap seperti itu?
Kenyataanya adalah, bahwa sering kali kita tidak pernah mau belajar dari kesalahan tersebut, bukan begitu yang terjadi hingga saat terkini? Banyak sekali contoh-contoh yang memberikan kenyataan tersebut. Begitu ''Lemah-kah'' kita ini sebagai Ciptaan YME yang pada hakekatnya sempurna?
Lalu pernahkah kita ketahui arti dari suatu ke-sempurnaan itu? Bila kita bicara mengenai hal kesempurnaan tadi, maka sudah jelas bahwa seorang yang dikatakan sempurna akan pasti mampu menghindarkan diri dari suatu bentuk kesalahan, apapun itu.
Pertanyaan akan timbul lalu, bagaimana hal itu bisa dilaksanakan? Apakah seorang manusia tidak selalu rentan terhadap kesalahan-kesalahan? Bisakah atau bolehkah seorang manusia berbuat suatu kesalahan? Bila kita tinjau dan simak arti dari kesalahan itu, maka akan terjadi dua hal, yaitu:

1. Peka-kah seseorang akan suatu perbuatan diukur dari pandangan ''Positif'' dan ''Negatif''?
2. Sadarkah seseorang akan tindakan yang akan dilaksanakan yang akan mengadakan pengaruh terhadap lingkunganya? Bagaimana pengaruh itu dari sudut pandangannya sendiri dan akibatnya terhadap bentuk lingkunganya?

Inilah hal yang harus kita ketahui sebelum melaksanakan suatu tindakan. Dan, sampai dimanakah mutu kesadaran kita pada saat itu? Sudahkah hal-hal seperti ini pernah ditanggapi dengan serius? Yang dilihat sebagai suatu kenyataan adalah, bahwa sedikit sekali orang mampu untuk mengawasi diri sendiri.
Tak perlulah kita menyangkal hal ini karena mungkin akan mengurangi suatu gengsi . Ketahuilah para pembaca, bahwa urusan serta tingkatan gengsi ini pun dapat kita awasi dengan ketat, bila mampu menggunakan kesempurnaan kita
Masih banyak diantara kita yang kurang serius mermperhatikan perilaku dirisendiri , bukan? Karena tidak pernah terdidik untuk melaksanakan hal itu. Apakah memang memerlukan pendidikan akan hal mengawasi diri sendiri? Pernahkah disekolah-sekolah apapun tingkatanya selalu ditekankan untuk mengawasi diri sendiri terlebih dahulu sebelum dengan sangat serius menghakimi orang lain?
Paling tidak kondisi seperti itu sangat tergantung dari rasa sopansantun pada diri kita yang harus diakui merupakan pendidikan inti dari orang tua serta lingkungan keluarga.
Sopan santun merupakan suatu ''Elegansi'' di dalam bertindak dengan cara apapun. Secara politis, elegansi tersebut digunakan di dalam perundingan ''Diplomasi''. Apakah hal seperti itu lalu ditanggapi sebagai suatu kelemahan?

Pikirkanlah masak-masak mengenai hal ini dan akuilah bahwa dengan ke-''brutalan'' serta ke-kerasan tidak akan pernah dapat dicapai suatu ketuntasan di dalam penyelesaian suatu masalah, bukan? Kelihatanya selesai, tapi nyatanya akan selalu memupuk ''dendam''.
Dapatkah hal ini ditanggapi dengan serius dan positif oleh para pembaca? Bila menanggapi sesuatu dengan tingkatan emosi tertentu yang tak terkendali, biasanya mengarah kepada suatu bentuk tingkatan negatif , dan akan melaksanakan bentuk ''penganiayaan'' yang menyangkut orang lain beserta lingkunganya.

Penulis dengan artikel ini ingin mengungkapkan kenyataan kekurangan pendidikan ''Mental'' yang hanya positif saja. Bila kita bisa melaksanakan ''brain washing'' atau ''pencucian Otak'' membawakan suatu doktrin dan dogma menganggap orang lain sebagai ''musuh'' yang kita ketahui kenyataanya pada kedua ''Perang Dunia'' yang dahsyat itu, maka.mengapa kita masih enggan juga untuk melaksanakan ''brain washing'' dengan cara serta tujuan ''positif''?
Dimanakah disini letak dari pandangan yang benar atau yang dicari pembenaranya untuk sesuatu yang tidak jujur atau sebaliknya ??? Renungkanlah hal ini dengan seksama dan serius, dan akan diketahui dengan tuntas siapa yang kurang sempurna dan yang sempurna! Suatu kesempurnaan mempunyai arti, bahwa kita sudah mengetahui serta memaklumi akan tindakan kita, karena peka terhadap suatu kejadian yang akan atau belum terjadi. Inilah harus di-'brain wash'-kan kepada generasi penerus untuk selalu menjaga kesopanan dan kesantunan terhadap sesama manusia (Kita), apapun bentuk, tabiat serta asal usulnya.
Mempengaruhi kesopanan melalui pengendalian dari bagian kita yang ''subyektif'' kini jauh lebih sempurna daripada keadaan pada masa lalu.

H.Rd.Lasmono Abdulrify Dyar, Dipl.Sys.Ing., Ph.D.
Lecturer dan Director/Coordinator, Indonesian Territory
Silva International Incorporation of The Silva Method

Sumber : Direktorat Pendidikan Masyarakat, Kemdiknas

Refleksi Pembelajaran Keaksaraan Fungsional oleh Tutor di Dlingo

Secara substansial materi yang disampaikan belum mengacu pada standar kompetensi keaksaraan tingkat dasar. Pada sebagian besar kelompok, tutor menyampaikan materi yang semestinya diberikan pada tingkat lanjutan. Misalnya kompetensi membaca cukup membaca kalimat sederhana, belum dalam paragraf (beberapa kalimat); kompetensi berhitung cukup sampai bilangan 100 dan belum ada perkalian dan pembagian (cukup pengurangan dan penjumlahan).
Apabila materi tersebut disampaikan, maka warga belajar perlu dievalusi atau dilakukan penilaian hasil belajar agar mendapatkan SUKMA 1 terlebih dahulu. Selanjutnya melaksanakan proses pembelajaran dengan konten tingkat lanjutan.

Dalam melakukan pembelajaran tutor perlu memperhatikan tahapan penguasaan kompetensi berbahasa: mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Maka dalam penerapan pembelajaran jangan seketika diminta untuk menghapalkan huruf abjad dan bentuk tulisan. Melainkan tutor mengawali dengan melafalkan bentuk tulisan dalam satu kata, dipisah menjadi suku kata, dipisah menjadi per huruf, digabung menjadi suku kata, dan digabung menjadi kata. Tutor melafalkan setiap bentuk huruf (kata/suku kata) warga belajar menirukan. Demikian seterusnya. Contoh kata diambil dari benda, aktivitas atau hal-hal yang ditemui sehari-hari (konten lokal dan tematik).

Namun demikian, semangat kerja tutor perlu mendapatkan apresiasi. Kondisi yang sama, semangat pengabdian yang tinggi, saya temukan juga ketika pemantauan di Kedondong Pundongsari, Semin Gunungkidul (menuju lokasi harus jalan kaki mirip naik ke pos Kendit di Merapi). Kompetensi metode pembelajaran tutor masih dapat dikembangkan melalui pendampingan secara berkelanjutan oleh LPTM Kepak Sayap.

oleh : Fauzi EP (Ketua umum IPABI)