Monday, May 30, 2011

Anak Kurang Tidur Berisiko Alami Obesitas

Para peneliti di Selandia Baru mengatakan bahwa anak-anak yang kurang tidur waktu malam hari itu kemungkinan besar akan mengalami obesitas.

Hasil riset yang dipublikasikan di situs BMJ ini meneliti 244 anak usia antara tiga dan tujuh tahun. Studi ini mengatakan bahwa tidur lebih banyak berkaitan dengan berat badan yang lebih rendah, yang bisa berdampak penting bagi kesehatan masyarakat. Para ahli kesehatan di Inggris mengatakan tidak ada ruginya memperhatikan hubungan antara kurang tidur dan kesehatan yang kurang baik.

Anak-anak yang diteliti itu ditimbang berat badan mereka setiap enam bulan sekali. Tinggi badan dan jumlah lemak dalam tubuh atau Body Mass Index mereka juga diukur. Kebiasaan tidur mereka serta tingkat aktifitas fisik mereka juga direkam pada usia tiga, empat dan lima tahun.

Para peneliti menemukan bahwa anak-anak yang kurang tidur pada usia dini mereka itu berisiko lebih besar memiliki Body Mass Index yang lebih tinggi pada usia tujuh tahun. Bahkan, keterkaitan ini berlanjut ketika faktor-faktor risiko lainnya seperti jenis kelamin dan aktifitas fisik juga dimasukkan dalam penelitian mereka.


Alasan-alasan yang diperkirakan menyebabkan keterkaitan ini adalah anak-anak menjadi punya waktu lebih banyak untuk makan dan tidur. Hal itu mengubah hormon-hormon yang mempengaruhi selera makan mereka.

Professor Fransesco Cappuccio dan Profesor Michelle Miller dari University of Warwick di Inggris mengatakan riset di masa mendatang harus mengeksplorasi serta memvalidasikan metode baru yang terfokus pada perilaku, bukan obat. Metode-metode memperpanjang waktu tidur anak-anak dan orang dewasa.

"Sementara ini, tidak ada ruginya memberikan nasehat kepada orang bahwa kurang tidur pada malam hari secara terus menerus kemungkinan akan menganggu kesehatan orang dewasa dan anak-anak," kata Cappuccio.

Sementara Dr Ian Maconochie dari Fakultas kesehatan anak-anak Inggris, Royal College of Paediatrics and Child Health, mengatakan,"Anak-anak di bawah lima tahun umumnya memerlukan paling tidak 11 jam tidur pada malam hari dan tidur siang.''

"Namun begitu, sebanyak 20 persen anak-anak usia ini mengalami masalah tidur dan kita sudah tahu bahwa kurang tidur sangat berakibat pada kemampuan mengingat, memperhatikan, perilaku dan prestasi di sekolah,'' katanya. ''Hasil studi ini adalah tambahan pengetahuan yang sangat berguna soal pola tidur anak-anak."

Sumber: www.bbc.co.uk

Friday, May 27, 2011

PAUD MURAH, MUNGKINKAH ?

Sudah menjadi paradigma masyarakat, bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah milik masyarakat dengan ekonomi menengah ke atas. Mahalnya biaya pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan rendahnya pendapatan keluarga menyebabkan banyaknya Anak Usia Dini yang tidak mengenal apalagi menjalani PAUD. Menurut Dra. Widarni D. Wijaya MM, Kasubdit Kelompok Bermain Direktorat PAUD pada saat pelatihan tutor PAUD di BPPNFI Regional I Medan tanggal 14 Mei 2008, “ Sampai akhir tahun 2007 di Indonesia tercatat 25 juta AUD dan baru 9 juta anak yang terlayani di jalur formal, Nonformal, dan Informal, sedangkan sisanya 16 juta anak lagi (yang terdiri dari 13 juta anak usia 2 – 4 tahun dan sebanyak 3 juta anak usia 4 – 6 tahun) belum terlayani”. Dari data ini terlihat bahwa lebih dari 60% AUD belum terlayani PAUD, hal ini jelas merupakan “tugas’ bagi pemerintah Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia untuk membantu mengentaskannya.



Perkembangan kapasitas intelektual anak seharusnya sudah berkembang mencapai 50% pada usia anak 4 tahun pertama, 30% lagi ketika mencapai usia 8 tahun dan mencapai 100% pada saat mencapai usia 18 tahun ( Orsborn, White, Bloom). Pencapaian 100% ini harus distimulasi dengan baik dan benar. Jika hal ini dilakukan sejak dini maka jaringan sel-sel otak anak akan aktif berkembang membentuk sambungan, otak yang rimbun karena banyak persambungan dan memiliki kemampuan yang baik hingga mencapai 100.000 milyar sel persambungan jaringan. Pendidikan anak usia dini (PAUD) pada tahap ini diakui menjadi tahapan yang penting dalam pendidikan anak. Hal ini menjadikan PAUD sebagai komitmen nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahkan juga merupakan komitmen dunia seperti tertuang dalam Deklarasi Dakkar tahun 2000 berupa komitmen bersama mengenai kerangka aksi education for all yang menyatakan ‘pentingnya perawatan dan pendidikan anak usia dini secara menyeluruh, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung’.

Menilik minimnya AUD yang tertampung di PAUD saat ini, tentu sudah mencapai masa kritis, apalagi minimnya anggaran pendidikan yang dialokasikan dalam APBN, hal ini terlihat pada APBN tahun 2006 yang hanya mengalokasikan anggaran sebesar 9,1 persen, sementara anggaran pendidikan di kota Medan hanya 5,6 persen saja. Tentu saja hal ini sudah tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 yang menyatakan anggaran pendidikan harus mencapai 20 persen. Minimnya anggaran atau biaya seharusnya tidak menjadi alasan untuk menafikan PAUD, karena menurut UU Sisdiknas 2003 pasal 28 disebutkan PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur formal, nonformal dan informal. Yang termasuk jalur formal adalah Taman Kanak-kanak dan Raudatul Athfal, adapun jalur nonformal adalah Tempat Penitipan Anak, Kelompok Bermain dan Satuan PAUD Sejenis dalam bahasa lain Pelayanan PAUD terintegrasi dengan BKB/Pos Yandu. Sedangkan jalur Informal adalah pendidikan yang diselenggarakan di keluarga dan lingkungan. Berdasarkan pasal 28 tersebut di atas dapat dilihat bahwa sebenarnya PAUD dapat dilakukan di mana saja, kapan saja bahkan dalam lingkungan terkecil sekalipun, misalnya pada keluarga dan lingkungan sekitar (seperti iklan ya!, tapi memang pendidikan harus diiklankan agar semua rakyat Indonesia mau bahu membahu menyelesaikan persoalan ini).

Menyimak hal tersebut di atas, mau tidak mau, pelaksanaan dan pemerataan PAUD harus segera dilaksanakan bagi semua kalangan dan semua lokasi, hingga nantinya PAUD tidak hanya menjadi “hak dan milik” AUD dari kalangan masyarakat dengan ekonomi yang mencukupi tapi juga dapat dijangkau seluruh lapisan masyarakat.

PAUD : Haruskah Mahal ?

PAUD murah adalah solusi terbaik dari semua permasalahan saat ini, tapi mungkin hal ini masih merupakan satu tugas berat (bagi orang yang selalu berhitung-hitungan) atau juga bisa menjadi tugas yang ringan kalau kita mau bereksplorasi dan berinovasi serta mau bekerjasama. Hal ini bisa kita simak dari BAB I pasal 1 butir 14 UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 berikut : “PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”. Dari pasal di atas tidak ada dinyatakan bahwa PAUD harus dilaksanakan di satu tempat yang khusus dan mewah, dengan alat yang mahal atau dengan baju yang bagus.

Pendidikan pada anak usia dini bukanlah seperti pendidikan pada sekolah umumnya. Bagi AUD bermain adalah salah satu proses belajar yang paling baik. PAUD adalah suatu upaya pembinaan bagi AUD berupa rangsangan pendidikan untuk jasmani dan rohaninya, dengan pola bermain sebagai media pembelajaran terbaik bagi usianya. Upaya ini jelas bisa dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja, tapi hal ini tentu harus dilakukan oleh orang yang memang mau dan mampu melakukannya. PAUD murah sebenarnya bisa dilakukan di tempat-tempat yang memungkinkan, misalnya PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) dengan Kelompok Bermain-nya, Pos Yandu, atau bahkan tempat anak jalanan berkumpul. PAUD tidak harus menggunakan alat yang bagus semua benda di sekitar kita bisa dijadikan APE (alat permainan edukatif), mulai dari batu-batu, kayu, batok kelapa, baskom, sabun, kertas koran bahkan tanah lapang tempat kita berkumpul.

Di Medan ada Kelompok Bermain Anisah yang diselenggarakan gratis untuk anak-anak tidak mampu (pemilihan anak dilakukan dengan survey sebanyak 50 anak usia dini), awalnya mereka belajar di garasi rumah dan 1 ruang kamar (milik Penasehat Yayasan Barokah) yang dijadikan kelas. Kemudian pengelola menjalin kerjasama dengan Percetakan Dwi Karya untuk meminta hasil cetakan yang afkir/salah untuk dibuat jadi APE dan LKA (Lembar Kreativitas Anak), juga Gramedia Group yang membantu majalah anak untuk LKA. Dalam pengelolaannya mereka juga menjalin kerjasama dengan TK dan RA yang memiliki fasilitas baik (untuk kalangan menengah ke atas), dari TK dan RA ini setiap tahunnya didapat sandal bekas anak tahun sebelumnya dan APE sisa/bekas yang masih layak pakai sehingga dapat dipergunakan atau hanya perlu pencucian dan sedikit perbaikan sehingga terlihat seperti baru kembali.

Dengan kreativitas pengelola dan tutor maka AUD tetap dapat pendidikan yang sesuai dengan usia mereka. Melalui metode “bermain adalah belajar yang terbaik bagi anak” dan dengan alat serta fasilitas yang sederhana namun tetap dapat mengakomodasi keperluan pembelajaran, kemampuan dan pengembangan kreativitas anak tetap dapat berkembang sesuai usianya bahkan mampu berprestasi di kalangan PAUD Formal dan Informal di Medan (seperti juara 1 dan 3 menyusun puzzle, juara 2 dan 3 tari kreasi daerah, juara 2 mewarnai, juara pavorit azan, juara harapan 1 surah pendek, puisi dan lomba-lomba lain, yang kesemuanya tingkat kotamadya Medan). Kelompok Bermain Anisah ini juga menjalin kerjasama (dengan pola intruktur relawan) dengan Kavaleri 6 Serbu, Polisi, Pendongeng, Puskesmas dan melakukan kunjungan ke luar, misalnya ke Musium Purbakala, Kebun Binatang, Pabrik Sosro dsb. Seiring berjalannya waktu, masyarakat sekitar mulai mengenal PAUD (Kober) Anisah dan mulai ikut berpartisipasi dengan mengirim menu sehat setiap hari Jum’at, menyumbang alat gambar, meja lipat, buku dongeng, majalah anak, dan bantuan lain yang tentu saja sangat bermanfaat bagi keberlangsungan PAUD Anisah.

Contoh lain adalah PAUD yang dikelola oleh PKBM Madya Insani yang mengelola PAUD murah, dengan pola 1 H: Rp. 1000,00 yaitu 1 hari masuk bayar Rp. 1000,00. PAUD ini ternyata mampu menunjukkan eksistensinya dan mampu menarik perhatian serta minat masyarakat di sekitar kecamatan Medan Amplas. Masyarakat yang selama ini merasa berat dengan pola pembayaran uang iuran bulanan merasa tertolong dengan adanya pola pembayaran harian, sehingga ketika anaknya tidak masuk ke PAUD mereka tidak perlu membayar uang kegiatan.

Menyimak fenomena ini, maka sudah seharusnya warga masyarakat yang mampu, baik secara finansial maupun secara akademik mau ikut berkecimpung dalam PAUD, hingga PAUD tidak hanya menjadi PR bagi pemerintah tapi juga menjadi tanggung jawab bersama untuk menyelesaikannya. Semoga hal ini tidak hanya menjadi harapan tapi bisa menjadi kenyataan. Ibarat pepatah Melayu “Ringan sama dijinjing berat sama dipukul, tak ada kata tak bisa bagi orang yang mau berusaha”. Semoga !.


Penulis : Dra. Tengku Nazariah
Ketua PKBM Barokah
Jl. Setiabudi Pasar 1 Gang Barokah 13 AB
Tanjung Sari – Medan 20132, Telp. 061-77441619

Thursday, May 26, 2011

Ayah, Ibu, Sediakan Waktu 20 Menit untuk Anak

Penggiat Komunitas Dongeng Dakocan, Ivan Sumantri Bonang, menyarankan agar orang tua menyediakan waktu minimal 20 menit yang berkualitas untuk berkomunikasi dengan anak.

"Dalam konteks pendidikan di dalam keluarga, orang tua harus memiliki keterampilan untuk menerjemahkan prinsip pendidikan anak terutama usia dini," kata Ivan, salah seorang pendongeng di komunitas tersebut, di Bandarlampung, Selasa (24/5).

Penyediaan waktu yang berkualitas, lanjut dia, merupakan syarat dasar orang tua untuk menerjemahkan prinsip pendidikan anak usia dini di dalam keluarganya. "Sedianya orang tua harus menyediakan waktu berkualitas yang sebanyak-banyaknya untuk anak-anaknya. Namun karena keterbatasan waktu, maka minimal orang tua harus menyediakan waktu minimal 20 menit yang dapat memukau anak-anaknya agar prinsip-prinsip pengasuhan dapat dilaksanakan," ujar dia.

Ivan menjelaskan, waktu berkualitas bersama antara orang tua dan anak-anak tidak hanya ditentukan oleh banyak atau sedikitnya waktu pengasuhan yang disediakan oleh orang tua untuk anak-anaknya. Waktu berkualitas tersebut sangat ditentukan oleh tingginya intensitas komunikasi antara orang tua dan anak.

"Semakin banyak waktu yang berkualitas untuk anak-anak, maka kedekatan emosi antara orang tua dengan anak akan terjaga. Kedekatan tersebut akan memudahkan orang tua untuk mentransfer nilai-nilai kepada anak-anaknya. Dan ini memberi peluang yang besar untuk membetuk karakter yang baik dan mengasah banyak jenis kecerdasan," katanya.

Pada saat ini, ujar dia, tidak menutup kemungkinan bahwa pengasuhan seorang anak tidak sepenuhnya dilakukan oleh kedua orang tuanya dengan berbagai alasan, seperti terhalang olah pekerjaan mencari nafkah untuk keluarga.

Sehingga pengasuhan terhadap seorang anak harus diserahkan kepada orang dewasa selain kedua orangtuanya, misalnya nenek, kakak, atau bahkan pengasuh anak.

"Namun, hambatan di atas bukanlah merupakan alasan bagi orang tua untuk tidak melakukan pengasuhan berkualitas bagi anak-anaknya. Dalam rentang waktu yang hanya tersisa sedikit, orang tua harus tetap mengkreasi waktu yang berkualitas bagi anaknya," sarannya.

Dia pun menjelaskan, untuk para orang tua yang mempunyai kesempatan melakukan pengasuhan secara langsung terhadap anak-anaknya, juga tidak dapat dikatakan secara otomatis telah melakukan pengasuhan yang juga berkualitas.

Hal itu bisa terjadi karena ketidakmampuan orang tua untuk berkomunikasi juga kurangnya pemahaman orang tua terhadap kebutuhan anak sesuai dengan usia tumbuh kembangnya.

Di sisi lain kebutuhan anak atas perhatian dan pengasuhan yang sangat intensif dari orang tuanya tidak dapat ditunda.

"Lingkungan awal seorang anak terutama terbatas pada rumah. Itu berarti mereka sangat tergantung pada orang dewasa di dekatnya yakni orang tuanya, maka hubungan antara anak dan orangtua mempunyai peran yang penting dalam menentukan pola perkembangan psikis, sosal, dan emosionalnya di masa depan," kata dia.

Pendongeng itu pun menjelaskan, ada banyak metode yang digunakan untuk mengkreasi waktu pertemuan dalam pengasuhan yang berkualitas antara orangtua dan anak.

Metode yang dapat digunakan adalah permainan sederhana, bercerita, pujian, penghargaan, hafalan nilai-nilai, permainan sebab akibat, permainan kata-kata yang memerlukan pikiran lebih panjang, dan dialog atau diskusi serta dapat diterapkan kepada anak-anak dengan melihat jenjang usia perkembangan.

"Namun untuk anak usia dini, dari kesemua metode diatas, metode bercerita atau mendongeng merupakan metode yang paling tepat. Mengapa demikian? Karena bayi atau anak-anak belum memiliki referensi tentang banyak hal dan belum bisa berfantasi karena keterbatasan kognitif dan bahasa mereka," katanya.

Orang tua harus memberikan rangsangan untuk meningkatkan kemampuan anak tersebut, untuk itu orang tua perlu menggambarkan secara rinci tentang segala sesuatu yang diceritakannya.


Sumber: Antara

Menjadikan Sekolah Sebagai Rumah Belajar

Sekolah tidak hanya menyediakan kesempatan mendapatkan pengetahuan, tetapi juga fokus terhadap pembangunan karakter.

"Sekolah harus secara aktif mendengarkan tanggapan dan masukan dari para pelajar maupun stakeholder lainnya. Guru memegang peran penting dalam pendampingan, memahami kekuatan, dan kelemahan setiap pelajar sehingga potensi mereka dapat digali," kata kepala sekolah SMP dan SMA BIS Serpong, Isaac Koh Siong Fei, Senin (23/5/2011), di BIS Serpong, Tangerang.

Ia mengatakan, pendekatakan konsep home for learning ini dilaksanakan melalui sistem informasi teknologi dan keterbukaan komunikasi langsung antara pelajar dengan wali kelas maupun kepala sekolah. Demikian sebaliknya, antara siswa dengan wali kelas maupun dengan orangtua pelajar.

Di samping itu, kata dia, para pelajar bebas berinteraksi langsung dengan guru bidang studi masing-masing maupun guru bimbingan dan penyuluhan bila mendapatkan kesulitan. Untuk aktivitas keseharian, sambung Isaac, para pelajar diedukasi keterampilan sosial emosional (social emotional skills) melalui kesadaran atas emosi maupun reaksi (self awareness), serta cara mengelola emosi tersebut (self management) dan dampak atas tindakan yang dilakukan pada orang lain.

"Hal ini berkaitan erat dengan sikap untuk mengelola hubungan itu sendiri atau relationship-management dan pelajar terlatih membuat keputusan yang bertanggungjawab, baik untuk diri sendiri juga orang lain atau relationship-decision making," kata Isaac.

Sementara itu, untuk pembangunan karakter para siswa, BIS Serpong melakukannya melalui pengembangan enam pilar, yaitu trustworthiness, respect, responsibility, fairness, caring, dan citizenship.

"Trustworthiness adalah mengajarkan para siswa untuk menjadi orang yang berkata dan bertindak dengan benar, sementara respect dan responsibility memberitahu cara menghargai perbedaan dan menyelesaikan konflik secara damai, bijaksana serta menerima konsekuensi atas tindakannya," ujarnya.

Siswa juga diajarkan agar bersikap adil (fairness), peduli dan bersedia untuk memaafkan (caring), serta ditanamkannya kesadaran atas masalah dilingkungan meka:

Zunber : edukasi.kompas.com

Tuesday, May 24, 2011

Ibu-ibu... Kapan Mau Belajar Matematika?

Matematika sampai saat ini masih menjadi momok menakutkan bagi sebagian orang. Tidak hanya di kalangan siswa, bahkan orang tua pun terkadang mengernyitkan alis ketika mendengar mata pelajaran ini.

Namun, untuk mengubah paradigma tersebut saat ini bukanlah hal yang sulit. Pasalnya, sudah ada cara baru untuk membuat Matematika menjadi pembelajaran yang menyenangkan. Salah satunya adalah melalui metode Matematika Gasing atau Gampang Asyik dan Menyenangkan.

"Konsepnya adalah setiap anak pasti bisa. Jadi, tidak ada anak yang bodoh, dan IQ jelek itu tidak ada. Semua anak sama, dan semua anak bisa menjadi luar biasa," ujar pakar pendidikan Yohanes Surya di sela seminar bertajuk "Matematika Menjadi Mudah dan Menyenangkan" di Jakarta, pekan lalu.

Menurut Yohanes, untuk menjalani metode ini kepada anak, harus ada keterlibatan unsur yang paling dekat dengan anak, yakni ibu. Hal itu dilakukan agar ibu-ibu dapat mengajarkan anaknya dengan metode yang benar.

"Peran Gerakan Ibu-Ibu Pandai Matematika (Gipika) menjadi penting. Tidak ada yang mustahil membuat anak menyukai Matematika, kalau kita mampu bekerja sama," kata mantan Rektor Universitas Multimedia Nusantara ini.

Untuk menjalankan Metode Gasing, pendiri Surya Institute ini menjelaskan, hal pertama yang dilakukan adalah pengenalan angka dengan metode penjumlahan 1 sampai 20. Setelah itu lancar, kemudian dikembangkan dengan metode perkalian, pengurangan, pembagian, dan seterusnya.

Pembelajaran tersebut harus terus dilakukan berulang kali. Menurut Yohanes, tidak akan sulit untuk mengerjakan ratusan angka dalam soal perkalian atau pembagian jika proses pembelajaran dilakukan secara kreatif dan menyenangkan.

"Artinya, tanamkan belajar untuk masa depan dalam diri anak. Jangan pernah bosan mengerjakan penjumlahan dan perkalian yang banyak itu," jelasnya.

Yohanes menambahkan, tidak ada istilah kata terlambat untuk belajar Matematika. Tidak hanya tingkat dasar, bahkan di tingkat SMA Metode Gasing dapat dipelajari untuk menguatkan dasar-dasar Matematika yang sudah diperoleh sejak SD hingga SMP hanya dalam waktu tiga bulan.

"Saya ingin semua anak menganggap Matematika adalah pelajaran menyenangkan. Karena kalau Matematika sudah menyenangkan, otomatis pelajaran sains lainnya seperti Fisika dan Kimia juga menjadi menyenangkan bagi mereka," ujar Yohanes.

Sumber : www.kompas.com

Monday, May 23, 2011

Mendukung prestasi dan semangat belajar anak-anak

Orang tua manapun tentu akan bahagia melihat anaknya dapat tumbuh sehat, lincah, dan pintar, Oleh Karena itulah bermacam upaya dilakukan untuk dapat mencapai harapan tersebut. Mulai dari pemberian makanan yang bergizi untuk tumbuh kembang, serta memebrikan bimbingan untuk mendongkrak pengetahuan serta prestasi si buah hati.
Dalam hal pencapaian prestasi akademikyang tinggi, orang tua memang sering kali menemui beberapa kendala, salah satunya semangat belajar yang kurang. Untuk itu selain memberi penghargaan jika ia berhasil meraih kesuksesan di bidang akademik, hal lain yang dapat orang taua lakuakn untuk memacu prestasi anak adalah :
1. Mengajaknya mencoba permainan yang dapat menambah wawasan, misalnya scrable, yang dapat membantu memahami bahasa inggris atau permainan-permainan interaktif lain yang akan memompa pengetahuan dan semangat belajarnya. Lebih-lenih ditengah perkembangan teknologi seperti sekarang ada begitu banyak software permainan yang dimanfaatkan
2. Tanamkan pada anak langkah sederhana dalam proses belajar, yaitu mendengar, melihat, berpikir, dan membaca
3. Jadikan diri anda sebagai orang tua, sebagai contih, mengingat anak umumnya mengikuti perilaku orangtua, maka cobalah untuk membaca buku-buku, dan biarkan anak mengikuti aktivitas tersebut. Anda juga bisa membacakan separuh cerita untuk anak, sementara yang separuh lagi biarkan sianak yang melanjutkan.
4. Perkenalkan anak pada teknologi seperti komputer untuk mendukung proses belajarnya di kemudian hari. Hal initentu dilakukan dengan pengawasan.
5. Berikan pada anak bacaan selain buku sekolah, seperti majalah anak-anak atau buku serita
6. Berkomunikasilah secara intensif dengan mereka untuk mendengarkan kisah tentang dunia kecilnya guna melatih kemampuan verbalnya

Sumber Harian Kompas 23 Mei 2011

Wednesday, May 11, 2011

Kebanyakan Nonton TV dan Bermain Game, Kemampuan Berbahasa Si Kecil Mandeg

Para orang tua kembali diperingatkan untuk mendamping anak-anak mereka saat menonton televisi atau bermain game. Pasalnya, selain berdampak negatif terhadap psikologis anak, kebanyakan nonton televise dan bermain game juga menghambat kemampuan berbicara anak.

Menurut catatan peneliti Inggris, hampir 100.000 anak berusia 5 tahun di Inggris memiliki kemampuan verbal yang kurang. Bahkan statistik resmi menyebutkan kebanyakan anak-anak di Inggris tidak memiliki kemampuan berpikir dan berbahasa yang cukup baik.

Semula peneliti menyimpulkan bahwa persoalan genetik penyebab kurangnya kemampuan verbal anak-anak di Inggris. Namun, usai diteliti lebih lanjut, peneliti menemukan minimnya peran orang tua saat melihat anak-anak mereka asyik menonton televisi dan bermain game.

Padahal, menurut asumsi peneliti, orang tua bisa mendamping anak-anak mereka dengan berperan sebagai "detektif" atau "penasihat" yang selanjutnya membahas apa yang anak-anak tonton dan mainkan.

Jean Gross, penasihat komunikasi pemerintah Inggris, mengatakan tradisi makan bersama keluarga merupakan satu solusi konkrit untuk mengejar ketertinggalan anak-anak saat mengembangkan kemampuan berbahasa mereka.

“Kami tahu jumlah percakapan sangat menentukan keberhasilan anak mengembangkan kemampuan berbahasa mereka. Hal itu tidak bisa diperoleh ketika TV berada di sekitar anak sepanjang waktu. Kondisi itu tentu mengurangi jumlah percakapan yang pada gilirannya menghambat perkembangan bahasa," papar dia seperti dikutip dailymail.co.uk, Rabu (11/5).

Karena itu, Gross menyatakan dukungannya terhadap kampanye Hallo, sebuah kampanye yang bertujuan untuk mengeliatkan komunikasi pada anak-anak dan remaja di rumah, penitipan anak, dan sekolah.

Menurut Gross, 82 persen orang tua banyak yang menanyakan perihal cara untuk mengembangkan kemampuan anak-anak dalam berpidato, berbahasa dan komunikasi. Padahal, kata dia, caranya cukup sederhana, yaitu ajak anak berbicara, berdiskusi dan membahas banyak hal. Selain itu, Gross dengan merujuk pada hasil riset Universitas Dundee, menyatakan aktivitas seperti bernyanyi bersama lagu anak-ana dan melihat album foto merupakan cara lain dalam meningkatkan kemampuan berbahasa anak-anak.

Selain mengajak berbicara, Gross juga menekankan pentingnya pengulangan kata-kata baru sehingga melatih daya ingat. Kuatnya daya ingat menurut Gross akan mempermudah penggunaan kosa kata pada anak ketika mereka bersosialisasi. Gross juga menyarankan kepada setiap keluarga untuk membiasakan bermain bersama dengan anak-anak. Ditambahkan Gross, orang tua tidak perlu harus terpaku pada game yang ada. Menurut dia, perlu juga berinovasi menciptakan permainan sendiri.

Sumber: dailymail.co.uk

Pada Usia Berapa Sih, Anak-Anak Mulai Diajar Disiplin?

Pada usia berapa anak-anak mulai diajar disiplin? Inilah pertanyaan yang jamak mengemuka di kalangan orang tua baru. Disiplin kerap dikonotasikan dengan bersikap tegas dan sedikit "keras" pada anak.

Jika anak kita berusia 2 tahun dan melemparkan botol minumannya setelah isinya kosong, haruskah kita menghukumnya? Bukankah ini perilaku wajar anak-anak? Demikian pertanyaan umum lainnya.

Memang, mengajarkan disiplin tak bisa dilakukan secara serta-merta, tapi bertahap. "Kesalahan orang tua adalah mengkonotasikan disiplin dengan aktivitas menghukum, padahal disiplin yang sebenarnya adalah mendidik," kata prikolog Deborah Roth Ledley PhD, penulis buku Becoming a Calm Mom: How to Manage Stress and Enjoy the First Year of Motherhood.

Ketika balita Anda mencecerkan makanan di lantai, misalnya, Anda bisa mengingatkan dia bahwa cara itu tidaklah baik. Teguran Anda, tentu disesuaikan dengan usianya, dan dengan bahasa yang mudah dipahaminya. Dan satu lagi, "Jangan dengan berteriak."

Disiplin, katanya, adalah pendidikan sejak lahir. Untuk bayi 1 tahun, misalnya, disiplin adalah dengan menyosialisasikan pada anak tentang kebiasaan-kebiasaan sederhana dan mengajarkan padanya tentang batasan-batasan. "Menginjak usia dua tahun dan seterusnya, Anda bisa mulai melakukannya dengan memberi contoh-contoh perilaku," katanya.

Sumber : republika.co.id

Sekolah Ideal untuk Anakku

Sungguh tidak mudah mencari sekolah di jaman sekarang dimana kondisi ibu yang berpendidikan, ayah yang penuh harapan dan terlalu sayang dengan anak. Demikianlah gambaranku terhadap ayah dan ibu yang mondar-mandir mencari sekolah disana-sini, berkali kali membolak-balik koran, membaca brosur dan bertanya-tanya kepada kawan serta kerabat mengenai sekolah mana yang terbaik untuk anaknya.

Telinga pun dipasang lebar-lebar sampai akhirnya didapatkan juga beberapa buah sekolah yang direferensikan oleh kawan-kawannya. Ada sekolah dekat jalan X, muridnya sedikit lalu gurunya islami namun jangan kaget bila fasiltasnya sangat sederhana, yang punya sih orangnya cerdas dan konsepnya bagus namun biayanya agak mahal sedikit, tapi okelah daripada anak harus sekolah dan les lagi sepulang sekolah, karena sekolahnya full day dari pagi hingga petang hari sehingga cocoklah untuk orang tua yang sibuk bekerja.

Selain itu ada juga tawaran di dekat rumah, muridnya juga sedikit, gurunya sudah tua-tua namun agak konvensional dan kurang ceria mungkin dikarenakan gurunya sudah tua, tapi bila sekolah disana, anak tidak usah jauh-jauh meninggalkan rumah sehingga kalau pergi dan pulang sekolah bisa jalan kaki, menghemat biaya.

Akh, mencari sekolah yang ideal mungkin sudah dilakukan sampai kemana-mana, namun sebetulnya yang kita cari adalah sekolah buatan kita, agar anak kita menjadi pandai atau sekolah yang memuaskan keinginan orang tua. Bagi saya pribadi, sekolah yang ideal tidak ada, karena semua harapan adalah cita-cita kita para orang tua, dan setiap sekolah memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Sekarang tinggal bagaimana kita melihat apakah sekolah itu yang kita inginkan dan yang kita butuhkan sehingga sekolah itu mampu menjadi sekolah yang ideal bagi anak kita.

Cuma, pendapat penting tentang sebuah sekolah yaitu sebuah sekolah harus dapat membantu kita orang tua dalam mendidik anak kita. Sekolah yang utama sebetulnya adalah di rumah dengan ayah sebagai kepala sekolah dan ibu sebagai walikelasnya serta mbok Inem (pembantu rumah tangga/khadimat/assisten rumah tangga) sebagai assistennya.

sumber : http://www.republika.co.id

Tuesday, May 10, 2011

Tanamkan Karakter Anak secara Sederhana

Pendidikan karakter merupakan salah satu hal penting bagi dunia pendidikan nasional saat ini. Namun, bagaimana caranya menanamkan hal tersebut pada anak-anak didik di tengah dunia akademis yang saat ini "belum" dinomorsatukan?


Pemerhati pendidikan dari Education Forum, Elin Driana, mengatakan, salah satu caranya adalah menentukan sekolah yang tepat bagi anak. Tepat di sini, lanjut Elin, sekolah yang memerhatikan nilai-nilai akademis dan character building secara seimbang.

"Jangan hanya nilai-nilai akademis, tetapi harus juga diajarkan dan dicontohkan kepada anak bahwa mencontek itu tidak baik. Ketika anak melakukan kesalahan, semestinya diperbaiki, bukan dengan cara ditegur atau dihukum," ujar Elin

Elin mengatakan, hal tersebut dapat diajarkan secara sederhana, yakni dengan menanamkan nilai-nilai itu dalam kegiatan sehari-hari di lingkungan sekolah. Untuk itu, lanjutnya, pendidikan karakter tidak perlu dijadikan sebagai satu mata pelajaran khusus di sekolah.

"Semua bisa dimasukkan dalam nilai-nilai yang diajarkan di lingkungan sekolah. Contohnya, anak dapat diajarkan berdisiplin untuk tidak terlambat masuk sekolah, lalu berdisiplin dalam upacara bendera. Jadi, itu yang penting menurut saya, tidak harus dibuatkan mata pelajaran khusus," tuturnya.

Bermula di rumah

Selain menentukan sekolah yang tepat bagi anak, Elin menambahkan, penanaman pendidikan karakter sebaiknya dimulai dari rumah. Dalam hal ini, orangtua kembali mempunyai peran penting untuk membentuk karakter putra-putrinya.

"Kalau dari volumenya, anak itu paling banyak berada di rumah, karena dia (anak) juga, kan, darah daging orangtuanya," kata Elin.

Elin menuturkan, banyak hal dapat dilakukan orangtua untuk membangun karakter anaknya di rumah. Salah satunya membuat pola komunikasi yang baik dengan anak. Hal itu dimaksudkan agar hubungan anak dan orangtua dapat berjalan secara maksimal sehingga karakter anak dapat terlihat.

"Selain itu, bisa juga dengan cara memberikan kebebasan anak melakukan kegiatannya. Namun, kebebasan di sini dalam arti bahwa orangtua juga harus tetap memantau kegiatan-kegiatan mereka itu," pungkas Elin.

sumber: edukasi.kompas.com

Sunday, May 8, 2011

Pendidikan Alternatif Makin Diminati

Pendidikan alternatif, seperti homeschooling atau sekolah rumah dan sekolah alam, kini semakin berkembang dan diminati di Tanah Air. Pendidikan alternatif ini pola pendidikannya membawa anak tidak berjarak dengan realitas kehidupan.


Pendidikan alternatif ini lahir karena sekelompok pemerhati pendidikan tidak puas terhadap layanan pendidikan yang ada. Pembelajaran di sekolah umum sebagian besar masih bersifat konvensional dan kaku yang membatasi kreativitas serta kekhasan alamiah anak-anak yang ingin bermain sambil belajar.

”Pendidikan kita itu menawarkan belajar hanya untuk belajar. Padahal, seharusnya belajar itu untuk bekal kehidupan,” kata Moh Sulthon Amien, Ketua Pembina Yayasan Insan Mulia yang menaungi Sekolah Alam Insan Mulia di Surabaya, Selasa (10/2).

Alamiah

Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya (SAIMS) yang memiliki layanan pendidikan dari kelompok bermain, taman kanak-kanak, SD, dan SMP sekitar sembilan tahun ini memberikan layanan pendidikan alternatif dengan konsep belajar yang menyenangkan dan belajar sambil bermain.

Kondisi sekolah dibuat alamiah yang memungkinkan anak belajar di sudut mana pun saat berada di lahan seluas sekitar satu hektar ini. Selain itu, mata pelajaran yang diberikan mampu diaplikasikan lewat pembelajaran tematik dengan membawa anak-anak pada realitas kehidupan yang sesungguhnya.

Aziz Badiansyah, Kepala SD SAIMS, mengatakan, dalam pembelajaran guru mesti mampu membawa anak mencapai kompetensi yang harus dipenuhi. Di sekolah ini, siswa SD tidak belajar sesuai mata pelajaran, tetapi mata pelajaran yang diwajibkan dalam kurikulum nasional itu diramu sedemikian rupa ke dalam suatu topik.

”Dengan membawa anak mengaplikasikan langsung setiap topik belajar di alam sekitarnya, mereka jadi senang belajar. Mereka tidak sadar sedang belajar karena dibuat dengan cara bermain dan merasakan langsung. Pembelajaran dengan cara itu membuat mereka mudah ingat apa yang dipelajari,” ujar Aziz.

Loula Maretta dari Green Education mengatakan, alam semesta ini bisa menjadi sumber belajar yang kaya bagi anak-anak. Belajar pun tidak terbatas dalam sekat-sekat dinding yang dirasakan tidak nyaman bagi sebagian anak. Belajar secara formal bisa dilaksanakan di luar ruangan yang memberi kebebasan bagi tumbuhnya kreativitas dan kemampuan mengeksplorasi ilmu dari alam sekitar.

Wardiman Djojonegoro, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengatakan perlu terus dicari upaya supaya belajar di sekolah jangan membebani anak dan guru. Para pendidik mesti mampu mengubah pembelajaran yang menyenangkan sehingga anak menikmati saat-saat belajar dan mampu memahami pelajaran.

Sumber :edukasi.kompas.com