Sunday, February 27, 2011

Teori Belajar Andragogi dan Penerapannya

Pendahuluan

Belajar merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang vital dalam usahanya untuk mempertahankan hidup dan mengembangkan dirinya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dirasakannya belajar sebagai suatu kebutuhan yang vital karena semakin pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menimbulkan berbagai perubahan yang melanda segenap aspek kehidupan dan penghidupan manusia. Tanpa belajar, manusia akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan tuntutan hidup, kehidupan dan penghidupan yang senantiasa berubah. Dengan demikian belajar merupakan suatu kebutuhan yang dirasakan sebagai suatu keharusan untuk dipenuhi sepanjang usia manusia, sejak lahir hingga akhir hayatnya. (Syamsu Mappa, 1994: 1)

Banyak teori mengenai proses pembelajaran didasarkan pada rumusan pendidikan sebagai suatu proses transmisi budaya. Dari teori itu lahirlah istilah pedagogi yang diartikan sebagai suatu ilmu dan seni mengajar anak-anak. Perkembangan selanjutnya, istilah pedagogi tersebut berubah artinya menjadi ilmu dan seni mengajar.

Di lain pihak perubahan yang terjadi seperti inovasi dalam teknologi, mobilitas penduduk, perubahan sistem ekonomi, politik dan sejenisnya begitu cepat terjadi. Dalam kondisi seperti ini, maka pengetahuan yang diperoleh seseorang ketika ia berumur 21 tahun akan menjadi usang ketika ia berumur 41 tahun. Apabila demikian, maka pendidikan sebagai suatu proses transmisi pengetahuan sudah tidak lagi dirumuskan sebagai upaya untuk mentransformasian pengetahuan, tetapi dirumuskan sebagai proses penemuan sepanjang hayat terhadap apa yang dibutuhkan untuk diketahui. (Zainudin Arif, 1984:1)

Dalam dua dekade terakhir, di kalangan ahli pendidikan orang dewasa telah berkembang baik di Eropa maupun di Amerika dan Asia suatu teori mengenai cara mengajar orang dewasa. Untuk membedakan dengan “pedagogi”, maka teori tersebut dikenal dengan nama “andragogi”. Istilah “andragogi” sebagai istilah teori filsafat pendidikan telah digunakan sejak tahun 1833 oleh Alexander Kapp bangsa Jerman yang bekerja sebagai guru sekolah grammar, istilah tersebut hilang dalam peredaran zaman. Tahun 1921 istilah tersebut dimunculkan kembali oleh Eugene Rosentock, seorang pengajar di akademik buruh Frankrut.

Sejak 1970-an istilah “andragogi” semakin banyak digunakan oleh pada pendidik orang dewasa di Eropa, Amerika dan Asia. Menjelang akhir abad ke-19 dan memasuki abad ke-20 beberapa ahli psikologi mengadakan penelitian eksperimen tentang teori belajar walaupun pada waktu itu mereka menggunakan binatang sebagai objek eksperimen. Penggunaan binatang sebagai objek eksperimen berdasarkan pemikiran bahwa apabila binatang yang kecerdasannya dianggap rendah dapat melakukan eksperimen teori belajar, maka sudah dapat dipastikan bahwa kesperimen itupun dapat pula berlaku bahkan lebih berhasil pada manusia, oleh karena manusia lebih cerdas daripada binatang.

Di antara ahli psikologi yang menggunakan binatang sebagai objek eksperimen adalah EL Thorndike (1974–1949), terkenal dengan teori belajar “Classical Conditioning” menggunakan anjing sebagai ujicoba. B.F. Skinner (1904), terkenal dengan teori belajar “Operant Conditioning” menggunakan tikus dan burung merpati sebagai ujicoba. Dari teori belajar orang dewasa ini muncul perspektif teori belajar orang dewasa yang biasa disebut dengan “Andragogi Theory of Adult Learning”. Teori andragogi menjelaskan bagaimana belajar orang dewasa dalam pembelajaran. Kedua komponen ini sangat berkaitan erat dengan proses belajar dan pembelajaran. Di antara ahli teori belajar dan pembelajaran orang dewasa ialah Care Rogers (1969), Paulo Freire (1972), Robert M. Gagne (1977), Malcolm Knowles (1980), Jack Mezirow (1981).

Dalam tulisan ini penulis ingin mengupas hal yang dianggap urgen pada teori belajar “andragogi” menyangkut Pengertian Andragogi, Teori Belajar Orang Dewasa dan Tokohnya serta Aplikasinya dalam Kegiatan Belajar dan Pembelajaran.

Pengertian Andragogi

Secara etimologis, andragogi berasal dari bahasa Latin “andros” yang berarti orang dewasa dan “agogos“ yang berarti memimpin atau melayani.

Knowles (Sudjana, 2005: 62) mendefinisikan andragogi sebagai seni dan ilmu dalam membantu peserta didik (orang dewasa) untuk belajar (the science and arts of helping adults learn). Berbeda dengan pedagogi karena istilah ini dapat diartikan sebagai seni dan ilmu untuk mengajar anak-anak (pedagogy is the science and arts of teaching children).

Orang dewasa tidak hanya dilihat dari segi biologis semata, tetapi juga dilihat dari segi sosial dan psikologis. Secara biologis, seseorang disebut dewasa apabila ia telah mampu melakukan reproduksi. Secara sosial, seseorang disebut dewasa apabila ia telah melakukan peran-peran sosial yang biasanya dibebankan kepada orang dewasa. Secara psikologis, seseorang dikatakan dewasa apabila telah memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan dan keputusan yang diambil.

Darkenwald dan Meriam (Sudjana, 2005: 62) memandang bahwa seseorang dikatakan dewasa apabila ia telah melewati masa pendidikan dasar dan telah memasuki usia kerja, yaitu sejak umur 16 tahun. Dengan demikian orang dewasa diartikan sebagai orang yang telah memiliki kematangan fungsi-fungsi biologis, sosial dan psikologis dalam segi-segi pertimbangan, tanggung jawab, dan peran dalam kehidupan. Namun kedewasaan seseorang akan bergantung pula pada konteks sosio-kulturalnya. Kedewasaan itupun merupakan suatu gejala yang selalu mengalami perubahan dan perkembangan untuk menjadi dewasa. Istilah “andogogi” berasal dari “andr” dan “agogos” berarti memimpin, mengamong, atau membimbing.

Dugan Laird (Hendayat S., 2005: 135) mengatakan bahwa andragogi mempelajari bagaimana orang dewasa belajar. Laird yakin bahwa orang dewasa belajar dengan cara yang secara signifikan berbeda dengan cara-cara anak dalam memperoleh tingkah laku baru.

Andragogi adalah suatu model proses pembelajaran peserta didik yang terdiri atas orang dewasa. Andragogi disebut juga sebagai teknologi pelibatan orang dewasa dalam pembelajaran. Proses pembelajaran dapat terjadi dengan baik apabila metode dan teknik pembelajaran melibatkan peserta didik. Keterlibatan diri (ego peserta didik) adalah kunci keberhasilan dalam pembelajaran orang dewasa. untuk itu pendidik hendaknya mampu membantu peserta didik untuk: (a) mendefinisikan kebutuhan belajarnya, (b) merumuskan tujuan belajar, (c) ikut serta memikul tanggung jawab dalam perencanaan dan penyusunan pengalaman belajar, dan (d) berpartisipasi dalam mengevaluasi proses dan hasil kegiatan belajar. Dengan demikian setiap pendidik harus melibatkan peserta didik seoptimal mungkin dalam kegiatan pembelajaran.

Prosedur yang perlu ditempuh oleh pendidik sebagaimana dikemukakan Knowles (1986) adalah sebagai berikut: (a) menciptakan suasana yang kondusif untuk belajar melalui kerjasama dalam merencanakan program pembelajaran, (b) menemukan kebutuhan belajar, (c) merumuskan tujuan dan materi yang cocok untuk memenuhi kebutuhan belajar, (d) merancang pola belajar dalam sejumlah pengalaman belajar untuk peserta didik, (e) melaksanakan kegiatan belajar dengan menggunakan metode, teknik dan sarana belajar yang tepat dan (f) menilai kegiatan belajar serta mendiagnosis kembali kebutuhan belajar untuk kegiatan pembelejaran selanjutnya. Inti teori andragogi adalah teknologi keterlibatan diri (ego) peserta didik. Artinya kunci keberhasilan daam proses pembelajaran peserta didik terletak pada keterlibatan diri mereka dalam proses pembelajaran (Sudjana, 2005: 63).

Teori Belajar Orang Dewasa dan Tokohnya

1. Carl Rogers

Carl R Rogers (1951) mengajukan konsep pembelajaran yaitu “ Student-Centered Learning” yang intinya yaitu: (1) kita tidak bisa mengajar orang lain tetapi kita hanya bisa menfasilitasi belajarnya; (2) Seseorang akan belajar secarasignifikan hanya pada hal-hal yang dapat memperkuat/menumbuhkan “self”nya; (3) Manusia tidak bisa belajar kalau berada di bawah tekanan (4) Pendidikan akan membelajarkan peserta didik secara signifkan bila tidak ada tekanan terhadap peserta didik, dan adanya perbedaan persepsi/pendapat difasilitasi/diakomodir. Peserta didik orang dewasa menurut konsep pendidikan adalah: (1) meraka yang berperilaku sebagai orang dewasa, yaitu orang yang melaksanakan peran sebagai orang dewasa; (2) meraka yang mempunyai konsep diri sebagai orang dewasa.

Menurut Biehler (1971: 509-513) dan jarvis (1983: 106-108) Carl Rogers adalah seorang ahli ilmu jiwa humanistik yang menganjurkan perluasan penggunaan teknik psikoterapi dalam bidang pembelajaran. Menurut pendapatnya, peserta belajar dan fasilitator hendaknya memiliki pemahaman yang mendalam mengenai diri mereka melalui kelompok yang lebih intensif. Pendekatan ini lebih dikenal dengan istilah latihan sensitivitas: kelompok, group, workshop intensif, hubungan masyarakat.

Menurut Rogers, latihan sensitivitas dimaksudkan untuk membantu peserta belajar berbagai rasa dalam penjajagan sikap dan hubungan interpersonal di antara mereka. Rogers menanamkan sistem tersebut sebagai pembelajaran yang berpusat pada peserta belajar. Pembelajaran yang berpusat pada peserta belajar pada hakekatnya merupakan versi terakhir dari metode penemuan (discovery method).

Rogers mengemukakan adanya tiga unsur yang penting dalam belajar berpengalaman (experimental learning), yaitu:

a. Peserta belajar hendaknya dihadapkan pada masalah nyata yang ingin ditemukan pemecahannya.

b. Apabila kesadaran akan masalah telah terbentuk, maka terbentuk pulalah sikap terhadap masalah tersebut.

c. Adanya sumber belajar, baik berupa manusia maupun berbentuk bahan tertulis atau tercetak.

Teori belajar berpengalaman dari Carl Rogers, Javis mengemukakan bahwa teori tersebut mengandung nilai keterlibatan personal, intelektual dan afektif yang tinggi, didasarkan atas prakarsa sendiri (self Initiated). Peranan fasilitator dalam belajar berpengalaman ialah sekedar membantu memudahkan peserta belajar menemukan kebutuhan belajar yang bermakna baginya.

Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis, tahap demi tahap secara ketat, sebagaimana tujuan-tujuan pembelajaran yang telah dinyatakan secara eksplisit dan dapat diukur, kondisi belajar yang diatur dan ditentukan, serta pengalaman-pengalaman belajar yang dipilih untuk siswa, mungkin saja berguna bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Roger dalam Snelbecker, 1974). Hal tersebut tidak sejalan dengan teori humanistik. Menurut teori ini, agar belajar bermakna bagi siswa, diperlukan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sendiri. Maka siswa akan mengalami belajar eksperensial (experiential learning) (Asri Budiningsih, 2005: 77).

2. Robert M. Gagne

Gagne mengemukakan yang terpenting bagi pendidikan orang dewasa terutama yang berkaitan dengan kondisi belajar. Menurutnya ada delapan hierarki tipe belajar seperti diuraikan sebagai berikut:

1. Belajar Berisyarat; belajar berisyarat dapat pada tingkatan mana saja dari hierarki sebagai suatu bentuk: Classical Conditioning. Tipe belajar ini dapat terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa dalam bentuk sikap dan prasangka.

2. Belajar Stimulus Respon; belajar stimulus respon adalah sama dengan Operant Conditioning, yang responnya berbentuk ganjaran. Dua tipe berikutnya adalah rangkaian motorik dan verbal, berbeda pada tingkatan yang sama dalam hierarki.

3. Rangkaian motorik tidak lain dari belajar keterampilan, sedangkan

4. Rangkaian verbal adalah belajar dengan cara menghafal (rote learning).

5. Diskriminasi Berganda; dalam belajar diskriminasi ganda, memasuki kawasan keterampilan intelektual berupa kemampuan membedakan antara beberapa jenis gejala yang serupa. Dengan tipe belajar ini, peserta belajar diharapkan memiliki kemampuan untuk menetapkan mana di antara tipe tersebut yang tepat untuk sesuatu situasi khusus.

6. Belajar Konsep; adalah kemampuan berpikir abstrak yang mulai dipelajari pada masa remaja (adolesence). Belajar konsep merupakan salah satu unsur yang membedakan antara pendidikan orang dewasa dibandingkan dengan pendidikan anak-anak dilihat dari tingkatan pemikiran tentang konsep.

7. Belajar Aturan; merupakan kemampuan merespon terhadap keseluruhan isyarat, merupakan tipe belajar yang penting dalam pendidikan orang dewasa. Belajar pemecahan masalah merupakan tingkat tertinggi dalam tipe belajar menurut hierarki Gagne.

8. Pemecahan Masalah; Tipe pemecahan masalah bertujuan untuk menemukan jawaban terhadap situasi problematik.

3. Paulo Freire

Paulo Freire adalah seorang pendidik di negara Brazilia yang gagasannya tentang pendidikan orang dewasa. Menurut Flaire, pendidikan dapat dirancang untuk percaya pada kemampuan diri pribadi (self affirmation) yang pada akhirnya menghasilkan kemerdekaan diri. Ia terkenal dengan gagasannya yang disebut dengan conscientization yang terdapat tiga prinsip:

a. Tak seorang pun yang dapat mengajar siapapun juga,

b. Tak seorang pun yang belajar sendiri,

c. Orang-orang harus belajar bersama-sama, bertindak di dalam dan pada dunia mereka.

Gagasan ini memberikan kesempatan kepada orang dewasa untuk melakukan analisis kritis mengenali lingkungannya, untuk memperdalam persepsi diri mereka dalam hubungannya dengan lingkungannya dan untuk membina kepercayaan terhadap kemampuan sendiri dalam hal kreativitas kapablitasnya untuk melakukan tindakan. Fasilitator dan peserta belajar hendaknya bersama-sama bertanggung jawab terhadap berlangsungnya proses pengembangan fasilitator dan peserta belajar.

4. Jack Mezirow

Mezirow adalah Teacher College Universitas Columbia, beliau mengemukakan: “Belajar dalam kelompok pada umumnya merupakan alat yang paling efektif untuk menimbulkan perubahan dalam sikap dan perilaku individu”.

Mezirow berpendapat bahwa pendidikan sebagai suatu kekuatan pembebasan individu dari belenggu dominasi budaya penjajah, namun ia melihat kemerdekaan dari perspektif yang lebih bersifat psikologis, dan kegiatan belajar sebagai suatu metode yang dapat digunakan untuk mengubah realita masyarakat.

Keinginan belajar terjadi sebagai akibat dari refleksi pengalaman, dan ia menyatakan adanya perbedaan tingkatan refleksi, menetapkan perbedaan refleksi dan menetapkan tujuh tingkatan refleksi yang mungkin terjadi dalam masa kedewasaan, yaitu:

a. Refleksivitas: kesadaran akan persepsi khusus, arti dan perilaku

b. Refleksivitas Afektif: kesadaran akan bagaimana individu merasa tentang apa yang dirasakan, dipikirkan atau dilakukan.

c. Refleksivitas Diskriminasi: menilai kemanjuran (efficacy) persepsi, dll.

d. Refleksivitas Pertimbangan: membuat dan menjadikan sadar akan nilai pertimbangan yang dikemukakan.

e. Refleksivitas Konseptual: menilai kememadaian konsep yang digunakan untuk pertimbangan.

f. Refleksivitas Psikis: pengenalan kebiasaan membuat penilaian perasaan

Mengenai dasar informasi terbatas.

g. Refleksivitas Teoritis: kesadaran akan mengapa satu himpunan perspektif lebih atau kurang memadai untuk menjelaskan pengalaman personal.

5. Malcolm Knowles

Knowles terkenal dengan teori andragoginya, oleh karena itu dianggap Bapak Teori Andragogi meskipun bukan dia yang pertama kali menggunakan istilah tersebut. Andragogi berasal dari akar kata “aner” yang artinya orang (man) untuk membedakannya dengan “paed” yang artinya anak. Andragogi adalah seni dan ilmu yang digunakan untuk membantu orang dewasa belajar. Knowles (1970) andragogi-concepts/mengembangkan konsep andragogi atas empat asumsi pokok yang berbeda dengan pedagogi. Keempat asumsi pokok itu adalah sebagai berikut Asumsi Pertama, seseorang tumbuh dan matang konsep dirinya bergerak dari ketergantungan total menuju ke arah pengarahan diri sendiri. Atau secara singkat dapat dikatakan pada anak-anak konsep dirinya masih tergantung, sedang pada orang dewasa konsep dirinya sudah mandiri. Karena kemandirian konsep dirinya inilah orang dewasa membutuhkan penghargaan orang lain sebagai manusia yang dapat mengarahkan diri sendiri. Apabila dia menghadapi situasi dimana dia tidak memungkinkan dirinya menjadi self directing maka akan timbul reaksi tidak senang atau menolak.

Asumsi kedua, sebagaimana individu tumbuh matang akan mengumpulkan sejumlah besar pengalaman dimana hal ini menyebabkan dirinya menjadi sumber belajar yang kaya, dan pada waktu yang sama memberikan dia dasar yang luas untuk belajar sesuatu yang baru. Oleh karena itu, dalam teknologi andragogi terjadi penurunan penggunaan teknik transmital seperti yang dipakai dalam pendidikan tradisional dan lebih-lebih mengembangkan teknik pengalaman (experimental-technique). Maka penggunaan teknik diskusi, kerja laboratori, simulasi, pengalaman lapangan, dan lainnya lebih banyak dipakai.

Asumsi ketiga, bahwa pendidikan itu secara langsung atau tidak langsung, secara implisit atau eksplisit, pasti memainkan peranan besar dalam mempersiapkan anak dan orang dewasa untuk memperjuangkan eksistensinya di tengah masayarakat. Karena itu, sekolah dan pendidikan menjadi sarana ampuh untuk melakukan proses integrasi maupun disintegrasi sosial di tengah masyarakat (Kartini Kartono, 1992). Selajan dengan itu, kita berasumsi bahwa setiap individu menjadi matang, maka kesiapan untuk belajar kurang ditentukan oleh paksaan akademik dan perkembangan biologisnya, tetapi lebih ditentukan oleh tuntutan-tuntutan tugas perkembangan untuk melakukan peranan sosialnya. Dengan perkataan lain, orang dewasa belajar sesuatu karena membutuhkan tingkatan perkembangan mereka yang harus menghadapi peranannya apakah sebagai pekerja, orang tua, pimpinan suatu organisasi, dan lain-lain. Kesiapan belajar mereka bukan semata-mata karena paksaan akademik, tetapi karena kebutuhan hidup dan untuk melaksanakan tugas peran sosialnya.

Asumsi keempat, bahwa anak-anak sudah dikondisikan untuk memiliki orientasi belajar yang berpusat pada mata pelajaran (subject centered orientation) karena belajar bagi anak seolah-olah merupakan keharusan yang dipaksakan dari luar. Sedang orang dewasa berkecenderungan memiliki orientasi belajar yang berpusat pada pemecahan masalah kehidupan (problem-centered-orientation). Hal ini dikarenakan belajar bagi orang dewasa seolah-olah merupakan kebutuhan untuk menghadapi masalah hidupnya. http://blog.persimpangan.com/blog/2007/08/15/ Kempat asumsi dasar itulah yang dipakai sebagai pembandingan antara konsep pedagogi dan andragogi

Lebih rinci Knowles menegaskan adanya perbedaan antara belajar bagi orang dewasa dengan belajar bagi anak-anak dilihat dari segi perkembangan kognitif mereka. Menurut Knowles, ada empat asumsi utama yang membedakan antara andragogi dan pedagogi, yaitu:

♦ Perbedaan dalam konsep diri, orang dewasa membutuhkan kebebesan yang lebih bersifat pengarahan diri.

♦ Perbedaan pengalaman, orang dewasa mengumpulkan pengalaman

♦ Kesiapan untuk belajar, orang dewasa ingin mempelajari bidang permasalahan yang kini mereka hadapi dan anggap relevan

♦ Perbedaan dalam orientasi ke arah kegiatan belajar, orang dewasa orientasinya berpusat pada masalah dan kurang kemungkinannya berpusat pada subjek.

Knowles membedakan orientasi belajar antara anak-anak dengan orang dewasa, dilihat dari segi perspektif waktu yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya perbedaan manfaat yang mereka harapkan dari belajar.

Anak-anak berkecenderungan belajar untuk memiliki kemampuan yang kelak dibutuhkan untuk melanjutkan pelajaran ke sekolah lanjutan/ perguruan tinggi, yang memungkinkan mereka memasuki alam kehidupan yang bahagia dan produktif dalam masa kedewasaan.

Orang dewasa cenderung memilih kegiatan belajar yang dapat segera diaplikasikan, baik pengetahuan maupun keterampilan yang dipelajari. Bagi orang dewasa, pendidikan orang dewasa pada hakekatnya adalah proses peningkatan kemampuan untuk menanggulangi masalah kehidupan yang dialami sekarang. (Mappa, 1994: 114)

Aplikasi Teori Andragogi dalam Kegiatan Belajar dan Pembelajaran

Permasalahan yang paling sering muncul dalam pelaksanaan pendidikan luar sekolah adalah hasil belajar, output dan outcomenya. Ketidakmampuan peserta memahami dengan baik materi dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan keterampilan merupakan indikasi kurang berhasilnya kegiatan pendidikan luar sekolah. Rendahnya hasil belajar sebagai indikator dari ketidakberhasilan pembelajaran, dimana peserta maupun tidak mampu menerima dengan baik bahan belajar yang diajarkan oleh tutor. Salah satu penyebab ketidakberhasilan pembelajaran pendidikan luar sekolah adalah metode pembelajaran yang tidak sesuai dengan prosedur pelaksanaannya dan andragogi belum diterapkan secara maksimal dalam pelaksanaan pembelajaran.

Secara jelas Knowles (1979: 11-27 ) menyatakan apabila warga belajar telah berumur 17 tahun, penerapan prinsip andragogi dalam kegiatan pembelajarannya telah menjadi suatu kelayakan. Usia warga belajar pada kelompok belajar program PLS rata-rata di atas 17 tahun, sehingga dengan sendirinya penerapan prinsip andragogi pada kegiatan pembelajarannya semestinya diterapkan.

Perlunya penerapan prinsip andragogi dalam pendekatan pembelajaran orang dewasa dikarenakan upaya membelajarkan orang dewasa berbeda dengan upaya membelajarkan anak. Membelajarkan anak (pedagogi) lebih banyak merupakan upaya mentransmisikan sejumlah pengalaman dan keterampilan dalam rangka mempersiapkan anak untuk menghadapi kehidupan di masa datang. Apa yang di transmisikan didasarkan pada pertimbangan warga belajar sendiri, apakah hal tersebut akan bermanfaat bagi warga belajar di masa datang. Sebaliknya, pembelajar-an orang dewasa (andragogi) lebih menekankan pada membimbing dan membantu orang dewasa untuk menemukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam rangka memecahkan, masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya. Ketepatan pendekatan yang digunakan dalam penyelenggaraan suatu kegiatan pembelajaran tentu akan mempengaruhi hasil belajar warga belajar.

Bagi tenaga kependidikan luar sekolah, teori belajar orang dewasa tidak hanya diketahui, tetapi harus dapat diaplikasikan dalam setiap kegiatan belajar dan membelajarkan agar proses atau interaksi belajar yang dikelolanya dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Berikut akan dikemukakan karakteristik dari setiap kegiatan belajar secara teori belajar orang dewasa yang dapat diaplikasikan pada setiap tahap kegiatan belajar.

Penerapan Andragogi dalam performansi Tutor

Tutor sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran orang dewasa. Tutor memasuki kelas dengan bekal sejumlah pengetahuan dan pengalaman. Pengetahuan dan pengalaman ini seharusnya melebihi dari yang dimiliki oleh peserta. Seorang tutor dengan pengetahuan dan pengalamannya itu tidaklah cukup untuk membuat peserta untuk berperilaku belajar dalam kelas melainkan sikap tutor sangatlah penting. Seorang tutor bukan merupakan “pemaksa” untuk terjadinya pengaruh terhadap peserta, namun pengaruh itu timbul karena adanya keterlibatan mereka dalam kegiatan belajar. Untuk mengusahakan adanya perubahan, tutor hendaknya bersikap positif terhadap warga belajar.

Sikap seorang tutor mempunyai arti dan pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku warga belajar dalam kegiatan pembelajaran. Umumnya tutor yang memiliki daya tarik akan lebih efektif dari pada tutor yang tidak menarik. Sikap menyenangkan yang ditampilkan oleh tutor akan ditanggapi positif oleh peserta, pada gilirannya berpengaruh terhadap intensitas perilaku belajarnya. Sebaliknya, fasilitator yang menampilkan sikap tidak menyenangkan akan dinilai negatif oleh peserta, sehingga mengakibatkan kegiatan belajar menjadi tidak menyenangkan.

Ada beberapa hal yang dianggap penting dimiliki oleh para tutor dalam proses interaksi belajar yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya warga belajar, yaitu (1) bersikap manusiawi dan tidak bereaksi secara mekanis atau memahami masalah peserta didik hanya secara intelektual; ikut merasakan apa arti manusia dan benda bagi mereka; berada dan bersatu dengan peserta didik; membiarkan diri sendiri mengalami atau menyatu dalam pengalaman para peserta didik; merenungkan makna pengalaman itu sambil menekan penilaian diri sendiri, (2) Bersikap kewajaran: jujur, apa adanya, konsisten, terbuka; membuka diri; merespon secara tulus ikhlas, (3) Bersikap respek: mempunyai pandangan positif terhadap peserta; mengkomunikasikan kehangatan, perhatian, pengertian, menerima orang lain dengan penghargaan penuh; menghargai perasaan dan pengalaman mereka, dan (4) Membuka diri: menerima keterbukaan orang lain tanpa menilai dengan ukuran, konsep dan pengalaman diri sendiri; secara aktif mengungkapkan diri kepada orang lain dan mau mengambil resiko jika melakukan kekeliruan.

Penerapan Andragogi dalam Pengorganisasian Bahan Belajar

Pengorganisasian bahan belajar sedemikian rupa, memudahkan warga belajar dalam mempelajarinya. Pengorganisasian bahan belajar dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan pembelajaran. Setiap bahan belajar yang ingin disampaikan, harus dilihat dari ketertarikan warga belajar terhadap materi yang disampaikan, kesesuaian materi dengan kebutuhan warga belajar, dan kesamaan tingkat dan lingkup pengalaman antara tutor dan warga belajar

Bahan belajar yang berisi pengetahuan, keterampilan dan atau nilai-nilai akan disampaikan oleh tutor kepada warga belajar. Bahan belajar itu pula yang akan dipelajari oleh warga dalam mencapai tujuan belajar. Materi harus dipilih atas pertimbangan sejauh mana peranannya dalam menciptakan situasi untuk penyesuaian perilaku warga belajar di dalam mencapai tujuan belajar yang ditetapkan. Materi itu pun akan mempengaruhi pertimbangan tutor dalam memilih dan menetapkan teknik pembelajaran.

Seorang tutor hendaknya mengetahui faktor-faktor yang patut dipertimbangkan dalam memilih bahan belajar untuk diajarkan. Ketertarikan warga belajar dalam memilih dan mempelajari bahan belajar adalah merupakan manifestasi dari perilaku belajar warga belajar. Faktor-faktor yang patut dipertimbangkan dalam memilih bahan belajar adalah tingkat kemampuan peserta, keterkaitannya dengan pengalaman yang telah dimiliki oleh peserta, tingkat daya tarik bahan belajar, dan tingkat kebaharuan dan aktualisasi bahan.

Penerapan andragogi dalam Metode Pembelajaran

Penggunaan metode pembelajaran dalam pendidikan orang dewasa berimplikasi pada penggunaan teknik pembelajaran yang dipandang cocok digunakan di dalam menumbuhkan perilaku warga belajar. Knowles mengklasifikasi teknik pembelajaran dalam mencapai tujuan belajar berdasarkan tipe kegiatan belajar, yakni; sikap, pengetahuan dan keterampilan.

Kegiatan belajar pada pendidikan orang dewasa masih merupakan kegiatan belajar yang paling efisien dan paling dapat diterima serta merupakan alat yang dinamis dan fleksibel dalam membantu orang dewasa belajar. Oleh karena, kegiatan belajar merupakan alat yang dinamis dan fleksibel dalam membantu orang dewasa, maka penggunaan metode belajar diperlukan berdasarkan prinsip-prinsip belajar orang dewasa. Metode belajar orang dewasa adalah cara mengorganisir peserta agar mereka melakukan kegiatan belajar, baik dalam bentuk kegiatan teori maupun praktek. ( Anonim: 2006)

Metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam kegiatan belajar, harus (1) berpusat pada masalah, (2) menuntut dan mendorong peserta untuk aktif, (3) mendorong peserta untuk mengemukakan pengalaman sehari-harinya, (4) menumbuhkan kerja sama, baik antara sesama peserta, dan antara peserta dengan tutor, dan (5) lebih bersifat pemberian pengalaman, bukan merupakan transformasi atau penyerapan materi.

Kegiatan belajar dan membelajarkan pada garis besarnya dapat dibedakan atas tahap-tahap:

1. Perumusan Tujuan Program

Tujuan program menyatakan domain tingkah laku serta tingkatan tingkah laku yang ingin dicapai sebagai hasil belajar. Selain dari itu warga belajar dapat memiliki kesiapan mental dalam mengikuti program kegiatan belajar yang akan dilaksanakan. Gagasan ini merupakan aplikasi dari hukum kesiapan mental dari Thorndike.

2. Pengembagan Alat Evaluasi dan Evaluasi Hasil Belajar

Teori belajar orang dewasa yang erat hubungannya dengan tahap ini antara lain:

a. Pengembangan Kemamuan Pikir; merupakan teknik pengembangan kemampuan berpikir.

b. Hukum Efek; kegiatan belajar yang memberikan efek hasil belajar yang menyenangkan seperti nilai yang baik, cenderung untuk diulangi dan ditingkatkan.

c. Penguatan; pujian ataupun teguran/peringatan diberikan sesegera mungkin dan secara konsisten. Warga belajar perlu mengetahui hasil tesnya agar ia terdorong untuk terdorong lagi, dapat menilai usaha belajarnya untuk menghadapi tes berikutnya.

d. Keputusan Penyajian; hasil evaluasi dijadikan dasar untuk mengambil keputusan apakah pelajaran dapat dilanjutkan atau perlu diselenggarakan penjelasan remedial atau mengulang kembali bagian-bagian yang dianggap sukar.

e. Hasil Evaluasi; merupakan balikan bagi fasilitator tentang efektivitas/ kemampuan penyajiannya. Juga merupakan balikan bagi warga belajar untuk mengetahui penguasaan terhadap bahan pelajaran.

3. Analisis Tugas Belajar dan Identifikasi Kemampuan Warga Belajar

Kemampuan yang ingin dicapai senagai tujuan pembelajaran, diurai (dianalisis) atas unsur-unsur yang telah diidentifikasi tersebut diseleksi sehingga hanya unsur-unsur yang belum dikuasai sajalah yang dipilih sebagai bahan pelajaran. Pada tahap ini juga diidentikkan karakteristik individual warga belajar seperti: kecerdasa/bakat, kebiasaan belajar, motivasi belajar, kemampuan awal dan kebutuhan warga belajar, terutama yang menyangkut kesulitan belajarnya.

Teori belajar yang relevan dengan kegiatan analisis tugas, antara lain ialah:

a. Teori Gestalt, meliputi:

· Hukum Pragmanz (penuh arti) yaitu pengelompokan objek sesuatu bahan pelajaran berdasaran kriteria atau kategori tertentu seperti: warna, bentuk, ukuran.

· Hukum kesamaan atau keteraturan: tugas-tugas yang unsur-unsurnya mempunyai kesamaan dan teratur, lebih mudah dipahami daripada yang berbeda dan tidak teratur.

b. Teori Medan

Belajar memecahkan masalah adalah pengembangan struktur kognitif.

4. Penyusunan Strategi Belajar-Membelajarkan

Strategi belajar-membelajarkan pada hakikatnya adalah rencana kegiatan belajar dan membelajarkan yang dipilih oleh fasilitator untuk dilaksanakan, baik oleh warga belajar maupun oleh sumber belajar dalam rangka usaha pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

Teori belajar orang dewasa yang erat hubungannya dengan tahap ini antara lain ialah:

1. Teori Bruner tentang cara mengorganisasikan batang tubuh ilmu yang dipelajari, urut-urutan pokok bahasan yang disajikan, teknik-teknik penyajian enaktif, ekonik dan simbolik.

2. Teori penyajian bahan verbal yang bermakna menurut Ausubel.

3. Penataan Situasi belajar yang menyangkut pengelolaan belajar dan kondisi belajar menurut Gagne.

4. Metode belajar pemecahan masalah dengan teknik: ramu pendapat, metode buku catatan kolektif dan metode papan bulletin kolektif.

5. Metode belajar/penyajian menemukan. Metode ini memudahkan transfer dan retensi, mempertinggi kemampuan memecahkan masalah serta mengandung morivasi intrinsik.

6. Perbedaan individu dalam hal kecepatan belajar warga belajar.

7. Pengaturan urutan-urutan penyajian bahan pelajaran menurut tingkat kesulitannya dari yang sederhana ke yang lebih sulit.

5. Pelaksanaan Kegiatan Belajar dan Membelajarkan

Teori belajar orang dewasa yang erat hubungannya dengan tahapan ini antara lain ialah:

1. Hukum kesiapan. Menyiapkan mental warga belajar untuk mengikuti pelajaran baru dengan memberikan penjelasan singkat mengenai pengetahuan prasyarat untuk mengikuti pelajaran baru/hal-hal yang telah dipelajari dan berhubungan erat dengan pelajaran baru.

2. Penguatan dan Motivasi Belajar. Menjelaskan kegunaan/nilai praktis dari pelajaran baru dalam kehidupan dan penghidupan.

3. Proses Pensyaratan (conditioning). Memperlihatkan model hasil belajar terminal untuk memudahkan warga belajar mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru.

d. Hukum Unsur-Unsur yang Identik. Menstransfer pengalaman pemecahan masalah lainnya yang mempunyai persamaan. Menerapkan pengetahuan dan keterampilan baru dalam berbagai situasi, kondisi dan posisi.

e. Metode Menemukan. Memberikan kesempatan kepada warga belajar untuk melakukan sendiri keterampilan yang harus mereka pelajari, jadi bukan fasilitator sendiri yang melakukan.

f. Cara Menarik Perhatian. Mengaitkan kegiatan belajar dan membelajarkan dengan kebutuhan warga belajar, mengolah bahan pelajaran sebagai bahan perlombaan antar individu, kelompok, dan baris.

g. Karya Wisata. Pengalaman praktik lapangan ataupun di laboratorium dan bengkel, permainan peran, permainan atau perlombaan, merupakan pengalaman yang berkesan bagi warga belajar dan memungkinkan mereka lebih mudah mengingat konsep-konsep pengertian kunci dan sebagainya.

6. Pemantauan Hasil Belajar

Teori belajar orang dewasa yang erat hbubungannya dengan tahapan ini antara lain:

1. Hukum Latihan. Makin sering sesuatu pelajaran diulang makin dikuasai pelajaran itu.

2. Belajar lanjut (overlearning). Belajar lanjut 50% (150%) lebih lama daya tahannya dalam ingatan.

3. Revieu. Belajar dengan teknik revieu berkala lebih efektif daripada belajar terus-menerus tanpa revieu. (Mappa, 1994: 154).

Penutup

Andragogi adalah suatu model proses pembelajaran peserta didik yang terdiri atas orang dewasa. Andragogi disebut juga sebagai teknologi pelibatan orang dewasa dalam pembelajaran, yang merupakan pengelompokan teori belajar berdasarkan usia dan kemampuan/persepsi berpikir untuk mengikuti proses belajar dalam pembelajaran.

Orang dewasa ialah mereka yang telah melewati masa remaja dan memiliki kematangan fisiologik dan psikologi untuk melakukan suatu kegiatan. Metode pembelajaran orang dewasa terdiri atas metode individual, kelompok, massal. Motivasi belajar orang dewasa ada dua: (1) Motivasi internal, yang timbul dari dalam diri orang dewasa, (2) Motivasi eksternal, yang berupa rangsangan yang datang dari luar dirinya. Belajar dapat diartikan perubahan tingkah laku yang dialami oleh individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Belajar tidak selalu mensyaratkan kehadiran pendidik (fasilitator) atau gurunya. Pembelajaran merupakan upaya sistematis untuk membantu orang dewasa atau mengendalikan sikap dan perilakunya yang bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya. Teori belajar orang dewasa tidak hanya diketahui, tetapi harus dapat diaplikasikan dalam setiap kegiatan belajar dan membelajarkan agar proses/interaksi belajar yang dikelolanya dapat berlangsung secara efektif dan efisien.


Referensi

Anonim. http://blog.persimpangan.com/blog/2007/08/15/

http://www.jugaguru.com/article/49/tahun/2006/bulan/10/tanggal/10/id/184/ Bagaimana Tutor dalam Penerapan Andragogi? Aplikasi Andragogi Dalam Pembelajaran Pendidikan Non Formal

Oleh : Oleh: Halim Malik

Friday, February 25, 2011

Mengapa Belajar Melalui Praktik Jauh Lebih Efektif

Temuan-temuan terbaru tentang cara belajar, dengan beragam variasinya, mengarah pada satu kesimpulan bahwa betapa lebih efektifnya belajar melalui praktik dibandingkan hanya teori saja.
Meskipun sudah banyak bukti dan banyak juga yang kian meyakini kesimpulan di atas, namun menjadi lebih argumentatif jika kita tahu alasan logisnya.
Keselarasan antara Tubuh dan Pikiran
Para ahli saraf terkemuka kini meyakini bahwa setiap informasi yang didapatkan otak tak hanya disimpan di dalam otak saja, melainkan juga pada bagian tubuh lainnya. Penyimpanan pada anggota tubuh lainnya itulah yang diyakini menjadi memori bawah sadar yang suatu saat bisa diaktifkan manakala dibutuhkan. (Revolusi cara Belajar : 2000)
Hal itu serasi dengan konsep kerja anggota tubuh yang kesemuanya saling bergantung (otak, jantung, hati, ginjal, empedu, dan lain sebagainya) tanpa bisa dipisah-pisahkan.
Ketika satu anggota tubuh rusak maka bagian lain juga kena imbasnya. Itulah yang kemudian dikenal dalam dunia medis sebagai komplikasi. Misalnya ketika kelenjar tiroid bermasalah maka jantung pun menunjukkan gejala penurunan fungsi secara perlahan-lahan, ketika fungsi hati menurun, maka kemampuan empedu untuk memproduksi zat penetral racun tubuh juga menurun, dan banyak contoh lainnya.
Kembali kepada hubungan pikiran-tubuh, maka begitulah kesesuaiannya. Apa yang kita pikirkan akan mempengaruhi aktivitas atau aksi tubuh, dan apa yang dilakukan tubuh secara fisik juga akan mempengaruhi otak.
Belajar dengan mengaktifkan sensor lengkap yang dimiliki tubuh yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, pencecap, dan indra peraba sudah dipraktikkan oleh Montessori, dan hasilnya memuaskan. Bahkan beberapa anak yang mengalami keterbelakangan mental menunjukkan kemajuan yang berarti setelah mereka diajari menulis dengan meraba huruf dari kertas ampelas kasar, bermain lempung, belajar menuangkan air tanpa tumpah, dan aktivitas sensoris lainnya.
Memang, jika hanya sepintas kita tak akan mampu melihat keterkaitan tersebut, namun dalam rentang waktu tertentu, dalam jangka panjang kita akan melihatnya dengan jelas.
Bukti-bukti dari dunia nyata berupa model-model pembelajaran terbaru, yang memasukkan gerak anggota tubuh sebagai bagian dari metode belajarnya sering cukup mencengangkan. Misalnya aktivitas bermain lempar-tangkap bola, memasukkan biji-bijian kecil ke dalam botol, meronce, bisa membantu penderita autisme mengalami kemajuan sensoris yang sebelumnya lemah.
Selain itu, kita juga mungkin pernah mendengar metode menghafal Al-Quran dengan isyarat tangan ternyata jauh lebih efektif dibandingkan metode konvensional.
Demikian juga halnya model belajar matematika dengan jari, belajar bahasa dengan nyanyian dan drama, belajar kosa kata asing dengan menggerakkan anggota tubuh sebagai simbol, belajar konsentrasi dengan merangkak, dll.
Fakta-fakta tersebut di atas mungkin hanya sebagian kecil contoh, namun pada prinsipnya, seluruh model belajar yang mengintegrasikan aktivitas fisik dengan materi pelajaran jauh lebih berhasil dibandingkan hanya teori saja.
Oleh karena itu, tentu tidak ada alasan bagi para pendidik untuk menghambat gerak fisik anak-anak saat mereka belajar, termasuk ketika mereka memanjat pohon untuk mengamati sarang burung, menggali tanah untuk melihat lubang larva kumbang, atau mengotak-atik dahan-dahan kering untuk dijadikan ‘benda ajaib’ imajinasi mereka sendiri. Percayalah, suatu hari semua aktivitas yang nampak tidak mengandung unsur belajar itu justru membantu anak-anak untuk menyukai belajar lebih daripada apapun.

oleh: Maya A. Pujiati
sumber :duniaparenting.com

Thursday, February 24, 2011

Anak Hiperaktif? Cek Menu Makan, Bisa Jadi Tinggi Zat Aditif

Hiperaktivitas pada anak meningkat pada beberapa tahun ini. Istilah itu tidak berlaku bagi perilaku yang sekedar nakal atau buruk. Ini mengacu pada anak yang cenderung merusak, mengganggu, berpotensi menggunakan kekerasan dan agresif.

Bocah hiperaktif hanya mampu memperhatikan sesuatu dalam jangka pendek dan sulit berkonsentrasi. Mereka sulit belajar, sulit duduk diam dan kadang tidak tidur sama sekali.

Dalam studi skala besar mengenai anak-anak dengan hiperaktif pada 1960-an oleh dokter Ben Feingold, satu grup senyawa kimia bernama salisilat, ditemukan terutama di zat tambahan makanan, ternyata membuat anak-anak jadi lebih hiperaktif. Ketika anak-anak tersebut diberi donat yang berisi selai mengandung rasa dan warna artifisial, perilaku mereka memburuk hanya dalam beberapa jam.

Ia menyimpulkan bahwa banyak bahan kimia yang digunakan dalam makanan artifisial adalah salisilat. Ia menyatakan bahan-bahan kimia itulah akar masalah bagi beberapa anak.

Anak dengan sindrom ADHD atau attention-deficit hyperactivity disorder, terbukti pula sensitif terhadap beberapa jenis zat kimia. Salah satu yang terburuk adalah pewarna tartrazine, dikenal dengan E102, parahnya zat pewarna ini menyebar di hampir seluruh jenis panganan dan minuman moderen, termasuk gula-gula, kue dan roti yang kerap dikonsumi anak.

Sejak itu, studi lain kian memperkuat pengaruh buruk zat aditif pada makanan dan ADHD. Studi-studi tadi menyimpulkan bahwa kombinasi pola makan berkualitas baik serta suplemen vitamin sederhana dapat mengubah kecerdasan dan perilaku anak-anak yang sulit dikendalikan.

Asam lemak esensial omega-3 dan -6 yang ditemukan pada minyak ikan juga krusial bagi pembentukan fungsi otak normal. Studi minyak ikan dari Universitas Oxford yang dipimpin Alex Richardson dengan reputasi mendunia, menyimpulkan bahwa enam puluh hingga tujuh puluh persen anak-anak dengan ADHD dan masalah serupa akan membaik secara nyata bila mengonsusi suplemem ekstrak minyak ikan murni dalam konsentrasi tinggi,

Pola makan ideal yang disarankan bagi anak-anak adalah makanan sehat yang bebas zat aditif, jika memungkinkan berbahan organik dengan menu bervariasi. Semua anak menikmati santapan manis sesekali, jadi lebih baik sediakan kue, biskui, pai atau pastri dan puding dalam rumah. Tentu lebih baik jika itu hasil karya orang tua sendiri, sehingga anda bisa memstikan mereka bebas dari zat pewarna dan perasa aditif.

Bila anda ingin lebih ketat lagi, berikut adalah daftar zat aditif yang patut dihindari

Pewarna Artifisial

102 tartrazine
104 quinoline yellow
107 yellow 2G
110 sunset yellow
122 azorubine, carmoisine
124 ponceau, brilliant scarlet
127 erythrosine
128 merah 2G 129 allura red
132 indigotine, indigo carmine
133 brilliant blue
142 green S, food green, acid brilliant green
151 brilliant black
155 brown, chocolate brown

sumber: republika.co.id

Wednesday, February 23, 2011

Tahu Kenapa Anak Perlu Berkompetisi

Pendidikan adalah sebuah proses yang berkelanjutan sehingga tidak hanya diukur dengan pencapaian prestasi di sebuah ajang kompetisi. Namun, dengan mengikuti kompetisi seorang anak bisa mengukur kemampuan yang dimilikinya sekarang, melakukan pengukuran dan perbandingan kinerja (benchmark) dengan anak-anak lain yang berusia sebaya dengannya, serta memikirkan pencapaian yang diinginkan di kemudian hari.

Demikian diungkapkan Direktur PT Kuark Internasional Sanny Djohan di acara Olimpiade Sains Kuark (OSK) 2011 di Titan Center, Bintaro, Tangerang, Provinsi Banten, Sabtu (19/2/2011). Ia mengatakan, dengan melakukan tiga hal di atas itu seorang anak dengan bimbingan orangtua dan gurunya dapat menjadi pribadi yang memiliki sistematika berpikir yang komprehensif dan mampu mengatasi tantangan dalam kehidupan sehari-hari.

"Pola berpikir kebanyakan orang sering terjebak pada pencapaian prestasi individu di dalam sebuah kompetisi sehingga tidaklah mengherankan jika ada perorangan ataupun tim yang secara khusus dipersiapkan untuk menghadapi sebuah kompetisi. Hal tersebut sudah tentu tidak menggambarkan hasil dari proses pendidikan yang dimiliki oleh sebuah sekolah, daerah, ataupun negara," ujar Sanny.

Ia memaparkan, OSK dirancang sebagai wadah kompetisi di bidang sains yang terbuka untuk semua siswa tingkat SD se-Indonesia dengan menerapkan kedalaman pemahaman materi yang dapat mengasah kemampuan penalaran siswa. Kegiatan ini, ia berharap, dapat menjadi sebuah acuan standar bagi pemetaan kualitas pendidikan sains tingkat pendidikan dasar di Indonesia.

"Menang dan kalah adalah sebuah dinamika proses berkompetisi dan tidak menghilangkan esensi dari kompetisi itu sendiri," kata Sanny.

Itu sebabnya OSK dengan sistem kompetisi yang terbuka bagi siapa saja memberikan ruang kebebasan bagi sekolah untuk mendorong setiap siswa ikut serta sebagai sarana untuk mengevaluasi dan melakukan benchmark standar kualitas pendidikan sains dengan siswa-siswa dari sekolah lain secara nasional. Keikutsertaan anak didik secara kontinu dan konsisten dari tahun ke tahun akan memberikan pengalaman yang berharga di dalam membentuk pemahaman konsep dan kemampuan penalaran anak-anak sejak usia dini.

"Sehingga OSK diharapkan juga dapat memberikan umpan balik yang positif kepada pihak sekolah, khususnya dalam melakukan evaluasi terhadap standar kualitas pendidikan sains," imbuh Sanny yang menerbitkan Komik Sains Kuark sebagai media ajar sains ini.

Sementara penggagas OSK, Prof Yohanes Surya, mengatakan, saat ini orang lazim berpikir bahwa kompetisi hanyalah ditujukan bagi sebagian orang saja, yaitu bagi mereka yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Menurut dia, pemahaman itu tidak salah.

"Namun perlu dipahami juga bahwa kompetisi adalah sarana bagi anak-anak untuk mengasah kemampuan dan membiasakan diri dengan pencapaian standar yang lebih baik lagi", papar Yohanes.

Ia menambahkan, oleh sebab itu baik orangtua, guru ataupun kalangan pendidik perlu untuk memotivasi anak-anak sejak usia dini untuk berpartisipasi dalam berbagai kompetisi yang positif sebagai sebuah pengalaman dan pelajaran yang berharga bagi masa depan anak-anak.

sumber: www.kompas.com

Tuesday, February 22, 2011

PAUD Berbasis Rumah

Pemerintah, sedang gencar mensosialisasikan pentingnya pendidikan untuk anak usia dini (PAUD). Hal itu tentu sangat positif, karena memeratakan PAUD adalah bagian yang tak terpisahkan dari upaya meningkatkan kualitas generasi penerus kita.
Mendidik anak usia dini ibarat meletakkan pondasi yang kokoh bagi kehidupan anak-anak secara pribadi dan kelangsungan generasi suatu bangsa secara kolektif. Hasilnya mungkin tidak bisa kita lihat dan rasakan dalam sekejap, namun setelah anak-anak tumbuh dewasa, pondasi yang dibentuk di masa kecil itu akan sangat terasa manfaatnya.
Sayangnya, PAUD yang populer di masyarakat lebih identik dengan Play Group dan Taman Kanak-Kanak (TK) dibandingkan pendidikan “rumahan”. Wajar pula kalau program pemerataan PAUD lebih diarahkan untuk memperbanyak jumlah Play Group dan TK atau bentuk-bentuk pendidikan klasikal lainnya daripada mengembangkan unit-unit pendidikan bagi orang tua. Padahal kita tahu bahwa pendidik terbaik untuk anak-anak balita atau anak prasekolah adalah orang tuanya.
Sekalipun ada institusi khusus yang menangani pengembangan kemampuan anak usia dini, seharusnya itu hanyalah pelengkap. Walau bagaimanapun waktu yang dihabiskan anak-anak di rumah jauh lebih banyak dibandingkan di sekolah. Berdasarkan fakta tersebut, tentu pengetahuan orang tua tentang kegiatan dan pembelajaran menarik di rumah justru sangat penting untuk dikembangkan.
Masalah yang biasanya dihadapi para ibu pemula adalah kurangnya informasi dan skill dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak balitanya. Hal itu bisa dimaklumi, karena sebagian besar orang tua tidak mempersiapkan dirinya untuk menjadi orang tua. Menjadi ayah atau ibu tampak begitu alamiah, sehingga nyaris semua orang tidak menganggap perlu untuk mencari tahu terlebih dahulu tentang ilmu-ilmu keayahbundaan sebelum mereka menikah. Tak heran jika para ibu-ayah pemula akhirnya dikejutkan oleh persoalan-persoalan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Setelah masalah timbul, barulah keduanya sibuk mencari tahu.
Mungkin itu pula salah satu alasan mengapa orang tua memasukkan anak-anak balitanya ke playgroup atau TK. Orang tua merasa khawatir, mereka tidak mampu mengembangkan kemampuan anak-anak mereka secara maksimal.
Antusiasme untuk memperbanyak jumlah TK dan sejenisnya patut kita acungi jempol. Hal itu merupakan salah satu solusi agar semakin banyak anak-anak usia dini yang “terlayani” pendidikannya. Akan tetapi, bagi kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah, selain belum meratanya pengetahuan tentang pentingnya PAUD, mereka juga memiliki masalah lain untuk memasukkan anak-anak balitanya ke TK, yaitu faktor biaya.
Semurah-murahnya biaya pendidikan di tingkat Taman Kanak-Kanak saat ini tetap cukup berat jika satu keluarga memiliki beberapa anak usia sekolah. Mereka lebih memprioritaskan pembiayaan anak-anak yang sudah masuk SD atau jenjang di atasnya, daripada menyekolahkan anaknya yang masih balita. Adakalanya beberapa orang tua yang mungkin sudah memiliki kesadaran akan pentingnya PAUD, harus bersikap rasional ketika berhadapan dengan masalah tersebut.
Mengembangkan Skill Orang Tua
Ketika orang tua memutuskan untuk tidak memasukkan anak balitanya ke kelas-kelas prasekolah, timbul dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, banyak anak-anak balita yang tidak punya kegiatan terarah, dan ujung-ujungnya malah menjadikan televisi sebagai teman bermain. Sementara itu, kita tentu sepakat bahwa tidak semua acara TV itu baik bagi perkembangan anak-anak. Dan kemungkinan kedua, ada orang tua yang kreatif menyediakan kegiatan pengganti sekolah yang tidak kalah bagusnya. Anak-anak tetap bisa belajar banyak hal meskipun hanya lewat kegiatan “rumahan” dan memanipulasi perabotan yang ada menjadi alat belajar.
Kemungkinan yang terakhir memang sangat kecil terjadi, karena patut kita akui, pengetahuan tentang cara mendidik anak usia dini belumlah begitu merata. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah menggalakan terbentuknya unit-unit belajar bagi orang tua.
Unit-unit belajar ini bukan hanya membantu anak-anak yang tidak bisa masuk playgroup atau TK, melainkan juga bisa meningkatkan kualitas pendidikan anak di keluarga-keluarga yang mampu menyekolahkan anaknya tapi masih lemah dalam pengetahuan keayahbundaan.
Informasi yang dituturkan Jeanette Vos dan Gordon Dryden dalam bukunya The Learning Revolutions: To Change The Way the World Learns, yang edisi terjemahannya sudah diterbitkan Penerbit Kaifa, menyebutkan bahwa di Malaysia telah diselenggarakan program pendidikan orang tua yang disebut Nury, berasal dari kata “nur”, yang berati cahaya. Program itu diselenggarakan di desa-desa oleh Dr. Noor Laily Dato’ Abu Bakar dan Mansor Haji Sukaimi. Dalam sepuluh tahun mereka telah melatih 20.000 orang tua di Malaysia dan 2.000 di Singapura.
Program Missouri Parents As Teachers (PAT) di Amerika Serikat, juga telah menjadi pemicu yang penting dari konsep orang tua sebagai guru. Ini dimulai pada 1981 sebagai program percontohan dengan nama Parents as First Teachers (Orang Tua sebagai Guru Pertama). Program tersebut ditujukan untuk mendidik para orang tua, sehingga mereka mampu mendidik anak-anaknya sendiri.
PAT sekarang telah menjadi layanan yang dibiayai pemerintah. Sekitar 60.000 keluarga dengan anak-anak berusia 0 – 3 tahun telah mengikuti program tersebut. Mereka dibimbing oleh sekitar 1.500 pendidik orang tua terlatih yang bekerja sebagai honorer.
Pada setiap kunjungan, pendidik orang tua itu membawa serta berbagai permainan dan buku yang sesuai dengan fase pertumbuhan anak, mendiskusikan apa yang diharapkan orang tua, dan memberikan selembar kertas berisi tip-tip menstimulasi minat anak pada tahap tersebut.
Selain dua negara di atas, siapa kira, program pendidikan orang tua berbasis rumah ternyata juga dikembangkan di Israel, dan diberi nama HIPPY (Home Instruction Program for Preschool Youngsters). Program tersebut bertujuan untuk memandu keluarga dalam mendidik anak-anak prasekolahnya. Program itu di mulai di Israel pada 1969 yang ditujukan bagi hampir 200.000 pengungsi yang datang ke Israel dari Afrika dan Asia. Mereka sangat miskin, dan anak-anak mereka kadang terabaikan karena orang tuanya bekerja keras mencari kesejahteraan di tempat yang baru. Seperti halnya PAT, HIPPY melakukan pelatihan langsung di rumah, tetapi ditujukan bagi orang tua dari anak-anak yang berusia empat dan lima tahun.
Melihat informasi tersebut, nampaknya tak heran jika ketiga negara itu memiliki keunggulan dari sisi sumber daya manusia jika dibandingkan negara kita. Kepedulian pemerintahnya dan orang-orang berpendidikan di negara-negara tersebut terhadap pendidikan bagi anak usia dini yang “berbasis rumah dan keluarga” telah membuahkan hasil yang cukup memuaskan.
Hari ini pemerintah juga nampaknya sudah memberikan ruang yang lebih lapang bagi terlaksanakan konsep tersebut dengan menjadikan pos yandu dan PKK sebagai pelaksana PAUD alternatif..
Akan tetapi, kelompok masyarakat yang sudah tercerahkan dengan berbagai informasi pendidikan anak usia dini, juga merupakan ujung tombak penyebaran ilmu keayahbundaan. Mungkin langkah pertama bisa dimulai dengan membuka kelompok-kelompok diskusi “parenting” yang terdiri atas beberapa orang tua, dan sesekali mengundang rekan-rekan yang kompeten di bidang ini. Bukan tidak mungkin hal ini akan berkembang pesat, dan akhirnya memicu peningkatan kualitas pengasuhan anak di rumah, yang dengan itu pula mampu memaksimalkan hasil yang selama ini sudah dicapai dari penyelenggaraan Playgroup dan Taman Kanak-Kanak.
Pendidikan memang cara paling tepat untuk mengubah suatu bangsa menjadi lebih baik, dan upaya ke arah itu sudah dibangun sejak lama lewat pendidikan yang diinstitusikan secara formal. Namun pada kenyataannya kita tidak bisa mengandalkan itu sebagai satu-satunya cara untuk membentuk anak-anak yang berkualitas dari berbagai segi. Kita tetap membutuhkan pendidikan rumah untuk mensinergikannya.
Walau bagaimanapun lingkungan yang positif terbentuk dari unit-unit masyarakat terkecil yang juga positif. Alih-alih ingin meningkatkan kualitas anak-anak kita, pendidikan yang tidak berimbang, antara sekolah dan rumah tak jarang malah menyebabkan kegagalan kolektif.

Salam pendidikan!

oleh: Maya A. Pujiati
sumber : http://duniaparenting.com

Thursday, February 10, 2011

Program Kewirausahaan sebagai Menu Pendidikan Keaksaraan

Salah satu isu utama dalam pembangunan nasional tampaknya terletak pada pengembangan kewirausahaan sebagai peningkatan pembangunan ekonomi. Wacana tersebut menjadi pertimbangan dalam menapaki konsep peningkatan pengembangan pendidikan di negeri ini. Indonesia mulai menyadari akan pentingnya kewirausahaan diterapkan diberbagai aspek dalam mengentaskan kemiskinan dan pengangguran. Rintisan ini menjadi amanat yang perlu diemban oleh para praktisi pendidikan luar sekolah di bawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional.

Sejak tahun 2008 Indonesia telah bergabung dengan program LIFE (Literacy Initiative for Empowerment) yang digulirkan oleh UNESCO bagi sembilan Negara penyandang buta aksara terbesar termasuk di dalamnya Indonesia. Sejalan dengan program LIFE, dibangunlah dalam kerangka kerja AKRAB (Aksara agar Berdaya) pada tahun 2009 sebagai upaya penuntasan buta aksara melalui pendidikan keaksaraan terintegrasi dengan kecakapan hidup yang diharapkan nantinya dapat mengentaskan kemiskinan dan pengangguran di negeri ini.

Tidak hanya sekedar memberikan jala ataupun perahu bagi para nelayan, namun hal yang lebih penting bagi mereka adalah pemberian fasilitas seperti TPI (Tempat Pelelangan Ikan) atau target market hasil penangkapan ikan itu sendiri mau dijual kemana. Hal seperti inilah yang musti diperhatikan dalam pengelolaan pengembangan pendidikan terutama bagi pendidikan keaksaraan. Karena masyarakat tidak hanya butuh dapat membaca saja, pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka yang lebih perlu diperhatikan.

Fokus pendidikan keaksaraan ke depan tidak hanya keaksaraan dasar, tetapi memberdayakan secara ekonomi, sosial, dan budaya serta diharapkan pendidikan keaksaraan dapat bermakna bagi masyarakat dan mampu menjawab tantangan saat ini. Begitulah yang disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Hamid Muhammad saat memberikan keterangan pers terkait peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) ke-45 2010 di Gerai Informasi dan Media Kemdiknas, Jakarta. Yang rencananya peringatan HAI akan dilaksanakan pada 10 Oktober 2010 di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Tema dari peringatan itu sendiri adalah “Aksara Membangun Keadaban dan Karakter Bangsa”.

Pendidikan keaksaraan dimungkinkan tidak sebatas penerapan Budaya Literasi (BUDAL), dengan pendidikan kewirausahaan menjadi unsur utama bagi pemenuhan akan outcome dari pendidikan keaksaraan itu tadi. Bukan berarti pendidikan kewirausahaan terlepas dari keberaksaraan, namun keduanya saling bersinergi. Sehingga muatan yang ada pada segi kewirausahaan dimasukkan dalam pendidikan keaksaraan, dengan begitulah Program Aksara Kewirausahaan akan dapat tercapai. Program pendidikan keaksaraan ini nantinya diintegrasikan dengan program kecakapan hidup, disamping keaksaraan dasar.

Direktur Pendidikan Masyarakat Direktorat Jenderal PNFI Ella Yulaelawati juga menyampaikan adanya Program Keaksaraan Usaha Mandiri (KUM). Program keaksaraan diintegrasikan dengan pemberdayaan melalui seni budaya lokal dan cerita rakyat. Selain itu, pemberdayaan dilakukan dengan memperluas akses Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dengan pempublikasian koran desa, semacam jurnalisme desa yang dilatih untuk membuat korannya sendiri.

Kata merdeka dari buta aksara akan lebih bermakna dengan konsep kewirausahaan dengan berbagai bentuk keterampilan yang diintegrasikan. Tidak hanya keterampilan semata, tetapi dibelajarkan dengan diberi modal dasar dan modalnya dari bantuan itu. Dan perlu diketahui, sebagaimana visi dari Ditjen PNFI adalah terwujudnya manusia Indonesia pembelajar sepanjang hayat dan yang salah satu misinya yaitu program pendidikan keaksaraan bermutu yang mampu meningkatkan kompetensi keaksaraan pada semua tingkatan (dasar, fungsional, dan lanjutan) bagi penduduk buta aksara dewasa secara meluas, adil, dan merata untuk mendorong perbaikan kesejahteraan dan produktivitas penduduk dan ikut serta dalam mendukung perbaikan peningkatan IPM.

Demi tercapainya Program Rintisan Aksara Kewirausahaan ini, Kemdiknas telah menunjuk 100 Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) untuk melaksanakan program keaksaraan melalui kewirausahaan atau lebih simpel lagi dengan sebutan Aksara Kewirausahaan.

Oleh : Muarif
sumber : imadiklus.com

Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.

Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia, apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan baik. Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter, Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.

Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan peserta didik.

Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai, terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .

Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.

Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.

Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.

Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.

Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.

Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.

Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Indonesia negeri maupun swasta. Semua warga sekolah, meliputi para peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah lainnya.

Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.

Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara lain meliputi sebagai berikut:

1. Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
2. Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
3. Menunjukkan sikap percaya diri;
4. Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5. Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup nasional;
6. Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis, dan kreatif;
7. Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8. Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
9. Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
10. Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
11. Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
12. Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik Indonesia;
13. Menghargai karya seni dan budaya nasional;
14. Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
15. Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
16. Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
17. Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanya perbedaan pendapat;
18. Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
19. Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
20. Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
21. Memiliki jiwa kewirausahaan.

Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.

sumber : http://akhmadsudrajat.wordpress.com

Tuesday, February 8, 2011

Cegah IQ Jongkok Hindarkan Si Kecil dari Junk Food

Bayi yang diberi banyak makanan olahan mungkin akan memiliki IQ yang lebih rendah dalam hidup mereka kemudian, demikian satu studi Inggris yang digambarkan sebagai penelitian terbesar dalam jenisnya.

Kesimpulan tersebut, disiarkan Senin (7/2), berasal dari observasi jangka panjang terhadap 14.000 orang yang dilahirkan di Inggris barat pada 1991 dan 1992. Kesehatan dan kebugaran mereka dipantau pada usia tiga, empat, tujuh dan delapan-setengah tahun.

Orang tua dari anak-anak tersebut diminta mengisi daftar pertanyaan antara lain, merinci jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi anak mereka. Dari daftar tersebut muncul tiga pola makanan, pertama memiliki kandungan tinggi gula dan lemak olahan, tipe makanan "tradisional" yang banyak mengandung daging dan sayuran, terakhir adalah makanan "sadar-kesehatan" dengan banyak selada, buah dan sayuran, pasta dan beras.

Ketika anak-anak itu berusia delapan-setengah tahun, IQ mereka diukur dengan menggunakan alat standard yang disebut Wechsler Intelligence Scale. Dari sebanyak 4.000 anak dengan data yang lengkap, ada perbedaan mencolok pada IQ di kalangan mereka yang telah mengkonsumsi makanan "olahan" dibandingkan dengan anak yang mengkonsumsi makanan "sadar-kesehatan" saat mereka lebih kecil.

Sejumlah 20 persen anak yang terbiasa menyantap makanan olahan memiliki IQ rata-rata 101 poin, sementara 20 persen anak yang sehari-hari banyak mengonsumsi makanan "sadar-kesehatan" memiliki IQ 106 poin.

"Perbedaannya memang kecil, sih, itu bukan perbedaan yang besar," kata seorang penulis studi tersebut, Pauline Emmett dari School of Social and Community Medicine di University of Bristol, sebagaimana dilaporkan kantor berita Prancis, AFP.

"Tapi itu jelas membuat mereka kurang mampu menghadapi pendidikan, kurang mampu untuk menghadapi sebagian kondisi dalam kehidupan," kata Pauline Emmet.

Hubungan antara IQ dan gizi menjadi masih yang diperdebatkan dengan sengit sebab itu dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk latar-belakang ekonomi dan sosial.

Satu keluarga kelas menengah misal, barangkali lebih mampu secara keuangan untuk meletakkan makanan yang lebih sehat di meja makan, atau memiliki dorongan lebih kuat untuk merangsang nafsu makan anak mereka, dibandingkan dengan keluarga dari rumah tangga miskin.

Mengapa "junk food" memiliki berdampak pada kecerdasan? Emmet menyatakan makanan yang diolah secara berlebih dapat kekurangan unsur dan vitamin penting bagi perkembangan otak besar pada tahap penting masa awal kanak-kanak.

"Makanan 'junk food' tidak bagus buat perkembangan otak," katanya.
Studi itu disiarkan di Journal of Epidemiology and Community Health, yang disiarkan oleh British Medical Association (BMA).

"Junk food" juga berbahaya bagi orang dewasa, sebab makanan semacam itu memiliki resiko yang merugikan kesehatan diakibatkan kandungan tertentu di dalamnya, seperti kandungan lemak yang tinggi, bahan pengawet.

sumber :republika.co.id

Mensetarakan Pendidikan Non-Formal

Pendidikan sebagai sebuah senjata yang sangat ampuh untuk memajukan sebuah bangsa di dunia. hal ini didasarkan atas semakin tingginya peradapan suatu bangsa diakibatkan sumbangsih pendidikan itu sendiri, kuatnya suatu bangsa terletak pada hasil mutu pendidikan yang bermutu cerdas dan mermiliki budi pekerti yang luhur.

Dalam persolan tersebut diatas bahwasanya kita menyadari sangat sulitnya mencapai ketiga komponen tersebur bermutu, Cerdas dan memiliki budi pekerti yang luhur Ketiga komponen tersebut merupakan subjective yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu antara yang lain. Kecerdasaran tidak memberikan sebuah harapan yang dapat membawa kemodaratan jika tidak dibarengi dengan budi pekerti yang melekat pada ajaran agama dan hal ini berlaku sebaliknya.Refine logo v1 Mensetarakan Pendidikan Non Formal

Undang Undang Dasar 1945 (UUD) pasal 31 Ayat 1 (satu) amendement ke IV (empat) menyataklan “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” dari redaksional tersebut jelas bahwasannya setiap orang dimanapun ia berada tanpa terkecuali memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan baik formal maupun non-formal.yang dimulai dari tingkat pendidikan paling dasar Sekolah Taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi swasta maupun negeri. Didalam uu nomor 23 tahun 2003 tentang undang-undang system pendidikan Nasional dinyatakan secara jelas Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang Pasal 1 “ketentuan umum” pada bagian kelima, khusus mengatur pendidikan non formal, pasal 26 ayat 1,s.d 7.

Pendidikan formal merupakan sebuah pendidikan alternative yang condong keberadaanya sebagai objek pendidikan sahaja, hal ini yang menyebabkan keberadaan sekolah non formal tidak dapat disamakan dengan pendidikan formal lainnya. Timbulnya pengecapan “stereotype” tersebut ditengah-tengah masyarakat merupakan sebuah kemunduran dunia pendidikan yang menyebabkan tidak bermaknanya pendidikan tersebut

Flashback beberapa bulan yang lalu, tentang ujian nasiunal (UN) Berdasarkan data Badan Standart Nasional Pendidikan (BSNP) 1.522.162 siswa mengikuti ujian national yang diadakan secara serempak di indonesia dengan kelulusan 89,88 percent dengan artian terjadi penurunan kelulusan dari tahun 2009-2010, sehingga terdapat 154.079 siswa yang akan mengikuti ujian susulan

http://metrotvnews.com/index.php/metromain/newsvideo/2010/04/25/104101/Tingkat-Kelulusan-UN-2010-Menurun”

Dari angka diatas maka sebanyak 154.079 sisa yang akan menegikuti ujian susulan dengan tingkat trauma yang lebih tinggi dari sebelumnya dan sebahagian besar dari mereka tentunnya akan mengikuti ujian kesetaraan untuk mendapatkan kelulusan mereka dan yang menjadi permasalahan bagaimana dengan mutu institusi tersebut sekarang …?

Pengambangan pendidikan non-formal saat sekarang ini tidak secara konstans memperbaiki permasalahan pendidikan untuk mengembalikan fungsi pendidikan non formal yang dapat disetarakan dengan pendidikan formla lainnya.

Harapan penulis melalui tulisan ini dapat membantu pendidikan non formal kedepannya melalui beberapa hal dengan melakukan perubahan yang fundamental bagi lembaga pendidikan non formal melalui sebuah perencanaan pendidikan yang lebih mengedepankan mutu pendidikan dari pada tempat untuk mencari rezeki belaka, oleh karena itu tindakan yang harus dilakukan yakni melakukan perubahan membentuk sebuah lembaga pendidikan yang sama dengan sekolah formal lainnya sehingga pendidikan non formal kedepannya tidak dikelola melalui individu dengan artian pendidikan kesetaraan adalah pengelola pendidikan tersebut sehingga tidak memiliki regenerasi sehingga menimbulkan ketidak transparan didalam pengelolaan manajemen menyebabkan lembaga pedidikan kesetaraan tersebut terlihat sebagai lembaga yang ekslusif.

oleh Ronggo Tunjung Anggoro
sumber : http://imadiklus.com

Sunday, February 6, 2011

PROGRAM PENDIDIKAN NONFORMAL UNTUK MASYARAKAT PEDESAAN

PENDAHULUAN
Antara pendidikan formal dan pendidikan nonformal telah saling melengkapi. Out put pendidikan formal (sekolah) dari berbagai jenjang yang kurang memiliki keterampilan, sebagian dapat dilengkapi dengan keterampilan untuk dapat bekerja pada instansi negeri dan swasta, atau mengembangkan usaha mandiri (wirausaha). Selain itu mereka yang putus sekolah dan tidak sempat mengikuti pendidikan formal diberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan nonformal (program pendidikan life skill) sehingga mampu meningkatkan taraf hidupnya.
Bersamaan dengan kemajuan-kemajuan dalam bidang pendidikan khususnya pendidikan nonformal, terdapat masalah-masalah atau kekurangan-kekurangan yang perlu dibenahi atau ditanggulangi dalam pembangunan selanjutnya. Salah satu masalah yang cukup menonjol adalah masalah pemerataan pendidikan. Dalam hal ini diakui bahwa masyarakat pedesaan terutama masyarakat terpencil dan terisolir masih belum terjangkau pendidikan termasuk pendidikan nonformal. Kelompok masyarakat ini perlu mendapat perhatian, sehingga kualitas dan taraf hidupnya dapat ditingkatkan. Tentu saja keberadaan mereka perlu diketahui sehingga dapat dirancang program-program pendidikan nonformal yang relevan dengan kebutuhan belajar mereka

PERMASALAHAN
Sebagian masyarakat desa hidup di daerah terpencil/ terisolir. Hal ini merupakan persoalan untuk dijangkau dengan program pendidikan nonformal
Kebutuhan belajar masyarakat desa beraneka ragam, namun belum diketahui secara jelas sehingga sulit untuk merancang program-program pendidikan nonformal yang relevan dengan kebutuhan belajar mereka
Potensi alam masyarakat desa cukup banyak dan bervariasi, Namun terbatas kemampuan/ keterampilan warganya untuk memanfaatkan secara produktif.

PROGRAM-PROGRAM PENDIDIKAN NONFORMAL UNTUK MENINGKATKAN TARAF HIDUP MASYARAKAT PEDESAAN
Program Riset
Pembangunan pedesaan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat tinggal di daerah pedesaan dengan lingkungan yang memiliki potensi alam yang melimpah, lagi pula pembangunan pedesaan menyentuh langsung kepentingan masyarakat desa. Oleh sebab itu pemerintah seharusnya memberikan perhatian besar dan lebih serius terhadap pembangunan desa.
Sekalipun kemajuan dalam pembangunan desa telah banyak dirasakan manfaatnya, namun masih banyak pula masalah-masalah yang perlu dipecahkan untuk lebih memantapkan pembangunan desa. Khususnya dari segi peningkatan dan pemerataan pendidikan nonformal perlu ditemu kenali aspek-aspek mendasar dari kehidupan masyarakat desa sebagai subyek (warga belajar). Untuk maksud itu setiap lembaga yang bertanggung jawab atas pengembangan pendidikan nonformal pada masyarakat pedesaan perlu melaksanakan kegiatan penelitian secara mendalam dan luas.
Menyadari akan kepincangan-kepincangan yang ada di daerah pedesaan, maka program riset dalam rangka pelaksanaan pendidikan nonformal bagi masyarakat pedesaan merupakan satu kebutuhan.
Salah satu jenis penelitian yang akurat dan cepat hasilnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat pedesaan adalah action research. Untuk mengejar ketinggalan-ketinggalan yang dihadapi masyarakat desa perlu dikembangkan jenis penelitian ini.
Program Pendidikan nonformal dengan Menggunakan Bahasa Ibu
Masyarakat pedesaan terdiri atas berbagai suku bangsa yang memiliki bahasa lokal masing-masing, ingat saat ini masih digunakan secara lisan dalam pergaulan hidup seharĂ­-hari.
Pesan-pesan pendidikan nonformal akan lebih mudah dan cepat dihayati dan dimengerti oleh masyarakat apabila disampaikan dalam bahasa lokal atau bahasa ibu mereka. Selain itu, dengan menggunakan bahasa ibu dalam menyampaikan pesan-pesan pendidikan nonformal, sekaligus dapat melestarikan bahasa ibu guna memperkaya kebudayaan nasional.
Hasil penelitian Jim Cummis (2005) menjelaskan bahwa anak-anak yang kuat akan lebih dapat membangun kemampuan keaksaraan mereka dalam bahasa yang digunakan di temapat pendidikan. .Jika orang tua dan pengasuh lainnya (misalnya kakek atau nenek) bisa meluangkan waktu dengan anak-anak mereka, serta bercerita atau mendiskusikan masalah tertentu sehingga dapat mengembangkan keaksaraan dalam konsep bahasa ibu mereka, maka anak-anak bisa lebih siap untuk mempelajari bahasa di tempat pendidikan, dan berhasil dalam pendidikan mereka. Pengetahuan dan keterampilan mereka dialihkan dari bahasa ibu yang telah mereka pelajari di rumah ke dalam bahasa yang digunakan di tempat pendidikan. Dari sudut pandangan pengembangan konsep dan keterampilan berfikir anak-anak, kedua bahasa ini saling bergantung satu sama yang lain. Pengalihan lintas bahasa terjadi secara dua arah, jika bahasa ibu dipromosikan di sekolah (misalnya dalam program pendidikan dwibahasa) makan konsep kemampuan berbahasa dan ketrampilan keaksaraan yang dipelajari oleh anak- anak dalam bahasa ibu mereka. Singkatnya kedua bahasa itu bisa saling terpelihara jika lingkungan pendidikan mendukung anak-anak untuk menggunakan dua bahasa.
Dengan pendekatan bahasa ibu dalam proses pembelajaran, peluang untuk keberhasilan cukup tinggi karena yang dipelajari adalah ucapan, kata-kata yang setiap saat muncul di dalam kehidupan baik dalam proses sosial, ekonomi maupun proses budaya. Pemahaman makna yang dipelajari akan lebih mudah dimengerti karena kata-katanya sudah menjadi bagian tentang apa yang telah dikerjakan atau dilakukan dalam kehidupannya.
Manfaat yang didapatkan dari pembelajaran dengan menggunakan bahasa ibu (bahasa rimba) adalah:

Bisa menjadikan lebih cepat akrab dengan warga belajar
Bisa mempelajari dan memahami struktur bahasa warga belajar
Warga belajar dapat melestarikan adat mereka
Memotivasi pada warga belajar untuk menularkan kemampuan membaca, menulis, dan menghitung kepada generasi berikutnya.
Program Radio Siaran Pendidikan Nonformal
Kegiatan dan peristiwa pembelajaran, khususnya pendidikan nonformal perlu diusahakan melalui berbagai altrenatif program strategis yang bervariasi dan inovatif, sehingga dapat memberikan pelayanan secara maksimal kepada setiap warga masyarakat sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, kecepatan dan ketepatan belajar setiap warga masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat perluasan dan pemerataan belajar bagi seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu alternatif pembelajaran pendidikan nonformal yang cukup strategis dan inovatif adalah saluran media. Melalui media pesan atau bahan belajar dapat dikomunikasikan ecara efektif untuk merangsang pikiran, sehingga terdorong untuk belajar secara optimal.
Radio sebagai salah satu media dengar, cukup efektif terutama bagi masyarakat di daerah pedesaan yang sulit menjangkaunya (terpencil / terisolir). Hal itu dapat dipahami karena masyarakat terpencil sulit dijangkau secara langsung melalui media cetak dan media visual (televisi), yang dapat diusahakan dan diimiliki masyarakat terpencil / terisolir adalah radio.
Untuk mengkomunikasikan pesan-pesan pendidikan nonformal secara luas kepada masyarakat, terutama yang hidup di daerah terpencil / terisolir, sangat diperlukan radio siaran pendidikan nonformal.
Program Lab-site Pendidikan Nonformal
Bila dikaitkan dengan kebutuhan belajar masyarakat pedesaan, maka perlu dirancang ujicoba model-model pembelajaran pendidikan nonformal yang relavan dengan kebutuhan masyarakat. Kegiatan ujicoba ini lebih intensif bila dilaksanakan pada suatu wilayah / lokasi yang dirancang khusus sebagai lab-site PNF. Selain itu pelatihan bagi para tenaga tutor dan pembelajaran warga masyarakat akan lebih berhasil bila diselenggarakan pada lab-site PNF. Dengan demikian sangat diperlukan suatu lab-site PNF yang akan berfungsi sebagai tempat praktek atau tempat rintisan program-program PNF dan tempat latihan bagi tutor-tutor dalam membelajarkan warga belajar.

PENUTUP
Memahami kondisi warga masyarakat pedesaan dalam berbagai dimensi kehidupannya merupakan suatu keharusan bagi para pemerhati, pemikir dan praktisi pendidikan nonformal. Warga masyarakat pedesaan sebagai bagian dari komunitas penduduk yang memerlukan layanan pendidikan nonformal, hendaknya mendapat perhatian, dengan cara memberikan layanan pendidikan yang sesuai kebutuhan belajarnya. Untuk itu diperlukan upaya-upaya nyata bagi mereka, antara lain melalui program riset, program pendidikan nonformal yang menggunakan bahasa ibu. Program radio PNF dan program lab-site PNF, merupakan program yang disajikan hanya merupakan bagian kecil dari program-program yang dapat menyentuh kebutuhan mendesak bagi warga masyarakat pedesaan, sehingga pengembangan model-model pembelajaran perlu terus dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA
Robert Chambers, 1987, Pembangunan Desa Mulai dari Belakang, Jakarta: LP3ES
Soedomo, H.M., 1989, Pendidikan Luar Sekolah Ke Arah Pengembangan Sistem Belajar Masyarakat, Jakarta: P2LPTK
Wiryanto Yomo dan Giinter Wehner, 1973, Membangun Masyarakat, Bandung: Angkasa

(Oleh : Nasri, S.S: pemerhati Pendidikan nonformal/ Tutor Paket B Provinsi Sulawesi Selatan)

ANDRAGOGI SUATU ORIENTASI DALAM PEMBELAJARAN

Pengetahuan tentang belajar kebanyakan diperoleh dari pengalaman atau penelitian tentang belajar pada anak-anak ataupun binatang. Demikian pula halnya dengan pengetahuan tentang pengajaran, kebanyakan diperoleh dari pengalaman pengajaran anak-anak dalam situasi di mana anak-anak tersebut diwajibkan untuk mengikuti suatu proses belajar-mengajar yang berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan formal. Pelaksanaan proses belajar-mengajar tersebut didasarkan pada definisi pendidikan sebagai suatu proses penyampaian kebudayaan.
Definisi pendidikan tersebut pada dasarnya bersumber dari suatu istilah pendidikan yaitu Pedagogi. Istilah pedagogi ini berasal dari bahasa Yunani “paid” artinya anak dan “agogos” artinya membimbing. Itulah sebabnya istilah pedagogi dapat diartikan sebagai “ilmu dan seni mengajar anak (the art and science of teaching children).
Dalam perkembangan penggunaan istilah tersebut, muncul suatu masalah yaitu kata “anak” sebagai bagian integral dari pengertian istilah pedagogi telah hilang, sehingga dalam pemikiran manusia yang juga telah ditulis dalam buku-buku pendidikan dan kamus, di mana istilah pedagogi diartikan sebagai seni dan ilmu mengajar. Bahkan dalam buku-buku tentang pendidikan orang dewasa ditemukan istilah “Pedagogy of Adult Education” . Orang rupanya tidak menyadari bahwa dalam istilah pedagogi terdapat kata “paid” yang berarti anak, sehingga istilah pedagogi sangat tidak cocok dipakai untuk menjelaskan tentang ilmu dan seni dalam membantu orang dewasa belajar. Masalah lain yang muncul sehubungan dengan pengertian yang ditarik dari istilah pedagogi ialah tentang konsep tujuan pendidikan, yaitu penyampaian pengetahuan pada anak-anak. Atas dasar itu pendidikan kemudian diartikan sebagai proses penyampaian pengetahuan. Mendefinisikan pendidikan sebagai proses penyampaian ternyata kurang sesuai dengan perkembangan dan kehidupan manusia.
Selain itu masalah yang timbul dalam pengertian pedagogi adalah adanya pandangan yang mengemukakan bahwa tujuan pendidikan itu bersifat mentransmisikan pengetahuan. Tetapi di lain pihak perubahan yang terjadi seperti inovasi dalam teknologi, mobilitas penduduk, perubahan sistem ekonomi, politik dan sejenisnya begitu cepat terjadi. Dalam kondisi seperti ini pengetahuan yang diperoleh seseorang ketika ia berumur 20 tahun akan menjadi usang ketika ia berumur 40 tahun. Jika demikian halnya, maka pendidikan sebagai suatu proses transmisi pengetahuan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan modern. Oleh karena itu pendidikan sekarang tidak lagi dirumuskan sebagai upaya untuk mentransmisikan pengetahuan, tetapi dirumuskan sebagai suatu proses penemuan sepanjang hayat terhadap apa yang dibutuhkan untuk diketahui.
Dewasa ini di kalangan para ahli pendidikan orang dewasa telah berkembang baik di Eropa maupun di Amerika, suatu teori mengenai cara mengajar orang dewasa. Untuk membedakan dengan pedagogi, maka teori baru tersebut di kenal dengan nama Andragogi yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “andr” yang berarti orang dewasa dan “agogos” yang berarti memimpin atau membimbing. Dengan demikian andragogi dirumuskan sebagai suatu ilmu dan seni dalam membantu orang dewasa belajar.

ASUMSI ANDRAGOGI DAN PEDAGOGI
Ada perbedaan mendasar mengenai asumsi yang digunakan oleh Andragogi dan Pedagogi terutama dari aspek konsep diri, pengalaman, kesiapan belajar dan orientasi terhadap belajar. Asumsi itu dapat dikemukakan sebagai berikut:
• Konsep Diri.
Menurut Knowles, dalam pendekatan pedagogi peranan peserta didik bergantung pada guru. Dalam hal ini guru diharapkan oleh masyarakat memegang tanggungjawab penuh untuk menentukan apa yang akan dipelajari oleh pada peserta didik, kapan waktunya belajar, bagaimana cara mempelajarinya, dan apakah suatu bahan telah selesai dipelajari atau belum. Sedangakan dalam pendekatan andragogi, proses pematangan manusia merupakan kewajaran bagi seorang individu untuk bergerak dari ketergantungan ke arah kemandirian. Perpindahan ini secara bertahap dan dengan kecepatan yang berbeda-beda sesuai dengan orang dan dimensi kehidupannya. Para guru orang dewasa bertanggungjawab untuk menggalakkan dan memelihara gerakan ini. Orang dewasa mempunyai kebutuhan psikologis yang dalam untuk mandiri, meskipun dalam situasi-situasi tertentu bergantung pada pihak lain.
• Pengalaman.
Peranan pengalamn yang dibawa peserta didik ke situasi belajar kurang bernilai. Hal itu mungkin hanya sebagai titik tolak. Pengalaman yang akan menjadi sumber belajar yang utama bagi peserta didik adalah pengalaman para guru, penulis buku, pencipta Audio-Visual Aids dan ahli-ahli lainnya. Karena itu teknik utama yang digunakan adalah teknik penerusan atau pemindahan (ceramah, tugas dan sebagainya). Dalam andragogi, selama manusia tumbuh dan berkembang mereka menyimpan banyak pengalaman dan karena itu akan menjadi sumber yang tak habis-habisnya untuk belajar, baik bagi mereka secara pribadi maupun bagi orang lain. Lagi pula orang memberikan arti yang lebih besar kepada pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman daripada yang diperoleh secara pasif. Karena itu teknik utama yang digunakan adalah teknik pengalaman (eksperimen, laboratorium, diskusi, pemecahan persoalan, pengalaman lapangan dan sebagainya).
• Kesiapan Belajar.
Orang siap mempelajari apapun yang dikehendaki masyarakat terutama sekolah untuk mereka pelajari, asalkan tekanan ini cukup berat bagi mereka. Sebagian orang yang sebaya siap untuk mempelajari bahan yang sama. Karena itu pelajaran hendaknya diatur ke dalam suatu kurikulum yang benar-benar baku, dengan suatu penjenjangan yang seragam bagi semua peserta didik. Dalam andragogi, orang menjadi siap untuk mempelajari sesuatu bila mereka merasakan kebutuhan untuk mempelajari hal itu. dengan tujuan agar dapat menyelesaikan tugas atau persoalan hidup mereka dengan yang lebih memuaskan. Pendidik memegang tanggungjawab menciptakan kondisi dan menyediakan alat-alat serta prosedur untuk membantu para peserta didik menemukan kebutuhan atau keingintahuan mereka. Dengan demikian program belajar hendaknya disusun menurut kategori penerapan hidup dan diurutkan sesuai dengan kesiapan belajar peserta didik.
• Orientasi Terhadap Belajar.
Para peserta didik melihat pendidikan sebagai suatu proses untuk memperoleh bahan pelajaran, yang sebagian besar mereka anggap hanya akan berguna di kemudian hari. Karena itu kurikulum seharusnya diatur menjadi satuan-satuan pelajaran yang mengikuti urutan logika mata pelajaran bersangkutan. Jadi orientasi mereka berpusat pada mata pelajaran. Sebaliknya dalam andragogi, para peserta didik memandang pendidikan sebagai suatu proses pengembangan kemampuan untuk mencapai potensi kehidupan yang paripurna. Mereka ingin dapat menerapkan pengetahuan dan keterampilan apapun yang mereka peroleh saat ini untuk kehidupan esok yang lebih efektif. Karena itu, pengalaman belajar seharusnya disusun menurut kategori-kategori pengembangan kemampuan. Jadi orientasi mereka terhadap belajar berpusat pada karya atau prestasi. Dari asumsi dasar tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa: 1) orang dewasa mempunyai konsep diri, yaitu suatu pribadi yang tidak tergantung kepada orang lain yang mempunyai kemampuan mengarahkan dirinya sendiri dan kemampuan mengambil keputusan, 2) orang dewasa mempunyai kekayaan pengalaman yang merupakan sumber yang penting dalam belajar, 3) Kesiapan belajar orang dewasa berorientasi kepada tugas-tugas perkembangannya sesuai dengan peranan sosialnya
4) orang dewasa mempunyai perspektif waktu dalam belajar, dalam arti secepatnya mengaplikasikan apa yang dipelajarinya.
FUNGSI PENDIDIK ORANG DEWASA.
Pendidik orang dewasa mempunyai fungsi antara lain:
a. Menilai kebutuhan belajar individu, lembaga dan masyarakat untuk pendidikan orang dewasa yang sesuai dengan lingkungan organisasinya (fungsi diagnostik).
b. Menetapkan dan mengelola struktur organisasi untuk pengembangan dan pelaksanaan yang efektif dari suatu program pendidikan orang dewasa (fungsi organisasi).
c. Merumuskan tujuan yang sesuai dengan kebutuhan belajar yang telah ditetapkan, dan merencanakan suatu program kegiatan untuk mencapai tujuan tersebut (fungsi perencanaan).
d. Menciptakan dan mengawasi prosedur yang diperuntukan bagi pelaksanaan suatu program secara efektif, termasuk memilih dan melatih ketua-ketua kelompok belajar, tutor, mengatur fasilitas dan proses administrasi, seleksi dan penerimaan pebelajar, dan pembiayaan (fungsi administrasi).
e. Menilai efektivitas program pendidikan yang dilaksanakan (fungsi evaluasi).

MISI PENDIDIK ORANG DEWASA
isi pendidik orang dewasa dapat digambarkan dengan mengaitkan antara kebutuhan dan tujuan individu.
Misi setiap pendidik orang dewasa adalah membantu individu untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan, membantu individu untuk mengembangkan sikap bahwa belajar itu adalah kegiatan yang berlangsung sepanjang hayat, dan dengan pendidikan itu
dapat diperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dapat digunakan untuk bekerja secara mandiri serta dapat mengembangkan potensi-potensi yang kita miliki. Dalam proses belajar ini dapat dimanfaatkan oleh orang dewasa untuk mengembangkan dirinya, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama dengan orang dewasa lainnya.
Pendidik orang dewasa dalam merencanakan program pembelajarannya hendaknya didasarkan pada kebutuhan belajar yang diinginkan oleh orang dewasa, tanpa demikian pendidikan orang dewasa akan mengalami kegagalan.

TEKNIK DAN METODE PEMBELAJARAN ORANG DEWASA
Penjabaran rancangan belajar ke dalam urutan kegiatan belajar memerlukan adanya pengambilan keputusan mengenai teknik dan bahan belajar apa yang paling bermanfaat digunakan untuk mencapai tujuan pembelajarn. Dan selanjutnya menentukan strategi pembelajaran dengan mengikutsertakan peserta. Posisi pelatih dalam proses ini hanyalah sebagai pemberi saran dan sebagai narasumber.
Ada beberapa teknik atau metode yang dapat digunakan untuk membantu orang dewasa belajar, antara lain:
1. Presentasi. Teknik ini meliputi antara lain: ceramah, debat, dialog, wawancara, panel, demonstrasi, film, slide, pameran, darmawisata, dan membaca.
2. Teknik Partisipasi peserta. Teknik ini meliputi antara lain: tanyajawab, permainan peran, kelompok pendengar panel reaksi, dn panel yang diperluas.
3. Teknik Diskusi. Teknik ini terdidi atas diskusi terpimpin, diskusi yang bersumberkan dari buku, diskusi pemecahan masalah, dan diskusi kasus.
4. Teknik Simulasi. Teknik ini terdiri atas: permainan peran, proses insiden kritis, metode kasus, dan permainan.

IMPLIKASI DALAM PEMBELAJARAN ORANG DEWASA
Dari asumsi-asumsi yang telah dikemukakan di atas, dapat dikemukakan bahwa ketiga pendapat tersebut di atas memiliki kesamaan di dalam memandang pebelajar, baik dalam pembelajaran pedagogi maupun andragogi terutama dalam konsep diri, pengalaman, kesiapan untuk belajar, dan orientasi belajar. Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa dalam pembelajaran orang dewasa perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Iklim belajar perlu diciptakan sesuai dengan keadaan orang dewasa. Baik ruangan yang digunakan maupun peralatan (kursi, meja, dan sebagainya) diatur sesuai dengan selera orang dewasa agar dapat memberi kenyamanan bagi mereka. Selain itu, dalam iklim belajar tersebut, perlu diciptakan kerjasama yang saling menghargai antara para peserta dengan peserta lain maupun dengan para pelatih/fasilitator. Ini berarti bahwa setiap peserta diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengemukakan pandangannya tanpa ada rasa takut dihukum maupun dipermalukan. Iklim belajar seperti ini akan sangat tergantung kepada pelatih/fasilitator.
2. Peserta diikutsertakan dalam mendiagnosa kebutuhan belajarnya. Mereka akan merasa terlibat dan termotivasi untuk belajar apabila apa yang akan dipelajarinya itu sesuai dengan kebutuhan yang ingin dipelajari.
3. Peserta dilibatkan dalam proses perencanaan belajarnya. Dalam perencanaan ini fasilitator lebih banyak berfungsi sebagai pembimbing dan manusia sumber.
4. Dalam proses belajar-mengajar merupakan tanggungjawab bersama antara pelatih/failitator dan peserta. Kedudukan pelatih/fasilitator lebih banyak berperan sebagai manusia sumber, pembimbing, dan katalist dari pada sebagai guru.
5. Evaluasi belajar lebih menekankan pada cara evaluasi diri sendiri dalam mengetahui kemajuan belajar peserta.
6. Karena orang dewasa merupakan sumber belajar yang lebih kaya dibandingkan anak-anak, maka proses belajarnya lebih ditekankan kepada teknik yang sifatnya menyadap pengalaman mereka seperti: kelompok diskusi, metode kasus, simulasi, permainan peran, latihan praktek, demonstrasi, bimbingan konsultasi, seminar, dan sebagainya.
7. Penekanan dalam proses belajar bagi orang dewasa adalah pada aplikasi praktis dan atas dasar pengalaman mereka.
8. Urutan kurikulum dalam proses belajar orang dewasa disusun berdasarkan tugas perkembangannya dan bukan atas dasar urutan logik mata pelajaran atau kebutuhan kelembagaan. Misalnya suatu program latihan orientasi untuk para pekerja baru, bukan dimulai dengan sejarah atau filsafat perusahaan, tetapi dimulai dengan kehidupan nyata yang menjadi perhatian para pekerja baru, seperti: di mana saya harus bekerja, dengan siapa saya bekerja, apa yang diharapkan dari saya, dan sebagainya.
9. Adanya konsep mengenai tugas-tugas perkembangan pada orang dewasa akan memberi petunjuk dalam belajar secara kelompok. Untuk tugas-tugas perkembangan, maka belajar secara kelompok yang anggota kelompoknya bersifat homogen akan lebih efektif.
10. Pendidik orang dewasa tidak boleh berperan sebagai seorang guru yang mengajarkan mata pelajaran tertentu, tetapi ia berperan sebagai pemberi bantuan kepada orang yang belajar.
11. Kurikulum dalam pendidikan untuk orang dewasa tidak berorientasi kepada mata pelajaran tertentu, tetapi berorientasi kepada masalah. Hal ini karena orang dewasa cenderung berorientasikan kepada masalah dalam orientasi belajarnya.
12. Oleh karena orang dewasa dalam belajar berorientasi kepada masalah, maka pengalaman belajar yang dirancang berdasarkan pula pada masalah atau perhatian yang ada dalam benak mereka.

DAFTAR RUJUKAN

Amalius Sahide. 1990. Pendidikan Orang Dewasa. Ujungpandang: FIP IKIP
Knowles, Malcolm. 1977. The Modern Practice of Adult Education, Andragogy Versus Pedagogy. New York: Assosiation Press.
Zainuddin Arif. 1984. Andragogi. Bandung: Angkasa.

oleh: Syamsul Bakhri Gaffar, Jurusan PLS FIP Universitas Negeri Makassar